Tuesday, September 7, 2010

Tangisan Hati

Hari ini aku menangis.
Entah airmata untuk kubik keberapa yang aku keluarkan karena alasan yang sama.
Aku tersesat dalam menuntun hatiku sendiri, hati yang lemah dan rapuh.
Perih ini membiaskan kekuatan dan mematrikan ketegaran dalam batinku.
Tapi aku terlalu egois untuk membuka mata.
Aku buta.
Buta akan derita yang sesungguhnya membuatku dewasa.
Aku hanya bisa, lagi-lagi, menangisi kesakitan hati ini.
Ia selalu merasakan pedih.
Luka yang selalu tertelan, tak pernah memulih meski hari kian berjalan.
Aku duduk ditepian kebahagiaan.
Tapi aku tak pernah menemukan cara untuk masuk kedalamnya.
Pikirku menyeruaki seluruh semak-semak hati.
Mencoba mencari apa yang bisa kugenggam sebagai penguat diri.
Tapi sekali lagi, aku terlalu rapuh.
Lebih rapuh dibanding serpihan kayu yang mudah terbawa gemuruh.
Hatiku nyaris cacat dibuat oleh penat.
Dan hari ini aku menangis.
Lagi.
Entah airmata untuk kubik keberapa yang aku keluarkan karena alasan yang sama.
-Risty-

Thursday, September 2, 2010

Buku Harian Lama



20 Januari 2001
Akhirnya Figo menembakku, aku senang bukan main. Aku menyukainya sejak pertama kali dia masuk ke sekolah ini, dia mengenakan atribut orientasi, dan aku dengan sesuka hati membentaknya. Ya, tugasku sebagai senior memang seperti itu.
Hari ini Figo terlihat sangat dewasa dan romantis. Usianya tak nampak seperti anak kelas 2 SMA, tapi wajahnya tetap terlihat imut dan manis.
Figo menembakku di lapangan sekolah, dengan menerbangkan 10 balon dilengkapi spanduk kecil bertuliskan “I LOVE YOU AIKA!!!”
Aku senang, sangat senang. Ah, aku bahkan tak bisa mengungkapkannya lewat kata-kata.
Huh, I love you, Figo :)
***
01 Maret 2001
Hari ini Figo memberikan setangkai bunga mawar untukku. Ah, ia sangat romantis. Setiap hari, ia selalu membuatku semakin menyukainya.
Tuhan, aku ingin terus ada bersama Figo, sampai aku tua, selalu disampingnya.
***
26 Juni 2001
Hari ini Figo mengajakku kerumahnya. Ia mengenalkanku pada ayahnya yang sangat baik dan bijaksana, juga adiknya yang lucu. Ibunda Figo sudah meninggal dunia, maka dari itu, aku senang bisa berada disamping Figo, untuk mengisi kesepiannya karena ditinggal sang mama. Aku semakin menyayanginya.
***
31 Januari 2002
Aku sempat bertengkar dengan Figo. Kekanak-kanakannya sering muncul semenjak aku mulai aktif kuliah. Rasa cemburunya terkadang berlebihan. Aku kesal. Terlebih ia suka mengabaikan tugas sekolahnya hanya karena marah padaku, padahal ia sudah kelas 3 dan harus punya persiapan untuk Ujian Nasional.
Emmmm, baiklah, besok aku akan datang ke sekolah dan menemaninya belajar seharian, mungkin suasana hatinya akan lebih baik. Semoga saja.
***
31 Juli 2004
Usia hubunganku dengan Figo sudah 3,5 tahun. Tidak kusangka. Tapi akhir-akhir ini hubunganku dengannya agak renggang. Walaupun dengan keluarganya, aku baik-baik saja, bahkan semakin dekat. Tapi Figo… kami mulai jauh. Aku merasa ada yang aneh dengan perasaanku, entah mengapa, tapi …………….. ah, aku tak tahu bagaimana cara menjelaskan perasaan ini.
Terlebih setelah kejadian malam itu, saat aku menginap dirumah Figo.
Aku ……………..
Aku benar-benar sulit menjelaskannya.
Diary, kau tau, aku menagis saat ini.
