Aku menemukan sebuah lencana berwarna hitam milik En saat sedang membersihkan sebuah ruangan kusam yang sejak tiga hari lalu kutempati bersama lima orang yang sampai detik ini masih tidak kukenal sama sekali.
"Bagaimana lencana ini bisa berada di sini?" gumamku seorang diri sambil memasukkan lencana ini ke dalam saku dada bajuku. Aku memang membawanya ke sini, tapi bagaimana lencana ini bisa terpelanting ke sudut ruangan?
"Hei!!!" tiba-tiba seseorang berteriak. "Kau masih bisa mencuri bahkan saat berada di dalam penjara?!"
Friday, December 19, 2014
Friday, May 30, 2014
Ayah Cita
"WHOAH!" Aku berdecak takjub melihat rumah megah milik Ayah Cita.
Langit-langit penuh ukiran disangga tiang-tiang kokoh yang membelah marmer cokelat dingin. Guci-guci antik yang kutahu tidak dijual di dalam negeri. Etalase berisi berbagai macam penghargaan di dunia bisnis. Laki-laki ini benar-benar pekerja keras. Tidak heran dulu orangtuaku menjodohkanku (secara paksa) dengannya.
Entah berapa pekerja rumah tangga yang mengurus rumah ini. Tidak ada secuil pun debu di belahan mana pun ruangan tempat aku duduk di sofa empuk yang terasa ribuan kali lebih nyaman dibanding sofa tua di rumahku.
Aku menghisap rokokku dalam kemudian mengepulkan asap berbentuk lingkaran dari mulutku.
"Aku tidak punya asbak. Tidak ada yang merokok di rumah ini," ucap Ayah Cita yang baru saja datang, setelah ia meletakkan secangkir teh hangat di meja marmer di depanku.
Langit-langit penuh ukiran disangga tiang-tiang kokoh yang membelah marmer cokelat dingin. Guci-guci antik yang kutahu tidak dijual di dalam negeri. Etalase berisi berbagai macam penghargaan di dunia bisnis. Laki-laki ini benar-benar pekerja keras. Tidak heran dulu orangtuaku menjodohkanku (secara paksa) dengannya.
Entah berapa pekerja rumah tangga yang mengurus rumah ini. Tidak ada secuil pun debu di belahan mana pun ruangan tempat aku duduk di sofa empuk yang terasa ribuan kali lebih nyaman dibanding sofa tua di rumahku.
Aku menghisap rokokku dalam kemudian mengepulkan asap berbentuk lingkaran dari mulutku.
"Aku tidak punya asbak. Tidak ada yang merokok di rumah ini," ucap Ayah Cita yang baru saja datang, setelah ia meletakkan secangkir teh hangat di meja marmer di depanku.
Bayaran
Ini sudah kali kesepuluh, ah, tidak, kesebelas sepertinya, aku mondar-mandir di depan rumah Cita. Tanganku berkeringat, lututku gemetar, dan suasana hatiku benar-benar tidak menentu. Ah, anak itu pasti akan mengejekku habis-habisan.
"Cowok nyebelin kayak lo, Gi? Apa gue gak salah denger?"
Pasti kata-kata seperti itu yang ia keluarkan di depanku. Aku menghela nafas. Suasana ini benar-benar membuatku ingin gantung diri.
"Lo ngapain?"
Aku kaget. Kuputar kepalaku ke arah sumber suara. Cita? Sejak kapan ia berdiri di depan pagar rumahnya? "Eh, Cita...."
"Lo ngapain malem-malem gini mondar-mandir di depan rumah gue kayak maling lagi ngecek sikon?"
"Cowok nyebelin kayak lo, Gi? Apa gue gak salah denger?"
Pasti kata-kata seperti itu yang ia keluarkan di depanku. Aku menghela nafas. Suasana ini benar-benar membuatku ingin gantung diri.
"Lo ngapain?"
Aku kaget. Kuputar kepalaku ke arah sumber suara. Cita? Sejak kapan ia berdiri di depan pagar rumahnya? "Eh, Cita...."
