Friday, October 12, 2012

The Guardian




Aku menatap Fakhri dari depan kelasku. Senyum yang selalu ia berikan pada setiap orang yang menyapanya, sinar yang selalu hangat terpancar dari matanya, dan tutur kata lembutnya yang kuyakin tak ada seorangpun yang bosan berbicara lama-lama dengannya.
Miris. Kenapa ia sangat berbeda? Aku kembali mengingat kejadian kemarin malam, saat Fakhri memarahi seorang anak usia 3 tahun dengan –menurutku- cukup kasar.
Aku baru saja selesai mandi saat kudengar Fakhri sedikit berteriak dari ruang tengah.
"Ini tuh, huruf D!" teriak Fakhri. "Bisa bilang D gak sih?! Dari tadi A B C terus, gimana mau bisa?!" lanjutnya.
Aku cepat-cepat membungkus rambutku yang masih basah dan lari ke ruang tengah, tempat Fakhri -seharusnya- mengajarkan putrinya mengenali huruf.
"Ini tuh, huruf D! DE!!!" teriak Fakhri sambil menunjuk, oh tidak, ia menekan huruf D di buku panduan pengenalan huruf di depannya.
Aku langsung meraih anak perempuan mungil yang sekarang sedang menangis ketakutan dipelototi ayahnya, bukan sedang mendapatkan pelajaran seperti yang aku ucapkan sebelum aku melangkah ke kamar mandi, "Belajar baca dulu ya, sama Ayah."
Ah, laki-laki ini. Aku tak habis pikir bagaimana ia bisa membentak anak usia 3 tahun hanya karna tidak mengenali huruf D. Aku tak berkata apa-apa, hanya menggendong Kaira, mencoba menenagkannya, sambil menatap kesal kearah ayahnya.

Fakhri membuang wajah, dan terdengar beberapa kali menghela nafas dengan kasar.
"Ibu.... Ibu...." Kaira terus memanggilku dalam tangisnya yang tidak seperti tangisan anak-anak pada umumnya. Kaira selalu menahan tangisnya, tidak pernah melepasnya seperti yang selalu dilakukan putra tetangga sebelah, yang selalu meraung berteriak hingga seakan langit akan terbelah dua, atau mungkin tiga, saat ia menangis.
Aku membenamkan anak itu dalam pelukanku. Kuusap punggungnya dan kubelai kepalanya sambil sesekali berusaha mendiamkannya dengan sepatah dua patah kata yang keluar begitu saja dari mulutku.
Fakhri berdiri, menatapku sekilas sebelum akhirnya melangkah pergi meninggalkan ruang tengah. Aku membalas tatapannya dingin. Benci, aku sangat membencinya setiap kali ia bersikap seperti itu pada anak ini. Ayolah, Kaira baru berusia tiga tahun dan dia belum mengerti apa-apa!
Menyebalkan. Sayangnya aku tak bisa marah padanya. Ya, aku tak pernah sekalipun berkata kasar pada Fakhri. Bahkan tak pernah sedikitpun memarahinya, semenyebalkan apapun orang itu.
"Ngeliatin siapa, Sha?" tiba-tiba seseorang datang dan mengejutkanku. Salah seorang teman sekelasku. "Fakhri?" tanyanya memastikan.
"Hah?" aku masih terkejut.
"Lo naksir Fakhri?" tanyanya lagi.
Aku menatapnya, sebentar, lalu tertawa.
"Iya sih, dia itu udah ganteng, baik, ramah, aktif, ah, sempurna lah, kayak cowok-cowok yang ada di komik-komik gitu," papar temanku itu, sambil menatap Fakhri dengan mata yang berbinar-binar. Membuatku geli. "Tapi mending jangan naksir dia deh, Sha!" tiba-tiba intonasinya berubah.
"Hah? Kenapa?" aku refleks berreaksi.
"Gosipnya nih ya, baru gosip sih, terserah lo mau percaya atau enggak, Sha," ucapnya.
Aku diam sejenak, menunggu kelanjutan kalimat temanku. Tapi ia malah menarik nafas, menghembuskannya, lalu terdiam dan kembali memandangi Fakhri.
"Gosip apa, hey?" tanyaku. Aku tak butuh informasi tentang Fakhri, sejujurnya. Bagaimana aku tak tau apapun tentangnya? Aku tinggal di rumah yang sama dengannya. Aku hanya penasaran, apa yang orang-orang tau tentangnya.
"Jadi katanya si Fakhri itu udah nikah," ungkap temanku dengan nada bicara penuh rasa kecewa.
Apa? Sial. Bagaimana gosip, ah, maksudku fakta itu bisa sampai menyebar di kampus? Sial, mengapa Fakhri harus sepopuler ini? Sial.
"Lo gak kaget?" tanyanya sambil menatap wajahku dalam jarak hanya setengah jengkal dari matanya.
"Emm, nikah sama siapa?" tanyaku, memastikan bahwa namaku benar-benar tak turut serta dalam gosip itu.
Ia mengangkat kedua bahunya. "Katanya sih nikahnya dari jaman-jaman semester dua atau tiga gitu. Wah, udah lama juga ya kalo gitu," tuturnya. "Jangan-jangan dia juga udah punya anak?" tambahnya penuh curiga.
Aku hanya -diam-diam- menyeringai. Tak menanggapi dengan kata apapun. Sial.

