Pernahkah
kau mencintai seseorang sampai kau merasa tidak ada lagi orang lain yang kau inginkan
dalam hidupmu kecuali orang itu? Pernahkah kau menyayangi hati yang seakan-akan
kau ingin menjaganya sampai kau mati? Pernahkah kau benar-benar tergila-gila
pada seorang gadis hingga tidak ada sepersekian detik pun dalam hari-harimu
tanpa ia muncul di lintasan benakmu? Pernahkah kau membutuhkan seseorang hingga
kau rela dimusuhi oleh seluruh penduduk dunia asalkan bisa ada disampingnya?
Tidak, penduduk dunia tidak memusuhiku, sebenarnya. Mereka bahkan tidak mengenalku.
Ini hanya perumpamaan, oke?
Semua
perumpamaan itu, kalau saja kau mengerti, seperti itulah cintaku pada Erica
Sharen, seorang gadis yang dua tahun lebih muda dariku. Pasangan idealku, ya,
paling tidak menurutku. Erica adalah gadis sempurna untukku. Ingat, untukku.
Ini pendapat subjektif, aku tidak akan memaksa kau sependapat denganku. Dan
sebaiknya kau memang tidak sefaham dengan pemikiranku. Aku ingin menjadi
satu-satunya orang yang mencintainya, tidak boleh ada orang lain. Tapi rasanya akan
sangat sulit untuk tidak mencintai Erica setelah kau mendengar semua pemaparanku.
Selamat berjuang, teman!
Erica tidak
secantik yang kau pikirkan, jika yang sekarang ada di pikiranmu adalah sosok
wanita tinggi, langsing, semampai, seksi, berambut panjang dan berkaki indah.
Erica juga sangat jauh dari yang kau bayangkan, jika yang muncul dalam imajimu
adalah Shin Se Kyung, Kareena Kapoor, atau bahkan Kristen Stewart. Aku bukan mencoba mengalihkanmu
agar kau tidak menyukai Erica-ku. Tapi sungguh, Erica tidak seperti itu. Ia
tidak terlalu tinggi, tapi tidak bisa dikatakan pendek juga. Ya… akan menjadi
sangat ideal sebenarnya, jika ia menggunakan sepatu dengan tinggi heels
kira-kira 5-7 cm. Rambutnya juga tidak terlalu panjang, tapi juga tidak pendek.
Wajahnya tidak sespektakuler kontestan Putri Indonesia, tapi ia sangat manis.
Manis, kau tau, aku bisa terduduk diam hingga berjam-jam hanya untuk memandangi
wajah ayu yang sangat mendamaikan jiwa itu.
Satu lagi,
satu dari sekian banyak hal yang membuatku tidak bisa hidup tanpanya. Suara
emasnya! Aku tidak tau suaranya benar-benar merdu atau aku sangat menikmatinya
karna aku mencintainya. Seperti raut wajahnya, aku tidak tau wajahnya
benar-benar enak dilihat atau hanya karna aku menggilainya. Tapi keduanya, aku
tidak bisa tidur sebelum melihat foto dan mendengar suaranya. Aku bahkan sering
tertidur sambil mendengarkan rekaman suaranya, bernyanyi untukku.
Aku berdiri
di depan cermin dan tersenyum karna dua hal. Pertama, aku merasa sangat
beruntung masih bisa bernafas di hari yang membahagiakan ini. Kedua, aku merasa
sangat tampan dengan kemeja putih dan jas hitam yang sedang kukenakan. Ah, ya,
dan dasi ungu ini. Sialnya, aku tidak terlalu mahir memakai dasi. Tapi tak
peduli, yang penting dasiku berwarna ungu, warna kesukaan Erica.
Aku sampai
di depan sebuah bangunan mewah dengan pagar tinggi yang dijaga oleh 3 orang security. Aku memberikan senyuman manis
pada para penjaga itu dan masuk dengan hati yang sangat berbunga-bunga dan tangan
yang sedikit basah. Aku benar-benar nervous,
sejujurnya. Aku menaiki tiga anak tangga dan masuk melalui pintu kaca yang
lagi-lagi dijaga oleh seseorang, kali ini wanita. Kurasa aku tidak perlu
berurusan dengan para penjaga itu, juga dengan beberapa orang berseragam yang
berlalu lalang. Mereka terlihat sangat sibuk, dan aku hanya memberikan senyuman
ramah untuk orang-orang yang sangat berjasa itu. Tanpa mereka, hari spesial ini
mungkin tidak akan berjalan lancar.
