Aku menatap Fakhri dari depan
kelasku. Senyum yang selalu ia berikan pada setiap orang yang menyapanya, sinar
yang selalu hangat terpancar dari matanya, dan tutur kata lembutnya yang
kuyakin tak ada seorangpun yang bosan berbicara lama-lama dengannya.
Miris. Kenapa ia sangat
berbeda? Aku kembali mengingat kejadian kemarin malam, saat Fakhri memarahi
seorang anak usia 3 tahun dengan –menurutku- cukup kasar.
Aku baru saja selesai mandi saat kudengar Fakhri sedikit berteriak
dari ruang tengah.
"Ini tuh, huruf D!" teriak
Fakhri. "Bisa bilang D gak sih?! Dari tadi A B C terus, gimana mau
bisa?!" lanjutnya.
Aku cepat-cepat membungkus rambutku yang masih basah dan lari ke
ruang tengah, tempat Fakhri -seharusnya- mengajarkan putrinya mengenali huruf.
"Ini tuh, huruf D! DE!!!" teriak Fakhri sambil
menunjuk, oh tidak, ia menekan huruf D di buku panduan pengenalan huruf di
depannya.
Aku langsung meraih anak perempuan mungil yang sekarang sedang
menangis ketakutan dipelototi ayahnya, bukan sedang mendapatkan pelajaran
seperti yang aku ucapkan sebelum aku melangkah
ke kamar mandi, "Belajar baca dulu ya, sama Ayah."
Ah, laki-laki ini. Aku tak habis pikir bagaimana ia bisa membentak
anak usia 3 tahun hanya karna tidak mengenali huruf D. Aku tak berkata
apa-apa, hanya menggendong Kaira, mencoba menenagkannya, sambil menatap kesal
kearah ayahnya.