Saturday, January 7, 2012

Jalan Anggrek Nomor 31

 “Permisi!” teriakku, sambil membawa sekotak pizza berukuran kecil didepan sebuah rumah bernomor 31. “Permisi!” teriakku lagi. Tak mendengar jawaban, akhirnya kubuka pintu pagar yang tidak terkunci itu. “Permisi! Harmony Pizza!” teriakku lagi, berharap seseorang yang sedang kelaparan menunggu, keluar dengan antusias menjemput pizza yang dipesannya.

Lama. Tak juga ada jawaban. Aku sedikit melongok kedalam rumah lewat pintu yang memang tidak ditutup itu, bahkan terbuka cukup lebar. Tidak kosong. Ternyata ada seorang gadis yang sedang duduk di sofa ruang keluarga.

“Permisi, Nona!” ucapku lagi.

Sang gadis hanya diam. “Nona, Harmony Pizza datang!” lagi, sedikit lebih keras, memastikan suaraku terdengar oleh gadis itu.

Tidak juga mendapat respon, meski sedikit takut dianggap tidak sopan, perlahan aku mulai melangkah masuk kedalam.

“Maaf, Nona, anda pesan pizza?” tanyaku pelan, seraya sedikit menunduk untuk mengjangkau mata gadis yang sedang duduk sendiri menghadap kearah televisi itu.

Merinding. Tiba-tiba seperti ada angin yang meniup lembut leherku. Aku merasa ada keanehan pada gadis ini. Tak sedikitpun gadis itu bertingkah seperti ada seseorang yang masuk kerumahnya. Ia hanya diam. Duduk dengan tatapan kosong kearah televisi yang sedang sibuk mempertontonkan sebuah tayangan tanpa suara.


Aku lalu memalingkan pandanganku kearah yang sama dengan mata gadis itu, televisi yang ternyata sedang menayangkan sebuah sitkom luar negeri ternama. Apa dia terlalu serius menyaksikan acara ini? Aku tau kita bisa mengerti apa yang orang dalam televisi itu katakan hanya dengan membaca subtitle yang telah disediakan, tapi tidak harus menontonnya tanpa suara, bukan? Apa orang ini tuli? Banyak kejadian lucu didalamnya, seperti sitkom pada umumnya. Aku reflek tertawa kecil melihat adegan konyol yang muncul dilayar 29 inci itu. Sangat lucu, menurutku. Aku lalu mengembalikan pandanganku pada gadis di sofa itu, memastikan apakah ia memiliki respon yang sama denganku. Tapi ia tetap diam. Sama sekali tidak tertawa, bahkan seutas senyumpun tidak nampak dari bibirnya. 
 Adegan konyol yang beberapa detik lalu baru saja sedikit menggelitik perutku, tiba-tiba saja lenyap diusir oleh tatapan kosong gadis yang membuatku mati kebingungan itu.

“Maaf, Nona, apa kau memesan pizza?” akhirnya aku kembali bertanya.

Kau pernah bicara pada dinding? Atau meja? Atau benda mati lain? Seperti itulah yang sedang kualami. Hanya saja, didinding, meja dan benda mati lain tidak memiliki tatapan kosong yang membuat bulu kudukmu berdiri. Aku meletakkan box pizza dimeja kaca bening tepat didepan gadis itu.

“Nona, kau memesan pizza ini?” tanyaku lagi, kali ini sambil berlutut didepannya.

Tetap tidak ada jawaban. Bahkan menatap kearahku saja tidak.

“Nona,” panggilku, dan kali ini sambil melambai-lambaikan tangan tepat didepan hidungnya.

Tetap tak ada respon.

Aku kehabisan akal. Kubuka topiku dan kugaruk kepalaku yang tidak sama sekali gatal itu. Bingung. Sungguh, dua tahun kerja sebagai kurir pengantar pizza, aku belum pernah menemui pelanggan seaneh –dan semengerikan- ini. Aku menarik nafas panjang, lalu menghembuskannya dengan sedikit kasar.

Tanpa sengaja, mataku terarah ke tumpukkan koran dibawah meja. Seperti ada gambar yang kukenal di halaman depan tabloid yang berada di paling atas. Aku menggapai tabloid itu.

SEBUAH RUMAH DI JALAN ANGGREK DIHUNI SEORANG GADIS GILA

Terdapat sebuah gambar dibawah judul itu. Foto sebangun rumah dengan nomor 31. Astaga! Rumah ini! Iya, aku yakin benar, rumah difoto ini sama dengan rumah tempat aku berada sekarang. Lagi pula, ini memang Jalan Anggrek. Dan gadis gila itu…. Aku lalu menatap lagi gadis yang masih duduk di sofa itu. Dia memang seperti orang gila. Jika saja aku bukan orang yang –sangat- berani, mungkin aku sudah melarikan diri sejak tadi. Tapi untunglah aku sudah dilatih untuk menghadapi berbagai macam jenis pelanggan.

