
Hujan
memberikan cerita berbeda seiring bertambahnya usia. Usiaku, bukan usianya. Hujan
juga memberikan kesan yang tak sama selama perjalanan hidupku. Hujan yang turun
di waktu yang berbeda, bukanlah hujan yang sama. Kau keliru jika kau merasa
bertemu hujan ketika ia turun setelah lama merindukannya. Karena hujan yang kau
rindukan dengan hujan yang datang kemudian adalah hujan yang berbeda.
Saat usiaku masih dalam hitungan jemari, hujan adalah keceriaan. Usiaku 7 tahun, dan aku selalu bahagia saat hujan turun. Hanya mengenakan celana bola, bergerombol mengelilingi desa dengan sepeda, saling memanggil dengan berteriak, bernyanyi, tertawa, ah indah sekali. Saat itu, hujan adalah teman baikku, saat dimana keputusan tersulit dalam hidup hanyalah menentukan pulang lewat jalan yang sama atau berputar melewati desa sebelah.
Tak terlalu
jauh dari masa sekolahdasarku, hujan menjadi sangat kejam di mataku. Aku menjadi
anak berumur 13 tahun yang selamat dari cengkraman maut. Saat itu hujan turun
dengan sangat bersemangat, dan sebuah truk menabrak sepeda motor yang sedang
dikendarai ayahku, dan aku dib elakangnya. Aku selamat, tapi tidak dengan ayah.
Dengan mata kepalaku sendiri, kulihat darah dari tubuh ayah tersiram hujan dan
mengalir bersama air menggenangi jalan raya yang seketika dipenuhi banyak
orang. Aku menahan tangis sambil mengatur detak jantung yang kuharap berhenti
saat itu juga. Nafasku sesak. Tubuhku basah kuyup diserbu air sialan yang
membuat jalanan sangat licin sehingga ayah tidak bisa mengendalikan rem dengan
baik saat truk (yang jauh lebih sialan) itu melaju cepat di jalur terlalu
kanan. Aku masih mengingat jelas kejadiannya. Bahkan sampai detik ini. Ya,
kalau tidak, aku tidak akan bercerita seperti ini. Hujan adalah musuh
terbesarku saat itu. Aku membencinya, bahkan sangat membencinya.
Ketika mulai
beranjak dewasa, tepatnya di usia 25, aku menemukan seorang wanita yang tak tak
pernah berhenti membuat hatiku penuh sesak dengan cinta. Aku tipikal pria
pendiam, jadi tak heran jika sampai usia 25, aku belum pernah berpacaran sama
sekali. Aku belum pernah menyatakan perasaanku pada wanita manapun. Dan lagi
pula, aku memang belum pernah mencintai dengan cinta pada level dimana aku merasa
harus mengutarakannya. Tapi kali ini berbeda. Aku benar-benar jatuh cinta. Gadis
itu sempurna menjadi wanita kedua yang sangat kusayangi, setelah ibuku. Gadis berambut
hitam panjang itu memaksa hatiku untuk menyatakan cinta itu.
Kata Ibuku,
wanita takkan mudah lupa jika diperlakukan dengan tidak biasa oleh laki-laki. Tentu
saja ‘tidak biasa’ disini adalah ‘tidak biasa’ yang berkesan baik. Karena ia
adalah wanita pertamaku, dan juga kuharapkan menjadi yang terakhir bagiku, maka
aku akan membuat pengakuan cinta ini menjadi sangat spesial. Maka aku datang
kerumahnya ketika hujan, memanggil namanya, dan melamarnya. Aku tidak terlalu
optimis, sebenarnya. Aku datang dengan hanya membawa cinta. Tanpa kendaraan,
karena rumahnya hanya berjarak beberapa meter dari rumahku. Tanpa gelar, karena
aku bahkan tidak memiliki cukup uang untuk melanjutkan kuliah. Tanpa bunga,
karena uangku hari ini hanya cukup untuk membeli obat untuk ibu. Dan tanpa
cincin, bunga aja gak kuat beli apalagi cincin. Tapi mungkin Tuhan mengirimkan
malaikat-malaikat keberuntungan lewat bulir-bulir hujan. Aku diterima, olehnya,
dan juga keluarganya. Ayahnya memang sangat menyukaiku, aku pernah mendengar
beliau mengatakan itu pada ibuku. Katanya, aku adalah salah satu pemuda di
lingkungan tempat tinggalku yang, walaupun pendiam, tapi sangat baik dimata
masyarakat.
