~~~
“Jadi… kamu mau jadi penulis?” tanya pria
berkumis tipis di depanku, salah seorang petinggi di sebuah penerbitan ternama.
Aku mengangguk pelan.
Laki-laki berkacamata yang terhalang sebuah
meja kerja berlapis kaca hitam itu ikut mengangguk-angguk. “Pernah nulis cerita
dan dimuat di majalah?” tanyanya lagi.
Aku menggeleng pelan.
“Gak pernah?” tanyanya lagi, memastikan, atau
entah apa namanya, yang pasti aku tak suka nada bicaranya kali ini. Seperti meremehkan.
“Mungkin belum, bukan enggak,” tanggapku, berusaha
sesopan mungkin.
Pria di hadapanku tertawa. Astaga, tawanya pun
tawa meremehkan.
“Katanya kamu bawa tulisan karya kamu untuk saya
baca?” tanya laki-laki itu.
“Oh, iya iya, saya bawa,” ucapku sambil
memberikan beberapa lembar kertas yang sedari tadi kuletakkan di atas pahaku.
Ia mengambilnya, dan dengan wajah serius mulai
membacanya.
Tentang Cinta Pertama
Aku setuju pada bait
pertama lagu Mas Ari Lasso yang judulnya Patah Hati. Saat patah hati, kau
memang harus minta tolong pada Tuhan. Hanya Dia satu-satunya yang bisa
menolongmu, karna Dia yang memiliki kemampuan untuk meremukkan, meruntuhkan,
menghancurkan, bahkan menonaktifkan hatimu. Alasannya memang orang lain, tapi
yang melakukannya adalah Tuhanmu.
Hari ini aku mengadu
pada Tuhan. Aku sedang patah hati. Dan… ternyata seperti ini rasanya. Sakit. Ya,
memang seperti seakan-akan hatimu benar-benar patah. Aku baru pertama kali
merasakan sakit hati, karena aku baru bertama kali juga merasakan jatuh cinta.
Adalah Andra, seorang
laki-laki kelas sebelah yang sudah kusuka sejak semester tiga. Awalnya aku
menyukainya karena wajahnya sangat mirip dengan salah satu bintang film
idolaku. Aku mengatakan hal itu pada teman-temanku, dan mereka semua
mengiyakan. Lama kelamaan, kurasa aku benar-benar menyukainya. Menyukainya dengan
benar-benar. Kurasa aku jatuh cinta.
Aku mulai mencurigai
bahwa mungkin saja aku jatuh cinta karena aku merasa hampa jika sehari saja pergi
ke kampus dan tidak bertemu dengannya. Melihat senyumnya mulai menjadi
kebutuhanku. Andra tidak mengenalku sama sekali karena kami memang tidak pernah
berinteraksi satu sama lain. Aku hanya memerhatikannya secara diam-diam. Setiap
hari, jika ia sedang berada di kampus. Aku bahkan mencari tau jadwal kuliahnya,
dan datang di hari ia masuk kuliah meskipun aku tak ada kuliah hari itu. Hanya untuk
melihatnya dari kejauhan. Melihatnya, dan merasakan iri pada semua wanita yang
berbincang-bincang akrab dengannya. Mengawasinya, dan merasa teriris tiap kali
ada wanita yang berbagi senyum dengannya. Mengamatinya, dan menyumpahi semua
orang yang ia mintai tolong agar Andra hanya meminta bantuan padaku saja.
Apa? Meminta bantuan
padaku? Aku bahkan tak sama sekali berani mendekati Andra. Sebenarnya aku bukan
tipe anak pemalu, aku punya cukup banyak teman di kampus. Tapi mendekati Andra
adalah hal yang berbeda. Aku selalu merasa bodoh jika ada di dekatnya. Kata
orang, cinta pertama itu tidak mungkin berhasil. Aku baru faham betul landasan
dari teori itu. Ternyata ketika seseorang baru pertama kali mencintai lawan
jenisnya, ia akan sangat merasa kerepotan menghadapi perasaannya sendiri. Seperti
yang kualami pada cinta pertamaku ini, jangankan mengajaknya berkenalan, aku
bahkan tidak fokus pada langkah kakiku kapapun aku berpapasan dengannya. Mata Andra
seakan mengeluarkan cahaya yang mampu mengacaukan batinku, membuat jantungku
berdetak jauh lebih cepat, membuat hatiku bergetar dan tanganku gemetar. Kalau saja
aku tidak menahan diri untuk diam saja setiap bertemu dengan Andra, aku pasti
akan melakukan hal-hal yang memalukan.
