Tuesday, January 24, 2012

DULU


Dulu. Sebuah kata yang sungguh sangat memilukan. Berani taruhan, apapun yang diiringi dengan kata itu akan berujung dengan kepedihan. Paling tidak, itu yang selalu terjadi padaku.

Aku berjalan diantara pohon-pohon pinus yang berbaris rapi dan tegap. Angin sore yang membelai rambutku sangatlah sejuk. Namun tak jua menyejukkan hatiku yang hampa terbelenggu oleh semua kenangan. Dulu. Dan sangat menyakitkan.

Aku menepi, dan bersandar disalah satu pohon ditaman itu. Dulu, aku pernah melihat orang yang paling kucintai menggendong gadis lain di seberang tempat ini. Aku mendekatinya dengan hati galau yang tak bisa kujelaskan. Kai dengan cepat menjelaskan bahwa gadis itu adalah temannya, dan kakinya terluka sehingga ia harus menggendongnya. Tapi aku kalut. Marah. Emosi. Aku berlari meninggalkannya saat itu. Dan sekarang, aku hanya tertawa kecil mengingatnya. Seperti melihat lagi adegan-adegan itu didepan mataku. Kenangan pahit. Menyakitkan. Bukan karena perempuan itu, tapi karena aku tak bisa lagi menunjukkan rasa cemburuku dihadapannya seperti dulu.

Aku bangkit dari bayang-bayang itu, kembali melangkahkan kakiku dan beranjak menuju bangku panjang kosong disalah satu tepi jalan. Kuhampiri, lalu aku duduk diatasnya. Diam. Diserbu jutaan keping rerun masa lalu. Aku pernah duduk disini bersama Kai. Bukan pernah, tapi sangat sering. Kai sangat suka merangkulku dan membiarkanku bersandar dibahunya. Sangat menenangkan. Aku lalu mengarahkan pandanganku pada seorang penjual permen gula diseberangku. Kai sering membelikanku permen itu. Kai sangat baik. Dia yang terbaik yang pernah kumiliki. Dan sekarang aku merindukannya. Merindukan Kai dan semua kenangan bersamanya. Kenangan manis yang sekarang terasa sangat menyakitkan.

Aku terperangkap pada perbedaan masa dimana sekarang semua itu benar-benar hanya masa lalu yang aku tak bisa kembali kesana. Tak bisa kembali pada Kai. Kami telah berpisah, dan semua orang tau itu. Sedang apa Kai sekarang, bagaimana keadaannya, apa ia baik-baik saja, apa ia merasa kesepian tanpaku, dan pertanyaan lain semacam itu selalu memenuhi benakku. Semua yang terjadi dimasa lalu benar-benar mengiris hatiku saat aku menyadari bahwa semua itu benar-benar sudah berlalu. Tak ada lagi Kai. Tak ada lagi kami.

Aku bangun dan kembali menyusuri jalan taman yang dipenuhi daun-daun kering yang berguguran. Terus berjalan hingga ujung taman. Berbelok, aku masuk kesebuah taman lain diujung taman yang baru saja kulewati. Merah tanah dan hujau rumput disepanjang pandangan mataku. Aku terus berjalan menyusuri jalan setapak taman itu dan menghampiri seseorang yang sedang berdiri seorang diri disana.

Aku berhenti tepat disampingnya. Kutatap wajah laki-laki itu. Matanya merah dan berair. Nafasnya tersenggal.

“Aku baik-baik saja,” tutur pria itu, lirih. “Bahkan sangat baik untuk terus mencintaimu hingga seratus tahun kedepan,” lanjutnya sambil menahan isak.

Aku menatapnya sendu. Kai-ku.

“Jangan pernah merasa kesepian, aku akan terus berada disisimu,” ujarnya lagi seraya meletakkan satu buket bunga diatas batu nisan bertuliskan namaku.

Sesaat bergeming, ia lalu melangkah pergi setelah sebelumnya menyeka air mata yang nyaris membasahi pipinya.

Monday, January 23, 2012

Penghuni Lama Rumah Jalan Anggrek Nomor 31


Aku berdiri didepan sebuah rumah bernomor 31 di Jalan Anggrek. Rumah yang tidak pernah lagi kuinjak sejak dua bulan lalu, namun selalu kuawasi.

Ada seorang kakek pegawai pos yang sedang terbingung-bingung setelah keluar dari pagar rumah itu. Ia menggaruk-garuk kepalanya sambil memandangi bangunan yang ada didepannya.

“Kakek,” sapaku seraya menghampirinya.

“Kau…” tanggap kakek itu, wajahnya sangat tampak terkejut melihatku.

Saturday, January 7, 2012

Jalan Anggrek Nomor 31

 “Permisi!” teriakku, sambil membawa sekotak pizza berukuran kecil didepan sebuah rumah bernomor 31. “Permisi!” teriakku lagi. Tak mendengar jawaban, akhirnya kubuka pintu pagar yang tidak terkunci itu. “Permisi! Harmony Pizza!” teriakku lagi, berharap seseorang yang sedang kelaparan menunggu, keluar dengan antusias menjemput pizza yang dipesannya.

Lama. Tak juga ada jawaban. Aku sedikit melongok kedalam rumah lewat pintu yang memang tidak ditutup itu, bahkan terbuka cukup lebar. Tidak kosong. Ternyata ada seorang gadis yang sedang duduk di sofa ruang keluarga.

“Permisi, Nona!” ucapku lagi.

Sang gadis hanya diam. “Nona, Harmony Pizza datang!” lagi, sedikit lebih keras, memastikan suaraku terdengar oleh gadis itu.

Tidak juga mendapat respon, meski sedikit takut dianggap tidak sopan, perlahan aku mulai melangkah masuk kedalam.

“Maaf, Nona, anda pesan pizza?” tanyaku pelan, seraya sedikit menunduk untuk mengjangkau mata gadis yang sedang duduk sendiri menghadap kearah televisi itu.

Merinding. Tiba-tiba seperti ada angin yang meniup lembut leherku. Aku merasa ada keanehan pada gadis ini. Tak sedikitpun gadis itu bertingkah seperti ada seseorang yang masuk kerumahnya. Ia hanya diam. Duduk dengan tatapan kosong kearah televisi yang sedang sibuk mempertontonkan sebuah tayangan tanpa suara.

About Me

My photo
Tangerang, Banten, Indonesia
bukan penulis, bukan pengarang, hanya pecinta keduanya.