Aku menatap Fakhri dari depan
kelasku. Senyum yang selalu ia berikan pada setiap orang yang menyapanya, sinar
yang selalu hangat terpancar dari matanya, dan tutur kata lembutnya yang
kuyakin tak ada seorangpun yang bosan berbicara lama-lama dengannya.
Miris. Kenapa ia sangat
berbeda? Aku kembali mengingat kejadian kemarin malam, saat Fakhri memarahi
seorang anak usia 3 tahun dengan –menurutku- cukup kasar.
Aku baru saja selesai mandi saat kudengar Fakhri sedikit berteriak
dari ruang tengah.
"Ini tuh, huruf D!" teriak
Fakhri. "Bisa bilang D gak sih?! Dari tadi A B C terus, gimana mau
bisa?!" lanjutnya.
Aku cepat-cepat membungkus rambutku yang masih basah dan lari ke
ruang tengah, tempat Fakhri -seharusnya- mengajarkan putrinya mengenali huruf.
"Ini tuh, huruf D! DE!!!" teriak Fakhri sambil
menunjuk, oh tidak, ia menekan huruf D di buku panduan pengenalan huruf di
depannya.
Aku langsung meraih anak perempuan mungil yang sekarang sedang
menangis ketakutan dipelototi ayahnya, bukan sedang mendapatkan pelajaran
seperti yang aku ucapkan sebelum aku melangkah
ke kamar mandi, "Belajar baca dulu ya, sama Ayah."
Ah, laki-laki ini. Aku tak habis pikir bagaimana ia bisa membentak
anak usia 3 tahun hanya karna tidak mengenali huruf D. Aku tak berkata
apa-apa, hanya menggendong Kaira, mencoba menenagkannya, sambil menatap kesal
kearah ayahnya.
"Ibu.... Ibu...." Kaira terus memanggilku dalam
tangisnya yang tidak seperti tangisan anak-anak pada umumnya. Kaira selalu
menahan tangisnya, tidak pernah melepasnya seperti yang selalu dilakukan putra
tetangga sebelah, yang selalu meraung berteriak hingga seakan langit akan
terbelah dua, atau mungkin tiga, saat ia menangis.
Aku membenamkan anak itu dalam pelukanku. Kuusap punggungnya dan
kubelai kepalanya sambil sesekali berusaha mendiamkannya dengan sepatah dua
patah kata yang keluar begitu saja dari mulutku.
Fakhri berdiri, menatapku sekilas sebelum akhirnya melangkah pergi
meninggalkan ruang tengah. Aku membalas tatapannya dingin. Benci, aku sangat
membencinya setiap kali ia bersikap seperti itu pada anak ini. Ayolah, Kaira
baru berusia tiga tahun dan dia belum mengerti apa-apa!
Menyebalkan. Sayangnya aku tak bisa marah padanya. Ya, aku tak pernah
sekalipun berkata kasar pada Fakhri. Bahkan tak pernah sedikitpun memarahinya,
semenyebalkan apapun orang itu.
"Ngeliatin siapa,
Sha?" tiba-tiba seseorang datang dan mengejutkanku. Salah seorang teman
sekelasku. "Fakhri?" tanyanya memastikan.
"Hah?" aku masih
terkejut.
"Lo naksir Fakhri?"
tanyanya lagi.
Aku menatapnya, sebentar,
lalu tertawa.
"Iya sih, dia itu
udah ganteng, baik, ramah, aktif, ah, sempurna lah, kayak cowok-cowok yang ada di komik-komik gitu," papar
temanku itu, sambil menatap Fakhri dengan mata yang berbinar-binar. Membuatku
geli. "Tapi mending jangan naksir dia deh, Sha!" tiba-tiba
intonasinya berubah.
"Hah? Kenapa?" aku
refleks berreaksi.
"Gosipnya nih ya, baru
gosip sih, terserah lo mau percaya atau enggak, Sha," ucapnya.
Aku diam sejenak, menunggu
kelanjutan kalimat temanku. Tapi ia malah menarik nafas, menghembuskannya, lalu
terdiam dan kembali memandangi Fakhri.
"Gosip apa, hey?"
tanyaku. Aku tak butuh informasi tentang Fakhri, sejujurnya. Bagaimana aku tak
tau apapun tentangnya? Aku tinggal di rumah yang sama dengannya. Aku hanya
penasaran, apa yang orang-orang tau tentangnya.
