Friday, November 9, 2012

Karena Terima Kasih Itu Sakral

Pagi ini aku membuka lagi akun twitterku, setelah selama satu minggu mengabaikannya. Aku terlalu sibuk sepekan kemarin. Sibuk mengurusi masalah hati. Belum sempat memikirkan akan berkicau apa, aku menemukan salah satu status teman virtualku. Begini bunyinya:

@imyoonique: Taeyeon's quote that I love the most: "Between people who truly care and love each other, there are times where you don't need to say anything at all. Those emotions that are hard to express with words. Things like "I love you" and "Thank you," you don't really need to say those words." - Kim Taeyeon (Taeyeon's Chin Chin Radio, 13th January 2009).

Sunday, November 4, 2012

Bukan Hujan Yang Sama


Hujan memberikan cerita berbeda seiring bertambahnya usia. Usiaku, bukan usianya. Hujan juga memberikan kesan yang tak sama selama perjalanan hidupku. Hujan yang turun di waktu yang berbeda, bukanlah hujan yang sama. Kau keliru jika kau merasa bertemu hujan ketika ia turun setelah lama merindukannya. Karena hujan yang kau rindukan dengan hujan yang datang kemudian adalah hujan yang berbeda.

Sunday, October 28, 2012

Masih


Sekarang pukul 12 lewat 30 menit, bertanda kereta api Argo Parahyangan yang menuju Stasiun Bandung akan segera berangkat 15 menit lagi. Aku berjalan cepat sambil mencari gerbong yang sesuai dengan yang tertulis di tiket keretaku. Dan akhirnya aku menemukannya. Sekarang aku sedang mencari tempat dudukku. Kutelusuri satu demi satu rentetan bangku abu-abu di kelas bisnis kereta jurusan Jakarta-Bandung ini. Dan akhirnya aku menemukannya. Tapi….
“Arion?” aku menyebutkan nama seseorang yang sedang duduk di bangku yang sama dengan bangkuku.
Ia menoleh. “Mova?” alisnya terangkat.
Aku sekali lagi melihat tiketku, memastikan sambil berharap bangku ini bukan bangku yang harus aku tempati. Tapi sialnya, ini memang tempat dudukku.
“Kamu duduk di sini?” tanya Arion.
Aku tak menjawab. Perlahan, aku duduk di sampingnya sambil membuang muka sekenanya. Memandangi apa saja, asal bukan orang yang sekarang ada di sebelahku. Degup jantung dan denyut nadiku berlomba-lomba, seakan siapa yang lebih cepat ia yang menang. Aku sampai lupa mengeluh perihal mendapatkan tempat duduk di pinggir, bukan di dekat jendela.

