Tuesday, September 7, 2010

Tangisan Hati

Hari ini aku menangis.
Entah airmata untuk kubik keberapa yang aku keluarkan karena alasan yang sama.
Aku tersesat dalam menuntun hatiku sendiri, hati yang lemah dan rapuh.
Perih ini membiaskan kekuatan dan mematrikan ketegaran dalam batinku.
Tapi aku terlalu egois untuk membuka mata.
Aku buta.
Buta akan derita yang sesungguhnya membuatku dewasa.
Aku hanya bisa, lagi-lagi, menangisi kesakitan hati ini.
Ia selalu merasakan pedih.
Luka yang selalu tertelan, tak pernah memulih meski hari kian berjalan.
Aku duduk ditepian kebahagiaan.
Tapi aku tak pernah menemukan cara untuk masuk kedalamnya.
Pikirku menyeruaki seluruh semak-semak hati.
Mencoba mencari apa yang bisa kugenggam sebagai penguat diri.
Tapi sekali lagi, aku terlalu rapuh.
Lebih rapuh dibanding serpihan kayu yang mudah terbawa gemuruh.
Hatiku nyaris cacat dibuat oleh penat.
Dan hari ini aku menangis.
Lagi.
Entah airmata untuk kubik keberapa yang aku keluarkan karena alasan yang sama.
-Risty-

Thursday, September 2, 2010

Buku Harian Lama



20 Januari 2001
Akhirnya Figo menembakku, aku senang bukan main. Aku menyukainya sejak pertama kali dia masuk ke sekolah ini, dia mengenakan atribut orientasi, dan aku dengan sesuka hati membentaknya. Ya, tugasku sebagai senior memang seperti itu.
Hari ini Figo terlihat sangat dewasa dan romantis. Usianya tak nampak seperti anak kelas 2 SMA, tapi wajahnya tetap terlihat imut dan manis.
Figo menembakku di lapangan sekolah, dengan menerbangkan 10 balon dilengkapi spanduk kecil bertuliskan “I LOVE YOU AIKA!!!”
Aku senang, sangat senang. Ah, aku bahkan tak bisa mengungkapkannya lewat kata-kata.
Huh, I love you, Figo :)
***
01 Maret 2001
Hari ini Figo memberikan setangkai bunga mawar untukku. Ah, ia sangat romantis. Setiap hari, ia selalu membuatku semakin menyukainya.
Tuhan, aku ingin terus ada bersama Figo, sampai aku tua, selalu disampingnya.
***
26 Juni 2001
Hari ini Figo mengajakku kerumahnya. Ia mengenalkanku pada ayahnya yang sangat baik dan bijaksana, juga adiknya yang lucu. Ibunda Figo sudah meninggal dunia, maka dari itu, aku senang bisa berada disamping Figo, untuk mengisi kesepiannya karena ditinggal sang mama. Aku semakin menyayanginya.
***
31 Januari 2002
Aku sempat bertengkar dengan Figo. Kekanak-kanakannya sering muncul semenjak aku mulai aktif kuliah. Rasa cemburunya terkadang berlebihan. Aku kesal. Terlebih ia suka mengabaikan tugas sekolahnya hanya karena marah padaku, padahal ia sudah kelas 3 dan harus punya persiapan untuk Ujian Nasional.
Emmmm, baiklah, besok aku akan datang ke sekolah dan menemaninya belajar seharian, mungkin suasana hatinya akan lebih baik. Semoga saja.
***
31 Juli 2004
Usia hubunganku dengan Figo sudah 3,5 tahun. Tidak kusangka. Tapi akhir-akhir ini hubunganku dengannya agak renggang. Walaupun dengan keluarganya, aku baik-baik saja, bahkan semakin dekat. Tapi Figo… kami mulai jauh. Aku merasa ada yang aneh dengan perasaanku, entah mengapa, tapi …………….. ah, aku tak tahu bagaimana cara menjelaskan perasaan ini.
Terlebih setelah kejadian malam itu, saat aku menginap dirumah Figo.
Aku ……………..
Aku benar-benar sulit menjelaskannya.
Diary, kau tau, aku menagis saat ini.
***
29 Oktober 2007
Diary, mungkin ini akan menjadi yang terakhir kali aku menulis. Sudah beberapa buku diary kusimpan, isinya hanya Figo, Figo dan Figo. Aku selalu menulis tentang dia, walaupun hanya selembar perbulannya.
Aku senang bisa menulis tentang orang yang aku cintai. Aku sangat mencintai Figo. Dan entah sampai kapan perasaan ini akan terus ada.
Tapi sebelum aku menutup buku ini, aku ingin memamerkan baju pernikahanku. Kebaya putih yang sederhana, tapi sangat cantik. Akhirnya, cabang bayi dikandunganku ini akan memiliki ayah yang sah.
Diary, dibalik kepahitan ini, aku akui aku senang, akhirnya bisa menghabiskan sisa hidupku didekat Figo, satu-satunya pria yang aku cintai. Apapun yang telah dan akan terjadi. Dihatiku hanya ada Figo. Satu.
“Kamu sedang apa, Figo?” tanya Aika lembut sesaat setelah membuka pintu kamar dan mendapati Figo tengah membaca sebuah buku disamping tumpukan buku-buku. “Ini sudah saatnya makan malam,” tambah Aika.
Figo menutup buku diary itu. Aika datang tepat disaat Figo menjangkau kata terakhir. “Aku lagi baca buku-buku diary Ibu,” ucap Figo ringan sambil tersenyum manis kearah Aika. “Ternyata dulu itu kita pasangan yang nyaris sempurna ya, Bu?” ujar Figo. Senyum manisnya lama kelamaan terasa hambar, dan bahkan pahit. Ada seperti air mata yang tertahan di garis bawah matanya.
Aika tercekat, tak tahu harus berkata apa. Ia merasa tenggorokannya terhantam kayu yang sangat besar, dan seperti ada jutaan kerikil yang menyumbat saluran peredaran darahnya. Ia sadar, wajahnya pasti sangat pucat saat itu.
Untuk beberapa saat, hening menguasai ruangan yang tiba-tiba terasa sangat dingin itu. Sampai akhirnya datang seorang anak berusia 6 tahun yang membuyarkan rapat para petinggi kerajaan sunyi itu.
“Ibu, dipanggil Ayah tuh, kata Ayah manggil Mas Figo-nya jangan kelamaan!” tutur anak itu pada Aika, lalu diiringi lirikan kearah kakak tiri yang namanya baru saja ia sebutkan.

