Friday, May 30, 2014

Bayaran

Ini sudah kali kesepuluh, ah, tidak, kesebelas sepertinya, aku mondar-mandir di depan rumah Cita. Tanganku berkeringat, lututku gemetar, dan suasana hatiku benar-benar tidak menentu. Ah, anak itu pasti akan mengejekku habis-habisan.

"Cowok nyebelin kayak lo, Gi? Apa gue gak salah denger?"

Pasti kata-kata seperti itu yang ia keluarkan di depanku. Aku menghela nafas. Suasana ini benar-benar membuatku ingin gantung diri.

"Lo ngapain?"

Aku kaget. Kuputar kepalaku ke arah sumber suara. Cita? Sejak kapan ia berdiri di depan pagar rumahnya? "Eh, Cita...."

"Lo ngapain malem-malem gini mondar-mandir di depan rumah gue kayak maling lagi ngecek sikon?"

Aku melangkah mendekati gadis itu sambil sesekali menggaruk kepala yang tidak gatal dengan jari telunjukku.

"Itu, Ta...."

"Apaan?"

"Emm... gimana bilangnya ya?"

"Apaan sih? Lo mau pinjem buku? Atau mau nyontek tugas Ekonomi?"

"Bukan, bukan itu," aku menjawab cepat. "Gini, Ta, gue...."

Diam. Cita hanya mengangkat kedua alisnya seraya menungguku melanjutkan kalimat yang bahkan belum sampai setengahnya.

"Gue... itu.... Duh, gue bingun bilangnya, Ta."

"Lo kalo bingung jangan ngajak-ngajak orang dong! Jangan bikin gue jadi ikut-ikutan bingung."

Aku menggaruk leherku. Tidak gatal, sebenarnya. Kutengok kanan dan kiri, entah mencari apa. Seutas kalimat tak henti-hentinya menginvasi benakku. Hegi, apa kau benar-benar yakin ingin menginjak-injak harga dirimu sendiri? Ah, aku bisa gila!

"Tunggu," Cita bersuara. Ia lalu menyipitkan matanya seraya menatapku curiga. "Gelagat lo kayak orang yang mau nembak cewek deh, Gi. Jangan-jangan lo... minta gue makcomblangin lo sama anak kelas kita?"

"Bukan, Ta, bukan itu," aku menyangkal. Dugaan anak itu benar-benar di luar dugaanku.

"Terus? Masa lo mau nembak gue? Gak mungkin kan?"

Aku menghela nafas. Pede banget nih, cewek!

Cita menyipitkan lagi matanya. "Gi, lo gak beneran mau nembak gue kan?" tanyanya. "Kok serem sih, Gi? Udah ah, gue mau masuk ke dalem. Entar nyokap gue ngomel kalo gue kelamaan di luar."

Cita baru saja memutar badannya saat secara refleks tanganku menahan tangannya. "Tunggu, Ta! Kalo gue jadi gigolo nyokap lo kira-kira bayarannya berapa ya?"

Cita menatapku tajam. Sangat tajam. Bukan tatapan jengkel seperti yang biasa ia tunjukkan padaku, tapi tatapan heran, takjub, bingung, marah, dan entah apa lagi yang bahkan sulit kuartikan.

"Gi...."


***

Rasanya aku ingin memaki diriku sendiri. Sudah kulakukan, sebenarnya, tapi kurasa masih kurang kejam. Atau kurang banyak. Atau.... Ah, entah lah. Seorang Hegi benar-benar membunuh harga dirinya sendiri. Siapa yang sangka hanya karena telat membayar iuran sekolah selama tiga bulan, aku mendapatkan ancaman akan dikeluarkan. Kenapa lembaga pendidikan begitu berorientasi pada materi?

Kalau bukan karena takut ibuku terkena serangan jantung jika tahu anaknya menghabiskan semua biaya sekolah selama tiga bulan terakhir, aku tidak akan merendahkan diriku sendiri dengan melakukan hal ini. Kencan dengan tante girang berprilaku iblis itu? Sungguh, kurasa otakku ini tak waras lagi.

"Siapa?" Wanita paruh baya yang baru saja tanpa kuinginkan muncul di benakku, tiba-tiba benar-benar menampakkan dirinya di depanku setelah ia membukakan pintu.

"Malem, Tante." Aku tersenyum palsu selebar bentangan sayap Kaito Kuroba di komik yang sering kubaca.

"Wah, ada anak lucu dateng ke rumah," ucap wanita itu dengan nada bicara yang jujur saja, aku ingin muntah mendengarnya. "Cari siapa?"

"Saya temennya Cita, Tante. Emm... Cita udah cerita kan?"

Wanita itu membulatkan bibir merah delimanya. "Ini tho, temennya Cita. Iya, Cita udah bilang kok. Ayo masuk." Ia membuka lebar pintu rumahnya dan mempersilahkanku masuk ke dalam ruang tamunya yang... bau apa ini?