"Lo ngapain malem-malem gini mondar-mandir di depan rumah gue kayak maling lagi ngecek sikon?"
Thursday, May 29, 2014
Murid Paling
“Award apa
ya, yang belum pernah kita keluarin?” Asti bertanya.
Aku
mengerutkan kening. “Sebetulnya banyak, tapi apa ya?”
“Ah, murid
paling lugu udah belum?” Bella memberi saran.
“Belum!”
aku dan Asti serentak menjawab.
Thursday, May 22, 2014
Hantu Jatuh Cinta
Sebagian
manusia yang meninggal dunia tidak langsung ditempatkan di surga atau neraka. Beberapa
dari mereka –atau aku bisa menyebutnya dengan kata ‘kami’, masih harus
melakukan kebaikan demi menyempurnakan persyaratan untuk menuju Eden.
Kami yang tidak terlalu baik untuk masuk ke surga, namun juga tidak terlalu
jahat untuk dilempar ke dalam neraka.
Sebagaian
manusia yang masih hidup di atas muka bumi ini adalah manusia-manusia terpilih yang
secara istimewa diberikan pendamping. Bukan seorang, tapi sesosok. Atau lebih
tepatnya, sehantu.
Saturday, May 17, 2014
Pupus
Seperti rabu-rabu sebelumnya, hari ini aku berkunjung ke salah satu rumah sakit ternama dan duduk di ruang tunggu lantai dasar gedung yang sangat kusuka aromanya itu. Tidak ada jadwal konsultasi (aku sehat-sehat saja, omong-omong), tidak ada kerabat yang sakit, dan tidak harus menebus obat di apotek. Hanya duduk, menikmati atmosfer dan aroma rumah sakit, serta melihat para petugas medis yang berlalu-lalang dengan pakaian yang membuat mereka terlihat begitu berkharisma.
"Dokter Zaldy!" seorang laki-laki yang duduk di sampingku menyapa seorang pria berkacamata yang baru saja lewat di depanku.
Sial, ternyata orang itu ada di rumah sakit ini juga.
"Dokter Zaldy!" seorang laki-laki yang duduk di sampingku menyapa seorang pria berkacamata yang baru saja lewat di depanku.
Sial, ternyata orang itu ada di rumah sakit ini juga.
Thursday, May 15, 2014
Goresan
Wanita yang tengah berdiri di
sebelahku berhenti mengaduk kopinya. Ia lalu mengamati gerakan tanganku yang
tengah mengoleskan selai nanas di atas selembar roti. “Kau terluka?”
“Hah?” aku menoleh ke arahnya sambil
mengangkat kedua alisku.
“Itu.” Ia menunjuk segaris luka
goresan di punggung tanganku.
“Ah, ini, aku juga tidak tahu jelas
kenapa. Sepertinya tergores sesuatu di bus,” jawabku asal. Aku lalu meletakkan
pisau yang kugunakan untuk mengoleskan selai dan kemudian menutup selembar roti
di tanganku dengan selembar roti lain di atasnya.
Kakakku mendengus. “Kemarin
kaubilang kakimu tidak sengaja tercakar kucing liar, sebelumnya lenganmu
terkena pecahan kaca, sekarang tergores sesuatu di bus umum? Kenapa bus umum
harus memiliki benda tajam yang bisa membuat orang terluka?” ia mengomeliku,
seperti biasa.
Saturday, May 10, 2014
Orang Asing
Teman curhat terbaik adalah orang asing.
Kalimat itu terus berputar di kepalaku sejak aku memutuskan kabur dari rumah hingga saat ini aku berada di trotoar sebuah jembatan layang di atas laut yang dibangun begitu megah oleh pemerintah. Salah satu jembatan kebanggaan dunia, katanya.
Kalimat itu terus berputar di kepalaku sejak aku memutuskan kabur dari rumah hingga saat ini aku berada di trotoar sebuah jembatan layang di atas laut yang dibangun begitu megah oleh pemerintah. Salah satu jembatan kebanggaan dunia, katanya.
