Terkadang memang sedikit menyedihkan memiliki kekasih dengan delusi tinggi. Terkadang bahkan terasa menyakitkan mendengar semua ucapan delusionalnya. Delusi adalah pikiran seseorang tentang sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi, namun diyakini sebagai sesuatu yang memang benar-benar terjadi. Meskipun banyak fakta yang menunjukkan pikirannya itu tidak nyata, delusi seseorang akan tetap mengatakan bahwa itu nyata. Namaku Arzy, dan kekasihku memiliki delusi yang biasa disebut delusion of jealous, dalam otaknya, tertanam jelas stigma bahwa aku selalu berselingkuh dengan Kina, mantan kekasihku saat SMA. Padahal, berani sumpah demi semua sumpah yang pernah terucap di dunia ini, aku tidak memiliki hubungan apa-apa lagi dengan Kina. Sudah jutaan kali aku memberikan penjelasan padanya, tapi semua percuma. Kau tau, seseorang akan merasa apa yang ada dalam dunia delusionalnya lebih nyata dibanding kenyataan yang terjadi di dunia nyata. Kekasihku hidup dalam delusi, namun aku tetap mencintainya, jauh lebih jauh dibanding delusi itu merubah dunianya.
Hari ini dia datang ke rumahku. Membawakan segelas kopi moka kesukaanku.
"Masih suka ini, kan?" tanyanya sambil menyodorkan gelas bening plastik berisi minuman yang tak pernah tak habis kuminum itu.
"Masih. Makasih," ucapku seraya tersenyum. Aku meraih gelas itu lalu dengan cepat memulai seruputan pertama. Sangat lezat. Ditambah senyuman manis dari gadis yang memberikan kopi itu. Nikmat.
"Seminggu ini pergi kemana aja?" tanya Delisa. Iya, dia adalah wanita cantik yang duduk dihadapanku. Kekasihku.
Aku meletakkan gelas ditanganku ke meja putih yang memisahkan aku dan Delisa. "Emmm, banyak," jawabku.
"Iya, tapi kemana aja?" tanyanya lagi.
Aku selalu tidak suka suasana ini. Suasana ketika Delisa mengintrogasiku seperti ini. Rasanya aku seperti orang yang baru saja membunuh 9 orang dengan kejam.
"Pasti ngira aku pergi sama Kina?" tanyaku. Sebenarnya aku hanya memastikan. Dan sebenarnya juga, aku sudah tau kepastiannya. Pasti iya.
Delisa menghela nafas, lalu tersenyum. Sangat manis, meski sedikit pasi. Ia lalu menatapku dengan tatapan lelah, entah karena apa, tapi aku melihat gurat keletihan dipancaran bola matanya.
"Kapan kamu berhenti mikir kalo aku selingkuh sama Kina, Del?" tanyaku, entah untuk keberapa kalinya sejak pikiran delusional itu menganggu otak perempuan bersweater merah muda didepanku.
"Zy..." ia memanggilku, suaranya bergetar, lirih. Matanya kembali menatapku, kini sedikit hampa.
Aku tak tau apa yang membebani pikiran Delisa, ia sering menatapku dengan tatapan seperti itu. Tatapan yang bahkan aku tidak mengerti artinya. Atau itu memang benar-benar tatapan kosong. Tak ada arti apapun.
"Kenapa? Mau nuduh macem-macem lagi?" tanyaku, yang sepertinya terdengar agak sinis.
Delisa diam sesaat, sebelum kemudian tertawa kecil.
"Aku kan, udah bilang sama kamu, aku gak masalah kamu mau jalan sama siapa aja, termasuk Kina," jelas Delisa, tenang dan menenangkan.
Selalu. Selalu itu yang ia katakan. Tapi selalu juga ia permasalahkan. Yang terkadang membuatku lelah adalah kecurigaannya yang tak pernah habis. Namun aku tetap tak pernah mempermasalahkannya. Selama Delisa tak lelah untuk terus berada disampingku.
Aku tersenyum, sambil mengharap balasan dari gadis bermata indah dihadapanku. Dan ia membalasnya.
"Kamu harus percaya sama aku," ucapku.