*** 
Aku membawakan segelas cokelat hangat ke ruang tengah, lalu kuletakkan cokelat itu tepat di samping laptop yang sedang serius dipandangi Fakhri, kemudian duduk disampingnya.
"Lagi ngerjain apa?" tanyaku basa-basi.
Fahkri menoleh kearahku dan tersenyum. "Proposal skripsi," jawabnya. "Kamu udah dapet judul?" tanyanya kemudian.
"Proposalku udah disetujuin," jawabku.
"Hah? Serius?" Fakhri menegakkan badannya dan menatapku penuh takjub.
Aku mengangguk. "Kayaknya aku wisudanya lebih dulu dari pada kamu, Ri," paparku. "SKS-ku udah full, nilai TOEFL, laporan PKL, semua juga udah beres," lanjutku datar.
Fahkri agaknya terkesima. "Wah, hebat banget kamu!" pujinya seraya mengusap-usap kepalaku lembut.
"Ri," panggilku saat Fakhri baru saja menyentuh cangkir cokelatnya.
"Ya?" sahutnya lalu menyeruput minuman hangat di tangannya.
"Tadi pagi kamu pukul tangan Kaira?" tanyaku tanpa basa-basi lagi.
Fakhri terdiam sesaat. Perlahan, ia jauhkan bibirnya dari bibir cangkir berwarna krem kesukaannya. Ia memandangku, sambil pelan-pelan meletakkan cangkir itu di tempat semula.
Ia menghela nafas. "Dia udah 4 tahun, tapi cara pegang sendok yang bener aja belum bisa," papar Fakhri.
Aku tak bicara apapun, hanya memandangnya dengan tatapan yang sudah biasa ia dapatkan dariku. Tatapan benci sekaligus memohon agar ia tak melakukan hal itu lagi. Tatapan yang selalu aku pancarkan tiap kali ia menyakiti puterinya sendiri.
"Maaf," tiba-tiba Fakhri bersuara lagi, ia lalu menunduk.
Aku meraih tangannya dan menggenggamnya. "Aku ke kamar duluan ya," aku pamit.
"Kamu gak mau nemenin aku?" tanyanya, terdengar seperti nada kecewa.
"Aku mau nemenin Kaira," jawabku sambil tersenyum dan bangkit dari sisi Fakhri.
"Sha," panggil Fakhri.
"Ya?"
"Kenapa kamu kayak gini?" tanya Fakhri.
"Kayak gini?" aku mengerutkan kening, tak mengerti.
"Kenapa kamu sesayang itu sama Kaira? Karena aku? Atau karena kamu sahabat ibu kandungnya?" suara Fakhri terdengar sedikit bergetar.
"Kenapa kamu sebenci itu sama dia, Ri?" aku balik bertanya.
"Aku selalu inget perempuan brengsek itu setiap liat wajah Kaira. Kaira terlalu mirip sama ibunya," ungkap Fakhri. Jujur, meskipun aku tau alasan ini sejak lama, tapi baru kali ini Fakhri mengungkapkannya. "Aku gak bisa, Sha, perempuan itu udah ngejebak aku, dan setelah akhirnya aku putusin buat bertanggung jawab walaupun terpaksa, dia malah masuk penjara," lanjut Fakhri. "Keparat!" umpatnya kemudian.
"Jebak?" ulangku. "Bukannya kalian pacaran udah lama? Bukannya kalian ngelakuin itu suka sama suka? Oh, maksud aku, khilaf sama khilaf," ucapku sambil berusaha menahan rasa kesal dan terdengar tetap tenang.
"Maksud aku..." Fakhri tercekat sesaat. "Aku udah minta dia buat aborsi, tapi dia maksa aku untuk nikahin dia," jawab Fakhri.
"Cih, dasar laki-laki," kali ini aku yang mengumpat. Rasanya aku ingin meludahi wajah suamiku itu, sungguh.
"Dan terbukti kan, siapa yang orang baik siapa yang bukan? Siapa yang sekarang ngejaga buah hatinya, dan siapa yang malah ngabisin waktu di penjara?" ucap Fakhri, bernada licik dan sangat meremehkan. "Narkoba..." ia bergumam lalu menyeringai.
Aku menelan ludah. "Gak ada yang ngejagain Kaira. Gak kamu, gak juga Fahira!" tukasku, lalu tertawa kecil yang terdengar seperti tawa meremehkan, dan memang itu yang kumaksud.
Hening menjamah. Kami berdua terdiam dalam kekalutan batin masing-masing. Aku baru menggerakkan kakiku dua langkah saat Fakhri bicara lagi. "Paling enggak, aku ada disini, Sha," ucapnya pelan, namun tegas.