Monday, May 5, 2014
Menanti Kabar Ayah
Dulu banget pernah ngepost cerita ini cuma pas dibaca ulang oh sungguh nggilani gitu ewh terus ini abis dipermak sana sini jadi re-post aja walopun gak cantik-cantik amat atau malah worse than before tapi yang lalu biarlah berlalu deh ini semacam buka lembaran baru.
Apa itu dingin? Maksudku, benda seperti apa ia?
Bagaimana bentuknya? Benarkah ia dapat menusuk kulitmu dan menyeruaki setiap
lapis jaringan epitelmu? Membuatmu menggigil dan enggan melakukan apa pun?
Apakah ia sekejam itu?
Ini adalah malam keempat aku duduk sendiri di balkon
rumahku. Ah, tidak, aku tidak sendiri. Sesuatu bernama dingin itu menemaniku.
Musim penghujan. Tiada hari tanpa eksistensi presipitasi cair hasil kondensasi
uap air di atmosfer yang kemudian turun membasahi bumi. Aku dan dingin. Kami
bak sahabat setia yang selalu menghabiskan malam bersama dalam keheningan.
Tidak ada bunyi, atau lebih tepatnya, aku menutup telinga dari segala macam
jenis suara.
Sunday, April 27, 2014
Enam Bulan
Aku melambaikan tangan dengan semangat ke arah seorang laki-laki yang
berlajan lambat sambil menggandeng koper hitamnya. Orang itu hanya membalasku
dengan senyuman kecil. Sambutan yang sangat tidak sesuai ekspektasi.
“Heboh banget sih, kayak ketemu Justin Bieber aja!” ucapnya setelah ia
tepat berdiri di depanku.
“Jahat banget sih, udah ninggalin enam bulan dan pas ketemu bukannya
bilang kangen kek, apa kek!”
Ia mengangkat tepi bibir kanannya. Menunjukkan senyum yang membuatku
ingin meninju sampai semua giginya rontok tak bersisa. “Ayo ke mobil!” Ia
melangkah meninggalkanku yang masih berdiri menahan rasa kesal yang kini
membengkak lebih besar dari rasa rinduku beberapa menit lalu.
Aku membulatkan mata dan menghela nafas dengan kasar, sebelum akhirnya
mengikutinya menuju mobil.
Saturday, April 19, 2014
Jaksa
“Apa cita-citamu saat kecil dulu?” Seorang pria berkumis bertanya dengan
suaranya yang berat dan nada bicara yang terdengar sangat bijaksana.
“Menjadi seorang jaksa.” Aku menjawab pertanyaan itu tanpa perlu satu detik pun untuk mengingat-ingat.
Seluruh orang yang mengelilingi meja makan serentak bersuara. Sebagian
tertawa, sebagian lagi berdecak kagum setengah tak percaya.
Siapa bocah berumur sembilan tahun yang belum pernah mendapatkan
pertanyaan ‘apa cita-citamu?’ dari orang dewasa? Mereka tertawa saat kukatakan
aku ingin menjadi seorang jaksa. Bukan dokter, guru, polisi, artis, atau
astronot, seperti anak-anak pada umumnya. Tidak, jaksa bukan pekerjaan yang
langka atau aneh. Hanya saja tidak banyak anak-anak sekolah dasar yang
memikirkan profesi itu sebagai cita-cita.
Pura-Pura
“Ah, ini
dia aktor kita!” Laki-laki botak itu berseru saat seorang pria muda masuk ke
ruangan tempat aku sudah lebih dulu menunggu. “Kau pasti sudah mengenalnya bukan, Nona Natasha?”
Artis
ternama yang tengah naik daun itu, bayi yang baru lima menit lahir pun mungkin sudah mengenalnya.
“Namanya
Rey.”
Aku sudah tahu.