***
29 Oktober 2007
Diary, mungkin ini akan menjadi yang terakhir kali aku menulis. Sudah beberapa buku diary kusimpan, isinya hanya Figo, Figo dan Figo. Aku selalu menulis tentang dia, walaupun hanya selembar perbulannya.
Aku senang bisa menulis tentang orang yang aku cintai. Aku sangat mencintai Figo. Dan entah sampai kapan perasaan ini akan terus ada.
Tapi sebelum aku menutup buku ini, aku ingin memamerkan baju pernikahanku. Kebaya putih yang sederhana, tapi sangat cantik. Akhirnya, cabang bayi dikandunganku ini akan memiliki ayah yang sah.
Diary, dibalik kepahitan ini, aku akui aku senang, akhirnya bisa menghabiskan sisa hidupku didekat Figo, satu-satunya pria yang aku cintai. Apapun yang telah dan akan terjadi. Dihatiku hanya ada Figo. Satu.
“Kamu sedang apa, Figo?” tanya Aika lembut sesaat setelah membuka pintu kamar dan mendapati Figo tengah membaca sebuah buku disamping tumpukan buku-buku. “Ini sudah saatnya makan malam,” tambah Aika.
Figo menutup buku diary itu. Aika datang tepat disaat Figo menjangkau kata terakhir. “Aku lagi baca buku-buku diary Ibu,” ucap Figo ringan sambil tersenyum manis kearah Aika. “Ternyata dulu itu kita pasangan yang nyaris sempurna ya, Bu?” ujar Figo. Senyum manisnya lama kelamaan terasa hambar, dan bahkan pahit. Ada seperti air mata yang tertahan di garis bawah matanya.
Aika tercekat, tak tahu harus berkata apa. Ia merasa tenggorokannya terhantam kayu yang sangat besar, dan seperti ada jutaan kerikil yang menyumbat saluran peredaran darahnya. Ia sadar, wajahnya pasti sangat pucat saat itu.
Untuk beberapa saat, hening menguasai ruangan yang tiba-tiba terasa sangat dingin itu. Sampai akhirnya datang seorang anak berusia 6 tahun yang membuyarkan rapat para petinggi kerajaan sunyi itu.
“Ibu, dipanggil Ayah tuh, kata Ayah manggil Mas Figo-nya jangan kelamaan!” tutur anak itu pada Aika, lalu diiringi lirikan kearah kakak tiri yang namanya baru saja ia sebutkan.

Menanti Kabar Sang Ayah

Aku duduk menantang angin malam, sendirian. Ini sudah malam ke-empat aku termangu di balkon rumahku, menunggu Ayah.
Ayahku pergi 5 hari yang lalu kesuatu tempat di luar kota, dan 2 hari setelah keberangkatan Ayah, terjadi gempa hebat yang meluluhlantahkan hampir seluruh daerah di kota kecil itu, kota tempat tujuan Ayah.
Hampir seluruh tetangga iba melihatku, anak laki-laki pincang berusia 10 tahun yang hampir sepekan ini menghabiskan waktunya hanya untuk menunggu kabar kepastian sang ayah.
***
Pagi ini adalah hari kesembilan setelah berita kejadian gempa itu, namun aku belum mendapatkan kabar tentang Ayah. Setelah menyuapi ibu sarapan pagi, aku kembali melakukan ritual yang sudah lebih dari sepekan ini aku lakukan, memeluk lutut di balkon rumahku, tak sabar menanti kepastian kabar Ayah.
Setiap hari, jantungku berdetak berkali-kali lebih cepat jika mengingat betapa dahsyatnya gempa itu. “Apakah Ayah selamat? Atau….” Kalimat semacam itu yang selalu membanjiri hampir seluruh isi kepalaku. Lalu seutas doa terpanjat dalam hatiku, selalu, kemudian kuamini.
Kadang, tubuhku bercucuran keringat dingin, itu ketika aku mengingat masa-masa bersama Ayah. Aku gelisah. Mengapa aku belum juga mendapat kabar tentang Ayah? Lalu seperti biasa, sebait harapan kupanjatkan pada Yang Maha Kuasa.