“Bisa tolong bantu aku merapikan ruangan ini?” tiba-tiba seseorang mengejutkanku, saat aku baru saja ingin melanjutkan membaca artikel di tabloid tadi.

“Ada orang lain rupanya?” tanyaku, sambil berdiri dan meletakkan koran ditanganku ketempat semula. “Kau nyaris membuatku mati terkejut,” tambahku sambil mengelus-elus dada.

Orang itu tersenyum ramah. “Maaf,” ucapnya. “Bisa tolong bantu aku merapikan ruangan ini?” lanjutnya.

Apa? Merapikan ruangan? Baru kali ini kudengar ada seorang pelanggan meminta kurir pengantar pizza merapikan rumah. Aku lalu menyeruaki ruangan itu dengan pandanganku. Astaga! Benar-benar berantakkan. Seperti rumah tak berpenghuni.

“Aku baru pulang sejak empat hari yang lalu,” tuturnya sambil melangkah mendekatiku, menjawab pertanyaanku yang belum dan –sebenarnya- tak akan kuucapkan.

Aku membulatkan mulutku, sambil mengucapkan ‘Oh, pantas rumah ini sangat berantakan’ didalam hatiku. “Pantas wajahmu sedikit pucat,” tanggapku.

“Benarkah? Kurasa aku terlalu lelah,” ujarnya.

“Ohya, dia adikmu?” tanyaku, sambil menunjuk gadis di sofa itu dengan gerakan kepala, sekedar basa-basi sebenarnya.

“Iya,” jawab pria yang kuterka usianya 3 sampai 4 tahun lebih tua dariku itu, singkat. “Kata orang-orang, kami sangat mirip,” lanjutnya.

Aku menatap gadis di sofa itu lamat-lamat, lalu berganti melihat pria yang baru saja bicara padaku, lalu ke gadis di sofa itu lagi, lalu pada pria yang berdiri didepanku lagi. Sejurus terlintas dimataku, laki-laki tadi menggunakan wig bak semak belukar seperti rambut sang adik. Dan dalam bayanganku…. “Ya, mirip.” Memang mirip, ternyata. Hanya saja, gadis di sofa itu benar-benar kusam. Bajunya lusuh, juga rambut dan wajahnya. Dan kau mengerti mengapa ia terlihat seperti itu. Benar-benar seperti mayat. Sangat pucat.

Aku diam sejenak. Lagi-lagi menatap gadis di sofa tadi. Setelah dilihat-lihat, gadis itu manis juga ternyata. Ah, aku tiba-tiba merasa bodoh. Bagaimana bisa aku tertarik pada orang yang bahkan berkedippun sangat jarang. Menyeramkan sekali.

“Maaf, bersedia membantuku merapikan ruangan ini? Hanya ruangan ini. Tolonglah,” pinta pria tadi, lagi. Nadanya sedikit terdengar tidak enak hati, tapi juga memaksa. Oke, mungkin lebih tepatnya, memohon.

Aku lelah, sebenarnya. Seharian berkeliling mengantarkan pizza ke seluruh penjuru ibu kota sejak pagi tadi. Tapi aku kasihan pada laki-laki itu. Mungkin ia lebih lelah dariku, dan ia pasti harus merapikan ruangan lain diurmah ini. “Baiklah,” ucapku lalu mulai merapikan ruang keluarga yang sekaligus ruang tamu itu. Untung aku hidup sendirian dikota ini, jadi cukup lihai dalam hal beres-beres.

Dan tanpa terasa, selesai. Benar-benar melelahkan. Aku sudah cepat-cepat ingin pulang, sungguh. Dahiku berlumur peluh. Aku menyekanya dengan punggung tanganku. Nyaris setengah jam aku merapikan dan membersihkan ruangan itu, dan gadis di sofa tadi tetap pada posisi semula. Tidak sama sekali berubah. Sungguh….

“Apa yang terjadi pada gadis ini?” pertanyaan itu tanpa kusadari terlontar begitu saja. Aku bahkan tidak menatap orang yang kutanya saat mengucapkan kalimat itu.

Hening tiba-tiba membuatku merasa bersalah menanyakan hal tadi. “Maaf, maksudku….”