"Jadi katanya si Fakhri
itu udah nikah," ungkap temanku dengan nada bicara penuh rasa kecewa.
Apa? Sial. Bagaimana gosip,
ah, maksudku fakta itu bisa sampai menyebar di kampus? Sial, mengapa Fakhri
harus sepopuler ini? Sial.
"Lo gak kaget?"
tanyanya sambil menatap wajahku dalam jarak hanya setengah jengkal dari
matanya.
"Emm, nikah sama
siapa?" tanyaku, memastikan bahwa namaku benar-benar tak turut serta dalam
gosip itu.
Ia mengangkat kedua bahunya.
"Katanya sih nikahnya dari jaman-jaman semester dua atau tiga gitu. Wah,
udah lama juga ya kalo gitu," tuturnya. "Jangan-jangan dia juga udah
punya anak?" tambahnya penuh curiga.
Aku hanya -diam-diam-
menyeringai. Tak menanggapi dengan kata apapun. Sial.
***
Aku membawakan segelas
cokelat hangat ke ruang tengah, lalu kuletakkan cokelat itu tepat
di samping laptop yang sedang serius dipandangi Fakhri, kemudian
duduk disampingnya.
"Lagi ngerjain
apa?" tanyaku basa-basi.
Fahkri menoleh kearahku dan
tersenyum. "Proposal skripsi," jawabnya. "Kamu udah dapet
judul?" tanyanya kemudian.
"Proposalku udah disetujuin,"
jawabku.
"Hah? Serius?"
Fakhri menegakkan badannya dan menatapku penuh takjub.
Aku mengangguk.
"Kayaknya aku wisudanya lebih dulu dari pada kamu, Ri," paparku.
"SKS-ku udah full, nilai TOEFL, laporan PKL, semua juga udah beres,"
lanjutku datar.
Fahkri agaknya terkesima.
"Wah, hebat banget kamu!" pujinya seraya mengusap-usap kepalaku
lembut.
"Ri," panggilku
saat Fakhri baru saja menyentuh cangkir cokelatnya.
"Ya?" sahutnya lalu
menyeruput minuman hangat di tangannya.
"Tadi pagi kamu pukul
tangan Kaira?" tanyaku tanpa basa-basi lagi.
Fakhri terdiam sesaat.
Perlahan, ia jauhkan bibirnya dari bibir cangkir berwarna krem kesukaannya. Ia
memandangku, sambil pelan-pelan meletakkan cangkir itu di tempat semula.
Ia menghela nafas. "Dia
udah 4 tahun, tapi cara pegang sendok yang bener aja belum bisa," papar
Fakhri.
Aku tak bicara apapun, hanya
memandangnya dengan tatapan yang sudah biasa ia dapatkan dariku. Tatapan benci
sekaligus memohon agar ia tak melakukan hal itu lagi. Tatapan yang selalu aku
pancarkan tiap kali ia menyakiti puterinya sendiri.
"Maaf," tiba-tiba
Fakhri bersuara lagi, ia lalu menunduk.
Aku meraih tangannya dan
menggenggamnya. "Aku ke kamar duluan ya," aku pamit.
"Kamu gak mau nemenin
aku?" tanyanya, terdengar seperti nada kecewa.
"Aku mau nemenin
Kaira," jawabku sambil tersenyum dan bangkit dari sisi Fakhri.
"Sha," panggil
Fakhri.
"Ya?"
"Kenapa kamu kayak
gini?" tanya Fakhri.
"Kayak gini?" aku
mengerutkan kening, tak mengerti.
"Kenapa kamu sesayang
itu sama Kaira? Karena aku? Atau karena kamu sahabat ibu kandungnya?"
suara Fakhri terdengar sedikit bergetar.
"Kenapa kamu sebenci itu
sama dia, Ri?" aku balik bertanya.
"Aku selalu inget
perempuan brengsek itu setiap liat wajah Kaira. Kaira terlalu mirip sama
ibunya," ungkap Fakhri. Jujur, meskipun aku tau alasan ini sejak lama,
tapi baru kali ini Fakhri mengungkapkannya. "Aku gak bisa, Sha,
perempuan itu udah ngejebak aku, dan setelah akhirnya aku putusin buat
bertanggung jawab walaupun terpaksa, dia malah masuk penjara," lanjut
Fakhri. "Keparat!" umpatnya kemudian.
"Jebak?" ulangku.