Tiba-tiba ada keramaian yang membuyarkan lamunanku. Rangkaian kenangan tentang Ayah terurai seiring semakin kencangnya suara sirine ambulance.
Tepat di depan rumahku, sebuah mobil putih berhenti. Tiba-tiba jantungku berdetak sangat cepat, tak terkendali. Denyut nadiku tak berirama lagi. Tanganku gemetar, dan basah.
Sudah 9 hari aku menunggu, dan akhirnya aku akan melihat lagi wajah Ayah. Aku yakin, sangat yakin bahwa Ayah ada didalam mobil putih itu.
Sambil mencoba mengatasi segala macam kekacauan yang kurasakan, aku setengah berlari menuruni jajaran anak-anak tangga yang entah mengapa terasa lebih banyak dari biasanya.
Aku membuka pintu depan. Sepertinya aku sudah ditunggu.
Entah dengan ancang-ancang atau tidak, seorang wanita memelukku erat, sangat erat. Sampai-sampai luka dibagian punggungku yang sudah hampir sembuh, terasa sakit kembali saat wanita itu mengelus-elusnya sambil samar-samar berkata “Sabar ya! Kamu yang sabar!” ditengah-tengah isakannya. Aku merasa ada yang menetes di dahiku, air mata wanita itu rupanya.
Wanita itu melepas pelukannya, tapi akupun tak melakukan apa-apa selain berdiri didepan wanita yang merupakan tetangga terdekatku tadi. Aku menyapu sekeliling rumah dengan pandanganku, ada banyak sekali warga. Wajah mereka murung, sedih, dan bahkan ada beberapa yang pipinya dibasahi air mata.
Kini jantungku seperti berhenti berdetak. Pikiranku mulai menerka-nerka apa yang kira-kira terjadi pada Ayah. Entah bagaimana mimikku saat ini, aku bahkan tak sempat mengaturnya.
Sejurus kemudian, lewatlah 4 orang pria berpakaian putih. Sepertinya para perawat. Mereka membawa… errr… entahlah, aku tak tahu apa nama besi persegi panjang itu, tapi aku tahu diatasnya terdapat seseorang yang seluruh tubuhnya ditutupi selimut. Apakah itu Ayah? Bahkan aku masih bertanya-tanya.
Wanita tadi lalu menuntunku masuk ke dalam ruang tamu rumahku yang saat ini sangat ramai, kontras dengan hatiku yang hampa.
Aku duduk tepat disamping seseorang yang berbaring itu. Pikiranku kosong sesaat, bahkan aku seperti tidak bisa merasakan apa-apa.
Perlahan, wanita tadi membuka selimut yang menutupi wajah… Ayah! Dia benar-benar ayahku! Salah satu korban gempa yang dinyatakan tewas. Wajahnya sangat pucat dan dipenuhi luka-luka mengerikan.
Walaupun aku sudah sempat menerka-nerka, tetap saja berbeda saat aku melihat dengan mata kepalaku sendiri wajah Ayah. Ayahku kini hanya tinggal jasad. Nafasku sepertinya berhenti.
Entah apa yang menjadi pemacu otot-ototku, aku berdiri dan pergi menerobos kerumunan orang-orang yang kutahu pasti merubah pandangannya terhadapku, dari iba, menjadi heran.
Tapi aku tak peduli. Seperti halnya aku tak peduli dengan keadaan tubuhku. Aku tak merasa pincang kali ini, semua luka-luka ditubuhku pun hilang sakitnya. Kurasa, aku mati rasa.
Ah, persetan dengan apa itu yang disebut rasa. Aku terus berlari menuju kamar paling belakang, tempat ibuku berada. Aku tau rumahku memang cukup besar, tapi sepertinya jarak antara ruang tamu dan kamar ibuku tidak sejauh ini. Kali ini jarak kedua ruangan itu, entah mengapa, jauh lebih jauh.
Aku sampai. Lalu masuk kedalam ruangan besar itu. Sambil mengatur nafas, aku berjalan menuju ke salah satu sudut kamar, tempat dimana ibuku duduk lemas disana.