Dan akhirnya
kami menikah, setelah bekerja keras menabung untuk biaya pernikahan kami. Saat itu,
istriku sangat menyukai hujan. Katanya, hujan adalah definisi dari kata romantis.
Dia bilang, pria yang menyatakan cinta di tengah derasnya hujan adalah pria romantis.
Menurutku biasa saja, tapi karena aku mencintai istriku, jadi saat itu aku ikut
menganut faham raintisme atau apalah
itu namanya. Yang kutahu, saat itu hujan adalah dewa keberuntunganku.
Lalu satu
setengah tahun setelah pernikahanku, istriku melahirkan. Aku sedang berada di
sebuah kantor megah yang belum jadi, saat salah seorang tetaggaku menelepon dan
memberitahu bahwa istriku dibawa kerumah sakit karna perutnya mulai mulas. Aku seorang
kuli bangunan yang sedang mengerjakan sebuah kantor yang rencananya akan di
bangun setinggi 9 lantai. Dan saat itu aku sedang beristirahat karena hujan
turun sangat deras. Namun setelah mendapat telepon dari tetanggaku, tanpa pikir
panjang aku langsung meminta izin pada Pak Mandor dan mencari bajaj menuju
rumah sakit.
Aku berlari
menyusuri koridor rumah sakit dengan pakaian basah kuyup karena kehujanan. Hingga
sampailah aku di hadapan dokter yang langsung menyambutku dengan berita yang membuat
lututku lemas seketika. Aku ingat, beberapa bulan yang lalu aku sempat meminta
istriku menggugurkan kandungannya karena dokter bilang kondisi rahimnya tidak
terlalu baik. Tapi ia tetap ingin mempertahankannya. Mempertahankan anak kami. Dan
di tengah deras hujan yang dilengkapi dengan petir yang sahut menyahut dengan
lantang, akhirnya anak pertama kami lahir dengan selamat. Tapi tidak dengan
ibunya.
Kukira, hari
kelahiran anak pertamaku akan menjadi hari yang paling membahagiakan dalam
hidupku selain hari pernikahanku. Tapi siapa yang pernah mengira bahwa hari
yang kunanti itu ternyata bertepatan dengan hari kematian istriku. Perempuan yang
sangat kusayangi, pergi demi keselamatan perempuanku yang lain. Aku mati rasa. Tak
mengerti merasakan apa, tapi pipiku tanpa sadar dititiki air mata. Air mata…. Aku
berani sumpah, sejak masuk sekolah menengah pertama, aku tak pernah menangis.
Tidak sama sekali, bahkan ketika ayahku meninggal dunia sekalipun.
Aku pernah
berkata, tidak akan ada satu hal pun yang bisa membuatku menangis. Dan jika hal
itu terjadi, itu adalah hari dimana aku gagal menjadi seorang laki-laki. Dan tanpa
sama sekali kusangka, hari itu pun tiba. Aku menangis. Iya, menangis. Sialan.
Hujan. Ia
mengingatkanku pada banyak hal yang kulewati dalam hidup ini. Ia mengingatkanku
rasa bahagia, rasa kehilangan, rasa sakit, rasa cinta, dan bahkan kesedihan
yang sebelumnya tak pernah kuterka. Ya, siapa juga yang mampu menerka takdir.
Hari ini
rintik-rintik hujan menggelitik dedaunan yang sudah hampir seminggu tidak terjamah
air langit itu. Dan dalam hitungan detik, gerimis menyeru memanggil sekutu dan
kemudian hujan melantun dengan merdu. Sudah satu minggu sejak kelahiran putri pertamaku,
artinya sudah satu minggu pula istriku pergi meninggalkanku, dan meninggalkan
semuanya. Aku sudah baik-baik saja, paling tidak aku terlihat baik-baik saja. Orang-orang
bilang, anakku sangat cantik. Tapi aku sendiri belum pernah memandangi wajahnya
lebih dari satu menit. Aku selalu mengingat almarhumah istriku setiap kali
melihat wajahnya. Sejujurnya, aku belum bisa menerimanya. Menerima semuanya.