Monday, March 24, 2014
TAMU
Aku terkejut mendengar seseorang berteriak dengan lantang di depan rumahku. Padahal ini bukan kali pertama, tapi aku tetap saja terkejut. Suara abang penjual sayur keliling itu memang tidak bisa diremehkan. Kurasa ia lebih cocok menjadi orator dibanding mendorong gerobak sayur. Aku tiba-tiba tertawa sendiri dalam hati. Orator itu apa? Aku masih duduk di sekolah menengah pertama, jadi sebenarnya tidak tahu benar artinya. Hanya pernah mendengar kata itu beberapa kali di tivi. Lagipula, sepertinya kata itu tidak terlalu familiar bagi keluarga menengah ke bawah yang tinggal di desa seperti keluargaku. Tunggu, familiar itu apa?
“BERANGKAT, NENG?”
Aku mendongak. “Bang, nanya atau
marah-marah?” timpalku pada pria berkumis yang di lehernya tersampir handuk
putih yang warnanya tidak lagi putih. Aku lalu tertawa kecil.
Penjual sayur itu ikut tertawa.
“SI ENENG BISA AJA!” Laki-laki itu lalu melanjutkan langkahnya sambil mendorong
gerobaknya, membuat plastik-plastik berisi ikan teri yang tergantung di bagian
atas gerobak bergoyang ke kanan dan ke kiri.
Aku kembali menundukkan kepala
dan mengikat sebelah lagi tali sepatuku. Kuseka rambut panjangku yang
mengganggu ke belakang telinga kiri. Satu ikatan lagi. Selesai. Aku berdiri dan
tiba-tiba saja terkejut saat mendapati seorang perempuan dengan selendang menutupi kepalanya tengah berdiri dengan elegan
di depan rumahku.
Jangan tanyakan padaku apa itu elegan.
Apa Salahnya Memiliki Wajah Rupawan?
Aku membawa makananku menuju meja di salah satu sudut kantin sekolah baruku. Sambil sesekali membalas senyum beberapa orang (yang untungnya perempuan), aku melangkah menghampiri seorang murid (yang juga perempuan) yang tengah duduk sendirian di meja pojok kantin.
Ia yang menyadari
kedatanganku, menoleh seperlunya. Hanya memastikan siapa pemilik sepatu sport keren seharga smartphone yang berdiri di sebelah mejanya, kurasa.
Meskipun kutahu orang
itu tidak akan membalas senyumku, aku tetap menyapanya dengan senyuman lebar
yang kuyakin jika aku menunjukannya ke para wanita selain dirinya, mereka akan
jatuh terkapar tanpa nafas karena pesonaku dapat menyumbat seluruh saluran
respirasinya.
Apa aku terdengar
sangat percaya diri? Haha. Aku bercanda.
Thursday, March 20, 2014
Badut
Aku masuk ke dalam sebuah outlet burger yang berdiri di salah satu taman hiburan tertua di kotaku.
Kulepaskan tas ransel dari punggungku dan kusampirkan di tempat biasa aku meletakannya. Aku lalu
melangkah menuju dapur. Tidak, jangan bayangkan aku melewati banyak pintu untuk
sampai ke dapur. Tempat pemesanan, tempat pembuatan, dan tempat pembayaran,
posisi ketiganya saling berdekatan. Meskipun sudah puluhan tahun berdiri, outlet milik keluargaku ini tetap pada ukuran asalnya. Tidak berubah.
“Selamat sore!” aku menyapa dan mencium pipi seorang
wanita yang seluruh helai rambutnya sudah memutih.
“Kurasa kau satu-satunya anak sekolah menengah atas
yang masih mencium pipi neneknya sepulang sekolah,” ucap salah seorang pegawai.
Aku tertawa. “Semua orang harus tahu, aku selalu senang
menjadi satu-satunya salam segala hal,” aku menanggapi. “Apa tidak ada yang
bisa kumakan?” tanyaku kemudian.
Seorang wanita berumur yang tengah merapikan piring
menoleh ke arahku. “Kalau kau mau datang untuk makan, datanglah lebih awal.
Sekarang kita sudah mau tutup,” ujarnya.
Aku cemberut. “Aku kurang beruntung!” aku lalu
mengumpat pelan.
“Tapi untuk cucuk Nenek yang paling cantik di negeri
ini, akan Nenek siapkan menu paling istimewa dari outlet kita. Kau mau?”
