Friday, May 30, 2014

Ayah Cita

"WHOAH!" Aku berdecak takjub melihat rumah megah milik Ayah Cita.

Langit-langit penuh ukiran disangga tiang-tiang kokoh yang membelah marmer cokelat dingin. Guci-guci antik yang kutahu tidak dijual di dalam negeri. Etalase berisi berbagai macam penghargaan di dunia bisnis. Laki-laki ini benar-benar pekerja keras. Tidak heran dulu orangtuaku menjodohkanku (secara paksa) dengannya.

Entah berapa pekerja rumah tangga yang mengurus rumah ini. Tidak ada secuil pun debu di belahan mana pun ruangan tempat aku duduk di sofa empuk yang terasa ribuan kali lebih nyaman dibanding sofa tua di rumahku.

Aku menghisap rokokku dalam kemudian mengepulkan asap berbentuk lingkaran dari mulutku.

"Aku tidak punya asbak. Tidak ada yang merokok di rumah ini," ucap Ayah Cita yang baru saja datang, setelah ia meletakkan secangkir teh hangat di meja marmer di depanku.

Bayaran

Ini sudah kali kesepuluh, ah, tidak, kesebelas sepertinya, aku mondar-mandir di depan rumah Cita. Tanganku berkeringat, lututku gemetar, dan suasana hatiku benar-benar tidak menentu. Ah, anak itu pasti akan mengejekku habis-habisan.

"Cowok nyebelin kayak lo, Gi? Apa gue gak salah denger?"

Pasti kata-kata seperti itu yang ia keluarkan di depanku. Aku menghela nafas. Suasana ini benar-benar membuatku ingin gantung diri.

"Lo ngapain?"

Aku kaget. Kuputar kepalaku ke arah sumber suara. Cita? Sejak kapan ia berdiri di depan pagar rumahnya? "Eh, Cita...."

"Lo ngapain malem-malem gini mondar-mandir di depan rumah gue kayak maling lagi ngecek sikon?"

Thursday, May 29, 2014

Murid Paling

Award apa ya, yang belum pernah kita keluarin?” Asti bertanya.

Aku mengerutkan kening. “Sebetulnya banyak, tapi apa ya?”

“Ah, murid paling lugu udah belum?” Bella memberi saran.

“Belum!” aku dan Asti serentak menjawab.

Thursday, May 22, 2014

Hantu Jatuh Cinta

Sebagian manusia yang meninggal dunia tidak langsung ditempatkan di surga atau neraka. Beberapa dari mereka –atau aku bisa menyebutnya dengan kata ‘kami’, masih harus melakukan kebaikan demi menyempurnakan persyaratan untuk menuju Eden. Kami yang tidak terlalu baik untuk masuk ke surga, namun juga tidak terlalu jahat untuk dilempar ke dalam neraka.

Sebagaian manusia yang masih hidup di atas muka bumi ini adalah manusia-manusia terpilih yang secara istimewa diberikan pendamping. Bukan seorang, tapi sesosok. Atau lebih tepatnya, sehantu.

Saturday, May 17, 2014

Pupus

Seperti rabu-rabu sebelumnya, hari ini aku berkunjung ke salah satu rumah sakit ternama dan duduk di ruang tunggu lantai dasar gedung yang sangat kusuka aromanya itu. Tidak ada jadwal konsultasi (aku sehat-sehat saja, omong-omong), tidak ada kerabat yang sakit, dan tidak harus menebus obat di apotek. Hanya duduk, menikmati atmosfer dan aroma rumah sakit, serta melihat para petugas medis yang berlalu-lalang dengan pakaian yang membuat mereka terlihat begitu berkharisma.

"Dokter Zaldy!" seorang laki-laki yang duduk di sampingku menyapa seorang pria berkacamata yang baru saja lewat di depanku.

Sial, ternyata orang itu ada di rumah sakit ini juga.

Thursday, May 15, 2014

Goresan

Wanita yang tengah berdiri di sebelahku berhenti mengaduk kopinya. Ia lalu mengamati gerakan tanganku yang tengah mengoleskan selai nanas di atas selembar roti. “Kau terluka?”
“Hah?” aku menoleh ke arahnya sambil mengangkat kedua alisku.
“Itu.” Ia menunjuk segaris luka goresan di punggung tanganku.
“Ah, ini, aku juga tidak tahu jelas kenapa. Sepertinya tergores sesuatu di bus,” jawabku asal. Aku lalu meletakkan pisau yang kugunakan untuk mengoleskan selai dan kemudian menutup selembar roti di tanganku dengan selembar roti lain di atasnya.
Kakakku mendengus. “Kemarin kaubilang kakimu tidak sengaja tercakar kucing liar, sebelumnya lenganmu terkena pecahan kaca, sekarang tergores sesuatu di bus umum? Kenapa bus umum harus memiliki benda tajam yang bisa membuat orang terluka?” ia mengomeliku, seperti biasa.

Saturday, May 10, 2014

Orang Asing

Teman curhat terbaik adalah orang asing.

Kalimat itu terus berputar di kepalaku sejak aku memutuskan kabur dari rumah hingga saat ini aku berada di trotoar sebuah jembatan layang di atas laut yang dibangun begitu megah oleh pemerintah. Salah satu jembatan kebanggaan dunia, katanya.

Monday, May 5, 2014

Menanti Kabar Ayah

Dulu banget pernah ngepost cerita ini cuma pas dibaca ulang oh sungguh nggilani gitu ewh terus ini abis dipermak sana sini jadi re-post aja walopun gak cantik-cantik amat atau malah worse than before tapi yang lalu biarlah berlalu deh ini semacam buka lembaran baru.

Apa itu dingin? Maksudku, benda seperti apa ia? Bagaimana bentuknya? Benarkah ia dapat menusuk kulitmu dan menyeruaki setiap lapis jaringan epitelmu? Membuatmu menggigil dan enggan melakukan apa pun? Apakah ia sekejam itu?
Ini adalah malam keempat aku duduk sendiri di balkon rumahku. Ah, tidak, aku tidak sendiri. Sesuatu bernama dingin itu menemaniku. Musim penghujan. Tiada hari tanpa eksistensi presipitasi cair hasil kondensasi uap air di atmosfer yang kemudian turun membasahi bumi. Aku dan dingin. Kami bak sahabat setia yang selalu menghabiskan malam bersama dalam keheningan. Tidak ada bunyi, atau lebih tepatnya, aku menutup telinga dari segala macam jenis suara.

About Me

My photo
Tangerang, Banten, Indonesia
bukan penulis, bukan pengarang, hanya pecinta keduanya.