Aku menoleh kearah Fakhri. "Setiap orang pasti punya salah, Ri," ucapku pelan. Aku tau kalimatku pasaran dan murahan, tapi aku tak tau harus berkata apalagi. Sungguh. Aku hanya ingin Fakhri mengerti dan dapat belajar memaklumi kesalahan orang lain.
"Iya," jawab Fakhri. "Tapi ada orang yang gak bisa nerima dan maafin kesalahan orang lain," lanjutnya, menjawab keinginanku.
“Tapi Kaira gak tau apa-apa, dia gak salah apa-apa, dia gak ngerti apa-apa, dan dia anak kamu,” ucapku. Aku menghela nafas dan kembali melangkahkan kakiku menuju kamar Kaira, meninggalkan Fakhri yang hanya diam, tak member jawaban apapun.
Aku duduk di tepi tempat tidur berbalut badcover merah muda bergambar kura-kura. Kupandangi setiap garis wajah anak yang sedang tertidur lelap di hadapanku itu. Memang, wajahnya memang mirip benar dengan ibunya. Fahira Mahadewita, wanita seusiaku yang harus menjalani hidup yang jauh lebih kejam dari hidupku.
Empat tahun yang lalu, ia terus mengurung dirinya di dalam kamar dan hanya melewati setiap detiknya dengan air mata, menangisi benih yang tertanam di rahimnya. Empat tahun yang lalu, ia nyaris bunuh diri karena perjuangannya selama tiga tahun di SMA sia-sia, ia tak diizinkan mengikuti Ujian Nasional karena kehamilannya. Empat tahun yang lalu, ia seperti pengemis yang sudah tiga hari tak makan, merengek dan memohon Fakhri agar menikahinya. Empat tahun yang lalu, ia digiring ke penjara kerena terseret kasus pengedaran narkoba dan harus meninggalkan buah hatinya yang usianya masih dalam hitungan bulan demi menjalani kehidupan baru di balik jeruji besi. Empat tahun yang lalu, aku berjanji padanya untuk menjaga semua harta karunnya. Suaminya, puterinya dan kasih sayang diantara mereka berdua.
Tiga tahun yang lalu, aku berhasil membuat Fakhri menikahiku karena cinta. Tiga tahun yang lalu, aku berhasil meyakinkan keluargaku dan keluarga Fakhri bahwa aku bisa menjadi ibu muda yang bertanggung jawab. Tiga tahun yang lalu, aku berhasil memulai sebuah rumah tangga tanpa sedikitpun mengganggu posisiku sebagai mahasiswi teladan di sebuah universitas ternama. Aku seperti bisa melakukan apa saja dan mendapatkan apa saja yang kuinginkan.
Kecuali membuat Fakhri mencintai anak kandungnya sendiri…. Belum, aku hanya belum berhasil.
Aku membelai kepala Kaira dengan lembut dan penuh kasih sayang. Kupandangi bibir mungilnya yang merah, hidungnya yang tidak mancung tapi juga tidak pesek, matanya yang bercahaya bahkan ketika ia tertidur, alis tebal yang sering tertutup poni hitam ikalnya, dan pipinya yang lebih menggemaskan dari boneka paling menggemaskan apapun yang pernah kulihat. Kaira anak yang cantik dan baik hati, persis seperti ibunya. Dan juga sangat malang, ya, seperti ibunya. Baik, dan malang. Sialnya, tidak semua manusia bisa menemukan makna keadilan dalam hidup mereka.
“Kamu mau tidur disini?” tiba-tiba seutas suara mengejutkanku, ayah Kaira.
Aku menoleh ke sumber suara. Ada Fakhri yang sedang berdiri di depan pintu kamar Kaira.
“Kamu?” tanyaku.
“Aku gak apa-apa tidur sendiri,” jawabnya.
Aneh. Fakhri belum pernah menawarkanku untuk memilih ia atau Kaira. Kaira bukanlah pilihan baginya. Aku selalu harus memilihnya, walaupun ia tidak pernah memaksa dan tidak marah jika aku tetap berpihak pada Kaira.
Aku bangun dan beranjak menghampiri Fakhri setelah sebelumnya mematikan lampu, dan menutup pintu kamar Kaira dari luar.