“Benturan psikologis, kurasa” jawab kakak dari gadis aneh itu, memotong kalimatku. “Dan sangat keras,” lanjutnya. “Dia tidak melakukan apapun selain seperti yang kau lihat sekarang,” ungkap pria berkemeja biru muda itu.

“Apa dia tidak makan?” tanyaku, kali ini bukan basa-basi. Aku benar-benar penasaran.

Pria itu menggeleng. “Aku berani taruhan, dia sama sekali tidak bergerak dari tempat duduknya sejak kutinggal empat hari yang lalu,” tuturnya lesu, penuh dengan harapan yang berguguran, hilang dari jiwanya.

“Astaga!” aku terkejut. “Kau harus memberinya makan!” ucapku tegas, nyaris berteriak. Tak mengerti, entah apa yang merasuk di dadaku, ada seutas kekhawatiran pada gadis aneh itu. “Dia bisa mati,” tambahku, pelan, nyaris seperti hanya bergumam.

“Aku sudah mencobanya, tapi ia bahkan tidak menganggap aku ada,” sang kakak membela diri.

ARGH! Aku marah, lagi-lagi tak mengerti apa sebabnya. Tapi, mengapa laki-laki ini tega meninggalkan adiknya dalam keadaan seperti ini. Empat hari? Itu bukan waktu yang sebentar untuk diam dan sama sekali tidak mengisi lambung dengan makanan.

“Kau mau membantuku menyuapinya?” pinta sang kakak.

“Apa?” aku terkejut.

“Kumohon,” ujarnya. Wajah pucatnya membuatku iba, sunggguh. Terlebih saat kualihkan pandanganku pada gadis yang adalah adiknya itu.

“Kau ini! Merepotkanku saja!” aku mengomel. Walaupun omelan itu hanya keluar dari mulutku, tidak hatiku.

Perlahan kudekati gadis itu, lalu duduk di sofa cokelat tempat ia duduk, tepat disampingnya. Kutatap sejenak wajah gadis itu, ya Tuhan, menakutkan sekali. Wajahnya yang seperti bersinar terkena pantulan cahaya televisi itu benar-benar seperti benda mati. Bahkan lebih mati dari manekin di butik sebelah toko pizza tempatku bekerja. Oke, aku malah terkadang merasa manekin-manekin itu hidup, sebenarnya.

Aku menelan ludah. Dan jujur, hal itu akan sedikit sulit kau lakukan ketika keadaan jiwamu tidak setenang biasanya. “Hei, kau harus makan,” ucapku pelan.

Tak ada respon, seperti dugaanku. Kakak kandungnya saja tidak dianggap, apalagi aku yang hanya kurir pengantar pizza. Ya, walaupun kusadari aku memang jauh lebih tampan dari kakaknya itu, tapi tetap saja aku orang asing, kan? Kutarik nafas panjang, lalu menghembuskannya.

“Nona, kau bisa mati jika tidak makan,” ucapku, dengan bulu roma yang tiba-tiba bangkit saat aku mengucapkan kata ‘mati’. Sial.

Sedikit putus asa, aku menatap sang kakak yang wajahnya malah menaruh banyak harapan padaku. ARGH, lagi-lagi aku mengumpat, sial!

Tuhan, tolong aku. Sungguh, aku benar-benar membutuhkan keajaibanMu, Tuhan.

Aku diam, sejenak berpikir, namun nihil. Tak juga kudapatkan ide. Aku lalu membuka box pizza yang kuletakkan diatas meja tadi, dan kucungkil bagian tepinya. “Ayolah, kau harus makan, sedikit saja!” pintaku lembut, seraya menyuguhkan pizza itu tepat didepan bibirnya.

Gadis tadi tetap diam. Kalau saja aku tidak mendengar hembusan nafas dari hidungnya dan melihat perutnya dan dadanya masih tampak bergerak, mungkin aku benar-benar mengira yang ada didepanku ini adalah patung, atau manusia lilin. “Ayolah, Nona. Pizza ini sangat enak!” ujarku menggiurnya, meskipun aku tau itu sia-sia.

Ya Tuhan, aku benar-benar sudah tidak kuat melihat gadis ini. Wajahnya semakin pucat. Dia benar-benar harus mengisi perutnya dengan makanan. Apa yang harus kulakukan?

Aku menghela nafas kasar, seraya membuang cungkilan pizza ditanganku. “Kau harus makan! Kau dengar?!” kataku, kali ini aku tak tahan untuk tidak berteriak. Aku sedikit tak enak sebenarnya, membentak gadis itu didepan kakaknya. Tapi aku tak tahu harus bagaimana lagi.