"Bukannya kalian pacaran udah lama? Bukannya kalian ngelakuin itu suka
sama suka? Oh, maksud aku, khilaf sama khilaf," ucapku sambil berusaha
menahan rasa kesal dan terdengar tetap tenang.
"Maksud aku..."
Fakhri tercekat sesaat. "Aku udah minta dia buat aborsi, tapi dia maksa
aku untuk nikahin dia," jawab Fakhri.
"Cih, dasar laki-laki,"
kali ini aku yang mengumpat. Rasanya aku ingin meludahi wajah suamiku itu,
sungguh.
"Dan terbukti kan, siapa
yang orang baik siapa yang bukan? Siapa yang sekarang ngejaga buah hatinya, dan
siapa yang malah ngabisin waktu di penjara?" ucap Fakhri, bernada licik
dan sangat meremehkan. "Narkoba..." ia bergumam lalu menyeringai.
Aku menelan ludah. "Gak
ada yang ngejagain Kaira. Gak kamu, gak juga Fahira!" tukasku, lalu
tertawa kecil yang terdengar seperti tawa meremehkan, dan memang itu yang
kumaksud.
Hening menjamah. Kami berdua
terdiam dalam kekalutan batin masing-masing. Aku baru menggerakkan kakiku dua
langkah saat Fakhri bicara lagi. "Paling enggak, aku ada disini,
Sha," ucapnya pelan, namun tegas.
Aku menoleh kearah Fakhri.
"Setiap orang pasti punya salah, Ri," ucapku pelan. Aku tau kalimatku
pasaran dan murahan, tapi aku tak tau harus berkata apalagi. Sungguh. Aku hanya ingin Fakhri mengerti dan dapat belajar memaklumi kesalahan
orang lain.
"Iya," jawab
Fakhri. "Tapi ada orang yang gak bisa nerima dan maafin kesalahan orang
lain," lanjutnya, menjawab keinginanku.
“Tapi Kaira gak tau apa-apa, dia gak salah apa-apa, dia gak ngerti
apa-apa, dan dia anak kamu,” ucapku. Aku menghela nafas dan kembali melangkahkan kakiku menuju kamar
Kaira, meninggalkan Fakhri yang hanya diam, tak member
jawaban apapun.
Aku
duduk di tepi tempat tidur berbalut badcover
merah muda bergambar kura-kura. Kupandangi setiap garis wajah anak yang sedang
tertidur lelap di hadapanku itu. Memang, wajahnya memang mirip benar dengan
ibunya. Fahira Mahadewita, wanita seusiaku yang harus menjalani hidup yang jauh
lebih kejam dari hidupku.
Empat
tahun yang lalu, ia terus mengurung dirinya di dalam kamar dan hanya melewati
setiap detiknya dengan air mata, menangisi benih yang tertanam di rahimnya.
Empat tahun yang lalu, ia nyaris bunuh diri karena perjuangannya selama tiga
tahun di SMA sia-sia, ia tak diizinkan mengikuti Ujian Nasional karena
kehamilannya. Empat tahun yang lalu, ia seperti pengemis yang sudah tiga hari
tak makan, merengek dan memohon Fakhri agar menikahinya. Empat tahun yang lalu,
ia digiring ke penjara kerena terseret kasus pengedaran narkoba dan harus
meninggalkan buah hatinya yang usianya masih dalam hitungan bulan demi
menjalani kehidupan baru di balik jeruji besi. Empat tahun yang lalu, aku
berjanji padanya untuk menjaga semua harta karunnya. Suaminya, puterinya dan
kasih sayang diantara mereka berdua.
Tiga
tahun yang lalu, aku berhasil membuat Fakhri menikahiku karena cinta. Tiga
tahun yang lalu, aku berhasil meyakinkan keluargaku dan keluarga Fakhri bahwa
aku bisa menjadi ibu muda yang bertanggung jawab. Tiga tahun yang lalu, aku
berhasil memulai sebuah rumah tangga tanpa sedikitpun mengganggu posisiku
sebagai mahasiswi teladan di sebuah universitas ternama. Aku seperti bisa
melakukan apa saja dan mendapatkan apa saja yang kuinginkan.
Kecuali
membuat Fakhri mencintai anak kandungnya sendiri…. Belum, aku hanya belum
berhasil.