Aku melihat sebuah, ah atau seorang, entahlah, badut
lewat di depan tokoku. Wajahnya sejenak menoleh ke arahku. Seperti yang
kubilang, outletku tidak besar, jadi dari tempat memasak pun aku bisa melihat
orang-orang yang berada di luar. Termasuk badut itu.
“Siapa yang sedang kau lihat? Badut?” tebak nenekku.
Aku tersenyum lebar bak bintang iklan pasta gigi.
“Nenek, tolong buatkan aku tiga menu paling spesial!”
Sunday, March 16, 2014
Pernikahan
Aku duduk bersama sebuah meja bundar dan dua cangkir kopi di atasnya.
Satu milikku, satu lagi sengaja kupesan untuk orang yang sedang kutunggu.
Dia datang. “Aku ada kelas 30 menit lagi.” Ia tidak ingin terlalu lama
bersamaku. Aku tau maksud kalimat itu. “Ada yang ingin kau bicarakan denganku?”
tanyanya. Dingin. Tidak seperti hari-hari sebelumnya.
Aku diam. Entahlah, aku juga tidak mengerti. Jujur saja, apa yang ingin
kuutarakan, aku tau, sampai kapan pun tak akan pernah bisa kuutarakan. Jadi aku
tak tahu mengapa aku menyuruhnya datang.
Ia duduk di depanku. “Kopi untukku?” tanyanya.
Aku menangguk.
Ia membuka tutup gelas kopinya dan menyeruput minuman yang sudah hampir
dingin itu. Ia lalu menghela nafas dan menatapku.
Wednesday, March 12, 2014
Sembunyi
“Rupanya di kota ada juga tempat menanangkan seperti ini,” seseorang bersuara,
membuyarkan lamunan yang nyaris membawaku pergi jauh dari hidup yang sangat
tidak menguntungkan ini.
Aku menoleh dan terkejut setengah mati mendapati salah seorang teman
sekolahku tengah berjalan menghampiriku. Panik. Aku memutar leherku seraya
menyapu sekitar dengan mata tajam ke seluruh arah, 360 derajat tanpa ada celah
sedikit pun.
“Aku sendiri,” ia menjawab kepanikanku. Gadis itu lalu duduk di
sampingku dan melepas pandangannya jauh ke depan. Ia menghela nafas. “Kau
berkontemplasi di sini rupanya,” ucapnya kemudian.
Aku tersenyum sinis. Picik sekali menyebut persembunyian dengan kata
kontemplasi. “Apa yang kau lakukan di sini?” tanyaku.
Tuesday, March 11, 2014
Pengintai
Pria berusia 23 tahun di sampingku memasang wajah
serius dilengkapi rasa ingin tahu yang membengkak di setiap pori-pori hidungnya.
Thursday, February 27, 2014
BINGO!
“Sembilan.
Kau juga sudah pernah mencoba memancingnya agar bertanya balik padamu?” tanya
Shanin.
“Sudah. Dua
puluh dua,” jawab Illana.
“Tujuh.
Bagaimana?” tanya Callista.
“Dua puluh
empat,” ucapku sambil menyilang angka 24 di kertasku.
“Dua belas.
Berhasilkah?” tanya Shanin.
Illana
menggeleng. “Aku bertanya apakah ia tahu rumah wali kelas kita atau tidak. Ia
hanya menjawab ‘coba tanyakan pada tata usaha’ tanpa bertanya apa kira-kira keperluanku menanyakan
hal itu padanya. Dua puluh tiga,” papar Illana. “Kau pernah mencobanya?”
tanyanya kemudian.
Wednesday, February 26, 2014
Sekolah Baru
Ini adalah minggu ketiga sejak aku dipindahkan ke sekolah baru. Belum genap 20 hari, tapi keanehan yang kutemui di sini sudah lebih dari jumlah jemari yang kumiliki.