“Dengar aku, kau harus mengisi perutmu!” lanjutku, kali ini tanpa kusadari, aku menyentuh wajah pasinya dan dengan sedikit paksa menolehkannya kearahku. Untuk pertama kalinya aku melihat tubuh gadis itu bergerak, meskipun aku yang menggerakannya.

“Lihat aku! Lihat aku, Nona! Kau harus makan, atau kau…” aku tercekat, tak sanggup lagi melanjutkan kalimatku saat mata gadis yang sejak tadi selalu kosong itu tiba-tiba berubah. Ia menatapku. Benar-benar melihatku. Meskipun matanya sedikit terhalang poni, tapi tatapan itu cukup membuat beku seluruh aliran darahku. Dan saat itu jarak mataku dan matanya sangat dekat. Aku merasa nyaris mati dihajar pandangan itu.

Sekujur badanku gemetar. Perlahan kuturunkan kedua telapak tanganku dari pipinya, lalu sebisa mungkin membuang mataku. Menghindari tatapan itu. Ada apa ini? Aku yang memintanya menatapku, tapi aku justru tak berani menatapnya. Jantungku berdetak jauh lebih cepat dari biasanya.

Perlahan, kukembalikan tatapanku kearahnya, lalu secepat mungkin kubuang lagi saat mendapati dia masih melihatku. Ingat, tujuan utamaku adalah harus memasukkan makanan kemulutnya. Dan aku harus melakukan itu. Baiklah.

Kucungkil lagi tepian pizza dimeja, lalu memberanikan diri melihat wajah gadis itu, meski aku masih sering berpaling tiba-tiba. “Buka mulutmu,” perintahku, pelan.

Mengejutkan. Sangat mengejutkan. Gadis itu membuka mulutnya. Sangat kecil, tapi setidaknya ia menggerakkan salah satu bagian tubuhnya sendiri. Aku tersenyum. Antusias, kusuapi pelan-pelan gadis itu. “Kau harus mengunyahnya,” ucapku manis.

Gadis itu perlahan menggerakkan rahangnya, mengunyah isi mulutnya, meski sangat lamban. Aku tersenyum semakin lebar. Terimakasih, Tuhan. Terimakasih.

“Buka mulutmu lebih lebar lagi,” ujarku. Ia melakukannya, dan kusuapi lagi mulutnya dengan potongan kecil pizza ditanganku. Ia lalu mengunyahnya.

Aku melirik sejenak pada sang kakak yang masih berdiri ditempatnya. Ia tersenyum, walaupun tidak mengurangi wajah pucat kelelahannya. “Harusnya kau memberikan nasi atau semacamnya, bukan pizza ukuran kecil seperti ini!” ucapku, mengomel, kali ini benar-benar dari hati.

“Kupikir ia akan mau makan jika itu makanan kesukaannya,” bela sang kakak.

Tak sama sekali peduli dengan apa yang diutarakan laki-laki itu, aku kembali menyuapi gadis disampingku. Ia masih terus mengunyah, sambil terus menatapku. Tak ada yang bergerak selain mulut dan sekitarnya.

“Apa ada minum?” tanyaku pada laki-laki berkumis tipis itu. Dan respon yang kudapat adalah, sebuah gelengan. Apa? Tidak ada air minum? Orang ini benar-benar….

Hei, masih ada beberapa botol persediaan air minum di ranselku. Aku cepat-cepat membuka ransel yang sedari tadi tidak sama sekali kulepas dari bahuku itu. Lalu kukeluarkan 2 botol air mineral dari dalamnya. Kubuka tutup salah satunya, dan perlahan kuminumkan pada gadis dihadapanku itu. “Minum ini, pelan-pelan.”

Air itu perlahan masuk ke mulutnya, tapi jauh lebih banyak yang tumpah disekitar dagu sampai lehernya. Ia benar-benar hanya membuka sedikit mulutnya.

“Kau basah,” ucapku refleks. “Tunggu, sepertinya ada sapu tangan di ranselku,” ujarku sambil mencari benda yang baru saja kukatakan itu. Dan dapat.

Kubersihkan dagu dan lehernya dari tumpahan air minum dengan lembut, takut ia merasa aku akan menyakitinya. Sedikit-sedikit, aku sebenarnya masih takut gadis ini akan tiba-tiba menyerangku.

“Tubuhmu kotor sekali,” gumamku saat melihat kotoran yang menempel di saputanganku pasca mengelap dagu dan lehernya. Tiba-tiba inisiatif muncul begitu saja dikepalaku. Kubasahi sapu tangan itu dengan air mineral, lalu setelah sekali lagi menyuapi gadis itu dengan potongan pizza, kubersihkan wajahnya dengan saputangan basah ditanganku.

