Thursday, May 22, 2014

Hantu Jatuh Cinta

Sebagian manusia yang meninggal dunia tidak langsung ditempatkan di surga atau neraka. Beberapa dari mereka –atau aku bisa menyebutnya dengan kata ‘kami’, masih harus melakukan kebaikan demi menyempurnakan persyaratan untuk menuju Eden. Kami yang tidak terlalu baik untuk masuk ke surga, namun juga tidak terlalu jahat untuk dilempar ke dalam neraka.

Sebagaian manusia yang masih hidup di atas muka bumi ini adalah manusia-manusia terpilih yang secara istimewa diberikan pendamping. Bukan seorang, tapi sesosok. Atau lebih tepatnya, sehantu.


Begitulah korelasi yang sebenarnya terjadi. Jawaban mengapa beberapa orang kerap kali terlihat bicara sendiri. Alasan mengapa banyak manusia yang memiliki keberuntungan di luar logika. Mereka yang gemar berteriak 'Dasar gila!', adalah mereka yang tidak istimewa. Sayangnya, mereka tidak menyadari hal itu.

Kami diutus untuk mendampingi satu manusia terpilih. Selalu membantu orang tersebut sampai kebaikan kami mencapai level yang cukup untuk menuju Eden. Apa saja boleh kami lakukan. Kecuali satu hal, jatuh cinta.

Sialnya, gadis di depanku terlalu memesona.

"Jangan menatapku dengan tatapan seperti itu!" Ia berkata sambil membalik halaman buku tebal di depannya. Tanpa sedikit pun menoleh ke arahku, ia teruskan kegiatan membaca kalimat-kalimat rumit di buku itu.

"Tatapan seperti apa maksudmu?"

"Hanya orang yang sedang jatuh cinta yang tahan melihat satu orang yang sama dalam waktu yang lama."

"Kau lupa? Aku bukan orang!"

"Teman-temanku bilang, aku terlihat sangat kharismatik saat belajar."

Aku tertawa. "Kau bermasalah pada kepercayaandirimu," aku berkomentar.

Gadis itu lalu menoleh ke arahku. "Jadi kau tidak menyukaiku?" tanyanya. "Benar-benar tidak menyukaiku?" Ia menatapku dengan bola-mata-cokelat-gelapnya yang sangat indah.

Aku mengalihkan pandanganku. Salah tingkah. "Jangan mimpi!" celetukku sekenanya.

Ia beranjak dari kursi belajar dan meninggalkan buku yang sudah lebih dari satu jam ia baca di mejanya. Perempuan itu lalu menghampiriku dan duduk di tepi tempat tidurnya, tepat di sebelahku. "Kau benar-benar menganggap aku biasa saja?" Ia mendekatkan wajahnya dengan wajahku.

Refleks, aku menjauhkan wajahku dari wajahnya. Aku lalu sedikit bergeser, memperlebar jarak dudukku dengannya. "Hantu tidak boleh jatuh cinta pada manusia!"

"Tidak boleh kan, bukan berarti tidak mungkin," ia berucap sambil tersenyum meledek. MENGGEMASKAN SEKALI SENYUMNYA.

Aku makin salah tingkah. Tak tahu harus bagaimana, aku akhirnya berdiri dan sedikit menjauh dari tempat tidur. "Aku hanya hantu yang terpaksa mendampingimu demi kelancaran perjalananku menuju Eden. Harus berapa kali lagi aku mengatakan hal itu?"

Gadis itu membentuk huruf O dengan mulutnya sambil mengangguk-angguk. Wajahnya masih tampak betul sedang meledekku.

"Lanjutkan belajarmu! Aku ingin keluar sebentar mencari angin." Tanpa melirik ke arah orang yang sedang duduk itu sedikit pun (yang aku yakin ia sedang menertawakan kebodohanku), aku menuju pintu kamarnya dan keluar meninggalkan pelajar SMA yang selalu mati-matian belajar demi mewujudkan mimpinya serta mimpi kedua orangtuanya untuk mendapatkan sebuah kursi di salah satu universitas ternama.