Aku masuk
ke sebuah ruangan. Tidak terlalu besar, tapi cukup banyak orang di dalamnya.
Beberapa sedang merias wajah, dan beberapa hanya duduk sambil memainkan ponsel
pintarnya. Aku menyapa mereka dengan senyuman. Beberapa orang terlihat cuek,
tapi tidak sedikit yang takjub melihat penampilanku. Tentu saja, jas dan sepatu
yang kukenakan sangat mahal dan berharga, ini peninggalan almarhum ayahku.
Mataku
menyapu ruangan hingga ke sudut yang paling tersudut, tapi tidak juga menemukan
Erica-ku. Aku lalu menaiki beberapa anak tangga lagi, dan sedikit membuka
tirai. Mengintip. Dan itu dia! Permaisuriku! Disana!
Tuhan, apa
ada kata yang lebih “wow” dari sekedar kata “wow”? Aku tercekat, benar-benar
tidak tau harus mengatakan apa. Erica, ia sangat cantik mengenakan gaun krem
selutut itu. Sungguh, aku tidak berbohong. Asal kau tau, aku tidak pernah berbohong
tentang Erica. Jadilah diriku jika kau tidak percaya, kau akan merasa seperti
melayang dibawa oleh malaikat bersayap yang sangat cantik. Tapi 5 detik saja,
jangan terlalu lama menjadi diriku, kau akan mati, kau tidak akan kuat ada di
dalam keindahan ini.
Rambut
hitam kecokelat-cokelatan yang –seperti kukatakan- tidak terlalu panjang tapi
juga tidak pendek itu dibiarkan tergerai. Jepit rambut kupu-kupu yang sangat
lucu bertengger diatas kepalanya, ujung rambutnya sedikit bergelombang dan
dahinya ditutupi poni tipis yang ditata dengan sangat rapi dan manis, tentu
saja itu kerjaan pria setengah wanita di salon langganannya. Keren.
Aku masih
memandanginya dari kejauahan di balik tirai sambil senyum-senyum sendiri saat
tangan kirinya menyilakkan rambut kebelakang telinga kirinya. Itu seksi
banget, serius deh! Seksi melebihi semua wanita yang pernah kulihat telanjang dada di
majalah-majalah yang sering kutemukan di balik pintu gudang SMA-ku dulu.
Rasa
cintaku yang entah sudah seberapa dalam ini semakin bertambah dalam. Aku
mencintainya, sungguh. Kau bisa tanyakan langsung pada Tuhan tentang keakuratan
perasaanku ini.
Erica
tersenyum tipis pada seorang pria yang duduk di balik sebuah grand piano, dan pria itu membalas
senyum Erica sebelum setelahnya mulai memainkan jemari lentiknya di atas tuts
piano dan memperdengarkan alunan musik yang sangat indah. Dan Erica mulai
bernyanyi! Dia menyanyikan lagu itu, lagu yang sering ia lantunkan untukku!
Suaranya…. Aku harus bagaimana? Aku benar-benar nyaris menitikkan air mata
mendengar nyanyiannya.
Tanpa ragu,
aku membuka tirai lebar-lebar kemudian berjalan cepat menghampiri gadisku itu.
Erica. Aku menggapai tangannya dan tanpa basa-basi memeluknya. Ia berhenti
bernyanyi, tapi tidak dengan melodi piano yang tetap terus melantun. Ia sangat
terkejut, aku yakin itu, aku bahkan bisa merasakan detakkan jantungnya yang super
dahsyat dan seperti menyatu dengan detakan jantungku. Aku memeluknya semakin
erat saat kudengar beberapa tamu undangan mulai bergemuruh seperti suara ombak
saat laut sedang pasang. Berisik sekali, tapi tidak jelas apa yang mereka katakan.
Mungkin bereka berdecak kagum atas kejutan yang kuberikan, atau mungkin iri
pada kami. Ya, padaku dan Erica.