***
“Emangnya ada apa sih, Yah? Kok, mau makan aja harus naik-naik ke puncak gunung dulu?” tanya Kaira, polos, lucu, dan menggemaskan.
“Ini untuk ngerayain prestasi ibu kamu, karena ibu lolos beasiswa ke luar negeri,” jawab Fakhri bangga.
“Sekaligus ngerayain prestasi ayah kamu, akhirnya ayah sidang juga,” tambahku lalu tertawa.
Ekspresi Fakhri berubah dari mimik bangga dan ceria menjadi semacam ‘sial’.
Kaira tersenyum, sangat manis. “Emangnya beasiswa itu apa sih, Yah? Terus, sidang itu apa, Bu?” tanyanya, jauh lebih polos dan menggemaskan dari beberapa detik yang lalu.
Aku tertawa, begitupun Fakhri, sambil memeluk puteri semata wayangnya dengan manja. Pemandangan yang ada di depanku saat ini, aku bersumpah, lebih romantis dibanding rumah makan yang di kelilingi lilin-lilin besar ini, lebih indah dibanding bulan dan bintang-bintang yang sedang menggelitiki langit, dan lebih sejuk dibanding angin pegunungan yang sedang menyanyi-nyanyi ditengah suasana manis ini. Aku, sangat, bahagia.
“Ohya, jadinya kamu berangkat kapan sih?” tanya Fakhri.
“Empat bulan lagi, tepat di hari ulang tahun Kaira,” jawabku.
Fakhri tersenyum, sebentar, lalu dengan cepat pudar dan berganti menjadi kesenduan, walau masih dalam bentuk senyuman.
Aku tertawa kecil. “Kenapa kamu?” tanyaku, pura-pura tak mengerti apa-apa.
Fakhri lalu menggigit giginya dengan giginya, gemas, dan mengeluarkan sura seperti desisan ular. “Kamu ngeselin banget sih!” tukasnya.

