Saturday, December 31, 2011

Kiki

*Dedicated to all of my precious Kiki in my own world*

Kemarin adalah hari kelahiran anak pertamaku, 30 Desember 2011. Kau tau bagaimana rasanya melahirkan anak pertama? Aku yakin kau tak akan tau jika belum sama sekali merasakannya. Aku bahkan sulit mengungkapkannya. Jika dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ada satu kata yang artinya adalah "amat sangat teramat super bahagia" atau sejenisnya, aku masih belum bisa menggunakan kata itu. Lebih dari bahagia, kurasa. Anak pertamaku seorang putri mungil, rambutnya hitam tebal, ada lesung pipit kecil dipipi sebelah kanan, dan bulumatanya sangat lentik. Cantik sekali. Dan aku, sejak pertama positif hamil, sudah sangat yakin ingin memberikan nama KIKI pada anakku. Perempuan, atau laki-laki, anakku harus bernama Kiki. Siapapun nama lengkapnya, panggilannya harus Kiki. Titik.
Tapi suamiku dan seluruh keluarga besar, tak ada satupun yang setuju dengan usulku. Payah sekali mereka. Tak taukah betapa berarti nama Kiki untukku? Bahkan sejujurnya, sebelum menikahpun, aku sudah memiliki rencana itu. Tapi kini semua berantakan karena perizinan yang sulit dari... ah, kenapa laki-laki ini menyebalkan sekali. Juga keluarga besar, apa-apaan ini? Mereka terhasut wajah manisnya, sehingga tak ada satupun yang setuju dengan usulanku. Payah sekali.

Kau tau, aku sangat menyukai nama itu. Lebih daripada menyukai, nama itu sangat berharga bagiku. Terlalu banyak orang berarti yang bernama Kiki dalam hidupku. Ya, nama Kiki memang pasaran, tapi aku yakin Tuhan mengirimkan begitu banyak Kiki yang begitu spesial untukku, pasti ada maksud tertentu, entah apa itu.

Kiki. Wanita yang paling kubanggakan, kusayang, kukagumi, dan sekarang sangat kurindukan. Ibuku. Kiki Afilia namanya. Dia adalah orang nomor satu untukku. Wanita yang tegar, kuat, penuh prinsip, hebat, dan... ah, aku sulit mendeskripsikannya. Mungkin semua anak akan mengatakan ini, tapi sungguh, Ibuku adalah wanita terdahsyat yang pernah kukenal. Dan aku sangat bangga menjadi putrinya. Kini ia sudah tenang dipangkuan Tuhan, dan aku ingin mengenang semua cintanya lewat nama putriku. Aku ingin putriku menjadi orang hebat seperti Ibu.
Kedua, saat aku kecil, aku memiliki seorang shahabat bernama Vicky Wahyu Riyadi, biasa dipanggil Kiki. Dia laki-laki, tapi sangat rajin. Aku banyak belajar tentang patuh pada orang tua darinya. Dia lebih pendiam dariku yang perempuan. Tutur katanya sangat lembut. Aku bertetangga dengan Kiki, jadi kami sangat dekat.

Lalu Rizky Oktavi Alirra, aku memanggilnya Kiki. Dia adalah sepupuku, dan kami seumur. Pernah merasakan memiliki sepupu seusia dan selalu menghabiskan waktu bersama setiap kali liburan? Ya, kami sangat akrab. Walaupun tidak satu sekolah, tapi aku hampir mengenal semua teman-teman dekatnya di sekolah. Begitupun sebaliknya. Kiki sangat seru. Maka dari itu, kami selalu menggila jika sudah bertemu. Seluruh keluarga besar Ayahku tau, aku dan Kiki tidak bisa terpisahkan, seperti saudara kembar. Beberapa orang juga mengatakan kami mirip. Oke, sebenarnya aku sedikit lebih cantik darinya. Maaf, Ki, itu takdir.

