Tuesday, July 6, 2010

Mimpi

Malam, ketika cerita hari ini usai, mempersiapkan diri untuk menyambut pagi, dan menjalani peran keesokan harinya. Manusia tidak pernah tau apa skenario yang akan Tuhan tuntut untuk mereka lakoni. Itu alasannya mengapa manusia harus cerdas dan bijaksana.
Aku lelah, seharian ini kegiatanku sangat penuh. Sudah jam 11 malam, aku ingin tidur. Semoga mimpi malam ini indah, sebagai ganti pijat refleksi yang tak sempat kulakukan hari ini karena terlalu padatnya kegiatanku.
Selamat malam…
Lampu mejaku pun padam.
***
Pagi ini aku membaca buku di perpustakaan, sendiri, seperti biasanya. Aku hanyut ke dalam paraghraf demi paraghraf buku ensiklopedia tentang kodok si amfibia.
“Eh, kutu buku busuk!” tiba-tiba ada yang menyapa kasar, kearahku, sepertinya.
Aku mengangkat dagu. Ah, sudah kukira, memang hanya Lintang yang memanggilku seperti itu. Cewek paling cantik dan populer disekolah itu menghampiriku.
Aku menyambutnya dengan wajah datar, baiklah, sebenarnya aku tidak sama sekali ingin menyambutnya.
“Eh, kerjain tugas Fisika gue nih! Abis istirahat anter ke kelas gue ya!” ucapnya tak ramah sambil setengah membanting sebuah buku tulis dan sebuah buku paket tebal secara bersamaan.
Aku masih menatapnya dengan wajah datar.
“Muka lo gak enak banget diliat!” kali ini Falya yang bicara, sama tak sopannya dengan teman yang ada disampingnya. “Lo gak seneng?!” lanjutnya, entah bertanya, atau mendakwa.
Aku hanya diam. Ingin sekali rasanya berteriak “SIAPA YANG SUKA DIPERLAKUKAN SEPERTI ITU, BODOH?!” tapi entah mengapa, aku merasa berteriak didepan 2 pecundang itu hanya akan membuang energiku.
Aku menarik buku-buku Lintang kearahku, dengan sangat hati-hati tentunya. “Iya, nanti aku kerjain,” ucapku pelan tanpa membalas wajah menyebalkan mereka.
“Hah? Nanti? Sekarang, bego!!!” ucap Lintang sambil mendorong kepalaku dengan tangannya.
SIAL! Apa dia tak sama sekali diajarkan sopan santun? Aku kesal, jujur, sangat kesal. Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya meremas-remas telapak tangan kananku dibalik meja, sambil menahan amarah yang sudah mendidih dientah bagian mana dadaku.
“Oke, aku akan kerjain sekarang,” tanggapku, tanpa membumbui sedikitpun rasa marah di setiap susunan kata-kataku. Aku juga tak mengerti mengapa aku bisa sehebat itu menahan rasa kesal. Tapi aku bersyukur dibalik ketidakmengertian itu.
“Udah yuk, Lin, cabut!” ajak Falya, kali ini suaranya lebih pelan. “Gak betah gue lama-lama deket kutu buku busuk kaya dia,” lanjutnya dilengkapi dengan mimik super sinis saat menyebutkan kata terakhirnya.
Aku hanya menghembuskan nafas untuk mengatasi rasa jengkelku, itupun sepelan mungkin, takut kalau Lintang dan Fayla merasa tersinggung dengan helaan nafasku.
Ah, entah mengapa, bahkan disaat direndahkan seperti ini, aku masih saja sempat memikirkan perasaan mereka.
***
Tiba-tiba hari berganti tanpa kusadari. Aku tengah berjalan menuju… entahlah, aku juga tak terlalu mengerti kemana kakiku akan membawaku melangkah. Tapi aku tau, aku tengah berjalan di koridor sekolah menuju kantin. Dan seperti biasa, sendiri.
Aku melewati 4 orang siswi yang sedang duduk di depan kelas, mungkin kelas mereka. Empat siswi itu tengah bencanda hangat, terlihat sangat dekat.
Mereka berlalu, oke, maksudku, aku yang berlalu dari mereka. Tapi otakku masih memikirkan mereka, pershahabatan mereka, tepatnya. Jujur, aku ingin memiliki shahabat, satu orang saja, aku akan sangat bahagia.
Aku ingin bisa berbagi cerita setiap hari, cerita tentang apa saja. Aku ingin bercanda akrab, aku ingin tidak sendirian lagi. TUHAN, TURUNKANLAH SHAHABAT UNTUKKU, TUHAN. Hah, setiap hari aku hanya bisa berteriak dalam hati. Tak ada yang mendengar, kecuali malaikat yang mungkin menertawakan nasib malangku. Oke, maaf aku buruk sangka.
Aku terus berjalan, tak ada yang tersenyum padaku, apalagi menyapaku. Aku memang bukan siapa-siapa di sekolah yang penghuninya anak-anak gaul ini. Ah, gaul… aku bahkan merasa janggal menyebutkan kata itu.