"Aku selalu percaya sama kamu, Zy," tanggapnya, seraya menatap mataku.
Aku nyaris mati tersedak anggunnya tatapan itu, jika saja Delisa tidak tiba-tiba bicara dengan riang. "Ohya, terus seminggu ini kamu kemana lagi?"
"Emmm..." aku mencoba mengingat-ingat. "Ke Anyer, ngerayain ulang tahun pernikahan Mama sama Papa," jawabku kemudian.
Delisa yang beberapa detik lalu masih tersenyum ceria, tiba-tiba senyumnya perlahan mengendur. "Ulang tahun pernikahan, ya?" tanyanya lemas.
"Iya," jawabku.
"Oh," tanggapnya. Aku bisa mendengar helaan nafasnya.
"Kamu marah ya, karena gak aku ajak? Aku mau ajak kamu, tapi kan, kamu lagi sibuk persiapan UAS, aku takut ganggu kamu," jelasku sebelum Delisa meminta penjelasanku. Aku memang merasa bersalah untuk itu. Dan aku mengerti mengapa wajah Delisa tiba-tiba berubah.
Aku bisa menebak kalimat apa yang akan ia ucapkan. Satu, dua, tiga....
"Aku gak marah, kok," tuturnya, lalu kembali tersenyum.
Tepat sekali perkiraanku.
"Kapan sih, kamu bisa marah sama aku?" timpalku, sedikit meledek.
"Oh, mau aku marah, nih?" balas Delisa, lebih meledek.
"Enggak, enggak!" ucapku sambil menggeleng cepat, lalu tertawa.
Diapun tertawa. Gadisku.
"Ohya, kemarin ada kejadian lucu deh," ujarku, menyela tawanya.
"Ohya? Apa?" tanyanya antusias.
"Afira! Dia hampir diculik sama turis di Anyer," kataku, diiringi tawa geli sambil mengingat lagi kejadian itu.
"Afira?" ulang Delisa. Senyumnya, lagi-lagi menipis.
"Iya! Untung Mama sama Papa yang lagi foto-foto ala pengantin baru, oke, mereka emang selalu berlaga kayak pengantin baru, untung mereka ngeliat pas turis itu mau ngegandeng Afira," aku melanjutkan ceritaku.
Delisa kembali tersenyum, tapi entah mengapa ada titik air yang tertahan di kantungmatanya. Dan kemudian jatuh membasahi pipinya saat ia berkedip pelan.
"Kamu kenapa? Kok nangis?" tanyaku.
Delisa dengan cepat menghapus air matanya, lalu melebarkan senyumnya. "Aku kangen banget sama Afira. Kangen banget, Zy!" ucapnya, terdengar ketulusan yang sama dalamnya dengan kerinduan yang ia rasakan. Aku tahu, Delisa pasti sangat merindukan adik manis yang sekarang juga sedang berjuang mempersiapkan ujian itu. Delisa akan menjadi mahasiswi, dan Afira akan menjadi ABG berseragam putih-biru. Keren.
Aku menatapnya. Lagi-lagi matanya memancarkan kehampaan. "Afira juga kangen sama kamu, kok," tuturku, mencoba menenagkannya.
Delisa, lagi-lagi menarik nafas panjang, lalu menghembuskannya. Dan ia tersenyum.
Diam. Lama.
"Zy," tiba-tiba Delisa memecah kesunyian.
"Ya?" tanggapku, menyingkirkan sisa-sisa serpihan sunyi yang masih melekat diantara kami.
"Aku pulang dulu, ya," pamit Delisa.
Ah, kata-kata yang paling tidak kusuka setiap kali ia datang menemuiku.
Ingin sekali, setiap ia mengucapkan itu, kutahan tangannya dan melarangnya pergi. Tapi kurasa Delisa tidak menyukai itu. Jadi, aku hanya bisa membiarkannya.
"Gak nunggu Mama sama Papa? Gak nunggu Afira?" tanyaku.
Delisa terdiam, sepersekian menit. Lalu ia menggeleng pelan sambil tersenyum.
Hatiku mulai mengambil ancang-ancang untuk kembali merindukan saat kulihat Delisa bangun dari tempat duduknya. Wajahku sedikit murung, kurasa.
