Tuesday, October 23, 2012

Cerita Cinta Pertama

Another challenge nih. Setelah Mr. Ladang Mentega alias Diqal (pake Q bukan pake K) nantang buat bikin cerita 'NOL'-nya dalam POV tokoh lain, sekarang dia nantangin buat bikin cerita happy ending. HAPPY ENDING? Denger kata itu, gue langsung ngecek isi blog gue dan ternyata gue emang gak menemukan cerita happy ending sama sekali. Oke, happy ending sih, tapi happy dalam sudut pandang yang gimana dulu. Dan ini hasilnya. Iya, spoiler, cerita ini bakal happy ending. Dan ternyata susah banget bikin cerita berakhir bahagia (yang dari awal orang udah tau kalo endingnya bakal bahagia, TAPI HARUS TWIST. Susah banget. Jadi, maklum kalo hasilnya kurang maksimal. Enjoy~

~~~

“Jadi… kamu mau jadi penulis?” tanya pria berkumis tipis di depanku, salah seorang petinggi di sebuah penerbitan ternama.
Aku mengangguk pelan.
Laki-laki berkacamata yang terhalang sebuah meja kerja berlapis kaca hitam itu ikut mengangguk-angguk. “Pernah nulis cerita dan dimuat di majalah?” tanyanya lagi.
Aku menggeleng pelan.
“Gak pernah?” tanyanya lagi, memastikan, atau entah apa namanya, yang pasti aku tak suka nada bicaranya kali ini. Seperti meremehkan.
“Mungkin belum, bukan enggak,” tanggapku, berusaha sesopan mungkin.
Pria di hadapanku tertawa. Astaga, tawanya pun tawa meremehkan.
“Katanya kamu bawa tulisan karya kamu untuk saya baca?” tanya laki-laki itu.
“Oh, iya iya, saya bawa,” ucapku sambil memberikan beberapa lembar kertas yang sedari tadi kuletakkan di atas pahaku.
Ia mengambilnya, dan dengan wajah serius mulai membacanya.


Tentang Cinta Pertama
Aku setuju pada bait pertama lagu Mas Ari Lasso yang judulnya Patah Hati. Saat patah hati, kau memang harus minta tolong pada Tuhan. Hanya Dia satu-satunya yang bisa menolongmu, karna Dia yang memiliki kemampuan untuk meremukkan, meruntuhkan, menghancurkan, bahkan menonaktifkan hatimu. Alasannya memang orang lain, tapi yang melakukannya adalah Tuhanmu.
Hari ini aku mengadu pada Tuhan. Aku sedang patah hati. Dan… ternyata seperti ini rasanya. Sakit. Ya, memang seperti seakan-akan hatimu benar-benar patah. Aku baru pertama kali merasakan sakit hati, karena aku baru bertama kali juga merasakan jatuh cinta.
Adalah Andra, seorang laki-laki kelas sebelah yang sudah kusuka sejak semester tiga. Awalnya aku menyukainya karena wajahnya sangat mirip dengan salah satu bintang film idolaku. Aku mengatakan hal itu pada teman-temanku, dan mereka semua mengiyakan. Lama kelamaan, kurasa aku benar-benar menyukainya. Menyukainya dengan benar-benar. Kurasa aku jatuh cinta.
Aku mulai mencurigai bahwa mungkin saja aku jatuh cinta karena aku merasa hampa jika sehari saja pergi ke kampus dan tidak bertemu dengannya. Melihat senyumnya mulai menjadi kebutuhanku. Andra tidak mengenalku sama sekali karena kami memang tidak pernah berinteraksi satu sama lain. Aku hanya memerhatikannya secara diam-diam. Setiap hari, jika ia sedang berada di kampus. Aku bahkan mencari tau jadwal kuliahnya, dan datang di hari ia masuk kuliah meskipun aku tak ada kuliah hari itu. Hanya untuk melihatnya dari kejauhan. Melihatnya, dan merasakan iri pada semua wanita yang berbincang-bincang akrab dengannya. Mengawasinya, dan merasa teriris tiap kali ada wanita yang berbagi senyum dengannya. Mengamatinya, dan menyumpahi semua orang yang ia mintai tolong agar Andra hanya meminta bantuan padaku saja.
Apa? Meminta bantuan padaku? Aku bahkan tak sama sekali berani mendekati Andra. Sebenarnya aku bukan tipe anak pemalu, aku punya cukup banyak teman di kampus. Tapi mendekati Andra adalah hal yang berbeda. Aku selalu merasa bodoh jika ada di dekatnya. Kata orang, cinta pertama itu tidak mungkin berhasil. Aku baru faham betul landasan dari teori itu. Ternyata ketika seseorang baru pertama kali mencintai lawan jenisnya, ia akan sangat merasa kerepotan menghadapi perasaannya sendiri. Seperti yang kualami pada cinta pertamaku ini, jangankan mengajaknya berkenalan, aku bahkan tidak fokus pada langkah kakiku kapapun aku berpapasan dengannya. Mata Andra seakan mengeluarkan cahaya yang mampu mengacaukan batinku, membuat jantungku berdetak jauh lebih cepat, membuat hatiku bergetar dan tanganku gemetar. Kalau saja aku tidak menahan diri untuk diam saja setiap bertemu dengan Andra, aku pasti akan melakukan hal-hal yang memalukan.