Hatiku galau. Aku masih sibuk mengatasi rasa iriku yang sedang membengkak tak terkendali saat seseorang menabrakku tanpa sengaja. Aku terkejut dan terdorong ke belakang, dan tanpa kusadari, segelas jus durian dengan sempurna mungguyur seragam putihku.
“Ups! Sorry!” ucap si penabrak lengkap dengan wajah menyebalkan.
Ah, ternyata Lintang. Kalau dia, aku berani taruhan ini pasti disengaja.
“Ya, gak apa-apa kok,” tanggapku. WHAT?? “Gak apa-apa”??? Kenapa aku bisa mengeluarkan kalimat itu??? Padahal telingaku nyaris mengeluarkan asap karena amarah yang sudah siap memuncak. Aku tau Lintang sengaja menabrakku!!! Kali ini bukan buruk sangka! Karena Lintang dan Falya memang selalu begitu.
Orang-orang disekitarku hanya tertawa puas. Aku tak melihat ada satu orang pun yang iba. Semua suka jika Lintang menyiksaku, aku sadar itu.
“Kenapa lo minta maaf, Lin?” tanya Falya. “Harusnya Kika yang bilang terima kasih sama lo karena badannya sekarang bau durian, bukan bau kutu busuk lagi,” papar Falya diiringi gelak tawa yang terdengar sangat menyakitkan.
“Oh iya ya! Gue lupa, Fal,” sahut Lintang, lalu tertawa, tak kalah puas dengan temannya itu.
Aku menahan air mata sekuat aku menahan lidahku untuk tidak berteriak di tempat itu. Aku menelan ludah, tapi terasa sulit. Seperti ada sesuatu yang menyumbat tenggorokanku. Aku kesal.
“Permisi, aku mau ke toilet,” ujarku sambil setengah berlari meninggalkan lokasi dimana dua setan itu masih tertawa bahagia.
Aku membersihkan jus durian di seragam bagian depanku. Sial, terlalu banyak, sulit dibersihkan. Bajuku basah. Huh, mau tidak mau aku harus membeli seragam baru di koperasi.
Aku memindahkan bola mataku dari seragam putih bau durian menuju cermin didepanku. Aku menarik nafas dalam, lalu menghembuskannya dengan kasar.
Kulihat lamat-lamat mataku, mata yang selalu pandai berbohong, pandai memalsukan amarah dan kepedihan menjadi ‘baik-baik saja’. Tiba-tiba aku merasa ada yang mengalir di pipiku sesaat setelah aku berkedip. Aku tak bisa lagi menahan rasa sedihku, sedih yang dilapisi rasa sakit yang sulit kuterka seberapa tebal lapisan itu.
Aku selalu direndahkan, dikucilkan, dan diremehkan. Itu sangat menyakitkan. Aku juga manusia, butuh dihargai!!!
Aku memang bukan Lintang, Falya, atau anak-anak lain yang memiliki popularitas tinggi dan teman yang banyak. Aku tidak perlu menjadi terkenal dan kaya seperti Lintang, aku hanya ingin orang-orang menganggapku sebagai manusia, sebagai salah satu pelajar di sekolah ini, bukan tong sampah yang menjadi bahan bulan-bulanan.
Lintang, apa kamu mengerti bagaimana rasanya jadi aku??? Aku sakit, Lintang! Aku sakit setiap kali kamu mengejekku. Bahkan tatapanmu saja sudah membuat hatiku terluka, tatapan yang dalam diam menyerbuku dengan beribu hinaan. Mungkin sekali-kali kau dan Falya harus merasakan bagaimana menjadi diriku, baru kalian akan tau betapa berharganya satu hari saja tanpa kalian menghinaku. Aku juga manusia, kita diciptakan oleh Tuhan yang sama. Aku hanya tidak secantik dan sepopuler kalian, tapi aku manusia. TOLONG HARGAI AKU SEBAGAI MANUSIA!!!
Aku berteriak dalam hati, mengeluarkan semua yang ingin sekali aku katakan didepan wajah Lintang dan anak-anak yang lain. Tapi aku sadar itu tidak mungkin. Aku hanya bisa menelan kesal itu sendiri. Itu sudah seperti makananku sehari-hari.
Airmataku terus mengalir, isakanku semakin jelas terdengar.
Aku ingin ada seseorang disini, aku ingin sesekali menumpahkan amarah ini. Aku ingin ada seseorang disampingku, sekarang.
Tuhan….
“Hey!” tiba-tiba terdengat samar-samar suara menyapaku. Aku menghapus airmataku dan memutar kepala seraya mencari sumber suara. Tapi gagal, tak ada seorangpun di tiolet.
“Hey, Kak!” panggilnya lagi. Dan aku mencari, lagi.
“Hey, Kak, bangun!!!” suara itu semakin jelas, dan seperti ada yang menoyak-oyak pelan tubuhku.
“Kak, banguuuuuunnnnn!!!!!”