Angin
mendampingi derasnya hujan sore ini. Tak ada satu pun anak-anak kecil berlari
sambil telanjang dada dan tertawa menikmati segarnya air hujan seperti yang
selalu kulakukan dulu. Tak ada lagi keceriaan itu. Sepertinya hari ini hujan
tidak membawa kabar gembira, seperti hujan terakhir yang mengguyur tubuhku
seminggu yang lalu.
Aku mendengar
suara istriku. Ah, tidak, bukan istriku, itu suara tangisan putriku. Entah apa
yang ia tangisi. Ia bahkan tak tau kalau ibunya pergi hanya demi membiarkannya
merasakan pahitnya hidup. Kalau saja aku bayi dan aku bisa memilih, aku pasti
akan memilih mempertahankan hidup ibuku. Seandainya semua bayi tau betapa beratnya
hidup…. Kasihan putriku….
Aku memandangi
wajah anakku. Lama. Ini yang terlama yang pernah kulakukan sejak hari pertama aku
berbagi oksigen dengannya. Dan mereka tidak berbohong, ia memang sangat cantik.
Cantik. Andai saja aku bisa menggendongnya, menimangnya, dan mencium pipi
merahnya.
Seorang laki-laki
berbadan tegap menghampiri seorang
wanita yang tengah mengayun-ayun putriku dalam pelukannya.
“Ini,”
ucapnya seraya memberikan secarik kertas yang dimasukkan kedalam plastik bening.
“Apa?” tanya
wanita itu.
“Baca
sebentar, sebelum kami bawa ke kantor polisi,” ucap laki-laki bercambang
panjang itu.
Wanita yang
sedang berusaha mendiamkan putriku dari raungannya itu mengambil apa yang
diberikan laki-laki berseragam itu dengan sebelah tangannya.
“Siapapun
yang baca ini, tolong jaga Ara, dan kalau bisa tolong lunasi hutang biaya rumah
sakit juga. Maaf ngerepotin.”
“Kami
menemukan ini di dekat tempat korban meminum racun serangga,” ucap polisi itu.
Wanita tadi
memberikan lagi surat kecilku itu pada polisi, membuang muka, dan dengan wajah
tak senang pergi meninggalkan rumah kecil yang sedang ramai dikerubungi warga,
setelah sebelumnya meminta seseorang lain membukakan payung untuknya.
jadi, SIAPA WANITA ITU? WE NEED SE-FRIGGIN-QUEL!!!
ReplyDeletemenarik, mind-fucked pas di akhir cerita. ternyata selama ini yang bercerita adalah hantu. help moi!!!
keren dan menarik, apparently :)
kembali ke genre ini setelah beberapa ceritaku yang terakhir kayaknya agak garing ending #krik
ReplyDeletethankyouuuu~
ini genre paling susah loh buat kebanyakan orang.
Deletenyastra tapi kewl. semacam keren banget pake z tiga.
aku ga bisa bikin cerita orang yang ga mampu terus putus asa. :''''(
tergantung ah menurutku cerita komedi romantis itu susah banget. ga bisa bisa -_-
ReplyDeletetapi di cerita-ceritamu juga banyak keputus asaan tersirat kok (?)
aku juga ga bisa itu!! yang horor juga, gila itu susah bangett.
Deleteceritaku mah cerita orang depresi semua :(
aku ga mau dikasih tantangan nih?
horor banget banget aku blacklist deh jangankan bikin, baca aja aku gak mau.
ReplyDeletemau tantangan apa? (lha kok malah balik nanya)
yeah, horror cuma bikin parno.
Deleteapa ya?? auk. kan mestinya kamu yang ngasih
ini sih namanya kamu yang ngasih aku tantangan buat mikirin tantangan buat kamu haha
ReplyDeletewahh keren karistii wk yang bercerita ternyata udah mati wk -_- tapi kok bisa dia nulis cerita (?) terus kenapa dia bunuh diri?
ReplyDeletejangankan orang mati dim, tembok juga bisa kok cerita haha
ReplyDelete