Tuesday, October 23, 2012

Cerita Cinta Pertama

Another challenge nih. Setelah Mr. Ladang Mentega alias Diqal (pake Q bukan pake K) nantang buat bikin cerita 'NOL'-nya dalam POV tokoh lain, sekarang dia nantangin buat bikin cerita happy ending. HAPPY ENDING? Denger kata itu, gue langsung ngecek isi blog gue dan ternyata gue emang gak menemukan cerita happy ending sama sekali. Oke, happy ending sih, tapi happy dalam sudut pandang yang gimana dulu. Dan ini hasilnya. Iya, spoiler, cerita ini bakal happy ending. Dan ternyata susah banget bikin cerita berakhir bahagia (yang dari awal orang udah tau kalo endingnya bakal bahagia, TAPI HARUS TWIST. Susah banget. Jadi, maklum kalo hasilnya kurang maksimal. Enjoy~

~~~

“Jadi… kamu mau jadi penulis?” tanya pria berkumis tipis di depanku, salah seorang petinggi di sebuah penerbitan ternama.
Aku mengangguk pelan.
Laki-laki berkacamata yang terhalang sebuah meja kerja berlapis kaca hitam itu ikut mengangguk-angguk. “Pernah nulis cerita dan dimuat di majalah?” tanyanya lagi.
Aku menggeleng pelan.
“Gak pernah?” tanyanya lagi, memastikan, atau entah apa namanya, yang pasti aku tak suka nada bicaranya kali ini. Seperti meremehkan.
“Mungkin belum, bukan enggak,” tanggapku, berusaha sesopan mungkin.
Pria di hadapanku tertawa. Astaga, tawanya pun tawa meremehkan.
“Katanya kamu bawa tulisan karya kamu untuk saya baca?” tanya laki-laki itu.
“Oh, iya iya, saya bawa,” ucapku sambil memberikan beberapa lembar kertas yang sedari tadi kuletakkan di atas pahaku.
Ia mengambilnya, dan dengan wajah serius mulai membacanya.


Friday, October 19, 2012

Drama


Namaku Dion, dan perempuan yang sedang menangis di sampingku adalah Safira. Kau bisa memanggilnya Fira, atau Safi dengan aksen Sunda jika kau sedang kesal padanya. SAPI!!!
Pertunjukan selesai, tirai panggung ditutup, dan lampu teater dinyalakan. Wajah Fira benar-benar banjir air mata. Lebih menyeramkan dari yang kukira. Aku mengernyit. “Kenapa nangis? Ini kan, cuma drama!” ucapku sambil berdiri.
Fira ikut berdiri. “Kan, sedih Yon,” jawabnya sambil mengusap-usap wajahnya.
Lebay banget.
“Tapi tetep aja cuma drama!”
“Walaupun drama, tetep aja sedih!” ia memelototiku. Seram.

Thursday, October 18, 2012

TUNGGU!!!


Namaku Safira, dan orang yang sedang menggendongku ini bernama Dion. Kenapa? Tampan? Kau suka? Ah, kau bahkan tidak punya waktu untuk sekedar mencukur kumismu, bagaimana kau bisa meluangkan waktu untuk menyukai Dion?
Dion sangat tampan. Seluruh penghuni planet bumi beserta masing-masing malaikat penjaga tau itu. Dan orang-orang bilang sih, aku dan Dion adalah pasangan paling cocok seantero jagat raya. Aku hanya tertawa setiap mendengar kalimat itu. Aku dan Dion sudah berteman sejak kami baru mengerti bahwa 2 dikali 2 sama hasilnya dengan 2 ditambah 2. Kami sudah bersahabat, oh malah berkeluarga sejak kecil. Bukan, bukan berkeluarga yang seperti itu maksudnya.
Kakiku terkilir barusan, saat pengambilan nilai basket. Aku tidak suka basket, Dion tau itu. Ah, apa sih, yang Dion gak tau tentang aku? Begitupula sebaliknya. Aku tau apapun tentangnya. Ya, apapun. Termasuk…..

Friday, October 12, 2012

The Guardian




Aku menatap Fakhri dari depan kelasku. Senyum yang selalu ia berikan pada setiap orang yang menyapanya, sinar yang selalu hangat terpancar dari matanya, dan tutur kata lembutnya yang kuyakin tak ada seorangpun yang bosan berbicara lama-lama dengannya.
Miris. Kenapa ia sangat berbeda? Aku kembali mengingat kejadian kemarin malam, saat Fakhri memarahi seorang anak usia 3 tahun dengan –menurutku- cukup kasar.
Aku baru saja selesai mandi saat kudengar Fakhri sedikit berteriak dari ruang tengah.
"Ini tuh, huruf D!" teriak Fakhri. "Bisa bilang D gak sih?! Dari tadi A B C terus, gimana mau bisa?!" lanjutnya.
Aku cepat-cepat membungkus rambutku yang masih basah dan lari ke ruang tengah, tempat Fakhri -seharusnya- mengajarkan putrinya mengenali huruf.
"Ini tuh, huruf D! DE!!!" teriak Fakhri sambil menunjuk, oh tidak, ia menekan huruf D di buku panduan pengenalan huruf di depannya.
Aku langsung meraih anak perempuan mungil yang sekarang sedang menangis ketakutan dipelototi ayahnya, bukan sedang mendapatkan pelajaran seperti yang aku ucapkan sebelum aku melangkah ke kamar mandi, "Belajar baca dulu ya, sama Ayah."