Erica
sedikit memberontak, mungkin aku membuatnya sulit bernafas. Kulepaskan
pelukanku. Namun tanpa memberi jeda waktu, aku memegang kedua bahunya dan menarik
wajahnya ke wajahku, bibirnya ke bibirku. Tuhan, tolong hentikan waktu, kumohon….
“SECURITY!!!” Suara itu berasal dari si
pianis, sepertinya. Iya, suara piano sudah tidak menggema lagi, aku baru menyadarinya.
Aku bisa merasakan Erica mendorongku. Sakit sekali saat mic yang tadi ia gunakan untuk bernyanyi, sekarang digunakan untuk
memukul-mukul dadaku. Walaupun pukulan manja, tetap saja sakit.
Tak lama,
sekitar lima orang laki-laki menarikku dengan paksa. Memisahkanku dari Erica.
Aku berusaha memberontak, tapi genggaman orang-orang itu sangat kuat. Mereka menyeretku
dengan sangat kasar. Dan terpaksa, aku harus meninggalkan Erica yang wajahnya sangat
murung sekarang. Kasihan sekali, Erica menangis. Bagaimana ini? Aku
meninggalkan gadisku dalam keadaan menangis. Orang-orang ini… keparat! Aku
kesal setengah mati, tapi tak mampu melakukan apa-apa. KEPARAT!!!
***
Aku
mendengar ada yang menyebut-nyebut nama Erica-ku. Perlahan, kubuka mataku. Aku
terbangun. Siapa yang sedang membicarakan Erica? Aku mencari hingga menemukan
dua orang sedang berdiri tak terlalu jauh dari tempat tidurku. Salah satunya adalah
Jonathan, kakak laki-laki yang hanya berjarak 2 tahun denganku. Dan yang sedang
bicara dengannya adalah seorang wanita, tapi aku tak dapat melihat wajahnya dengan
cukup jelas.
“Saya bener-bener
minta maaf,” ucap Nathan, wajahnya terlihat sangat murung. Ada apa ini?
“Kami yang
minta maaf,” tanggap wanita di depannya. “Kami sangat menyesal atas semua kejadian
ini,” lanjutnya.
Apa yang
sedang mereka bicarakan? Selain aku tidak terlalu jelas mendengar, aku juga
tidak mengerti topik apa yang sedang mereka bicarakan. Kenapa tampak begitu
serius?
“Sejak tau
bahwa Jevan kabur, kami langsung mengerahkan tim pencari. Kami juga sedang
mencari Jevan saat kejadian itu, tapi kami tidak sama sekali menyangka dia
pergi ke stasiun TV dan bahkan merusak acara sampai separah itu,” tutur wanita
itu. “Walaupun itu bukan program live show, tapi sangat besar kemungkinan pihak stasiun TV atau mungkin management Erica Sharen sendiri akan
menuntut kami, atau mungkin kita,” lanjutnya.
Ada namaku,
dan ada nama gadisku. Tapi aku tetap tidak mengerti.
Terdengar
Nathan menarik nafas dan menghembuskannya bersamaan dengan entah beban apa dalam karbon
dioksidanya. “Terus gimana keadaan Erica sekarang?” tanya Nathan, dan itu pula pertanyaanku.
“Shock cukup parah. Kabarnya dia tidak
mau bertemu siapapun dan terus mengurung diri di kamarnya,” jawab si wanita.
APA? ERICA
MENGURUNG DIRI? APA TERJADI SESUATU PADANYA? Aku harus segera menemuinya. Aku
harus per…. Ah, SIAL, SIAPA ORANG GILA YANG MENGIKAT KAKI DAN TANGANKU DENGAN RANTAI SEPERTI INI? KEPARAT!
GILAAAAAAAAA!!!! endingnya cool! unexpected seperti biasa!
ReplyDeletekamu doyan banget ya ngalihin pemikiran orang.
tadinya sempat mikir doi mau nikah ama Erica tapi mati, ada unsur thrillernya gitu. eh ternyata, maen psikologis. another fine writing!!!
lagi-lagi sejujurnya ini cerita yang aku ngeraguin kejutan di endingnya hahaha
ReplyDeleteemang cerita yang kamu raguin endingnya di mana aja? semua cerita kamu yang pernah aku baca *termasuk fanfict ic tak berjudul itu* endingnya keren2 kok.
DeleteHAHAHAHAHAHAHA AKU PERNAH BIKIN YA -__--
Delete