"Minggu depan aku dateng lagi, Zy," tuturnya, meyakinkan kerinduanku agar kuat menunggu selama sepekan lagi.
Aku mengangguk lemah.
"Kamu senyum, dong!" suruh Delisa.
Aku tersenyum, tipis dan sedikit terpaksa.
"Senyum yang manis! Bukan asem kayak gitu!" tambah Delisa sambil menatapku galak. Ekspresi galak termanis yang pernah kulihat.
Lalu kutunjukkan senyum manisku untuknya. Dan aku berdiri.
"Gak usah dianter, kamu masuk lagi aja ke kamar," ucapnya.
"Bener?" tanyaku, meyakinkan.
Delisa mengangguk. "Jaga kesehatan kamu ya, jangan lupa makan," ujarnya, lembut seperti ibu yang membelai kepala putra kecilnya sambil mengatakan "Belajar yang rajin ya!" didepan pintu saat sang anak berpamitan untuk pergi kesekolah.
"Kamu juga," timpalku.
Delisa tersenyum. "Bye," ucapnya sambil melambaikan tangan dengan manis.
Aku membalas lambaiannya.
Delisa lalu perlahan pergi meninggalkanku. Aku menatap punggung gadis kesayanganku itu. Gadis yang selalu membuatku merasa beruntung memilikinya. Meski delusi itu terkadang mengganggu hubungan kami, tapi tak pernah mengurangi cintaku padanya.
Ingin sekali kukatakan aku sangat menyayanginya, saat ia baru datang tadi, saat kami bercerita, dan lebih-lebih saat ia pamit. Ingin sekali aku terus mengatakan itu, setiap saat. Tapi kurasa, rasa sayang akan semakin berharga saat kau menyimpannya dibanding terus menyatakannya. Setiap aku menahan diri untuk mengatakan aku menyayanginya, semakin hatiku dipenuhi rasa sayang itu. Itu sebabnya aku selalu menyayanginya. Selalu, dan tak pernah habis.
"Ayo, kita balik ke kamar," ajak seorang wanita dengan seragam putih yang tiba-tiba datang dan menggandengku.
Delisa menghilang dari pandangan, dan aku berbalik badan, kemudian kembali kekamarku.
***
Aku berjalan perlahan menjauhi Arzy. Mencoba merayu hatiku yang sebenarnya sangat berat meninggalkan ruangan itu. Tapi aku akan datang lagi. Sudah hampir 7 bulan, setiap akhir pekan, sabtu atau minggu, atau keduanya, aku selalu berkunjung ke bangunan besar ini. Sangat besar. Aku selalu menemui Arzy, yang menurutku semakin lama keadaannya semakin membaik. Setelah lima hari penuh dijejali bongkahan-bongkahan rumus eksakta dan dipaksa menghafal entah berapa banyak teori, menemui Arzy adalah hiburan paling penting yang tak boleh kulewatkan. Aku selalu senang menanyakan kabarnya, apa saja kegiatannya selama seminggu tidak bertemu denganku, menyimak cerita-cerita lucunya, dan bahkan mendengarkan argumen-argumen konyol untuk meyakinkanku bahwa ia tak pernah berselingkuh dengan Kina, membawakan makanan dan minuman kesukaannya atau hanya sekedar berada disampingnya. Aku juga senang mendengar ceritanya tentang Afira, adik manis yang selalu kurindukan itu.
Meskipun berada disampingnya terkadang membuatku harus mengeluarkan kekuatan ekstra untuk menahan air mata, tapi aku tetap selalu ingin berada disampingnya. Aku menyayanginya. Sangat menyayanginya. Aku tau Arzy tau itu, meskipun selama dua tahun kami berpacaran, aku baru dua kali mengucapkan kalimat itu. Begitupun Arzy. Aku bahkan masih mengingat kapan kami mangucapkan itu. Sangat istimewa. Itulah, mengapa kata-kata itu terlalu berharga untuk terlalu sering diucapkan.
Aku berjalan melewati koridor yang cukup panjang. Dan saat berbelok, kulihat seorang pria dan wanita yang cukup membuat gaduh, tak kalah dengan kegaduhan lain yang beserakan disekitarku. Aku berhenti melangkah, lalu menyeringai, tanpa kusadari.