Saat aku duduk dikelas 2 SMP, aku memiliki seorang kakak-angkat, errr kau tau. jaman SMP ada istilah "ade ketemu gede", itu maksudku. Namanya Adrian Hakiki. Kak Kiki-ku yang sangat tampan. Banyak anak-anak sekolah yang iri aku bisa dekat dengan Kak Kiki. Beberapa orang yang bertemu denganku akan menyapa dan bertanya "Hai, kamu adek angkatnya Kak Kiki ya?" KEREN! Padahal sebenarnya, ada sedikit beban dihatiku. Kak Kiki benar-benar hanya menganggapku adik, walaupun aku pernah menyukainya seperti seorang perempuan menyukai laki-laki. Baiklah, usiaku masih 12 atau 13 tahun saat itu. Jadi aku hanya merasakan cinta... cinta apa? Ya, cinta beruang! Maaf, aku phobia monyet.

Beranjak SMA, walikelasku saat duduk di kelas 10 bernama Deki Dinanti, aku dan teman-temanku biasa memanggilnya Bu Kiki, atau terkadang Bu Malaikat. Konyol sekali, saat aku mengingat-ingat sekarang. Tapi saat itu, aku dan teman-temanku sangat bangga memanggilnya Bu Malaikat. Bu Kiki sangat baik. Hatinya seperti malaikat, bagi kami. Orangnya sangat lembut. Dan aku adalah salah satu murid yang sangat dekat dengannya. Aku pernah menginap dirumahnya, merasakan jadi anaknya seharian. Dan kasih sayang Bu Kiki membuat kerinduanku terhadap Ibuku menebal dahsyat saat itu. Bu Kiki memiliki putra seusiaku, dan itu salah satu yang membuatku dekat dengan Bu Malaikat ini. Aku sempat berpacaran dengan putranya. Lucu.

Kelas 2 SMA, aku menjadi panitia MOS, dan kenal, lalu dekat dengan seorang junior bernama Rizky Alifa. Seorang gadis keturunan Eropa yang matanya sudah minus 2,75 bahkan disaat aku masih bisa membaca dengan jelas tulisan "Dilarang membuang sampah dilapangan basket, kecuali kerbau!" dari salam kelasku. Tulisan yang terkadang membuat aku dan teman-temanku berpikir untuk membawa kerbau ke sekolah dan menyuruh kerbau itu menghambur-hamburkan sampah di lapangan basket. Konyol. Anak SMA, maklum. Kembali ke Kiki, aku sangat dekat dengan Kiki. Anaknya ternyata sangat menyenangkan. Kau tau, hal terburuk bagi orang yang gemar sharing adalah saat orang itu tidak menemukan orang yang tepat untuk bercerita. Dan aku tidak pernah merasakan itu sejak mengenal Kiki. Aku menceritakan apapun pada Kiki. Bahkan tentang betapa lelahnya aku sejak menjadi leader  ekskul PMR yang anggotanya sangat tidak solid, cerita yang selalu kusimpan sendiri, cerita yang aku tak pernah mengatakannya pada siapapun, kecuali Kiki. Sejak mengenal Kiki, kalimat "Ada beberapa hal dalam hidup yang harus kita simpan sendiri" mulai memudar. Aku benar-benar nyaris mengupas tuntas kisah hidupku dihadapannya. Anugerah Tuhan, Kiki adalah orang yang pandai menyimpan rahasia, dan sungguh, demi derasnya air terjun Niagara, dia adalah seorang pendengan dan juga pencerita yang baik. The right person to sharing with. Berbagi cerita dengan Kiki adalah kebutuhanku, saat itu. Aku juga senang mendengar cerita Kiki tentang keluarganya, terlebih tentang Ibunya. Sedikit banyak ada kesamaan dengan ibuku. Dan itu membuatku selalu teringat pada almarhumah. Sesekali aku sempat membayangkan, jika Ibunya membelai kepalaku, apakah sama rasanya seperti saat Ibu membelaiku dulu? Bertahun-tahun yang lalu. Walaupun usia kami berjarak satu tahun, ups maaf, maksudku 10 bulan, tapi kami tidak pernah sama sekali canggung satu sama lain. Kami benar-benar seperti kakak beradik. Secara usia, dia memang adik kelasku. Tapi tidak secara otak. Aku masih mengingatnya, kami berdua mengikuti tes olimpiade sains di sekolah, dan Kiki mendapatkan nilai tertinggi ketiga sementara aku lolos 10 besarpun tidak. Huh, tidak sopan anak itu. Melangkahi senior, melangkahi kakaknya sendiri! Awas kau, Ki! Dan pula, dia tidak datang ke pesta pernikahanku, karena kesibukannya di Jepang. Dia kini seorang mahasiswi disana, beasiswa. Keren. Kurasa dia memang pantas mendapatkannya. Tapi sesukses apapun dia, harusnya tetap menyempatkan diri untuk hadir di pernikahan kakaknya, bukan? Payah sekali!