Menanti Kabar Sang Ayah

Aku duduk menantang angin malam, sendirian. Ini sudah malam ke-empat aku termangu di balkon rumahku, menunggu Ayah.
Ayahku pergi 5 hari yang lalu kesuatu tempat di luar kota, dan 2 hari setelah keberangkatan Ayah, terjadi gempa hebat yang meluluhlantahkan hampir seluruh daerah di kota kecil itu, kota tempat tujuan Ayah.
Hampir seluruh tetangga iba melihatku, anak laki-laki pincang berusia 10 tahun yang hampir sepekan ini menghabiskan waktunya hanya untuk menunggu kabar kepastian sang ayah.
***
Pagi ini adalah hari kesembilan setelah berita kejadian gempa itu, namun aku belum mendapatkan kabar tentang Ayah. Setelah menyuapi ibu sarapan pagi, aku kembali melakukan ritual yang sudah lebih dari sepekan ini aku lakukan, memeluk lutut di balkon rumahku, tak sabar menanti kepastian kabar Ayah.
Setiap hari, jantungku berdetak berkali-kali lebih cepat jika mengingat betapa dahsyatnya gempa itu. “Apakah Ayah selamat? Atau….” Kalimat semacam itu yang selalu membanjiri hampir seluruh isi kepalaku. Lalu seutas doa terpanjat dalam hatiku, selalu, kemudian kuamini.
Kadang, tubuhku bercucuran keringat dingin, itu ketika aku mengingat masa-masa bersama Ayah. Aku gelisah. Mengapa aku belum juga mendapat kabar tentang Ayah? Lalu seperti biasa, sebait harapan kupanjatkan pada Yang Maha Kuasa.
Tiba-tiba ada keramaian yang membuyarkan lamunanku. Rangkaian kenangan tentang Ayah terurai seiring semakin kencangnya suara sirine ambulance.
Tepat di depan rumahku, sebuah mobil putih berhenti. Tiba-tiba jantungku berdetak sangat cepat, tak terkendali. Denyut nadiku tak berirama lagi. Tanganku gemetar, dan basah.
Sudah 9 hari aku menunggu, dan akhirnya aku akan melihat lagi wajah Ayah. Aku yakin, sangat yakin bahwa Ayah ada didalam mobil putih itu.
Sambil mencoba mengatasi segala macam kekacauan yang kurasakan, aku setengah berlari menuruni jajaran anak-anak tangga yang entah mengapa terasa lebih banyak dari biasanya.
Aku membuka pintu depan. Sepertinya aku sudah ditunggu.
Entah dengan ancang-ancang atau tidak, seorang wanita memelukku erat, sangat erat. Sampai-sampai luka dibagian punggungku yang sudah hampir sembuh, terasa sakit kembali saat wanita itu mengelus-elusnya sambil samar-samar berkata “Sabar ya! Kamu yang sabar!” ditengah-tengah isakannya. Aku merasa ada yang menetes di dahiku, air mata wanita itu rupanya.
Wanita itu melepas pelukannya, tapi akupun tak melakukan apa-apa selain berdiri didepan wanita yang merupakan tetangga terdekatku tadi. Aku menyapu sekeliling rumah dengan pandanganku, ada banyak sekali warga. Wajah mereka murung, sedih, dan bahkan ada beberapa yang pipinya dibasahi air mata.
Kini jantungku seperti berhenti berdetak. Pikiranku mulai menerka-nerka apa yang kira-kira terjadi pada Ayah. Entah bagaimana mimikku saat ini, aku bahkan tak sempat mengaturnya.