"Ngapain kamu kesini?!" ucap si wanita dengan nada tinggi.
"Bukan urusan kamu!" jawab si pria, dengan nada yang lebih tinggi.
"Itu akan jadi urusanku kalau kamu mau ketemu sama putraku!" balas si wanita. Wajah cantiknya dibalut amarah.
"Dia putraku! Semenjak kita cerai, kamu bahkan jarang merhatiin dia, kan?!" tukas si pria, yang wajahnya mengingatkanku pada laki-laki yang baru saja kutemui. Mirip sekali.
"Jangan sok tau!" timpal si wanita.
"Memang begitu kenyataannya!" tegas si pria. "Kamu selalu sibuk sama karir kamu, mana ada waktu mengurus anak?" lanjutnya.
"Sesibuk-sibuknya aku, masih lebih baik daripada kamu, penyebab Afira meninggal!" ucap si wanita, suaranya bergetar.
Afira. Hatiku seakan teriris mendengar nama itu.
"Afira meninggal kecelakaan, bukan karena aku!" sangkal si pria.
"Tapi dia kabur dari rumah karena kamu!" dakwa si wanita.
"Karena kita! Bukan aku!" balas si pria.
Oh, Tuhan. Dimana rasa malu dua orang ini. Mengapa mereka berteriak di tempat umum seperti ini. Orang-orang mungkin mengira mereka gila. Huh, bagiku, mereka mungkin lebih dari sekedar gila. Aku melangkah mendekati dua orang tadi.
"Permisi, Om, Tante," sapaku lembut.
Pertengkaran mendadak berhenti. Mereka berdua menatapku. Kubiarkan hening duduk beberapa saat untuk menenangkan hati dua orang itu.
"Eh, Delisa," sapa si wanita.
"Aku pamit pulang duku ya, Om, Tante," tuturku lagi.
"Udah ketemu Arzy?" kali ini si pria yang bicara, dan si wanita menatap pria itu sinis.
Aku tersenyum sambil mengangguk pelan.
"Hati-hati, ya," ujar si wanita.
"Makasih, Tante."
Aku lalu berlalu meninggalkan sepasang... ah, entah pasangan apa namanya. Dan mebiarkan mereka meneruskan pertengkarannya. Terserah.
Namaku Delisa, dan kekasihku adalah seorang pasien skizofrenia di rumah sakit jiwa ini. Sudah hampir setahun, ia hidup dalam delusi dan halusinasi, namun aku tetap mencintainya, jauh lebih jauh dibanding delusi dan halusinasi itu merubah dunianya.
Hari ini dia datang ke rumahku. Membawakan segelas kopi moka kesukaanku.
"Masih suka ini, kan?" tanyanya sambil menyodorkan gelas bening plastik berisi minuman yang tak pernah tak habis kuminum itu.
"Masih. Makasih," ucapku seraya tersenyum. Aku meraih gelas itu lalu dengan cepat memulai seruputan pertama. Sangat lezat. Ditambah senyuman manis dari gadis yang memberikan kopi itu. Nikmat.
"Seminggu ini pergi kemana aja?" tanya Delisa. Iya, dia adalah wanita cantik yang duduk dihadapanku. Kekasihku.
Aku meletakkan gelas ditanganku ke meja putih yang memisahkan aku dan Delisa. "Emmm, banyak," jawabku.
"Iya, tapi kemana aja?" tanyanya lagi.
Aku selalu tidak suka suasana ini. Suasana ketika Delisa mengintrogasiku seperti ini. Rasanya aku seperti orang yang baru saja membunuh 9 orang dengan kejam.
"Pasti ngira aku pergi sama Kina?" tanyaku. Sebenarnya aku hanya memastikan. Dan sebenarnya juga, aku sudah tau kepastiannya. Pasti iya.
Delisa menghela nafas, lalu tersenyum. Sangat manis, meski sedikit pasi. Ia lalu menatapku dengan tatapan lelah, entah karena apa, tapi aku melihat gurat keletihan dipancaran bola matanya.