Cinta bisa membuat orang terlihat bodoh. Aku setuju. Ini untuk pertama kalinya aku jatuh cinta, dan untuk pertama kali pula aku merasa terlahir sebagai orang bodoh. Persetan IP-ku selalu diatas 3,5 dan aku dikenal cukup banyak dosen, aku tetaplah aku yang bodoh untuk segala hal yang berhubungan dengan Andra.
Andra. Andra. Andra. Andra. Andra. Andra. Andra. Menyebut namanya saja membuatku gugup. Aku benci gugup, tapi aku suka menyebut namanya. Bahkan sangat suka. Andaikan saja aku bisa menyebutkan nama itu di depan pemiliknya. Maksudku, andai aku bisa memangilnya, apalagi berbincang-bincang dengannya, atau bahkan berteman dengannya. Ah… ternyata cinta lebih rumit dari yang kuduga. Pantas banyak orang yang gila karena cinta.
Kau juga bisa bilang aku gila. Ya, mungkin aku memang gila. Aku tak henti-hentinya mencari tau segala hal tentang Andra. Tanggal lahirnya, alamat rumahnya, golongan darahnya, club bola favoritnya (walaupun ternyata ia tidak suka sepak bola), warna kesukaannya, hobinya, dan bahkan apa saja yang ia lakukan di akhir pekan. Aku mencari tahu semua itu melalui semua akunnya di semua situs jejaring sosial, blognya, dan beberapa orang yang kukenal yang ternyata juga mengenalnya. Tentu saja aku mencari tau dengan cara yang sangat lembut sehingga tak ada seorangpun yang tau bahwa aku menyukainya. Ya, tak ada seorangpun, kecuali salah seorang sahabatku, dan dialah yang membuat semua kacau berantakan.
Ia memberi tahu Andra bahwa ada ‘seseorang’ yang sangat menggilainya sejak setahun yang lalu. Dan dia bahkan menyebutkan namaku, sekaligus menunjukkan pada Andra siapa aku. Sial. Kupikir hari itu adalah hari terakhir masa kepegawaianku di kantor kekuasaan Tuhan ini. Aku ingin mati saat itu juga. Awalnya aku tak tau apa-apa. Hari itu tiba-tiba saja Andra menyapaku dan tersenyum padaku. Saat itu aku tak yakin apakah kakiku benar-benar menempel pada lantai atau tidak. Kurasa tidak. Iya, aku memang memakai sepatu, tapi maksudku alas sepatuku bahkan tidak menempel pada lantai. Aku seperti melayang, terbang ke langit ketujuh (kalau saja gedung kampusku tak beratap).
Aku senang bukan main. Kebodohanku semakin menjadi. Aku berlari saat itu, berlari mencari sahabatku dan langsung menceritakan momen ajaib yang baru saja kualami. Dan saat kutau bahwa ternyata ia sudah memberi tau Andra tentang perasaanku…. Aku bahkan tidak tau bagaimana harus menjelaskannya. Aku rasanya ingin membunuhnya sekarang juga. Ingin kulempar badan kerempengnya keluar jendela dan membiarkan ia jatuh dari lantai 6 kampusku dan mati tanpa ada seorangpun yang melayatnya. Teman kurang ajar! KAU BENAR-BENAR MEMBUNUHKU!!!
Sejak saat itu, aku tak berani menampakkan diri di depan Andra. Aku selalu menghindar setiap kali hendak berpapasan dengannya. Kalau saja uangku melimpah, mungkin aku sudah pindah dari universitas ini, atau mungkin aku akan pindah dari negeri ini. Aku bingung, aku harus meletakkan wajahku dimana jika bertemu dengannya? Saku? Layar ponselku sangat lebar dan memakan tempat di sakuku. Tas? Tasku sudah penuh terisi buku dan perlengkapan wajib wanita. Dimana? Dihati Andra? Ah, kau bercanda! Aku sudah nyaris mati dan kau masih sempat-sempatnya bercanda?
Dan aku pun berhenti membututi kabar Andra dari semua akun jejaring sosialnya….
Bukan, kali ini bukan karena aku malu karena Andra sudah mengetahui perasaanku. Tapi karena belakangan Andra sering membicarakan wanita, cinta, rindu, dan hal lain semacamnya. Membuatku ingin mati untuk yang kesekian kalinya. Sakit. Ya, itulah yang kurasakan setiap kali Andra membicarakan tentang hati dan cinta yang ada di dalamnya. Kali ini jauh lebih sakit dibanding saat Andra belum mengenalku sama sekali. Kali ini aku benar-benar cemburu. Aku patah hati. Sakit sekali….

