Akhirnya Figo menembakku, aku senang bukan main. Aku menyukainya sejak pertama kali dia masuk ke sekolah ini, dia mengenakan atribut orientasi, dan aku dengan sesuka hati membentaknya. Ya, tugasku sebagai senior memang seperti itu.
Hari ini Figo terlihat sangat dewasa dan romantis. Usianya tak nampak seperti anak kelas 2 SMA, tapi wajahnya tetap terlihat imut dan manis.
Figo menembakku di lapangan sekolah, dengan menerbangkan 10 balon dilengkapi spanduk kecil bertuliskan “I LOVE YOU AIKA!!!”
Aku senang, sangat senang. Ah, aku bahkan tak bisa mengungkapkannya lewat kata-kata.
Huh, I love you, Figo
***
01 Maret 2001
Hari ini Figo memberikan setangkai bunga mawar untukku. Ah, ia sangat romantis. Setiap hari, ia selalu membuatku semakin menyukainya.
Tuhan, aku ingin terus ada bersama Figo, sampai aku tua, selalu disampingnya.
***
26 Juni 2001
Hari ini Figo mengajakku kerumahnya. Ia mengenalkanku pada ayahnya yang sangat baik dan bijaksana, juga adiknya yang lucu. Ibunda Figo sudah meninggal dunia, maka dari itu, aku senang bisa berada disamping Figo, untuk mengisi kesepiannya karena ditinggal sang mama. Aku semakin menyayanginya.
***
31 Januari 2002
Aku sempat bertengkar dengan Figo. Kekanak-kanakannya sering muncul semenjak aku mulai aktif kuliah. Rasa cemburunya terkadang berlebihan. Aku kesal. Terlebih ia suka mengabaikan tugas sekolahnya hanya karena marah padaku, padahal ia sudah kelas 3 dan harus punya persiapan untuk Ujian Nasional.
Emmmm, baiklah, besok aku akan datang ke sekolah dan menemaninya belajar seharian, mungkin suasana hatinya akan lebih baik. Semoga saja.
***
31 Juli 2004
Usia hubunganku dengan Figo sudah 3,5 tahun. Tidak kusangka. Tapi akhir-akhir ini hubunganku dengannya agak renggang. Walaupun dengan keluarganya, aku baik-baik saja, bahkan semakin dekat. Tapi Figo… kami mulai jauh. Aku merasa ada yang aneh dengan perasaanku, entah mengapa, tapi …………….. ah, aku tak tahu bagaimana cara menjelaskan perasaan ini.
Terlebih setelah kejadian malam itu, saat aku menginap dirumah Figo.
Aku ……………..
Aku benar-benar sulit menjelaskannya.
Diary, kau tau, aku menagis saat ini.
***
29 Oktober 2007
Diary, mungkin ini akan menjadi yang terakhir kali aku menulis. Sudah beberapa buku diary kusimpan, isinya hanya Figo, Figo dan Figo. Aku selalu menulis tentang dia, walaupun hanya selembar perbulannya.
Aku senang bisa menulis tentang orang yang aku cintai. Aku sangat mencintai Figo. Dan entah sampai kapan perasaan ini akan terus ada.
Tapi sebelum aku menutup buku ini, aku ingin memamerkan baju pernikahanku. Kebaya putih yang sederhana, tapi sangat cantik. Akhirnya, cabang bayi dikandunganku ini akan memiliki ayah yang sah.
Diary, dibalik kepahitan ini, aku akui aku senang, akhirnya bisa menghabiskan sisa hidupku didekat Figo, satu-satunya pria yang aku cintai. Apapun yang telah dan akan terjadi. Dihatiku hanya ada Figo. Satu.
“Kamu sedang apa, Figo?” tanya Aika lembut sesaat setelah membuka pintu kamar dan mendapati Figo tengah membaca sebuah buku disamping tumpukan buku-buku. “Ini sudah saatnya makan malam,” tambah Aika.
Figo menutup buku diary itu. Aika datang tepat disaat Figo menjangkau kata terakhir. “Aku lagi baca buku-buku diary Ibu,” ucap Figo ringan sambil tersenyum manis kearah Aika. “Ternyata dulu itu kita pasangan yang nyaris sempurna ya, Bu?” ujar Figo. Senyum manisnya lama kelamaan terasa hambar, dan bahkan pahit. Ada seperti air mata yang tertahan di garis bawah matanya.
Aika tercekat, tak tahu harus berkata apa. Ia merasa tenggorokannya terhantam kayu yang sangat besar, dan seperti ada jutaan kerikil yang menyumbat saluran peredaran darahnya. Ia sadar, wajahnya pasti sangat pucat saat itu.
Untuk beberapa saat, hening menguasai ruangan yang tiba-tiba terasa sangat dingin itu. Sampai akhirnya datang seorang anak berusia 6 tahun yang membuyarkan rapat para petinggi kerajaan sunyi itu.
“Ibu, dipanggil Ayah tuh, kata Ayah manggil Mas Figo-nya jangan kelamaan!” tutur anak itu pada Aika, lalu diiringi lirikan kearah kakak tiri yang namanya baru saja ia sebutkan.