Cinta bisa membuat
orang terlihat bodoh. Aku setuju. Ini untuk pertama kalinya aku jatuh cinta,
dan untuk pertama kali pula aku merasa terlahir sebagai orang bodoh. Persetan IP-ku
selalu diatas 3,5 dan aku dikenal cukup banyak dosen, aku tetaplah aku yang
bodoh untuk segala hal yang berhubungan dengan Andra.
Andra. Andra. Andra. Andra.
Andra. Andra. Andra. Menyebut namanya saja membuatku gugup. Aku benci gugup,
tapi aku suka menyebut namanya. Bahkan sangat suka. Andaikan saja aku bisa
menyebutkan nama itu di depan pemiliknya. Maksudku, andai aku bisa memangilnya,
apalagi berbincang-bincang dengannya, atau bahkan berteman dengannya. Ah…
ternyata cinta lebih rumit dari yang kuduga. Pantas banyak orang yang gila
karena cinta.
Kau juga bisa bilang
aku gila. Ya, mungkin aku memang gila. Aku tak henti-hentinya mencari tau segala
hal tentang Andra. Tanggal lahirnya, alamat rumahnya, golongan darahnya, club
bola favoritnya (walaupun ternyata ia tidak suka sepak bola), warna
kesukaannya, hobinya, dan bahkan apa saja yang ia lakukan di akhir pekan. Aku mencari
tahu semua itu melalui semua akunnya di semua situs jejaring sosial, blognya,
dan beberapa orang yang kukenal yang ternyata juga mengenalnya. Tentu saja aku
mencari tau dengan cara yang sangat lembut sehingga tak ada seorangpun yang tau
bahwa aku menyukainya. Ya, tak ada seorangpun, kecuali salah seorang sahabatku,
dan dialah yang membuat semua kacau berantakan.
Ia memberi tahu Andra
bahwa ada ‘seseorang’ yang sangat menggilainya sejak setahun yang lalu. Dan dia
bahkan menyebutkan namaku, sekaligus menunjukkan pada Andra siapa aku. Sial. Kupikir
hari itu adalah hari terakhir masa kepegawaianku di kantor kekuasaan Tuhan ini.
Aku ingin mati saat itu juga. Awalnya aku tak tau apa-apa. Hari itu tiba-tiba
saja Andra menyapaku dan tersenyum padaku. Saat itu aku tak yakin apakah kakiku
benar-benar menempel pada lantai atau tidak. Kurasa tidak. Iya, aku memang
memakai sepatu, tapi maksudku alas sepatuku bahkan tidak menempel pada lantai. Aku
seperti melayang, terbang ke langit ketujuh (kalau saja gedung kampusku tak
beratap).
Aku senang bukan main.
Kebodohanku semakin menjadi. Aku berlari saat itu, berlari mencari sahabatku dan
langsung menceritakan momen ajaib yang baru saja kualami. Dan saat kutau bahwa ternyata
ia sudah memberi tau Andra tentang perasaanku…. Aku bahkan tidak tau bagaimana
harus menjelaskannya. Aku rasanya ingin membunuhnya sekarang juga. Ingin kulempar
badan kerempengnya keluar jendela dan membiarkan ia jatuh dari lantai 6
kampusku dan mati tanpa ada seorangpun yang melayatnya. Teman kurang ajar! KAU
BENAR-BENAR MEMBUNUHKU!!!
Sejak saat itu, aku
tak berani menampakkan diri di depan Andra. Aku selalu menghindar setiap kali
hendak berpapasan dengannya. Kalau saja uangku melimpah, mungkin aku sudah
pindah dari universitas ini, atau mungkin aku akan pindah dari negeri ini. Aku bingung,
aku harus meletakkan wajahku dimana jika bertemu dengannya? Saku? Layar ponselku
sangat lebar dan memakan tempat di sakuku. Tas? Tasku sudah penuh terisi buku
dan perlengkapan wajib wanita. Dimana? Dihati Andra? Ah, kau bercanda! Aku sudah
nyaris mati dan kau masih sempat-sempatnya bercanda?
Dan aku pun berhenti
membututi kabar Andra dari semua akun jejaring sosialnya….
Bukan, kali ini bukan
karena aku malu karena Andra sudah mengetahui perasaanku. Tapi karena
belakangan Andra sering membicarakan wanita, cinta, rindu, dan hal lain
semacamnya. Membuatku ingin mati untuk yang kesekian kalinya. Sakit. Ya, itulah
yang kurasakan setiap kali Andra membicarakan tentang hati dan cinta yang ada
di dalamnya. Kali ini jauh lebih sakit dibanding saat Andra belum mengenalku
sama sekali. Kali ini aku benar-benar cemburu. Aku patah hati. Sakit sekali….
Pria berkemeja biru muda dan berdasi biru
dongker itu meletakkan kertasku di atas mejanya seraya bangun dari sandaran
kursinya.