Aku
membelai kepala Kaira dengan lembut dan penuh kasih sayang. Kupandangi bibir
mungilnya yang merah, hidungnya yang tidak mancung tapi juga tidak pesek,
matanya yang bercahaya bahkan ketika ia tertidur, alis tebal yang sering
tertutup poni hitam ikalnya, dan pipinya yang lebih menggemaskan dari boneka
paling menggemaskan apapun yang pernah kulihat. Kaira anak yang cantik dan baik
hati, persis seperti ibunya. Dan juga sangat malang, ya, seperti ibunya. Baik,
dan malang. Sialnya, tidak semua manusia bisa menemukan makna keadilan dalam hidup
mereka.
“Kamu
mau tidur disini?” tiba-tiba seutas suara mengejutkanku, ayah Kaira.
Aku
menoleh ke sumber suara. Ada Fakhri yang sedang berdiri di depan pintu kamar
Kaira.
“Kamu?”
tanyaku.
“Aku
gak apa-apa tidur sendiri,” jawabnya.
Aneh.
Fakhri belum pernah menawarkanku untuk memilih ia atau Kaira. Kaira bukanlah
pilihan baginya. Aku selalu harus memilihnya, walaupun ia tidak pernah memaksa
dan tidak marah jika aku tetap berpihak pada Kaira.
Aku
bangun dan beranjak menghampiri Fakhri setelah sebelumnya mematikan lampu, dan
menutup pintu kamar Kaira dari luar.
***
“Emangnya ada apa sih, Yah? Kok, mau makan aja harus
naik-naik ke puncak gunung dulu?” tanya Kaira, polos, lucu, dan menggemaskan.
“Ini untuk ngerayain prestasi ibu kamu, karena ibu
lolos beasiswa ke luar negeri,” jawab Fakhri bangga.
“Sekaligus ngerayain prestasi ayah kamu, akhirnya ayah
sidang juga,” tambahku lalu tertawa.
Ekspresi Fakhri berubah dari mimik bangga dan ceria
menjadi semacam ‘sial’.
Kaira tersenyum, sangat manis. “Emangnya beasiswa itu
apa sih, Yah? Terus, sidang itu apa, Bu?” tanyanya, jauh lebih polos dan
menggemaskan dari beberapa detik yang lalu.
Aku tertawa, begitupun Fakhri, sambil memeluk puteri
semata wayangnya dengan manja. Pemandangan yang ada di depanku saat ini, aku
bersumpah, lebih romantis dibanding rumah makan yang di kelilingi lilin-lilin besar
ini, lebih indah dibanding bulan dan bintang-bintang yang sedang menggelitiki
langit, dan lebih sejuk dibanding angin pegunungan yang sedang menyanyi-nyanyi
ditengah suasana manis ini. Aku, sangat, bahagia.
“Ohya, jadinya kamu berangkat kapan sih?” tanya
Fakhri.
“Empat bulan lagi, tepat di hari ulang tahun Kaira,”
jawabku.
Fakhri tersenyum, sebentar, lalu dengan cepat pudar
dan berganti menjadi kesenduan, walau masih dalam bentuk senyuman.
Aku tertawa kecil. “Kenapa kamu?” tanyaku, pura-pura
tak mengerti apa-apa.
Fakhri lalu menggigit giginya dengan giginya, gemas,
dan mengeluarkan sura seperti desisan ular. “Kamu ngeselin banget sih!”
tukasnya.
***
Hari ini sepertinya hari yang sangat spesial. Hari ini
adalah hari keberangkatanku ke London, dan hari ini juga Kaira berulang tahun.
Yang lebih penting lagi, hari ini akan menjadi hari pertama mereka berkumpul,
ya, Kaira, ibu dan juga ayahnya.
“Ibu, ibu mau kemana sih?” tanya Kaira, setangah
berteriak karena suasana bandara yang cukup ramai memaksanya mengeluarkan
lengkingan dari pita suaranya.
“Kan, Ibu mau sekolah, sayang,” jawabku seraya
berlutut dan menyamakan tinggi badanku dengannya, lalu mencubit pipi mungilnya.
“Kok sama kayak aku sih, baru mau sekolah?” tanyanya
lagi.
“Kita kan, emang sahabat sejati,” jawabku. “Ya kan?”
“Tapi kok, Ibu pake koper sih? Kok gak pake tas yang
di gendong kayak aku? Kok naik pesawat segala?” komentarnya bawel.
Aku tersenyum. Kecerewetan dan wajah bingung Kaira
adalah salah satu yang membuat hidupku terasa sangat sempurna. Aku
mengusap-usap cepat kepalanya dan merusak poninya.