Sejurus kemudian, lewatlah 4 orang pria berpakaian putih. Sepertinya para perawat. Mereka membawa… errr… entahlah, aku tak tahu apa nama besi persegi panjang itu, tapi aku tahu diatasnya terdapat seseorang yang seluruh tubuhnya ditutupi selimut. Apakah itu Ayah? Bahkan aku masih bertanya-tanya.
Wanita tadi lalu menuntunku masuk ke dalam ruang tamu rumahku yang saat ini sangat ramai, kontras dengan hatiku yang hampa.
Aku duduk tepat disamping seseorang yang berbaring itu. Pikiranku kosong sesaat, bahkan aku seperti tidak bisa merasakan apa-apa.
Perlahan, wanita tadi membuka selimut yang menutupi wajah… Ayah! Dia benar-benar ayahku! Salah satu korban gempa yang dinyatakan tewas. Wajahnya sangat pucat dan dipenuhi luka-luka mengerikan.
Walaupun aku sudah sempat menerka-nerka, tetap saja berbeda saat aku melihat dengan mata kepalaku sendiri wajah Ayah. Ayahku kini hanya tinggal jasad. Nafasku sepertinya berhenti.
Entah apa yang menjadi pemacu otot-ototku, aku berdiri dan pergi menerobos kerumunan orang-orang yang kutahu pasti merubah pandangannya terhadapku, dari iba, menjadi heran.
Tapi aku tak peduli. Seperti halnya aku tak peduli dengan keadaan tubuhku. Aku tak merasa pincang kali ini, semua luka-luka ditubuhku pun hilang sakitnya. Kurasa, aku mati rasa.
Ah, persetan dengan apa itu yang disebut rasa. Aku terus berlari menuju kamar paling belakang, tempat ibuku berada. Aku tau rumahku memang cukup besar, tapi sepertinya jarak antara ruang tamu dan kamar ibuku tidak sejauh ini. Kali ini jarak kedua ruangan itu, entah mengapa, jauh lebih jauh.
Aku sampai. Lalu masuk kedalam ruangan besar itu. Sambil mengatur nafas, aku berjalan menuju ke salah satu sudut kamar, tempat dimana ibuku duduk lemas disana.
“Ibu…” panggilku pelan sesaat setelah kakiku berhenti melangkah, aku berada kira-kira 1 meter di depan Ibu.
Ibu menatapku kosong.
Kuhela nafas panjang. “Dia sudah pulang,” ucapku kemudian.
Mata Ibu melebar, walau tetap kosong. Wajahnya terangkat. Aku tahu ia sangat terkejut mendengar kabar yang aku berikan. Tampak sedikit kecemasan dari raut wajah pucat pasinya.
“Tanpa nyawa…” aku melanjutkan kalimatku. “Dia… tewas.” Titik. Aku tahu Ibu tak memerlukan penjelasan apa-apa lagi.
Wajah cemas Ibu seketika berubah cerah saat seutas senyum lega menghiasi wajahnya.
Aku pun tersenyum, sama lepasnya dengan senyum Ibu. Senyum yang sudah sangat lama tak nampak diwajahku, ataupun Ibu.
Jujur, aku tidak pernah sebahagia ini. Terlebih bisa melihat wanita yang selama ini menanggung perih yang sangat dalam, akhirnya tersenyum.
Aku menghampiri kursi roda Ibu dan mendoronnya keluar kamar, menuju ruang tamu.
“Gak sia-sia penantian kita, Bu. Akhirnya Tuhan mengabulkan doa kita. Mulai hari ini, hidup kita bebas dari manusia laknat itu,” ucapku pada seorang wanita paruh baya yang cacat dan buta, karena kelakuan setan sang suami.

About Me

My photo
Tangerang, Banten, Indonesia
bukan penulis, bukan pengarang, hanya pecinta keduanya.