Dulu. Sebuah kata yang sungguh sangat memilukan. Berani taruhan, apapun yang diiringi dengan kata itu akan berujung dengan kepedihan. Paling tidak, itu yang selalu terjadi padaku.
Aku berjalan diantara pohon-pohon pinus yang berbaris rapi dan tegap. Angin sore yang membelai rambutku sangatlah sejuk. Namun tak jua menyejukkan hatiku yang hampa terbelenggu oleh semua kenangan. Dulu. Dan sangat menyakitkan.
Aku menepi, dan bersandar disalah satu pohon ditaman itu. Dulu, aku pernah melihat orang yang paling kucintai menggendong gadis lain di seberang tempat ini. Aku mendekatinya dengan hati galau yang tak bisa kujelaskan. Kai dengan cepat menjelaskan bahwa gadis itu adalah temannya, dan kakinya terluka sehingga ia harus menggendongnya. Tapi aku kalut. Marah. Emosi. Aku berlari meninggalkannya saat itu. Dan sekarang, aku hanya tertawa kecil mengingatnya. Seperti melihat lagi adegan-adegan itu didepan mataku. Kenangan pahit. Menyakitkan. Bukan karena perempuan itu, tapi karena aku tak bisa lagi menunjukkan rasa cemburuku dihadapannya seperti dulu.
Aku bangkit dari bayang-bayang itu, kembali melangkahkan kakiku dan beranjak menuju bangku panjang kosong disalah satu tepi jalan. Kuhampiri, lalu aku duduk diatasnya. Diam. Diserbu jutaan keping rerun masa lalu. Aku pernah duduk disini bersama Kai. Bukan pernah, tapi sangat sering. Kai sangat suka merangkulku dan membiarkanku bersandar dibahunya. Sangat menenangkan. Aku lalu mengarahkan pandanganku pada seorang penjual permen gula diseberangku. Kai sering membelikanku permen itu. Kai sangat baik. Dia yang terbaik yang pernah kumiliki. Dan sekarang aku merindukannya. Merindukan Kai dan semua kenangan bersamanya. Kenangan manis yang sekarang terasa sangat menyakitkan.
Aku terperangkap pada perbedaan masa dimana sekarang semua itu benar-benar hanya masa lalu yang aku tak bisa kembali kesana. Tak bisa kembali pada Kai. Kami telah berpisah, dan semua orang tau itu. Sedang apa Kai sekarang, bagaimana keadaannya, apa ia baik-baik saja, apa ia merasa kesepian tanpaku, dan pertanyaan lain semacam itu selalu memenuhi benakku. Semua yang terjadi dimasa lalu benar-benar mengiris hatiku saat aku menyadari bahwa semua itu benar-benar sudah berlalu. Tak ada lagi Kai. Tak ada lagi kami.
Aku bangun dan kembali menyusuri jalan taman yang dipenuhi daun-daun kering yang berguguran. Terus berjalan hingga ujung taman. Berbelok, aku masuk kesebuah taman lain diujung taman yang baru saja kulewati. Merah tanah dan hujau rumput disepanjang pandangan mataku. Aku terus berjalan menyusuri jalan setapak taman itu dan menghampiri seseorang yang sedang berdiri seorang diri disana.
Aku berhenti tepat disampingnya. Kutatap wajah laki-laki itu. Matanya merah dan berair. Nafasnya tersenggal.
“Aku baik-baik saja,” tutur pria itu, lirih. “Bahkan sangat baik untuk terus mencintaimu hingga seratus tahun kedepan,” lanjutnya sambil menahan isak.
Aku menatapnya sendu. Kai-ku.
“Jangan pernah merasa kesepian, aku akan terus berada disisimu,” ujarnya lagi seraya meletakkan satu buket bunga diatas batu nisan bertuliskan namaku.
Sesaat bergeming, ia lalu melangkah pergi setelah sebelumnya menyeka air mata yang nyaris membasahi pipinya.