Ah, laki-laki ini. Aku tak habis pikir bagaimana ia bisa membentak anak usia 3 tahun hanya karna tidak mengenali huruf D. Aku tak berkata apa-apa, hanya menggendong Kaira, mencoba menenagkannya, sambil menatap kesal kearah ayahnya.

Jangan Pergi Sekedar Pergi, Bodoh!

Bukankah aku sudah pernah bilang, jangan buat aku menjadi ketergantungan!
Kau bilang, “aku hanya menyayangimu dan bukan ingin membuatmu membutuhkanku
Sampah!
Kau berkata seenakmu
Tanpa tau
Aku
Disakiti oleh kalimat itu

Karena cahaya itu masih selalu berpendar melalui salah satu arteriku
Cahaya indahmu
Yang menghangatkanku, dulu
Dan terlalu panas untuk kurasakan saat ini hingga nyaris membunuhku

Wednesday, September 12, 2012

Beyond Love


Pernahkah kau mencintai seseorang sampai kau merasa tidak ada lagi orang lain yang kau inginkan dalam hidupmu kecuali orang itu? Pernahkah kau menyayangi hati yang seakan-akan kau ingin menjaganya sampai kau mati? Pernahkah kau benar-benar tergila-gila pada seorang gadis hingga tidak ada sepersekian detik pun dalam hari-harimu tanpa ia muncul di lintasan benakmu? Pernahkah kau membutuhkan seseorang hingga kau rela dimusuhi oleh seluruh penduduk dunia asalkan bisa ada disampingnya? Tidak, penduduk dunia tidak memusuhiku, sebenarnya. Mereka bahkan tidak mengenalku. Ini hanya perumpamaan, oke?

Monday, August 6, 2012

Bukan Satu

NOTE:
There was a nice fict titled "NOL" created By Hadiqal:
http://aboxofglass.blogspot.com/2012/07/nol.html 

And this is the other point of view :)
______



Tik… Tik… Tik…
Pukul 3 pagi, aku menatap jam weker digital di meja kamarku. Memastikan dua titik di tengah angka pada jam itu tetap hilang, muncul, hilang, muncul, dan terus seperti itu dengan jarak waktu yang sama, tidak bertambah cepat. Seperti tidak pernah mengenal kata bosan sepanjang perjalanan rumahtanggaku, aku menunggu Reza, suamiku, masuk kedalam kamar.

Lama, dan tak juga terdengar tanda-tanda langkah kaki mendekati kamar kami. Mungkin suamiku sangat sibuk diruangannya.

Aku bangkit dan menuju kamar kerja Reza. Perlahan kubuka pintunya. Sejenak, kupandangi tubuhnya yang tampak begitu lelah, wajahnya yang sedikit pucat pasi, dan sinar matanya yang tak jelas memancarkan warna apa. Terlalu banyak yang harus ia pikirkan, sepertinya.

“Reza,” aku memanggil namanya, lembut.

“Apa?” sahutnya, dingin, dan tanpa menoleh sedikitpun kearahku. Sama seperti malam-malam sebelumnya.

Saturday, August 4, 2012

Stephani



Entah sugesti apa yang diberikan gadis gila ini dan entah bagaimana caranya, aku melepas predikat perempuan malasku dan mulai mencari pekerjaan yang menghasilkan cukup uang. Untuk makan, membeli pakaian, dan untuk pengobatan. Ya, aku pernah berjanji pada diriku sendiri akan membawa Stephani –aku mengetahui namanya dari KTP yang kutemukan didalam tas lusuh yang kubawa dari rumah tempat aku menemukannya dulu- ke rumah sakit, jika uangku terkumpul lagi setelah membelikannya kursi roda. Bukan terlalu baik, tapi apa kau mau menggendong kemana-mana orang yang tinggi dan berat badannya hampir sama denganmu?

Saturday, February 18, 2012

DENDAM


Jangan salahkan aku jika sekarang aku mencintainya. Kau yang mengenalkan Tifara padaku, Gira. Kau pasti tak menyangka bahwa kau adalah sumber kekacauan hidupku. Karena dirimu, aku hancur. Bayangkan, aku mencintai gadismu. Aku mencintai kekasih shahabat baikku. Dan cintai itu benar-benar membuat aku gila. Bayangkan!

Tuesday, January 24, 2012

DULU


Dulu. Sebuah kata yang sungguh sangat memilukan. Berani taruhan, apapun yang diiringi dengan kata itu akan berujung dengan kepedihan. Paling tidak, itu yang selalu terjadi padaku.

Aku berjalan diantara pohon-pohon pinus yang berbaris rapi dan tegap. Angin sore yang membelai rambutku sangatlah sejuk. Namun tak jua menyejukkan hatiku yang hampa terbelenggu oleh semua kenangan. Dulu. Dan sangat menyakitkan.

Aku menepi, dan bersandar disalah satu pohon ditaman itu. Dulu, aku pernah melihat orang yang paling kucintai menggendong gadis lain di seberang tempat ini. Aku mendekatinya dengan hati galau yang tak bisa kujelaskan. Kai dengan cepat menjelaskan bahwa gadis itu adalah temannya, dan kakinya terluka sehingga ia harus menggendongnya. Tapi aku kalut. Marah. Emosi. Aku berlari meninggalkannya saat itu. Dan sekarang, aku hanya tertawa kecil mengingatnya. Seperti melihat lagi adegan-adegan itu didepan mataku. Kenangan pahit. Menyakitkan. Bukan karena perempuan itu, tapi karena aku tak bisa lagi menunjukkan rasa cemburuku dihadapannya seperti dulu.