“Ibu…” panggilku pelan sesaat setelah kakiku berhenti melangkah, aku berada kira-kira 1 meter di depan Ibu.
Ibu menatapku kosong.
Kuhela nafas panjang. “Dia sudah pulang,” ucapku kemudian.
Mata Ibu melebar, walau tetap kosong. Wajahnya terangkat. Aku tahu ia sangat terkejut mendengar kabar yang aku berikan. Tampak sedikit kecemasan dari raut wajah pucat pasinya.
“Tanpa nyawa…” aku melanjutkan kalimatku. “Dia… tewas.” Titik. Aku tahu Ibu tak memerlukan penjelasan apa-apa lagi.
Wajah cemas Ibu seketika berubah cerah saat seutas senyum lega menghiasi wajahnya.
Aku pun tersenyum, sama lepasnya dengan senyum Ibu. Senyum yang sudah sangat lama tak nampak diwajahku, ataupun Ibu.
Jujur, aku tidak pernah sebahagia ini. Terlebih bisa melihat wanita yang selama ini menanggung perih yang sangat dalam, akhirnya tersenyum.
Aku menghampiri kursi roda Ibu dan mendoronnya keluar kamar, menuju ruang tamu.
“Gak sia-sia penantian kita, Bu. Akhirnya Tuhan mengabulkan doa kita. Mulai hari ini, hidup kita bebas dari manusia laknat itu,” ucapku pada seorang wanita paruh baya yang cacat dan buta, karena kelakuan setan sang suami.

Tuesday, July 6, 2010

Mimpi

Malam, ketika cerita hari ini usai, mempersiapkan diri untuk menyambut pagi, dan menjalani peran keesokan harinya. Manusia tidak pernah tau apa skenario yang akan Tuhan tuntut untuk mereka lakoni. Itu alasannya mengapa manusia harus cerdas dan bijaksana.
Aku lelah, seharian ini kegiatanku sangat penuh. Sudah jam 11 malam, aku ingin tidur. Semoga mimpi malam ini indah, sebagai ganti pijat refleksi yang tak sempat kulakukan hari ini karena terlalu padatnya kegiatanku.
Selamat malam…
Lampu mejaku pun padam.
***
Pagi ini aku membaca buku di perpustakaan, sendiri, seperti biasanya. Aku hanyut ke dalam paraghraf demi paraghraf buku ensiklopedia tentang kodok si amfibia.
“Eh, kutu buku busuk!” tiba-tiba ada yang menyapa kasar, kearahku, sepertinya.
Aku mengangkat dagu. Ah, sudah kukira, memang hanya Lintang yang memanggilku seperti itu. Cewek paling cantik dan populer disekolah itu menghampiriku.
Aku menyambutnya dengan wajah datar, baiklah, sebenarnya aku tidak sama sekali ingin menyambutnya.
“Eh, kerjain tugas Fisika gue nih! Abis istirahat anter ke kelas gue ya!” ucapnya tak ramah sambil setengah membanting sebuah buku tulis dan sebuah buku paket tebal secara bersamaan.
Aku masih menatapnya dengan wajah datar.
“Muka lo gak enak banget diliat!” kali ini Falya yang bicara, sama tak sopannya dengan teman yang ada disampingnya. “Lo gak seneng?!” lanjutnya, entah bertanya, atau mendakwa.
Aku hanya diam. Ingin sekali rasanya berteriak “SIAPA YANG SUKA DIPERLAKUKAN SEPERTI ITU, BODOH?!” tapi entah mengapa, aku merasa berteriak didepan 2 pecundang itu hanya akan membuang energiku.
Aku menarik buku-buku Lintang kearahku, dengan sangat hati-hati tentunya. “Iya, nanti aku kerjain,” ucapku pelan tanpa membalas wajah menyebalkan mereka.
“Hah? Nanti? Sekarang, bego!!!” ucap Lintang sambil mendorong kepalaku dengan tangannya.
SIAL! Apa dia tak sama sekali diajarkan sopan santun? Aku kesal, jujur, sangat kesal. Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya meremas-remas telapak tangan kananku dibalik meja, sambil menahan amarah yang sudah mendidih dientah bagian mana dadaku.