Kuseka poni yang menutupi matanya. Dan… tatapan itu semakin menghujam jantungku. Mata itu…. Tuhan, aku membutuhkan pertolonganMu lagi, sungguh. Tolong katakan pada gadis didepanku ini, berhentilah menatapku dengan tatapan yang membuat aku ingin terus ada disampingnya dan bahkan merawatnya seperti ini sampai ia sembuh dan normal seperti gadis pada umumnya. Ah, aku tidak mungkin melakukan itu. Dan tidak boleh.

Aku terdiam, sejenak. Mengendalikan hatiku yang tiba-tiba terasa aneh. Seperti ada bunga-bunga yang bertebaran saat tatapan itu mendarat dimataku. ARGH, apa-apaan ini?! Konyol sekali.

Terhentak, entah karena apa. Aku menggelengkan kepalaku cepat-cepat. Aku tidak boleh merasakan ini. Hari ini aku hanya kebetulan dipercaya Tuhan untuk berbuat baik. Hanya itu. Aku sibuk bergelut dengan batinku sendiri. Kutarik nafas panjang, lalu kuhembuskan.

Aku melanjutkan pekerjaanku, pekerjaan tanpa bayaran ini sungguh tak akan kulupakan, sepertinya. Aku mengelap kening gadis itu, lalu pipi kanan, pipi kiri, hidung, dan bibirnya. Ia masih terus mengunyah pelan, dan gerakan bibir mungilnya sangat manis, meski sedikir bergetar. Aku baru menyadari itu. Tunggu… apa yang baru saja kukatakan? Manis? Lupakan! Anggap aku tidak mengatakan itu.

Mulutnya sepertinya sudah kosong. Aku memberinya minum, lalu menyuapinya lagi, potongan berikutnya. Kubersihkan lagi air yang mengucur disekitar dagu sampai lehernya.

Kubalik saputanganku, hendak menggunakan sisi lain yang masih bersih. “Maaf, boleh aku membuka cardigan adikmu?” tanyaku, sedikit ragu-ragu, lagi-lagi takut dianggap tak sopan.

Aku mendapat predikat sebagai pegawai dengan sikap terbaik di tempatku bekerja. Dan aku tak ingin citra itu luntur gara-gara kejadian di rumah ini.
Laki-laki itu mengangguk cepat sambil tersenyum. Kenapa ia hanya tersenyum? Tidak ada kah niat untuk membantuku sama sekali? Kakak macam apa orang itu? Ah, lupakan rasa kesalku pada laki-laki itu. Kubuka perlahan pakaian paling luar yang membalut tubuhnya. “Maaf,” ucapku, berbisik pada gadis yang tetap diam itu. “Aku tidak bermaksud apa-apa, sungguh,” lanjutku. Aku tak tau, ia mendengarku atau tidak. Tapi yang penting aku sudah meminta izin.

Cardigan hitam-lusuh-kotor itu sudah lepas dari tubuhnya. Sekarang ia hanya menggunakan t-shirt putih lengan pendek. Perlahan, aku mulai mengusap lengannya. Dari kanan ke kiri, dari lengan atas hingga jemari. Kurasa, jika aku wanita, aku akan benar-benar memandikan gadis ini. Dia kotor sekali. Lebih kotor dari kaki meja sekolahku saat SMA.

Aku turun dari bangku dan mendaratkan lututku beberapa centi didekat telapak kaki gadis itu. Berlutut. Kugulung jeans biru kusamnya, sedikit, hanya dua gulungan saja. Dan kubersihkan kaki yang bisa kujangkau. Dari sedikit area diatas mata kaki, sampai telapaknya yang jauh lebih kotor dari bagian manapun yang telah kubersihkan.

Aku kembali ketempat dudukku. Menghela nafas sedikit lega. Gadis itu kini sedikit lebih bercahaya dari beberapa menit lalu. Ya, aku tau aku memang tidak benar-benar membersihkan tubuhnya, tapi paling tidak kotoran dibadannya sedikit berkurang. Kalau kau tidak percaya, lihat saja saputanganku sekarang. Warnanya saja sudah tidak jelas.

Aku kembali menyuapi potongan pizza kemulut gadis itu. “Aku yakin kau sangat cantik jika kau mandi,” tuturku. Aku sadar aku sedang sangat jujur saat mengatakan itu. Lalu kuselipkan senyuman, sedikit berharap mendapatkan balasan senyuman dari gadis didepanku. Tapi tidak. Wajahnya tetap hampa ekspresi.