Kelas 3 SMA, aku mengenal seseorang bernama Kiki Farhana disalah satu tempatku mengikuti bimbingan belajar. Saat pertama masuk, aku tidak memiliki teman sama sekali, dan Kiki-lah orang pertama yang menyapaku dan mengajakku berteman. Kiki sangat penyayang, dibalik sikapnya yang sedikit tomboy. Kami sama-sama kelas 12, tapi aku menganggapnya seperti kakak. Kiki selalu mengajarkanku tentang bagaimana menghadapi banyak orang dengan sifat yang berbeda-beda. Kiki sangat supel, temannya ada dimana-mana kurasa.

Di semester kelimaku sebagai mahasiswi Jurusan Teknik Kimia di salah satu universitas swasta di Jakarta, aku memiliki beberapa murid didik bimbingan privat, dan salah satunya bernama Tiara Arki Falisha, kelas 2 SMP saat aku mengajarnya. Keluarganya biasa memanggilnya Kiki, begitupun denganku. Kiki adalah murid terbaikku. Dia sangat manis dan cerdas. Kiki sangat pandai bermain piano. Terkadang, dia memainkan beberapa lagu untukku. Kiki adalah murid yang paling dekat denganku dibanding murid-muridku yang lain. Kiki adalah anak yang memiliki semangat yang sangat tinggi untuk belajar. Meskipun kedua orangtuanya tidak terlalu memperdulikan perkembangan nilai-nilai sekolahnya. Semenjak mengenal Kiki, aku sangat ingin memiliki adik perempuan seusianya. Dan saat aku mengatakan itu padanya, Kiki bilang “Aku emang anggep Kakak sebagai Kakakku, bukan guruku. Kakak yang aku sayang dan aku hormati.” KIKI!!! Dimana anak itu sekarang? Aku kehilangan kontak dengannya.

Lalu Arizky Galuh Triani, teman yang kukenal melalui jejaring sosial. Jejaring sosial, ya! Aku juga tak menyangka, perkenalan yang hanya lewat jejaring sosial bisa menyebabhkan persahabatan seperti ini. Aku sangat dekat dengan Kiki. Bahkan aku sesekali berkunjung kerumahnya yang berada di Makassar, begitu juga dengannya. Keluarga kami bahkan sudah sangat dekat. Ayahku sangat menyukai kepribadian Kiki. Kata Ayah, Kiki bisa memberi pengaruh baik terhadapku. Kiki agak pendiam, dan dia sangat penyabar. Aku sering menjahilinya, tapi dia tetap sabar. Aku mengejeknya, tapi dia tetap sabar. Tapi saat aku diam, dia selalu memancingku agar aku mengganggunya. Dasar.
Terakhir kami pergi bersama-sama ke Batam, dan aku meminjam 100 ribu padanya karena kekurangan uang untuk pulang saat itu. Sampai sekarang aku belum melunasinya, selalu lupa. Tapi saat dia datang ke pesta pernikahanku, dia bilang bahwa dia sudah mengikhlaskan uang itu sejak aku meminjamnya. Kenapa orang itu tidak mengatakannya sejak awal? Bertahun-tahun aku terganggu oleh hutang itu!

Selanjutnya adalah Rizky Arizaldy. Apa kau pernah berpikiran sama denganku? Kenapa banyak sekali nama Rizky di dunia ini? Untuk kalian yang bernama Rizky, pernah menanyakan alasan orang tua kalian memberikan nama itu? Baiklah, lupakan itu, kembali ke laki-laki bernama Rizky Arizaldy. Dia adalah seniorku yang selalu ada disampingku saat aku benar-benar membutuhkan teman untuk melalui masa-masa kerja keras dalam menyusun skripsi. Bang Kiki, begitu aku biasa memanggilnya, dia sangat setia membantuku dan mendengarkan keluhanku. Sampai aku menjadi seorang sarjana. Bang Kiki yang paling banyak membantuku. Kau tau kan, menyusun skripsi sama beratnya dengan melahirkan. Mempertaruhkan hidup dan mati.