"Kapan kamu berhenti mikir kalo aku selingkuh sama Kina, Del?" tanyaku, entah untuk keberapa kalinya sejak pikiran delusional itu menganggu otak perempuan bersweater merah muda didepanku.
"Zy..." ia memanggilku, suaranya bergetar, lirih. Matanya kembali menatapku, kini sedikit hampa.
Aku tak tau apa yang membebani pikiran Delisa, ia sering menatapku dengan tatapan seperti itu. Tatapan yang bahkan aku tidak mengerti artinya. Atau itu memang benar-benar tatapan kosong. Tak ada arti apapun.
"Kenapa? Mau nuduh macem-macem lagi?" tanyaku, yang sepertinya terdengar agak sinis.
Delisa diam sesaat, sebelum kemudian tertawa kecil.
"Aku kan, udah bilang sama kamu, aku gak masalah kamu mau jalan sama siapa aja, termasuk Kina," jelas Delisa, tenang dan menenangkan.
Selalu. Selalu itu yang ia katakan. Tapi selalu juga ia permasalahkan. Yang terkadang membuatku lelah adalah kecurigaannya yang tak pernah habis. Namun aku tetap tak pernah mempermasalahkannya. Selama Delisa tak lelah untuk terus berada disampingku.
Aku tersenyum, sambil mengharap balasan dari gadis bermata indah dihadapanku. Dan ia membalasnya.
"Kamu harus percaya sama aku," ucapku.
"Aku selalu percaya sama kamu, Zy," tanggapnya, seraya menatap mataku.
Aku nyaris mati tersedak anggunnya tatapan itu, jika saja Delisa tidak tiba-tiba bicara dengan riang. "Ohya, terus seminggu ini kamu kemana lagi?"
"Emmm..." aku mencoba mengingat-ingat. "Ke Anyer, ngerayain ulang tahun pernikahan Mama sama Papa," jawabku kemudian.
Delisa yang beberapa detik lalu masih tersenyum ceria, tiba-tiba senyumnya perlahan mengendur. "Ulang tahun pernikahan, ya?" tanyanya lemas.
"Iya," jawabku.
"Oh," tanggapnya. Aku bisa mendengar helaan nafasnya.
"Kamu marah ya, karena gak aku ajak? Aku mau ajak kamu, tapi kan, kamu lagi sibuk persiapan UAS, aku takut ganggu kamu," jelasku sebelum Delisa meminta penjelasanku. Aku memang merasa bersalah untuk itu. Dan aku mengerti mengapa wajah Delisa tiba-tiba berubah.
Aku bisa menebak kalimat apa yang akan ia ucapkan. Satu, dua, tiga....
"Aku gak marah, kok," tuturnya, lalu kembali tersenyum.
Tepat sekali perkiraanku.
"Kapan sih, kamu bisa marah sama aku?" timpalku, sedikit meledek.
"Oh, mau aku marah, nih?" balas Delisa, lebih meledek.
"Enggak, enggak!" ucapku sambil menggeleng cepat, lalu tertawa.
Diapun tertawa. Gadisku.
"Ohya, kemarin ada kejadian lucu deh," ujarku, menyela tawanya.
"Ohya? Apa?" tanyanya antusias.
"Afira! Dia hampir diculik sama turis di Anyer," kataku, diiringi tawa geli sambil mengingat lagi kejadian itu.
"Afira?" ulang Delisa. Senyumnya, lagi-lagi menipis.
"Iya! Untung Mama sama Papa yang lagi foto-foto ala pengantin baru, oke, mereka emang selalu berlaga kayak pengantin baru, untung mereka ngeliat pas turis itu mau ngegandeng Afira," aku melanjutkan ceritaku.
Delisa kembali tersenyum, tapi entah mengapa ada titik air yang tertahan di kantungmatanya. Dan kemudian jatuh membasahi pipinya saat ia berkedip pelan.
"Kamu kenapa? Kok nangis?" tanyaku.