***
Hari ini sepertinya hari yang sangat spesial. Hari ini adalah hari keberangkatanku ke London, dan hari ini juga Kaira berulang tahun. Yang lebih penting lagi, hari ini akan menjadi hari pertama mereka berkumpul, ya, Kaira, ibu dan juga ayahnya.
“Ibu, ibu mau kemana sih?” tanya Kaira, setangah berteriak karena suasana bandara yang cukup ramai memaksanya mengeluarkan lengkingan dari pita suaranya.
“Kan, Ibu mau sekolah, sayang,” jawabku seraya berlutut dan menyamakan tinggi badanku dengannya, lalu mencubit pipi mungilnya.
“Kok sama kayak aku sih, baru mau sekolah?” tanyanya lagi.
“Kita kan, emang sahabat sejati,” jawabku. “Ya kan?”
“Tapi kok, Ibu pake koper sih? Kok gak pake tas yang di gendong kayak aku? Kok naik pesawat segala?” komentarnya bawel.
Aku tersenyum. Kecerewetan dan wajah bingung Kaira adalah salah satu yang membuat hidupku terasa sangat sempurna. Aku mengusap-usap cepat kepalanya dan merusak poninya.
“Ibuuuuu!” omel Kaira manja sambil memcubit kedua pipiku dengan semua jemari mungilnya.
Aku menengadah, melihat laki-laki yang berdiri di belakang Kaira. Laki-laki tampan yang beberapa bulan terakhir ini menjadi ayah yang sangat baik dan menyenangkan. Aku tersenyum padanya.
“Kaira,” panggilku seraya menatap lagi mata sipit anak di depanku. “Kamu sayang sama Ibu kan?”
Kaira mengangguk cepat.
“Kalo gitu, kamu harus janji, selama Ibu sekolah, kamu harus jadi anak Ayah yang baik, penurut, manis, dan pinter,” ucapku. “Janji?” tambahku sambil mengulurkan anak jari tangan kananku.
Kaira, lagi-lagi mengangguk. “Janji!” jawabnya yakin seraya mengaitkan jari kelingkingnya di kelingkingku.
“Kamu juga harus jadi anak yang baik untuk siapapun yang ngejagain kamu nanti,” kataku.
“Siapa yang mau jagain aku?” Kaira bingung, keningnya berkerut.
Dan begitu juga Fakhri. Kedua alisnya mendekat dan wajahnya yang dilempar dari pandanganku itu tampak begitu tidak senang. Sepertinya ia mengerti yang kumaksud.
Alih-alih memerdulikan ekspresi pasangan anak dan ayah itu, aku menarik Kaira itu dalam pelukanku. “Ibu sayaaang banget sama Kaira,” ucapku sambil berusaha menahan air mata, meski sepertinya gagal.
Perlahan aku melepas tubuh Kaira yang ternyata matanya berarir juga. Aku bangun, setelah menguatkan hati untuk melepaskan mataku dari matanya. Aku menghela nafas dan kini menatap wajah ayah Kaira.
“Aku iri!” ucap Fakhri tiba-tiba.
Aku menaikkan kedua alisku, refleks. “Hah?”
“Kamu belum pernah sekalipun bilang sayang sama aku,” lanjutnya tanpa kupinta.
Aku hanya tersenyum. “Fakhri,” panggilku. “Aku titip mereka ya,” ucapku.
Fakhri menoleh kearahku. “Mereka?”
“Ya,” jawabku. “Kaira, dan Ibunya,” ucapku, setengah berteriak agar Fakhri mendengarnya, namun sebisa mungkin tak terjangkau oleh putrinya.
Fakhri menyeringai. “Jangan bercanda kamu!” ujarnya sinis.
“Fakhri, gak ada yang lebih baik untuk Kaira dibanding ibu kandungnya sendiri,” tuturku, bernada sedikit merayu dan meminta agar hatinya mau menerima orang yang memang seharusnya berada disisinya.
Fakhri seperti tak tertarik sama sekali dengan apa yang sedang kubicarakan.
“TANTE FAHIRA!!!” tiba-tiba Kaira berteriak dengan semangat.
Ohya, lupa kukatakan, sejak Fahira keluar dari penjara dua minggu yang lalu, tanpa sepengetahuan Fakhri, aku selalu memintanya untuk menjemput dan menemani Kaira sekolah Pendidikan Anak Usia Dini. Kukatakan pada Kaira, bahwa wanita bernama Fahira itu adalah teman baikku. Dan memang begitu kan, kenyataannya? Aku sendiri belum sempat bertemu dengan Fahira, lebih tepatnya belum siap menemuinya. Aku belum siap memberikan Kaira utuh padanya. Dan inilah, kado ulang tahun spesial dariku untuk Kaira sudah datang. Ibu.