“Ibuuuuu!” omel Kaira manja sambil memcubit kedua
pipiku dengan semua jemari mungilnya.
Aku menengadah, melihat laki-laki yang berdiri di
belakang Kaira. Laki-laki tampan yang beberapa bulan terakhir ini menjadi ayah
yang sangat baik dan menyenangkan. Aku tersenyum padanya.
“Kaira,” panggilku seraya menatap lagi mata sipit anak
di depanku. “Kamu sayang sama Ibu kan?”
Kaira mengangguk cepat.
“Kalo gitu, kamu harus janji, selama Ibu sekolah, kamu
harus jadi anak Ayah yang baik, penurut, manis, dan pinter,” ucapku. “Janji?”
tambahku sambil mengulurkan anak jari tangan kananku.
Kaira, lagi-lagi mengangguk. “Janji!” jawabnya yakin
seraya mengaitkan jari kelingkingnya di kelingkingku.
“Kamu juga harus jadi anak yang baik untuk siapapun
yang ngejagain kamu nanti,” kataku.
“Siapa yang mau jagain aku?” Kaira bingung, keningnya
berkerut.
Dan begitu juga Fakhri. Kedua alisnya mendekat dan
wajahnya yang dilempar dari pandanganku itu tampak begitu tidak senang. Sepertinya
ia mengerti yang kumaksud.
Alih-alih memerdulikan ekspresi pasangan anak dan ayah
itu, aku menarik Kaira itu dalam pelukanku. “Ibu sayaaang banget sama Kaira,”
ucapku sambil berusaha menahan air mata, meski sepertinya gagal.
Perlahan aku melepas tubuh Kaira yang ternyata matanya
berarir juga. Aku bangun, setelah menguatkan hati untuk melepaskan mataku dari
matanya. Aku menghela nafas dan kini menatap wajah ayah Kaira.
“Aku iri!” ucap Fakhri tiba-tiba.
Aku menaikkan kedua alisku, refleks. “Hah?”
“Kamu belum pernah sekalipun bilang sayang sama aku,”
lanjutnya tanpa kupinta.
Aku hanya tersenyum. “Fakhri,” panggilku. “Aku titip
mereka ya,” ucapku.
Fakhri menoleh kearahku. “Mereka?”
“Ya,” jawabku. “Kaira, dan Ibunya,” ucapku, setengah
berteriak agar Fakhri mendengarnya, namun sebisa mungkin tak terjangkau oleh
putrinya.
Fakhri menyeringai. “Jangan bercanda kamu!” ujarnya
sinis.
“Fakhri, gak ada yang lebih baik untuk Kaira dibanding
ibu kandungnya sendiri,” tuturku, bernada sedikit merayu dan meminta agar hatinya
mau menerima orang yang memang seharusnya berada disisinya.
Fakhri seperti tak tertarik sama sekali dengan apa
yang sedang kubicarakan.
“TANTE FAHIRA!!!” tiba-tiba Kaira berteriak dengan
semangat.
Ohya, lupa kukatakan, sejak Fahira keluar dari penjara dua minggu yang lalu, tanpa sepengetahuan Fakhri, aku selalu memintanya untuk menjemput dan menemani Kaira sekolah Pendidikan Anak Usia Dini. Kukatakan pada Kaira, bahwa wanita bernama Fahira itu adalah teman baikku. Dan memang begitu kan, kenyataannya? Aku sendiri belum sempat bertemu dengan Fahira, lebih tepatnya belum siap menemuinya. Aku belum siap memberikan Kaira utuh padanya. Dan inilah, kado ulang tahun spesial dariku untuk Kaira sudah datang. Ibu.
Ohya, lupa kukatakan, sejak Fahira keluar dari penjara dua minggu yang lalu, tanpa sepengetahuan Fakhri, aku selalu memintanya untuk menjemput dan menemani Kaira sekolah Pendidikan Anak Usia Dini. Kukatakan pada Kaira, bahwa wanita bernama Fahira itu adalah teman baikku. Dan memang begitu kan, kenyataannya? Aku sendiri belum sempat bertemu dengan Fahira, lebih tepatnya belum siap menemuinya. Aku belum siap memberikan Kaira utuh padanya. Dan inilah, kado ulang tahun spesial dariku untuk Kaira sudah datang. Ibu.
Aku dan Fakhri bersamaan menoleh kearah yang Kaira tunjuk
dengan matanya. Fahira, orang itu tepat berada di belakangku.