“Oke, aku akan kerjain sekarang,” tanggapku, tanpa membumbui sedikitpun rasa marah di setiap susunan kata-kataku. Aku juga tak mengerti mengapa aku bisa sehebat itu menahan rasa kesal. Tapi aku bersyukur dibalik ketidakmengertian itu.
“Udah yuk, Lin, cabut!” ajak Falya, kali ini suaranya lebih pelan. “Gak betah gue lama-lama deket kutu buku busuk kaya dia,” lanjutnya dilengkapi dengan mimik super sinis saat menyebutkan kata terakhirnya.
Aku hanya menghembuskan nafas untuk mengatasi rasa jengkelku, itupun sepelan mungkin, takut kalau Lintang dan Fayla merasa tersinggung dengan helaan nafasku.
Ah, entah mengapa, bahkan disaat direndahkan seperti ini, aku masih saja sempat memikirkan perasaan mereka.
***
Tiba-tiba hari berganti tanpa kusadari. Aku tengah berjalan menuju… entahlah, aku juga tak terlalu mengerti kemana kakiku akan membawaku melangkah. Tapi aku tau, aku tengah berjalan di koridor sekolah menuju kantin. Dan seperti biasa, sendiri.
Aku melewati 4 orang siswi yang sedang duduk di depan kelas, mungkin kelas mereka. Empat siswi itu tengah bencanda hangat, terlihat sangat dekat.
Mereka berlalu, oke, maksudku, aku yang berlalu dari mereka. Tapi otakku masih memikirkan mereka, pershahabatan mereka, tepatnya. Jujur, aku ingin memiliki shahabat, satu orang saja, aku akan sangat bahagia.
Aku ingin bisa berbagi cerita setiap hari, cerita tentang apa saja. Aku ingin bercanda akrab, aku ingin tidak sendirian lagi. TUHAN, TURUNKANLAH SHAHABAT UNTUKKU, TUHAN. Hah, setiap hari aku hanya bisa berteriak dalam hati. Tak ada yang mendengar, kecuali malaikat yang mungkin menertawakan nasib malangku. Oke, maaf aku buruk sangka.
Aku terus berjalan, tak ada yang tersenyum padaku, apalagi menyapaku. Aku memang bukan siapa-siapa di sekolah yang penghuninya anak-anak gaul ini. Ah, gaul… aku bahkan merasa janggal menyebutkan kata itu.
Hatiku galau. Aku masih sibuk mengatasi rasa iriku yang sedang membengkak tak terkendali saat seseorang menabrakku tanpa sengaja. Aku terkejut dan terdorong ke belakang, dan tanpa kusadari, segelas jus durian dengan sempurna mungguyur seragam putihku.
“Ups! Sorry!” ucap si penabrak lengkap dengan wajah menyebalkan.
Ah, ternyata Lintang. Kalau dia, aku berani taruhan ini pasti disengaja.
“Ya, gak apa-apa kok,” tanggapku. WHAT?? “Gak apa-apa”??? Kenapa aku bisa mengeluarkan kalimat itu??? Padahal telingaku nyaris mengeluarkan asap karena amarah yang sudah siap memuncak. Aku tau Lintang sengaja menabrakku!!! Kali ini bukan buruk sangka! Karena Lintang dan Falya memang selalu begitu.
Orang-orang disekitarku hanya tertawa puas. Aku tak melihat ada satu orang pun yang iba. Semua suka jika Lintang menyiksaku, aku sadar itu.
“Kenapa lo minta maaf, Lin?” tanya Falya. “Harusnya Kika yang bilang terima kasih sama lo karena badannya sekarang bau durian, bukan bau kutu busuk lagi,” papar Falya diiringi gelak tawa yang terdengar sangat menyakitkan.
“Oh iya ya! Gue lupa, Fal,” sahut Lintang, lalu tertawa, tak kalah puas dengan temannya itu.
Aku menahan air mata sekuat aku menahan lidahku untuk tidak berteriak di tempat itu. Aku menelan ludah, tapi terasa sulit. Seperti ada sesuatu yang menyumbat tenggorokanku. Aku kesal.