Aku dan Fakhri bersamaan menoleh kearah yang Kaira tunjuk dengan matanya. Fahira, orang itu tepat berada di belakangku.
Tanpa basa-basi, aku memeluknya. Erat, sangat erat.
“Bajingan!” bisik Fahira sambil memukul-mukul punggungku dengan segenap tenaga yang ia punya. Sakit. “Brengsek!!!” tambahnya.
Tak peduli seberapa sakit pukulan itu, aku terus menahannya dalam pelukanku. Aku membasahi rambut panjangnya dengan air mataku. Pukul aku lagi, Fahira, pukul aku. Seberapa keraspun pukulanmu, tak sebanding dengan pukulan yang harus kau tanggung dalam hidupmu, kan? Pukul aku terus!
“Penjara itu gak enak, bego!!!” omel Fahira, kali ini suaranya bergetar. Ia pasti juga menangis.
Lama. Aku mungkin tak akan melepas pelukan itu kalau saja wanita dengan suara yang menggema di sekeliling bandara itu tidak memintaku untuk segara masuk. Terpaksa, aku melepaskan tubuh sahabatku.
Fahira menghapus air mata yang membanjiri pipiku. Ia menyentuh wajahku dengan sangat lembut. “Lain kali kalo mau ngejebak orang di pikir-pikir dulu, bodoh! Lima tahun di penjara itu kayak mimpi buruk yang gue gak bisa bangun dari tidur itu sampe dua minggu yang lalu,” tuturnya sambil tersenyum, oh, malah setengah tertawa.
“Tapi akhirnya gue ngedapetin beasiswa ini, Ra! Akhirnya gue ke London! Akhirnya gue bisa ngewujudin mimpi gue! Akhirnya…” aku tercekat, tak tau lagi harus berkata apa.
“Iya, iya,” Fahira menyambung kalimatku. “Lo emang selalu bisa diandelin!” pujinya seraya menonjok perutku dengan lembut, dan tersenyum manis. Senyuman yang sangat kurindukan. Senyuman dari orang yang mimpinya dihancurkan oleh seorang pengedar narkoba demi mimpi si penjahat keparat itu. “Makasih ya, Sha!” dan ia mengucapkan dua kata yang sama sekali tak seharusnya diucapkan.
“Tante Fahira sedih ya, karena mau pisah sama Ibu? Ibu kan cuma mau sekolah,” tiba-tiba suara itu memecah suasana sendu antara aku dan Fahira.
Fahira menatap anak itu, buah hatinya. “Selamat ulang tahun, Kaira!” ucapnya seraya membungkuk lalu menggendong tubuh kecil yang sangat dicintainya itu, sambil berlinang air mata. Ia lalu melirik kearah Fakhri, satu-satunya laki-laki selalu mengisi hatinya selama ia mendekam di penjara.
Fakhri terlalu terkejut, ia terlalu bingung, laki-laki itu terpaku bisu dan tak bisa berkata apapun, bahkan untuk sekedar membalas tatapan Fahira atau menahan puterinya disentuh oleh wanita yang selama ini ia benci itu.
Aku mendekatkan tubuhku kearah Fakhri, lalu meraih telapak tangan kanannya. “Aku emang gak pernah sayang sama kamu, dan gak akan pernah bisa. Karena cuma Fahira yang pantes sayang sama kamu, Ri,” tuturku. Aku mencium punggung tangannya. Berpamitan. “Aku pergi,” ucapku. “Maaf, dan terima kasih banyak,” aku mengucapkan kata-kata itu, akhirnya.
Aku mengambil koperku dan melangkah meninggalkan mereka di belakang punggungku. Tak ingin sepersekian derajatpun menolehkan kepalaku. Fakhri benar, memang ada orang yang tidak bisa menerima dan memaafkan kesalahan orang lain, tapi juga ada orang yang selalu menerima dan tak pernah tidak memaafkan orang lain.
Semoga kalian bahagia.

4 comments:

  1. wha... how can?
    I don't understand!!!!

    mangap bacanya sampe akhir. sial. sial. sial. aku kalah telak -_-

    this is the most twisted story of yous. selalu membuatku terkesima!!! aaa!!!

    ReplyDelete
  2. your "I don't understand" refers to what?

    ReplyDelete
  3. REFERS TO ALL THE MAIN CHARA'S MIND!

    ReplyDelete
  4. Pikiran orang emang susah di raba haha aku juga gak ngerti (?)
    Thank...... anonim -_-

    ReplyDelete

About Me

My photo
Tangerang, Banten, Indonesia
bukan penulis, bukan pengarang, hanya pecinta keduanya.