"Maaf, kalau kamu tidak terbiasa dengan aroma minuman keras."

Gila. Hidungku benar-benar seperti di tusuk-tusuk ekor lebah.

"Silakan duduk, Ganteng."

Seumur-umur tidak pernah ada yang mengatakan aku tampan kecuali ibuku. Kenapa aku harus mendengar pertama kali dari orang seperti ini?

Melihat aku bergeming, wanita itu lalu menarik tanganku. "Ayo silakan duduk!"

"Iya, Tante. Makasih," ucapku setelah dengan sedikit dipaksa, aku duduk di sofa empuk ruang tamu Cita.

Wanita dengan pakaian berkerah rendah itu duduk di sampingku. Ia lalu mendekatkan wajahnya ke arah wajahku. "Kamu wanginya enak banget sih."

AKU MERINDING! Sial. Padahal aku sudah baca banyak artikel tentang bagaimana menjadi pendamping tante girang yang berkelas. Salah satu dari mereka yang berpengalaman mengatakan bahwa aku harus terlihat dingin di awal agar terkesan mahal. Tapi aku benar-benar merinding. Bagaimana aku bisa bersikap dingin dalam keadaan seperti ini?

Aku memang anak nakal, tapi aku tidak pernah bermain dengan wanita. Pacaran aja gak pernah.

Seakan ada ribuan kubik darah yang mengalir deras ke bagian kepalaku saat tiba-tiba wanita itu menyentuh tanganku. "Gak usah nervous gitu," ucapnya.

Kurasa ini lebih menyeramkan dibanding harus berdiri sepanjang malam sendirian di tengah pemakaman. Ah, mengapa tidak terpikir sebelumnya untuk mencari uang dengan cara uji nyali di tempat-tempat angker saja? Uji nyali seperti ini benar-benar membuatku ingin melompat ke air terjun Niagara.

"Ibu!" Suara itu mengagetkanku.

Cita lalu menghampiri wanita yang ia panggil dan dengan cepat menyingkirkan tangan orang itu dari tanganku.

"Yaampun, pelit banget sih, pacarnya gak boleh dipegang-pegang!"

Pacar?

"Tangan Ibu terlalu kotor," Cita berkata santai.

Wanita yang duduk disampingku cepat-cepat berdiri dan tanpa basa-basi menampar mulut gadis yang memanggilnya 'Ibu' tadi. "Ini mulut gak disekolahin apa ya?!"

Cita hanya menghela nafas. "Ayo!" ucapnya kemudian sambil mengulurkan tangan ke arahku.

Aku mengerutkan kening. Tidak mengerti.

"Katanya mau nonton?"

Aku menatap Cita dengan alis yang semakin bertaut.

Cita sedikit membungkuk dan menarik tanganku. "Ayo! Nanti keburu malem."

Masih dengan kepala yang penuh tanda tanya, aku bangun dan berdiri di antara Cita dan ibunya.

"Aku pergi dulu, Bu."

"Kamu bawa kunci pintu kan? Ibu nginep di rumah klien malem ini."

Cita mengangguk. Ia lalu menoleh ke arahku. "Pamit, Gi," suruhnya.

Kali ini aku mengerti apa yang Cita maksud. "Tante," aku memanggil wanita yang langsung merespon panggilanku dengan senyuman lebar. "Saya pamit dulu, ya," ucapku sambil sedikit menundukkan kepala. Hanya basa-basi, bukan tanda hormat sama sekali. Malas betul menghormati orang semacam ini.

"Hati-hati ya, Ganteng."

Aku baru saja ingin membalas pujian memuakkan itu dengan seutas senyum saat Cita menarik tanganku melangkah menuju pintu.

"Sebentar!" Aku menahan tangan Cita yang masih menggenggam tanganku demi menghentikan langkahnya tepat setelah kami melewati gerbang rumahnya. "Ini maksudnya apa sih?"

Setelah sejenak diam, Cita tiba-tiba menyadari tangan kami yang masih saling bertaut. Ia cepat-cepat melepas genggaman tangannya.

"Gue kan, udah bilang, gue ngelakuin ini demi bayaran sekolah. Deadlinenya besok!"

"Lo lebih milih jalan sama gue atau diraba-raba sama tante girang itu?"

"Ya... sama... ya sama lo sih. Tapi bayaran gue gimana?"

"Gue yang bakal bayar lo."

Aku mengernyit. "Ta...."

2 comments:

  1. Tanggung part 'ngadate'-nya? Ya bisa dibayangin lah dua bocah ini ngedatenya gimana Kal -__-

    ReplyDelete

About Me

My photo
Tangerang, Banten, Indonesia
bukan penulis, bukan pengarang, hanya pecinta keduanya.