Delisa dengan cepat menghapus air matanya, lalu melebarkan senyumnya. "Aku kangen banget sama Afira. Kangen banget, Zy!" ucapnya, terdengar ketulusan yang sama dalamnya dengan kerinduan yang ia rasakan. Aku tahu, Delisa pasti sangat merindukan adik manis yang sekarang juga sedang berjuang mempersiapkan ujian itu. Delisa akan menjadi mahasiswi, dan Afira akan menjadi ABG berseragam putih-biru. Keren.
Aku menatapnya. Lagi-lagi matanya memancarkan kehampaan. "Afira juga kangen sama kamu, kok," tuturku, mencoba menenagkannya.
Delisa, lagi-lagi menarik nafas panjang, lalu menghembuskannya. Dan ia tersenyum.
Diam. Lama.
"Zy," tiba-tiba Delisa memecah kesunyian.
"Ya?" tanggapku, menyingkirkan sisa-sisa serpihan sunyi yang masih melekat diantara kami.
"Aku pulang dulu, ya," pamit Delisa.
Ah, kata-kata yang paling tidak kusuka setiap kali ia datang menemuiku.
Ingin sekali, setiap ia mengucapkan itu, kutahan tangannya dan melarangnya pergi. Tapi kurasa Delisa tidak menyukai itu. Jadi, aku hanya bisa membiarkannya.
"Gak nunggu Mama sama Papa? Gak nunggu Afira?" tanyaku.
Delisa terdiam, sepersekian menit. Lalu ia menggeleng pelan sambil tersenyum.
Hatiku mulai mengambil ancang-ancang untuk kembali merindukan saat kulihat Delisa bangun dari tempat duduknya. Wajahku sedikit murung, kurasa.
"Minggu depan aku dateng lagi, Zy," tuturnya, meyakinkan kerinduanku agar kuat menunggu selama sepekan lagi.
Aku mengangguk lemah.
"Kamu senyum, dong!" suruh Delisa.
Aku tersenyum, tipis dan sedikit terpaksa.
"Senyum yang manis! Bukan asem kayak gitu!" tambah Delisa sambil menatapku galak. Ekspresi galak termanis yang pernah kulihat.
Lalu kutunjukkan senyum manisku untuknya. Dan aku berdiri.
"Gak usah dianter, kamu masuk lagi aja ke kamar," ucapnya.
"Bener?" tanyaku, meyakinkan.
Delisa mengangguk. "Jaga kesehatan kamu ya, jangan lupa makan," ujarnya, lembut seperti ibu yang membelai kepala putra kecilnya sambil mengatakan "Belajar yang rajin ya!" didepan pintu saat sang anak berpamitan untuk pergi kesekolah.
"Kamu juga," timpalku.
Delisa tersenyum. "Bye," ucapnya sambil melambaikan tangan dengan manis.
Aku membalas lambaiannya.
Delisa lalu perlahan pergi meninggalkanku. Aku menatap punggung gadis kesayanganku itu. Gadis yang selalu membuatku merasa beruntung memilikinya. Meski delusi itu terkadang mengganggu hubungan kami, tapi tak pernah mengurangi cintaku padanya.
Ingin sekali kukatakan aku sangat menyayanginya, saat ia baru datang tadi, saat kami bercerita, dan lebih-lebih saat ia pamit. Ingin sekali aku terus mengatakan itu, setiap saat. Tapi kurasa, rasa sayang akan semakin berharga saat kau menyimpannya dibanding terus menyatakannya. Setiap aku menahan diri untuk mengatakan aku menyayanginya, semakin hatiku dipenuhi rasa sayang itu. Itu sebabnya aku selalu menyayanginya. Selalu, dan tak pernah habis.
"Ayo, kita balik ke kamar," ajak seorang wanita dengan seragam putih yang tiba-tiba datang dan menggandengku.
Delisa menghilang dari pandangan, dan aku berbalik badan, kemudian kembali kekamarku.
