Aku terkejut mendengar seseorang berteriak dengan lantang di depan rumahku. Padahal ini bukan kali pertama, tapi aku tetap saja terkejut. Suara abang penjual sayur keliling itu memang tidak bisa diremehkan. Kurasa ia lebih cocok menjadi orator dibanding mendorong gerobak sayur. Aku tiba-tiba tertawa sendiri dalam hati. Orator itu apa? Aku masih duduk di sekolah menengah pertama, jadi sebenarnya tidak tahu benar artinya. Hanya pernah mendengar kata itu beberapa kali di tivi. Lagipula, sepertinya kata itu tidak terlalu familiar bagi keluarga menengah ke bawah yang tinggal di desa seperti keluargaku. Tunggu, familiar itu apa?
“BERANGKAT, NENG?”
Aku mendongak. “Bang, nanya atau
marah-marah?” timpalku pada pria berkumis yang di lehernya tersampir handuk
putih yang warnanya tidak lagi putih. Aku lalu tertawa kecil.
Penjual sayur itu ikut tertawa.
“SI ENENG BISA AJA!” Laki-laki itu lalu melanjutkan langkahnya sambil mendorong
gerobaknya, membuat plastik-plastik berisi ikan teri yang tergantung di bagian
atas gerobak bergoyang ke kanan dan ke kiri.
Aku kembali menundukkan kepala
dan mengikat sebelah lagi tali sepatuku. Kuseka rambut panjangku yang
mengganggu ke belakang telinga kiri. Satu ikatan lagi. Selesai. Aku berdiri dan
tiba-tiba saja terkejut saat mendapati seorang perempuan dengan selendang menutupi kepalanya tengah berdiri dengan elegan
di depan rumahku.
Jangan tanyakan padaku apa itu elegan.