Bagaimana tidak kukatakan aneh? Di sekolah ini, aku bisa menemui bermacam-macam murid dengan bermacam-macam kebiasaan yang tidak kutemui di sekolahku yang lama. Seorang siswa yang suka memakan kelopak bunga sepatu di halaman belakang sekolah, murid laki-laki yang sering membenturkan kepalanya di pintu kelas, anak perempuan yang mengepang sembilan rambutnya (terkadang aku berpikir mungkin ia terobsesi dengan siluman rubah berekor sembilan seperti mitos-mitos di Korea sana), siswa yang selalu memakai sepatu dengan warna berbeda di kaki kiri dan kanannya, yang mengisi tas ranselnya dengan bola basket dan membawa semua bukunya dengan keranjang belanja, yang gemar memakai celana terbalik, yang selalu berjalan mundur, dan manusia-manusia aneh lainnya. Kubilang, ada lebih dari 20 keanehan yang kutemui di sekolah ini.
Tuesday, February 25, 2014
Eksklusif
Cerita ini hanya fiktif belaka. Apabila ada kesamaan nama atau cerita, hal tersebut murni tidak disengaja.
Aku melangkah memasuki lobby sebuah gedung mewah milik pemerintah yang berdiri kokoh di pusat Ibu Kota. Kuhampiri meja receptionist yang dijaga oleh dua wanita cantik dengan rambut klimis yang disanggul rapi.
“Ada yang bisa saya bantu?” tanya salah satu receptionist di hadapanku dengan ramah.
“Saya mau ketemu Pak Binarta Dandrearta,” ucapku
santai.
“Apa Anda sudah membuat janji?” tanya wanita itu lagi.
“Emm… belum sih,” jawabku. “Tapi bilang aja kalo Natasha
Arta mau ketemu,” aku menambahkan.
“Maaf, Anda tidak bisa bertemu kalau belum membuat
janji dengan beliau.”
Monday, February 24, 2014
Kencan
Kehidupan seorang laki-laki dapat berubah tergantung
dengan siapa laki-laki itu berkencan. Paling tidak, itu yang berlaku padaku.
Aku bukan tipe pria yang menuntut wanita untuk bisa menyesuaikan diri denganku.
Akulah yang harus menyesuaikan diri dengannya.
Saturday, February 22, 2014
Bus Pagi
Aku tengah melihat-lihat suasana pagi di luar jendela saat seorang penumpang duduk di sampingku. Aku menoleh ke arahnya. Ia tersenyum ramah ke arahku. Hah? Aku bahkan tidak memberikannya senyum. Sedikit ragu, aku membalas senyum laki-laki itu.
Lima menit berlalu, aku kembali menoleh ke arah penumpang di sampingku. Dilihat-lihat, dia tampan juga. Maksudku, aku memang suka laki-laki yang mengenakan kaca mata. Juga, sebenarnya gaya rambutnya membuat ia benar-benar terlihat berkarisma. Tapi ia anak SMA mana ya? Ah, hari senin memang sulit mengenali identitas sekolah seseorang dari seragam. Hampir semua pelajar mengenakan kemeja putih dengan badge OSIS cokelat kuning di sakunya.
Orang itu tiba-tiba menoleh ke arahku. Sial. Aku dengan cepat membuang pandanganku ke luar jendela. Mengapa aku bodoh sekali mengamati orang dari jarak sedekat ini?
Lima menit berlalu, aku kembali menoleh ke arah penumpang di sampingku. Dilihat-lihat, dia tampan juga. Maksudku, aku memang suka laki-laki yang mengenakan kaca mata. Juga, sebenarnya gaya rambutnya membuat ia benar-benar terlihat berkarisma. Tapi ia anak SMA mana ya? Ah, hari senin memang sulit mengenali identitas sekolah seseorang dari seragam. Hampir semua pelajar mengenakan kemeja putih dengan badge OSIS cokelat kuning di sakunya.
Orang itu tiba-tiba menoleh ke arahku. Sial. Aku dengan cepat membuang pandanganku ke luar jendela. Mengapa aku bodoh sekali mengamati orang dari jarak sedekat ini?
Bro
“Siapa yang memulai?”