Tanpa basa-basi, aku memeluknya. Erat, sangat erat.
“Bajingan!” bisik Fahira sambil memukul-mukul
punggungku dengan segenap tenaga yang ia punya. Sakit. “Brengsek!!!” tambahnya.
Tak peduli seberapa sakit pukulan itu, aku terus
menahannya dalam pelukanku. Aku membasahi rambut panjangnya dengan air mataku.
Pukul aku lagi, Fahira, pukul aku. Seberapa keraspun pukulanmu, tak sebanding
dengan pukulan yang harus kau tanggung dalam hidupmu, kan? Pukul aku terus!
“Penjara itu gak enak, bego!!!” omel Fahira, kali ini
suaranya bergetar. Ia pasti juga menangis.
Lama. Aku mungkin tak akan melepas pelukan itu kalau
saja wanita dengan suara yang menggema di sekeliling bandara itu tidak
memintaku untuk segara masuk. Terpaksa, aku melepaskan tubuh sahabatku.
Fahira menghapus air mata yang membanjiri pipiku. Ia
menyentuh wajahku dengan sangat lembut. “Lain kali kalo mau ngejebak orang di
pikir-pikir dulu, bodoh! Lima tahun di penjara itu kayak mimpi buruk yang gue
gak bisa bangun dari tidur itu sampe dua minggu yang lalu,” tuturnya sambil
tersenyum, oh, malah setengah tertawa.
“Tapi akhirnya gue ngedapetin beasiswa ini, Ra!
Akhirnya gue ke London! Akhirnya gue bisa ngewujudin mimpi gue! Akhirnya…” aku
tercekat, tak tau lagi harus berkata apa.
“Iya, iya,” Fahira menyambung kalimatku. “Lo emang
selalu bisa diandelin!” pujinya seraya menonjok perutku dengan lembut, dan
tersenyum manis. Senyuman yang sangat kurindukan. Senyuman dari orang yang
mimpinya dihancurkan oleh seorang pengedar narkoba demi mimpi si penjahat
keparat itu. “Makasih ya, Sha!” dan ia mengucapkan dua kata yang sama sekali
tak seharusnya diucapkan.
“Tante Fahira sedih ya, karena mau pisah sama Ibu? Ibu
kan cuma mau sekolah,” tiba-tiba suara itu memecah suasana sendu antara aku dan
Fahira.
Fahira menatap anak itu, buah hatinya. “Selamat ulang
tahun, Kaira!” ucapnya seraya membungkuk lalu menggendong tubuh kecil yang
sangat dicintainya itu, sambil berlinang air mata. Ia lalu melirik kearah Fakhri, satu-satunya laki-laki selalu mengisi hatinya selama ia mendekam di penjara.
Fakhri terlalu terkejut, ia terlalu bingung, laki-laki
itu terpaku bisu dan tak bisa berkata apapun, bahkan untuk sekedar membalas tatapan Fahira atau menahan puterinya
disentuh oleh wanita yang selama ini ia benci itu.
Aku mendekatkan tubuhku kearah Fakhri, lalu meraih
telapak tangan kanannya. “Aku emang gak pernah sayang sama kamu, dan gak akan
pernah bisa. Karena cuma Fahira yang pantes sayang sama kamu, Ri,” tuturku. Aku
mencium punggung tangannya. Berpamitan. “Aku pergi,” ucapku. “Maaf, dan terima
kasih banyak,” aku mengucapkan kata-kata itu, akhirnya.
Aku mengambil koperku dan melangkah meninggalkan
mereka di belakang punggungku. Tak ingin sepersekian derajatpun menolehkan
kepalaku. Fakhri benar, memang ada orang yang tidak bisa menerima dan memaafkan
kesalahan orang lain, tapi juga ada orang yang selalu menerima dan tak pernah
tidak memaafkan orang lain.
Semoga kalian bahagia.
wha... how can?
ReplyDeleteI don't understand!!!!
mangap bacanya sampe akhir. sial. sial. sial. aku kalah telak -_-
this is the most twisted story of yous. selalu membuatku terkesima!!! aaa!!!
your "I don't understand" refers to what?
ReplyDeleteREFERS TO ALL THE MAIN CHARA'S MIND!
ReplyDeletePikiran orang emang susah di raba haha aku juga gak ngerti (?)
ReplyDeleteThank...... anonim -_-