Saturday, February 22, 2014

Bus Pagi

Aku tengah melihat-lihat suasana pagi di luar jendela saat seorang penumpang duduk di sampingku. Aku menoleh ke arahnya. Ia tersenyum ramah ke arahku. Hah? Aku bahkan tidak memberikannya senyum. Sedikit ragu, aku membalas senyum laki-laki itu.

Lima menit berlalu, aku kembali menoleh ke arah penumpang di sampingku. Dilihat-lihat, dia tampan juga. Maksudku, aku memang suka laki-laki yang mengenakan kaca mata. Juga, sebenarnya gaya rambutnya membuat ia benar-benar terlihat berkarisma. Tapi ia anak SMA mana ya? Ah, hari senin memang sulit mengenali identitas sekolah seseorang dari seragam. Hampir semua pelajar mengenakan kemeja putih dengan badge OSIS cokelat kuning di sakunya.

Orang itu tiba-tiba menoleh ke arahku. Sial. Aku dengan cepat membuang pandanganku ke luar jendela. Mengapa aku bodoh sekali mengamati orang dari jarak sedekat ini?

Setelah lima belas menit, aku kembali menoleh ke arah penumpang di sebelahku. Ternyata ia manis sekali. Aku melirik ke arah kanan seragamnya. Tidak ada nametag yang tergantung di sana. Aku cepat-cepat mengembalikan mataku ke arah luar jendela, sebelum orang itu menoleh dan mendapatiku tengah mengamatinya.

Tidak ada nametag. Jadi, siapa nama orang ini? Lalu, kira-kira dia kelas berapa ya? Kelas sebelas sama sepertiku? Atau kelas dua belas? Atau jangan-jangan dia murid kelas satu?! Ah, tidak mungkin. Sepertinya ia kelas dua belas. Pasti ia dari jurusan IPS. Wajah karismatiknya menunjukkan bahwa ia pria yang berwawasan luas dan pandai retorika. Selepas SMA, ia pasti meneruskan kuliahnya di jurusan Hukum atau Hubungan Internasional. Terus, dia pasti jago main gitar. Pasti.

Tiga puluh menit. Aku berpura-pura menoleh ke arah penumpang lain, sambil sesekali melirik ke arahnya. Semakin dilihat, wajahnya memang benar-benar enak dilihat. Andai saja aku tahu ia sekolah di mana. Aku bisa menanyakan pada seluruh teman-temanku dari sekolah lain. Ah, tidak. Kenapa perempuan harus mengejar laki-laki sampai seperti itu? Apa aku mengajaknya berkenalan saja sekarang? Iya, sekarang. Di dalam bus ini. Ah, jangan. Atau aku berpura-pura meminjam pena untuk... untuk apa? Ah, kenapa aku mendadak menjadi bodoh begini?

"Ehm." Suara itu muncul dari laki-laki di sampingku.

Aku menoleh, meskipun kutahu orang itu tidak memanggilku.

"Nama gue Ihsan. Kelas sebelas di SMAN 3. Anak IPA sih, tapi setelah lulus emang niat mau masuk Fakultas Hukum. Jago main gitar sih enggak, cuma suka main-main aja kalo lagi bete atau enggak ada kerjaan," laki-laki di sebelahku bertutur ringan ke arahku. Iya, ia berkata sambil memandang wajahku.

"Hah?" Aku terkejut setengah mati. Kenapa tiba-tiba ia menjawab semua pertanyaan yang tidak sama sekali kulontarkan itu? Jangan-jangan ia bisa membaca pikiranku. Atau orang itu bisa mendengar suara hati orang lain.

"Anggap aja gitu," ia berkata lagi. Orang itu lalu memberikanku sebuah senyuman ramah sebelum ia berdiri dari tempat duduknya.

Aku masih diam terpaku tak percaya sekaligus tak berdaya. Orang itu bicara padaku? Dia mendengar semua kata batinku? Berarti....

"Lo gak mau turun? Sekolah lo udah kelewat tiga halte dari sini loh," ia berkata lagi, membuat suasana batinku yang tengah carut marut manjadi semakin berantakan saja.

"Hah?" Aku tidak terlalu mendengar apa yang ia katakan. Pikiranku benar-benar sedang kacau.

"Kita udah mau sampe halte SMAN 3," ucapnya lagi.

"HAH? HALTE SMAN TIGA?!!!"

1 comment:

About Me

My photo
Tangerang, Banten, Indonesia
bukan penulis, bukan pengarang, hanya pecinta keduanya.