Perlahan, aku membuka mata. Remang-remang, aku melihat wajah seseorang, semakin lama, semakin nampak jelas. Ternyata Fisha, saudara sepupuku.
Aku bangun, dan bersandar di sandaran tempat tidurku. Sekujur leher dan dahiku berkeringat, lelah. Ternyata mimpi.
“Lo kenapa, Kak, bangun tidur kaya abis pulang macul, keringetan gitu,” ucap Fisha dengan wajah yang nampak sekali bingung melihatku.
“Nightmare, Sha,” jawabku, pelan, lalu menghela nafas. Sisa-sisa mimpi itu masih melekat diotakku.
“Nightmare?” ulang gadis yang duduk ditempat tidurku itu.
Aku mengangkat punggungku dari sandaran tempat tidur, lalu menyilakan kedua kakiku. “Kakak mimpi tentang Lintang!” ujarku.
“Lintang???” ulang Fisha, lagi. Dahinya mengerut.
“Iya!” jawabku yakin. “Ya Tuhan, Lintang tuh, jahat luar biasa ya! Ada gitu manusia berhati busuk kayak dia! Mentang-mentang Kakak cupu, susah bergaul dan gak punya temen, dia seenaknya aja gitu nyuruh ini nyuruh itu, terus sok-sokan nabarak, numpahin jus durian diseragam Kakak!” paparku panjang lebar. Akhirnya aku bisa meluapkan semua isi hati yang sudah lama membusuk dalam diriku sendiri. “Mentang-mentang hidupnya sempurna dan dia punya segalanya!” tambahku.
“Kak, mimpi lo kok…”
“Ini bukan mimpi, Sha!!!” tegasku memotong kalimat Fisha.
Fisha sedikit terkejut, lalu diam.
“Ini tuh, kaya kejadian nyata, cuma diputer lagi di dalam mimpi. Lintang tuh, setiap hari emang selalu kayak gitu! Jahatnya setengah mati!” tuturku lagi, semakin emosi.
“Kak, lo sakit ya?” tanya Fisha seraya menyentuh dahiku dengan punggung tangannya.
“GUE KESEEEELLLLLL!!!!!” teriakku lepas, seakan-akan orang yang ada didepanku adalah Lintang, bukan Fisha sepupuku.
Dengan wajah yang terlihat agak ketakutan, Fisha mengambil segelas air di meja sebelah tempat tidurku. “Minum dulu, Kak,” ucap Fisha seraya memberikan segelas air putih itu.
Aku pun mengambilnya dan langsung meneguknya dalam satu kali minum. Habis.
“Astaga….” gumam Fisha, dan aku mendengarnya.
“Lintang tuh, manusia laknat, terkutuk!!!” lanjutku lagi, sambil meletakkan gelas yang sekarang kosong itu, ketempatnya semula. Aku mengelap bibir dengan punggung tanganku. Lega. Tenggorokanku yang tersumbat amarah selama dalam mimpi itu, akhirnya dialiri air yang membuatku merasa sedikit lebih baik.
Aku menghela nafas, begitu juga Fisha. “Kenapa coba, Tuhan nyiptain manusia-manusia gak tau diri kayak Lintang sama temennya tuh, si Fal…” kalimatku terhenti saat seseorang tiba-tiba masuk ke kamarku yang memang pintunya terbuka itu.
“Kok, lo masih ditempat tidur sih?” ucap perempuan berseragam putih abu-abu itu sambil mendekat kearah tempat tidurku.
“Falya???” gumamku. Tiba-tiba ada sesuatu yang kurasa mencubiti perutku dan mencakar-cakar kepalaku. Tak jelas bagaimana rasanya, tapi aku merasa aneh. Aku mengerutkan kening, mungkin lebih berkerut dari kening Fisha beberapa waktu lalu. Heran.
“Kok lo belum siap-siap sih, Lin, bukannya kita harus dateng ke sekolah lebih awal ya? Katanya mau nyiapin jebakan buat Kika si kutu buku busuk itu!” papar Falya.
Entah mengapa, jantungku tiba-tiba berdegup cepat. Dan aku seperti bisa merasakan aliran darah dalam setiap pembuluh di tubuhku.
Tiba-tiba sesuatu muncul dipikiranku, dan aku berusaha menghindar memikirkan itu, tapi tidak bisa. Aku terganggu. Aaaaaaaaaarrrgghhh!
Jangan-jangan…… Ah, aku bahkan tak sampai hati mengatakannya, walaupun hanya dalam hati. Tidak mungkin, tapi perlahan aku menyadarinya, dan semua menjadi sangat mungkin.
Aku memalingkan wajah kearah Fisha, menatap anak itu, mencoba menyampaikan sesuatu tanpa mengucap sepatah katapun. Dan aku tau ia mengerti.
Fisha menjawab tatapan mataku, ia mengangguk pelan.
Aku menelan ludah, tapi tengorokanku kembali tersumbat, seperti saat aku dalam mimpi.
Ya Tuhan….

About Me

My photo
Tangerang, Banten, Indonesia
bukan penulis, bukan pengarang, hanya pecinta keduanya.