***
Aku berjalan perlahan menjauhi Arzy. Mencoba merayu hatiku yang sebenarnya sangat berat meninggalkan ruangan itu. Tapi aku akan datang lagi. Sudah hampir 7 bulan, setiap akhir pekan, sabtu atau minggu, atau keduanya, aku selalu berkunjung ke bangunan besar ini. Sangat besar. Aku selalu menemui Arzy, yang menurutku semakin lama keadaannya semakin membaik. Setelah lima hari penuh dijejali bongkahan-bongkahan rumus eksakta dan dipaksa menghafal entah berapa banyak teori, menemui Arzy adalah hiburan paling penting yang tak boleh kulewatkan. Aku selalu senang menanyakan kabarnya, apa saja kegiatannya selama seminggu tidak bertemu denganku, menyimak cerita-cerita lucunya, dan bahkan mendengarkan argumen-argumen konyol untuk meyakinkanku bahwa ia tak pernah berselingkuh dengan Kina, membawakan makanan dan minuman kesukaannya atau hanya sekedar berada disampingnya. Aku juga senang mendengar ceritanya tentang Afira, adik manis yang selalu kurindukan itu.
Meskipun berada disampingnya terkadang membuatku harus mengeluarkan kekuatan ekstra untuk menahan air mata, tapi aku tetap selalu ingin berada disampingnya. Aku menyayanginya. Sangat menyayanginya. Aku tau Arzy tau itu, meskipun selama dua tahun kami berpacaran, aku baru dua kali mengucapkan kalimat itu. Begitupun Arzy. Aku bahkan masih mengingat kapan kami mangucapkan itu. Sangat istimewa. Itulah, mengapa kata-kata itu terlalu berharga untuk terlalu sering diucapkan.
Aku berjalan melewati koridor yang cukup panjang. Dan saat berbelok, kulihat seorang pria dan wanita yang cukup membuat gaduh, tak kalah dengan kegaduhan lain yang beserakan disekitarku. Aku berhenti melangkah, lalu menyeringai, tanpa kusadari.
"Ngapain kamu kesini?!" ucap si wanita dengan nada tinggi.
"Bukan urusan kamu!" jawab si pria, dengan nada yang lebih tinggi.
"Itu akan jadi urusanku kalau kamu mau ketemu sama putraku!" balas si wanita. Wajah cantiknya dibalut amarah.
"Dia putraku! Semenjak kita cerai, kamu bahkan jarang merhatiin dia, kan?!" tukas si pria, yang wajahnya mengingatkanku pada laki-laki yang baru saja kutemui. Mirip sekali.
"Jangan sok tau!" timpal si wanita.
"Memang begitu kenyataannya!" tegas si pria. "Kamu selalu sibuk sama karir kamu, mana ada waktu mengurus anak?" lanjutnya.
"Sesibuk-sibuknya aku, masih lebih baik daripada kamu, penyebab Afira meninggal!" ucap si wanita, suaranya bergetar.
Afira. Hatiku seakan teriris mendengar nama itu.
"Afira meninggal kecelakaan, bukan karena aku!" sangkal si pria.
"Tapi dia kabur dari rumah karena kamu!" dakwa si wanita.
"Karena kita! Bukan aku!" balas si pria.
Oh, Tuhan. Dimana rasa malu dua orang ini. Mengapa mereka berteriak di tempat umum seperti ini. Orang-orang mungkin mengira mereka gila. Huh, bagiku, mereka mungkin lebih dari sekedar gila. Aku melangkah mendekati dua orang tadi.
"Permisi, Om, Tante," sapaku lembut.
Pertengkaran mendadak berhenti. Mereka berdua menatapku. Kubiarkan hening duduk beberapa saat untuk menenangkan hati dua orang itu.
"Eh, Delisa," sapa si wanita.
"Aku pamit pulang duku ya, Om, Tante," tuturku lagi.
"Udah ketemu Arzy?" kali ini si pria yang bicara, dan si wanita menatap pria itu sinis.
Aku tersenyum sambil mengangguk pelan.
"Hati-hati, ya," ujar si wanita.
"Makasih, Tante."
Aku lalu berlalu meninggalkan sepasang... ah, entah pasangan apa namanya. Dan mebiarkan mereka meneruskan pertengkarannya. Terserah.
Namaku Delisa, dan kekasihku adalah seorang pasien skizofrenia di rumah sakit jiwa ini. Sudah hampir setahun, ia hidup dalam delusi dan halusinasi, namun aku tetap mencintainya, jauh lebih jauh dibanding delusi dan halusinasi itu merubah dunianya.
No comments:
Post a Comment