Melahirkan… tunggu, kemarin adalah pertama kali aku melahirkan! Aku hampir lupa bahwa aku belum resmi memberinya nama Kiki. KIKI. Nama putriku harus Kiki.
“Terserah deh, Ayah mau kasih nama siapa aja, tapi panggilannya Kiki,” pintaku merengek pada laki-laki yang beberapa hari terakhir tak pernah pergi jauh dari sisiku.
“Enggak! Cari nama lain aja!” ucapnya, tegas namun lembut.
“Ibu maunya Kiki, Yah!” aku sedikit memaksa.
“Cari nama yang lain aja! Gimana kalo Zahra?” usul pria itu.
“Tapi panggilannya Kiki, ya?”
Laki-laki berkacamata disampingku menghela nafas panjang. Tetap kekeh tidak mau memberikan nama Kiki pada putri kami. Menyebalkan sekali orang ini!
“Iya, cari nama lain aja,” ujar Ibu mertuaku dengan lembut. Diikuti dukungan dari keluarga lain. Keluarga yang sangat menyayangiku, tapi hari ini mereka sedang tidak asik.
“Gimana kalau Alyssa?” kali ini Ayahku yang bersuara.
“Tapi aku maunya Kiki…” ucapku pelan. Bergumam lemah.
“Udah kita cari nama lain aja, ya,” rayu laki-laki berkaca mata tadi seraya membelai kepalaku. Laki-laki yang sudah 9 bulan terakhir ini menjadi laki-laki terbaik yang pernah kutau, selain Ayahku. Tapi hari ini dia sangat menyebalkan. Seluruh keluargaku juga. Semua membelanya.

Ah, sudahlah, sepertinya aku harus mengubur harapanku untuk memanggil anakku dengan panggilan “Kiki sayang”. Baik, baik, aku mengalah. Tidak memberi nama Kiki pada anakku bukan berarti aku melupakan kalian semua, Kiki-kiki-ku. Percayalah.
Ohya, karena terlalu menyebalkan, aku sampai lupa menceritakan tentang orang itu. Laki-laki yang pertama dan, kuharap, yang terakhir ada dalam kehidupan rumahtanggaku. Pria yang sangat kusayangi, dan sangat menyayangiku. Dia sangat baik, ramah, dan sangat penyayang. Pasangan idaman semua wanita, mungkin. Tapi tidak untuk hari ini. Lagi-lagi kukatakan, dia sangat menyebalkan. Baru kali ini aku memperkenalkannya dengan kesal, biasanya aku selalu menyanjungnya. Baiklah, dia adalah suamiku. Fadlian Fikry, namanya. Orang-orang biasa memanggilnya Kiki.

Thursday, December 29, 2011

Delusi Delisa

Terkadang memang sedikit menyedihkan memiliki kekasih dengan delusi tinggi. Terkadang bahkan terasa menyakitkan mendengar semua ucapan delusionalnya. Delusi adalah pikiran seseorang tentang sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi, namun diyakini sebagai sesuatu yang memang benar-benar terjadi. Meskipun banyak fakta yang menunjukkan pikirannya itu tidak nyata, delusi seseorang akan tetap mengatakan bahwa itu nyata. Namaku Arzy, dan kekasihku memiliki delusi yang biasa disebut delusion of jealous, dalam otaknya, tertanam jelas stigma bahwa aku selalu berselingkuh dengan Kina, mantan kekasihku saat SMA. Padahal, berani sumpah demi semua sumpah yang pernah terucap di dunia ini, aku tidak memiliki hubungan apa-apa lagi dengan Kina. Sudah jutaan kali aku memberikan penjelasan padanya, tapi semua percuma. Kau tau, seseorang akan merasa apa yang ada dalam dunia delusionalnya lebih nyata dibanding kenyataan yang terjadi di dunia nyata. Kekasihku hidup dalam delusi, namun aku tetap mencintainya, jauh lebih jauh dibanding delusi itu merubah dunianya.

Hari ini dia datang ke rumahku. Membawakan segelas kopi moka kesukaanku.

About Me

My photo
Tangerang, Banten, Indonesia
bukan penulis, bukan pengarang, hanya pecinta keduanya.