Aku bangkit dari bayang-bayang itu, kembali melangkahkan kakiku dan beranjak menuju bangku panjang kosong disalah satu tepi jalan. Kuhampiri, lalu aku duduk diatasnya. Diam. Diserbu jutaan keping rerun masa lalu. Aku pernah duduk disini bersama Kai. Bukan pernah, tapi sangat sering. Kai sangat suka merangkulku dan membiarkanku bersandar dibahunya. Sangat menenangkan. Aku lalu mengarahkan pandanganku pada seorang penjual permen gula diseberangku. Kai sering membelikanku permen itu. Kai sangat baik. Dia yang terbaik yang pernah kumiliki. Dan sekarang aku merindukannya. Merindukan Kai dan semua kenangan bersamanya. Kenangan manis yang sekarang terasa sangat menyakitkan.

Aku terperangkap pada perbedaan masa dimana sekarang semua itu benar-benar hanya masa lalu yang aku tak bisa kembali kesana. Tak bisa kembali pada Kai. Kami telah berpisah, dan semua orang tau itu. Sedang apa Kai sekarang, bagaimana keadaannya, apa ia baik-baik saja, apa ia merasa kesepian tanpaku, dan pertanyaan lain semacam itu selalu memenuhi benakku. Semua yang terjadi dimasa lalu benar-benar mengiris hatiku saat aku menyadari bahwa semua itu benar-benar sudah berlalu. Tak ada lagi Kai. Tak ada lagi kami.

Aku bangun dan kembali menyusuri jalan taman yang dipenuhi daun-daun kering yang berguguran. Terus berjalan hingga ujung taman. Berbelok, aku masuk kesebuah taman lain diujung taman yang baru saja kulewati. Merah tanah dan hujau rumput disepanjang pandangan mataku. Aku terus berjalan menyusuri jalan setapak taman itu dan menghampiri seseorang yang sedang berdiri seorang diri disana.

Aku berhenti tepat disampingnya. Kutatap wajah laki-laki itu. Matanya merah dan berair. Nafasnya tersenggal.

“Aku baik-baik saja,” tutur pria itu, lirih. “Bahkan sangat baik untuk terus mencintaimu hingga seratus tahun kedepan,” lanjutnya sambil menahan isak.

Aku menatapnya sendu. Kai-ku.

“Jangan pernah merasa kesepian, aku akan terus berada disisimu,” ujarnya lagi seraya meletakkan satu buket bunga diatas batu nisan bertuliskan namaku.

Sesaat bergeming, ia lalu melangkah pergi setelah sebelumnya menyeka air mata yang nyaris membasahi pipinya.

Monday, January 23, 2012

Penghuni Lama Rumah Jalan Anggrek Nomor 31


Aku berdiri didepan sebuah rumah bernomor 31 di Jalan Anggrek. Rumah yang tidak pernah lagi kuinjak sejak dua bulan lalu, namun selalu kuawasi.

Ada seorang kakek pegawai pos yang sedang terbingung-bingung setelah keluar dari pagar rumah itu. Ia menggaruk-garuk kepalanya sambil memandangi bangunan yang ada didepannya.

“Kakek,” sapaku seraya menghampirinya.

“Kau…” tanggap kakek itu, wajahnya sangat tampak terkejut melihatku.

Saturday, January 7, 2012

Jalan Anggrek Nomor 31

 “Permisi!” teriakku, sambil membawa sekotak pizza berukuran kecil didepan sebuah rumah bernomor 31. “Permisi!” teriakku lagi. Tak mendengar jawaban, akhirnya kubuka pintu pagar yang tidak terkunci itu. “Permisi! Harmony Pizza!” teriakku lagi, berharap seseorang yang sedang kelaparan menunggu, keluar dengan antusias menjemput pizza yang dipesannya.

Lama. Tak juga ada jawaban. Aku sedikit melongok kedalam rumah lewat pintu yang memang tidak ditutup itu, bahkan terbuka cukup lebar. Tidak kosong. Ternyata ada seorang gadis yang sedang duduk di sofa ruang keluarga.

“Permisi, Nona!” ucapku lagi.

Sang gadis hanya diam. “Nona, Harmony Pizza datang!” lagi, sedikit lebih keras, memastikan suaraku terdengar oleh gadis itu.

Tidak juga mendapat respon, meski sedikit takut dianggap tidak sopan, perlahan aku mulai melangkah masuk kedalam.

“Maaf, Nona, anda pesan pizza?” tanyaku pelan, seraya sedikit menunduk untuk mengjangkau mata gadis yang sedang duduk sendiri menghadap kearah televisi itu.

Merinding. Tiba-tiba seperti ada angin yang meniup lembut leherku. Aku merasa ada keanehan pada gadis ini. Tak sedikitpun gadis itu bertingkah seperti ada seseorang yang masuk kerumahnya. Ia hanya diam. Duduk dengan tatapan kosong kearah televisi yang sedang sibuk mempertontonkan sebuah tayangan tanpa suara.

About Me

My photo
Tangerang, Banten, Indonesia
bukan penulis, bukan pengarang, hanya pecinta keduanya.