Berharap ada sedikit kemajuan, aku tidak lagi menyuapinya seperti sebelumnya. Tapi kali ini, potongan roti itu kuberikan ketangan kanannya, lalu kuangkat tangan itu dan mulai mengajarinya makan dengan tangan sendiri, sebagaimana orang-orang pada umumnya. Ia tidak merespon, meski tidak juga memberontak. Tak apa, mungkin lama-lama ia akan terbiasa. Dan sebenanya, aku sedikit banyak mengajari kakaknya bagaimana mengurus adik yang memang keadannya berbeda dengan gadis-gadis lain ini. Aku kesal dengan laki-laki itu, sungguh.

Aku hampir tak percaya saat mengambil potongan terakhir pizza dimeja. Terakhir? Meskipun dalam waktu yang cukup lama, tapi gadis itu menghabiskannya. Ajaib. Dia benar-benar menyukai pizza. Dan aku sangat suka perempuan yang menyukai pizza. Errr, maaf, maksudku aku adalah kurir pizza, jadi pantas kan, mengatakan itu?

“Kau pasti masih sangat lapar,” ucapku, sok tau, sambil mengelap air yang lagi-lagi berjatuhan disekitar dagu dan leher saat ia minum beberapa detik lalu. “Kalau aku, empat box pizza dengan ukuran paling besar saja tidak akan cukup membayar empat hari perutku yang tak diisi sama sekali,” paparku cepat. “Bersabarlah, kakakmu sangat payah!” tukasku, seraya melirik laki-laki yang sedang berdiri saat kuucapkan kata terakhir.

Aku duduk terdiam. Merasa ada yang lepas dari belenggu jiwaku. Lega. Tidak seperti saat pertama kali tau bahwa gadis ini sudah empat hari tidak makan. Walaupun hanya roti, tapi aku yakin itu lebih dari cukup. Ia gadis yang kuat, aku tau itu. Kutatap wajahnya, sesekali membayangkan bagaimana ekspresi gadis ini jika ia tersenyum, atau bahkan tertawa. Pasti sangat memesona. Perlahan kubelai rambutnya. Kali ini aku sudah tidak lagi takut ia akan menyerangku.

“Rambutmu… sungguh, persis seperti sapu yang biasa digunakan petugas kebersihan toko pizza tempat aku bekerja,” ucapku serius. Sebenarnya bermaksud bercanda, tapi mengingat aku tak akan mendapatkan respon apapun, jadi kukatakan saja dengan serius, dari pada aku tertawa sendiri.

Tiba-tiba aku mengingat sesuatu yang sejak awal datang tak sama sekali kupedulikan. Waktu. Aku melihat jam tanganku. “Astaga! Sudah pukul 6 sore! Aku harus kembali ke toko!” ucapku sambil buru-buru merapikan isi tasku, dan berdiri lalu menggunakannya seperti semula.

“Aku harus kembali ke tempatku bekerja,” ujarku sambil memakai topi seragam toko, kali ini bicara pada kakaknya.

“Apa kau akan datang lagi?” tanya sang kakak. Aku tidak yakin ia bertanya, nadanya seperti memohon, kurasa.

“Emmm,” aku sebenarnya tidak ingin berurusan dengan rumah ini lagi. Tapi kemudian kutatap wajah gadis yang masih duduk di sofa itu. “Aku…” jujur, aku masih ingin merawat gadis itu lagi. “Mulai besok aku ditugaskan diluar kota,” jawabku.

Terlihat gurat kekecewaan diwajah laki-laki dihadapanku. “Baiklah,” tanggapnya lemas. “Terimakasih banyak untuk hari ini,” tuturnya sopan.

Aku tersenyum sambil mengangguk. Menunggu sebentar kalau-kalau pria itu mengulurkan tangannya untuk menjabat tanganku. Biasanya orang akan melakukan itu saat berterimakasih. Apalagi kami sesama laki-laki. Tapi tidak untuknya. Laki-laki ini sungguh dingin.

“Baiklah, aku pulang. Berjanjilah kau akan merawat adikmu dengan baik!” kataku, sedikit diiringi irama memaksa, dan beberapa oktav nada mengancam.

Pria itu hanya mengangguk.

Aku melangkahkan kaki meninggalkan ruangan itu. Entah mengapa, terasa sangat berat. Padahal beberapa jam lalu, rasanya aku ingin melarikan diri dari tempat aneh ini. Aku berhenti, dan kembali menoleh kebelakang. Melihat gadis itu, lagi. Apa dia akan baik-baik saja? Aku tak yakin. Aku lalu berbalik badan dan kembali melangkah mendekati gadis itu.