“Udah selesai bacanya, Pak?” tanyaku
takut-takut, setelah menunggu lama, sangat lama, rasanya seperti berabad-abad
saja.
“Belum,” jawabnya santai. “Tapi saya udah tau
pasti endingnya si ‘aku’ jadi
pacarnya si tokoh laki-lakinya kan?” tebaknya, lalu tertawa. Entah tawa yang
menandakan apa.
“Bahkan menikah,” jawabku.
“Ini cerpen atau diary?” tanyanya, lalu menghela nafas.
“Yaaa bisa dibilang diary sih, Pak, soalnya itu based
on true story,” ungkapku.
“Oh ya?” ia mengangkat kedua alisnya. Terdengar
antusias. “Terus saya harus bilang wow atau gak usah nih?” lanjutnya meledek.
Sial.
Tok! Tok! Tok! Lalu pintu terbuka dan seorang
wanita masuk ke ruangan.
“Permisi, Pak! Ada waktu? Ada editor yang mau
ketemu,” ucap wanita itu.
“Oh, suruh masuk aja, saya lagi gak sibuk kok,”
jawabnya.
Wanita itu tersenyum pada bosnya, lalu padaku,
basa-basi pasti, kemudian keluar lagi. Tak lama, seorang laki-laki masuk,
mungkin ini adalah editor yang dimaksud wanita tadi.
“Sore, Mas!” sapa laki-laki yang baru masuk itu.
Ia tersenyum pada si empunya ruangan, sebelum kemudian mengalihkan pandangannya
ke arahku.
“Loh? Ada Mbak Silva?” ujarnya. “Eh, maksud
saya Nyonya Andra,” laki-laki itu cepat-cepat meralat kalimatnya, kemudian
tertawa akrab. “Ada konferensi pengantin baru nih, ceritanya?”
Aku ikut tertawa, walaupun pelan.
“Diksimu jelek, penjabarannya juga gak bagus. Kamu
gak cocok jadi penulis, mending buatin saya kopi aja sana!” perintah laki-laki
yang baru saja membaca cerita buatanku itu.
“Payah! Selera kamu aja yang jelek!” protesku
lengkap dengan wajah menyebalkan yang paling menyebalkan yang aku punya. Aku berdiri
dan melangkah menuju sudut ruangan. “Oke, oke, secangkir kopi mocca tanpa gula,
spesial untuk Tuan Andra Praja!” aku setengah berteriak sambil mengambil cangkir
yang di letakkan terbalik di meja di sudut ruangan itu.
“Kata Mas Andra kopi buatan Mbak Silva enak. Saya
juga suka kopi mocca loh!”
Apa-apaan….
"Terus saya harus bilang wow atau gak usah nih" favourite line!
ReplyDeletehahahahahahha.
simply sweet and well-written.
TWISTNYA KENA BANGET. aku kira Silva penderita skizofrenia :p
SUSAH BANGET TERNYATA BIKIN HAPPY ENDING YANG NGETWIST tau gak sih -_-
ReplyDeletePantesan ceritaku endingnya gak ada yang enak haha.
Kamu mulai sering kejebak sama strereotype yang kamu konstruk sendiri sepertinya. Jadi suudzon mulu sama tokoh-tokohku -______- haha.
iya! emang susah banget!!!
Deleteceritamu endingnya enak2 *in a different way of enak*
iyaaaa. keseringan bikin makhluk2 skizofrenia sih kamuu. kalo nggak skizo, gila.
apalagi kalo dari awal udah dikasih tau cerita ini bakal happy ending hhhh -_-
Deletegak juga sih yeee :p
tapi tetep aja nggak nyangka kalo yang saling ngobrol itu si Andra sama Silva. silva kaya nama cowo tau. haha.
DeleteAnak sodaraku yang baru lahir namanya Silvania panggilannya Silva hahaha *beneran keabisan nama-_-*
DeleteAsa-mu yang namanya cewek banget tuh hahahaha.
eh katanya kalo nulis fiksi gak boleh pake nama unisex ya haha
Asa-ku cowok!!! ah he's not the real asa, tho.
Deleteemang iya ga boleh? wah baru tau aku.-_-
nantikan kehadiran fic baru ku yang bergenre thriller ya :p
bukannya gak boleh sih tapi sebaiknya dihindarin soalnya bisa ngelemahin karakter tokoh tapi tergantung penulisnya juga sih hahaha
Deleteokay di tunggu!!!!!
oh iya bener juga ya.... hm... I'll do it later..
Deleteini sequel sesungguhnya dari beyondlove :D haha
tapi jangan berekspektasi tinggi-tinggi ya.