“Permisi, aku mau ke toilet,” ujarku sambil setengah berlari meninggalkan lokasi dimana dua setan itu masih tertawa bahagia.
Aku membersihkan jus durian di seragam bagian depanku. Sial, terlalu banyak, sulit dibersihkan. Bajuku basah. Huh, mau tidak mau aku harus membeli seragam baru di koperasi.
Aku memindahkan bola mataku dari seragam putih bau durian menuju cermin didepanku. Aku menarik nafas dalam, lalu menghembuskannya dengan kasar.
Kulihat lamat-lamat mataku, mata yang selalu pandai berbohong, pandai memalsukan amarah dan kepedihan menjadi ‘baik-baik saja’. Tiba-tiba aku merasa ada yang mengalir di pipiku sesaat setelah aku berkedip. Aku tak bisa lagi menahan rasa sedihku, sedih yang dilapisi rasa sakit yang sulit kuterka seberapa tebal lapisan itu.
Aku selalu direndahkan, dikucilkan, dan diremehkan. Itu sangat menyakitkan. Aku juga manusia, butuh dihargai!!!
Aku memang bukan Lintang, Falya, atau anak-anak lain yang memiliki popularitas tinggi dan teman yang banyak. Aku tidak perlu menjadi terkenal dan kaya seperti Lintang, aku hanya ingin orang-orang menganggapku sebagai manusia, sebagai salah satu pelajar di sekolah ini, bukan tong sampah yang menjadi bahan bulan-bulanan.
Lintang, apa kamu mengerti bagaimana rasanya jadi aku??? Aku sakit, Lintang! Aku sakit setiap kali kamu mengejekku. Bahkan tatapanmu saja sudah membuat hatiku terluka, tatapan yang dalam diam menyerbuku dengan beribu hinaan. Mungkin sekali-kali kau dan Falya harus merasakan bagaimana menjadi diriku, baru kalian akan tau betapa berharganya satu hari saja tanpa kalian menghinaku. Aku juga manusia, kita diciptakan oleh Tuhan yang sama. Aku hanya tidak secantik dan sepopuler kalian, tapi aku manusia. TOLONG HARGAI AKU SEBAGAI MANUSIA!!!
Aku berteriak dalam hati, mengeluarkan semua yang ingin sekali aku katakan didepan wajah Lintang dan anak-anak yang lain. Tapi aku sadar itu tidak mungkin. Aku hanya bisa menelan kesal itu sendiri. Itu sudah seperti makananku sehari-hari.
Airmataku terus mengalir, isakanku semakin jelas terdengar.
Aku ingin ada seseorang disini, aku ingin sesekali menumpahkan amarah ini. Aku ingin ada seseorang disampingku, sekarang.
Tuhan….
“Hey!” tiba-tiba terdengat samar-samar suara menyapaku. Aku menghapus airmataku dan memutar kepala seraya mencari sumber suara. Tapi gagal, tak ada seorangpun di tiolet.
“Hey, Kak!” panggilnya lagi. Dan aku mencari, lagi.
“Hey, Kak, bangun!!!” suara itu semakin jelas, dan seperti ada yang menoyak-oyak pelan tubuhku.
“Kak, banguuuuuunnnnn!!!!!”
Perlahan, aku membuka mata. Remang-remang, aku melihat wajah seseorang, semakin lama, semakin nampak jelas. Ternyata Fisha, saudara sepupuku.
Aku bangun, dan bersandar di sandaran tempat tidurku. Sekujur leher dan dahiku berkeringat, lelah. Ternyata mimpi.
“Lo kenapa, Kak, bangun tidur kaya abis pulang macul, keringetan gitu,” ucap Fisha dengan wajah yang nampak sekali bingung melihatku.
“Nightmare, Sha,” jawabku, pelan, lalu menghela nafas. Sisa-sisa mimpi itu masih melekat diotakku.
“Nightmare?” ulang gadis yang duduk ditempat tidurku itu.
Aku mengangkat punggungku dari sandaran tempat tidur, lalu menyilakan kedua kakiku. “Kakak mimpi tentang Lintang!” ujarku.
“Lintang???” ulang Fisha, lagi. Dahinya mengerut.