Kukembalikan posisi tubuhnya seperti semula, menghadap kearah televisi. Lalu kubuka sweater milikku dan kupakaikan untuk menutupi tubuhnya, takut malam ini ia kedinginan. Cardigan miliknya sudah tak layak pakai. Ia hanya diam, dan tatapannya kembali kosong. Aku sedikit membungkuk, mencoba menggapai telinganya. “Berjanjilah padaku, kau akan baik-baik saja,” bisikku. Lagi-lagi aku tak mengerti, setitik air terasa menggenangi kantung mataku. Aku benar-benar mengkhawatirkan gadis ini. Mungkin aku bodoh, tapi itulah yang kurasakan. Aku bahkan tak bisa menjelaskan apa yang sedang berkecamuk dihatiku. Ya, kuakui, aku bodoh. “Cepatlah sembuh, Nona!” tambahku, kali ini pipiku basah. Memalukan. Untuk pertama kalinya, aku menangis didepan seorang gadis. Kutatap matanya yang sangat dekat dengan mataku. Mata yang kosong. Lalu sebelum benar-benar pergi, dengan lembut, kucium bibir mungilnya. Singkat. Sepersekian detik. Lalu aku bangun dan setengah berlari meninggalkan ruangan itu. Tidak ingin sama sekali menoleh lagi kebelakang. Tidak ingin berat lagi melangkah. Tidak ingin. Biarlah. Aku sudah cukup baik melakukan tugasku hari ini. Untuk hari selanjutya, itu bukan urusanku. Lupakan.

Aku kembali mengendarai sepeda motorku. Kepalaku terus diisi oleh gadis itu. Penuh. Tak ada ruang untuk sekedar membunyikan klakson saat nyaris menabrak sebuah mobil. Kurasa, aku bisa gila memikirkan gadis itu. Tuhan….

***

“Kau benar-benar melihatnya bicara sendiri?”

“Aku benar-benar melihatnya bicara sendiri! Lihat foto ini, tidak ada siapa-siapa dirumah itu kecuali kurir pengantar pizza, dan gadis gila itu.”

“Mungkin ada orang lain disalah satu ruangan lain?”

“Kurir pizza itu jelas-jelas seperti bicara bertatap mata dengan seseorang, dan aku bisa menjangkau seluruh sudut ruangan itu dari jendela depan, tidak ada siapapun selain dia dan gadis yang bahkan sama sekali tak bersuara itu!”

“Kau mau mencoba masuk kedalam rumah itu?”

“APA?”

“Aku akan menggandakan gajimu jika kau berhasil berbicara dengan gadis gila itu. Atau mendapatkan info apapun tentang gadis itu.”

“Tapi….”

“Aku akan mengangkatmu menjadi salah satu pimpinan rubrik  tabloid mistis ini, tertarik?”

“Tapi, bos….”

“Atau aku akan mencari kurir pizza itu untuk menggantikan posisimu.”

“Apa? Baik. Aku akan masuk kerumah itu.”

***

“Permisi,” ucapku pelan, didepan pintu rumah bernomor 31 itu. Rumah yang nyaris tak pernah dijamah orang lain selain gadis yang selalu duduk menghadap televisi itu, dan seorang kurir pizza muda, empat hari yang lalu. Sebenarnya aku baru menemukan rumah ini 2 minggu yang lalu. Tak tau apa yang terjadi sebelumnya.

Awalnya kupikir, hanya butuh satu hari untuk mengumpulkan keberanian masuk ke rumah ini. Ternyata tidak cukup. Sekarang saja aku masih sangat ketakutan.

“Permisi, Nona,” sapaku seraya perlahan masuk melewati pintu yang tidak tertutup itu, bahkan sedikit terbuka lebar. Aku membawa sekotak pizza, mengikuti jejak kurir pengantar pizza beberapa hari lalu. 

Gadis itu pecinta pizza, yang kutau dari hasil menguping tempo hari begitu.

“Nona, aku membawakan pizza untukmu,” ucapku seraya meletakkan pizza dimeja kaca, tepat didepan gadis itu. Kutatap dalam-dalam wajahnya, baru kali ini berhadapan dengannya sedekat ini. Benar-benar kosong. Benar-benar seperti patung. Dan sebagai sesama perempuan, sangat miris rasanya melihat tubuhnya lusuh seperti itu. Ah, tapi bukan itu tujuanku kesini, bukan untuk membersihkannya seperti yang dilakukan kurir pizza itu, walaupun adegan itu nyaris membuatku menangis terharu.