Pria berkemeja biru muda dan berdasi biru dongker itu meletakkan kertasku di atas mejanya seraya bangun dari sandaran kursinya.
“Udah selesai bacanya, Pak?” tanyaku takut-takut, setelah menunggu lama, sangat lama, rasanya seperti berabad-abad saja.
“Belum,” jawabnya santai. “Tapi saya udah tau pasti endingnya si ‘aku’ jadi pacarnya si tokoh laki-lakinya kan?” tebaknya, lalu tertawa. Entah tawa yang menandakan apa.
“Bahkan menikah,” jawabku.
“Ini cerpen atau diary?” tanyanya, lalu menghela nafas.
“Yaaa bisa dibilang diary sih, Pak, soalnya itu based on true story,” ungkapku.
“Oh ya?” ia mengangkat kedua alisnya. Terdengar antusias. “Terus saya harus bilang wow atau gak usah nih?” lanjutnya meledek.
Sial.
Tok! Tok! Tok! Lalu pintu terbuka dan seorang wanita masuk ke ruangan.
“Permisi, Pak! Ada waktu? Ada editor yang mau ketemu,” ucap wanita itu.
“Oh, suruh masuk aja, saya lagi gak sibuk kok,” jawabnya.
Wanita itu tersenyum pada bosnya, lalu padaku, basa-basi pasti, kemudian keluar lagi. Tak lama, seorang laki-laki masuk, mungkin ini adalah editor yang dimaksud wanita tadi.
“Sore, Mas!” sapa laki-laki yang baru masuk itu. Ia tersenyum pada si empunya ruangan, sebelum kemudian mengalihkan pandangannya ke arahku.
“Loh? Ada Mbak Silva?” ujarnya. “Eh, maksud saya Nyonya Andra,” laki-laki itu cepat-cepat meralat kalimatnya, kemudian tertawa akrab. “Ada konferensi pengantin baru nih, ceritanya?”
Aku ikut tertawa, walaupun pelan.
“Diksimu jelek, penjabarannya juga gak bagus. Kamu gak cocok jadi penulis, mending buatin saya kopi aja sana!” perintah laki-laki yang baru saja membaca cerita buatanku itu.
“Payah! Selera kamu aja yang jelek!” protesku lengkap dengan wajah menyebalkan yang paling menyebalkan yang aku punya. Aku berdiri dan melangkah menuju sudut ruangan. “Oke, oke, secangkir kopi mocca tanpa gula, spesial untuk Tuan Andra Praja!” aku setengah berteriak sambil mengambil cangkir yang di letakkan terbalik di meja di sudut ruangan itu.
“Kata Mas Andra kopi buatan Mbak Silva enak. Saya juga suka kopi mocca loh!”
Apa-apaan….

9 comments:

  1. "Terus saya harus bilang wow atau gak usah nih" favourite line!

    hahahahahahha.

    simply sweet and well-written.

    TWISTNYA KENA BANGET. aku kira Silva penderita skizofrenia :p

    ReplyDelete
  2. SUSAH BANGET TERNYATA BIKIN HAPPY ENDING YANG NGETWIST tau gak sih -_-
    Pantesan ceritaku endingnya gak ada yang enak haha.

    Kamu mulai sering kejebak sama strereotype yang kamu konstruk sendiri sepertinya. Jadi suudzon mulu sama tokoh-tokohku -______- haha.

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya! emang susah banget!!!
      ceritamu endingnya enak2 *in a different way of enak*

      iyaaaa. keseringan bikin makhluk2 skizofrenia sih kamuu. kalo nggak skizo, gila.

      Delete
    2. apalagi kalo dari awal udah dikasih tau cerita ini bakal happy ending hhhh -_-

      gak juga sih yeee :p

      Delete
    3. tapi tetep aja nggak nyangka kalo yang saling ngobrol itu si Andra sama Silva. silva kaya nama cowo tau. haha.

      Delete
    4. Anak sodaraku yang baru lahir namanya Silvania panggilannya Silva hahaha *beneran keabisan nama-_-*

      Asa-mu yang namanya cewek banget tuh hahahaha.

      eh katanya kalo nulis fiksi gak boleh pake nama unisex ya haha

      Delete
    5. Asa-ku cowok!!! ah he's not the real asa, tho.

      emang iya ga boleh? wah baru tau aku.-_-

      nantikan kehadiran fic baru ku yang bergenre thriller ya :p

      Delete
    6. bukannya gak boleh sih tapi sebaiknya dihindarin soalnya bisa ngelemahin karakter tokoh tapi tergantung penulisnya juga sih hahaha

      okay di tunggu!!!!!

      Delete
    7. oh iya bener juga ya.... hm... I'll do it later..

      ini sequel sesungguhnya dari beyondlove :D haha

      tapi jangan berekspektasi tinggi-tinggi ya.

      Delete

About Me

My photo
Tangerang, Banten, Indonesia
bukan penulis, bukan pengarang, hanya pecinta keduanya.