“Iya!” jawabku yakin. “Ya Tuhan, Lintang tuh, jahat luar biasa ya! Ada gitu manusia berhati busuk kayak dia! Mentang-mentang Kakak cupu, susah bergaul dan gak punya temen, dia seenaknya aja gitu nyuruh ini nyuruh itu, terus sok-sokan nabarak, numpahin jus durian diseragam Kakak!” paparku panjang lebar. Akhirnya aku bisa meluapkan semua isi hati yang sudah lama membusuk dalam diriku sendiri. “Mentang-mentang hidupnya sempurna dan dia punya segalanya!” tambahku.
“Kak, mimpi lo kok…”
“Ini bukan mimpi, Sha!!!” tegasku memotong kalimat Fisha.
Fisha sedikit terkejut, lalu diam.
“Ini tuh, kaya kejadian nyata, cuma diputer lagi di dalam mimpi. Lintang tuh, setiap hari emang selalu kayak gitu! Jahatnya setengah mati!” tuturku lagi, semakin emosi.
“Kak, lo sakit ya?” tanya Fisha seraya menyentuh dahiku dengan punggung tangannya.
“GUE KESEEEELLLLLL!!!!!” teriakku lepas, seakan-akan orang yang ada didepanku adalah Lintang, bukan Fisha sepupuku.
Dengan wajah yang terlihat agak ketakutan, Fisha mengambil segelas air di meja sebelah tempat tidurku. “Minum dulu, Kak,” ucap Fisha seraya memberikan segelas air putih itu.
Aku pun mengambilnya dan langsung meneguknya dalam satu kali minum. Habis.
“Astaga….” gumam Fisha, dan aku mendengarnya.
“Lintang tuh, manusia laknat, terkutuk!!!” lanjutku lagi, sambil meletakkan gelas yang sekarang kosong itu, ketempatnya semula. Aku mengelap bibir dengan punggung tanganku. Lega. Tenggorokanku yang tersumbat amarah selama dalam mimpi itu, akhirnya dialiri air yang membuatku merasa sedikit lebih baik.
Aku menghela nafas, begitu juga Fisha. “Kenapa coba, Tuhan nyiptain manusia-manusia gak tau diri kayak Lintang sama temennya tuh, si Fal…” kalimatku terhenti saat seseorang tiba-tiba masuk ke kamarku yang memang pintunya terbuka itu.
“Kok, lo masih ditempat tidur sih?” ucap perempuan berseragam putih abu-abu itu sambil mendekat kearah tempat tidurku.
“Falya???” gumamku. Tiba-tiba ada sesuatu yang kurasa mencubiti perutku dan mencakar-cakar kepalaku. Tak jelas bagaimana rasanya, tapi aku merasa aneh. Aku mengerutkan kening, mungkin lebih berkerut dari kening Fisha beberapa waktu lalu. Heran.
“Kok lo belum siap-siap sih, Lin, bukannya kita harus dateng ke sekolah lebih awal ya? Katanya mau nyiapin jebakan buat Kika si kutu buku busuk itu!” papar Falya.
Entah mengapa, jantungku tiba-tiba berdegup cepat. Dan aku seperti bisa merasakan aliran darah dalam setiap pembuluh di tubuhku.
Tiba-tiba sesuatu muncul dipikiranku, dan aku berusaha menghindar memikirkan itu, tapi tidak bisa. Aku terganggu. Aaaaaaaaaarrrgghhh!
Jangan-jangan…… Ah, aku bahkan tak sampai hati mengatakannya, walaupun hanya dalam hati. Tidak mungkin, tapi perlahan aku menyadarinya, dan semua menjadi sangat mungkin.
Aku memalingkan wajah kearah Fisha, menatap anak itu, mencoba menyampaikan sesuatu tanpa mengucap sepatah katapun. Dan aku tau ia mengerti.
Fisha menjawab tatapan mataku, ia mengangguk pelan.
Aku menelan ludah, tapi tengorokanku kembali tersumbat, seperti saat aku dalam mimpi.
Ya Tuhan….

About Me

My photo
Tangerang, Banten, Indonesia
bukan penulis, bukan pengarang, hanya pecinta keduanya.