Aku menggeledah ruangan dengan pandangan mataku, lalu sesekali mengambil gambar beberapa sudut diruangan itu dengan kamera yang sejak tadi menggantung dileherku. Aku ingin memotret gadis itu dari dekat, tapi takut ia tak suka dan akan menyerangku. Ruangan ini sudah sangat berdebu, meski tak seberantakkan saat kurir pizza itu datang. Mataku terus berkeliling, sampai akhirnya jatuh pada kotak pizza yang kuletakkan tadi. Bukan, bukan kotaknya. Tapi sesuatu dibawahnya. Tumpukkan surat kabar dibawah meja berkaca bening itu. Aku lalu mengambilnya.

“Pria pengantar pizza itu juga sempat membaca surat kabar, walaupun hanya sebentar,” gumamku.

Hei, ini tabloid, bukan surat kabar. Dan ini tabloid tempat kubekerja.

SEBUAH RUMAH DI JALAN ANGGREK DIHUNI SEORANG GADIS GILA

Itu artikel tulisanku, dan foto dibawahnya itu hasil jepretanku. Kenapa ia bisa memiliki tabloid ini? Bahkan bergeser dari tempat duduknya pun tidak. “Ternyata kau bukan hanya berlangganan pizza, tapi juga berlangganan tabloid,” ucapku pada gadis itu, yakin sekali aku tak akan mendapatkan respon.

Kuletakkan tabloid tadi disamping kotak pizza, dan kuraih surat kabar berikutnya. Ini surat kabar setahun yang lalu. Dan lagi-lagi ada foto rumah bernomor 31 ini. Apa semua surat kabar yang ada disini memberitakan tentang rumah ini? Jiwa kejurnalistikanku mencuat dahsyat. Dan kubaca artikel itu.

SEORANG PRIA BUNUH DIRI SETELAH MEMBANTAI HABIS KEDUA ORANG TUANYA

Apa? Aku merinding mebaca judulnya. Sial, apa-apaan ini? Kutarik nafas dalam-dalam, kusebut nama Tuhanku tiga kali, lalu kuhembuskan lepas. Rasa ingin tahuku sebagai wartawan jauh lebih tinggi dibanding rasa takutku. Untunglah aku seorang jurnalis.

Terjadi pembunuhan dahsyat, Maret (31), disalah satu rumah di kawasan Jalan Anggrek. Rumah bernomor 31 yang letaknya berada di paling sudut komplek ini dipenuhi darah. Pasalnya, anak sulung dikeluarga tersebut, (AN), dengan sadis menghabisi kedua orang tua kandungnya, alasan belum diketahui sampai sekarang. Polisi yang mendatangi TKP sehari setelah kejadian pembunuhan itu hanya menemui seorang gadis yang diperkirakan adik dari pelaku. Gadis itu hanya menggeleng setiap kali polisi mengajukan pertanyaan. Tidak ada informasi yang bisa didapat, selain mayat kedua korban yang ditemukan disudut kamar mandi.

Kemarin, April (4), polisi mendapatkan mayat seorang pria yang diduga adalah pelaku pembunuhan empat hari yang lalu. Korban ditemukan gantung diri di tengah ruang keluarga dengan menggunakan kemeja biru dan celana hitam, diduga karena merasa bersalah pada almarhum kedua orangtuanya dan pada adik semata wayangnya yang mulai gila. Ketua RT setempat mengatakan, kasus ini akan diselidiki lebih lanjut lagi oleh pihak-pihak yang berwenang.

Tiba-tiba kepalaku seperti ditimpuki jutaan kerikil. Sakit. Pusing. Sial, sial! Aku benar-benar merasa sial berada ditempat ini. Apa-apaan ini? Rumah ini ternyata…. Ah, pantas saja pria pengantar pizza itu bicara sendiri. Dan gadis ini…. Bagaimana ini? Apa aku sebaiknya melarikan diri sekarang juga? Atau…. AAAAA BAGAIMANA INI???

Aku menatap gadis di sofa itu lagi. Kenapa dia ada disini? Bukan dirumah sakit jiwa? Atau jangan-jangan….

“Bisa tolong bantu aku merapikan ruangan ini?” tiba-tiba ada suara yang mengejutkanku. Jantungku benar-benar mau copot saat itu. Aku mencari sumber suara, dan mendapati seorang laki-laki pucat dengan kemeja biru muda berdiri ditengah-tengah ruang keluarga.

“Bisa tolong bantu aku merapikan ruangan ini?” tanyanya lagi.

Merinding, pada tingkat yang paling tinggi. Lututku terasa sangat lemas. Aku tak tau selanjutnya apa yang terjadi. Kurasa, aku pingsan.

No comments:

Post a Comment

About Me

My photo
Tangerang, Banten, Indonesia
bukan penulis, bukan pengarang, hanya pecinta keduanya.