Tiga orang yang berdiri di sampingku kompak menunjuk ke arahku.
“Kau... lagi?” tikam seorang guru BPK yang berdiri di hadapanku. “Kenapa
kau memukul mereka?” tanyanya.
Aku tak menjawab, juga tak sama sekali mengangkat kepala demi menghindari
matanya yang kini tengah merah membara. Sangat marah, kutahu.
“Anggar! Apa kau tidak memiliki telinga?!” wanita itu berkata tegas.
Tidak berteriak, tapi jelas betul membentak.
Aku tetap tidak memberikan respon apa pun.
Monday, February 17, 2014
A Birth Day Boy
Setengah jam sudah kupandangi kue
tart berbentuk lingkaran di hadapanku. Aku melirik jam dinding. Meski kamarku
hanya diterangi biasan cahaya lampu jalan dan api yang menari di ujung 10 lilin
kecil yang mengitari tepi kue di depanku, aku masih bisa melihat dengan jelas
jarum jam dindingku.
Lima menit menuju pukul 12 malam.
Jarum jam itu berjalan sangat lamban. Tiga menit menuju pukul 12 malam. Semakin
lama tampaknya semakin lamban. Satu menit menuju pukul 12 malam. Kali ini jarum
paling panjang dan paling tipis itu yang lajunya terasa bagai kura-kura pincang.
Tiga puluh detik sebelum pukul 12 malam.
Tepat pukul 12 malam.
Wednesday, February 12, 2014
Chatting
Chat Group: R!
G, Kivo, Tora, Yoza, Haki, Julio, Stevan, Yandra.
*Tora joined the group*
*Julio joined the group*
Tora: tes
Tora: grup apaan nih?
Tora: wey!
*Yandra joined the group*
Tora: halo hola
Julio: ‘R!’
Julio: Rispal
Tora: maksud ngana makhluk dari planet 4L@y itu?
Monday, February 10, 2014
Rumpi! 2
Note:
This isn't prequel nor sequel, but we better read Rumpi!, created by my friend, Hadiqal, before read this Rumpi! 2. Thank you and enjoy :)
This isn't prequel nor sequel, but we better read Rumpi!, created by my friend, Hadiqal, before read this Rumpi! 2. Thank you and enjoy :)
“Apa
ada yang mendengar tentang kasus pembunuhan pagi tadi?” tanya Maria sambil
menuang minuman merah segar berperisa ke dalam gelasnya.
“Yang
hanya tersisa tubuh dan kepalanya itu?” Shan, yang duduk di sampingku,
memastikan.
“Atau
yang tangan dan kakinya hilang itu?” kali ini Inne, bertanya sambil mengunyah
cemilan yang sampai kapan pun tidak akan ia bagi dengan siapa pun.
“Bisakah
kau memberikan pertanyaan yang lebih cerdas, Nona Inne?” ucap Tria sarkastis.
“Seperti
berapa jumlah alien yang menetap di Neptunus? Begitu?” Inne menimpali wanita
yang bersila di sebelahnya itu dengan serius. Wajah serius yang selalu
menggelitiki perutku.
Semua
tertawa kecuali Inne. Ah, dan Tria. Aku tidak menghitung tawa meremehkan Tria
sebagai sebuah tawa.
Thursday, February 6, 2014
Permen Karamel Paling Lezat Di Seluruh Dunia
Aku berdiri
di depan sebuah kamar yang dipadati resonansi raung tangis seorang wanita paruh
baya dan beberapa puterinya. Menangisi kepergian salah satu anggota
keluarga mereka. Ganisya, yang belakangan ini menjadi teman terbaikku.
Ini adalah
kematian ketiga temanku dalam satu bulan terakhir. Kematian kelima dalam dua bulan terakhir. Kematian kesembilan dalam empat bulan terakhir. Kematian ke-11 sejak malam pertama aku berada di sini. Dan aku masih belum menemukannya.
Subscribe to:
Posts (Atom)
About Me
- 919
- Tangerang, Banten, Indonesia
- bukan penulis, bukan pengarang, hanya pecinta keduanya.