***

Aku duduk di bangku taman dengan perasaan kacau balau yang sulit dijelaskan. Bagimana bisa aku menjelaskannya? Aku merasa jantungku seakan berdegup cepat disaat organ itu bahkan tak lagi berfungsi di dalam diriku. Darahku seperti mengalir deras melewati setiap pembuluh di seluruh tubuhku yang bahkan berwarna putih pucat tanpa rona. Nafasku seolah tersenggal meski saluran respirasiku tak lagi bekerja sejak hari kematianku tempo senja. Aku benar-benar berantakan.

"Kau begitu menyukainya?"

Aku terkejut dan menoleh ke arah sumber suara. Sesosok hantu tiba-tiba duduk di sampingku. Hantu pendamping seorang remaja yang juga tinggal di dekat taman ini.

Dasar hantu, selalu muncul semau mereka.

"Dia bisa mati kalau kau mengungkapkan perasaanmu. Kau pasti tahu itu, kan?"

Aku menatapnya sinis. "Aku tidak menyukainya!" aku menegaskan, berharap apa yang baru saja kukatakan adalah benar adanya, meski kusadari itu adalah sebuah kebohongan yang terdengar sangat bodoh. "Lagi pula, kenapa kau mencampuri urusan hantu lain?"

"Aku juga sangat menyukainya."

"Apa? Kau suka sesama wanita?"

"Maksudku orang yang aku dampingi," hantu sok akrab itu cepat-cepat meralat. 

Aku membulatkan mulutku. "Ah, tidak ada urusannya denganku!" Aku tidak terlalu suka bicara tentang cinta, jujur saja.

"Kau tahu betapa indahnya menjadi hantu pendamping? Kau bisa berada di sisinya bahkan ketika tidak seorang pun memungkinkan berada di sisinya. Kau bisa melihatnya tertidur dengan wajah lugu yang sangat menenangkan. Kau bisa melihatnya belajar dengan ekspresi yang sangat keren setiap malam. Kau bisa...."

"Kau bisa diam tidak?!" ucapku memotong kalimatnya.

Kata-kata hantu itu sungguh membuat perasaanku semakin kacau. Wajah si tukang belajar itu muncul dengan jelas sebagai visualisasi nyata dari apa yang hantu itu katakan. Aku bisa gila!

"Hantu seperti kita tidak perlu mengungkapkan apa yang kita rasakan. Takdir sudah membuat dia menjadi milik kita. Sadarkah kau tentang itu? Kau adalah satu-satunya yang ia punya saat tidak ada siapa pun di sampingnya. Taruhan, setiap manusia pasti memiliki waktu di mana ia merasa tidak memiliki siapa pun dalam hidupnya."

Hantu cerewet ini ada benarnya juga sih.

"Kau pasti merasa omonganku ada benarnya juga, bukan begitu?"

Aku melirik hantu menyebalkan itu. Iya. Tapi aku tidak akan mengatakan iya di depannya.

***

"Berapa lama lagi kau akan duduk di sini?"

Perempuan di depanku tetap bergeming dengan matamerahnya yang menatap hampa dan wajahnya yang teramat lesu.

"Orang-orang melihatmu dengan tatapan aneh," ucapku sambil menyapu sekumpulan orang di sekitar halte dengan pandangan sekilas.

Ia tetap diam.

"Kau sudah lima jam duduk di sini. Ayo kita pulang. Kau harus makan."

Ia masih saja diam.

"HEY!" aku setengah membentaknya.

"Kau tidak tahu bagaimana rasanya gagal, bukan?" Akhirnya ia bicara, setelah membisu sejak pengumuman ketidaklulusannya masuk ke universitas yang dituju dua hari lalu.

Beberapa orang yang ada di halte menoleh dengan kening yang mengerut.

"Aku pernah merasakan hal yang lebih sakit dibanding kegagalan. Aku pernah mati, kalau kau lupa tentang itu."

"Kau tidak tahu bagaimana rasanya gagal," ia berucap lagi. Suaranya parau. Matanya masih menatap kosong ke entah apa.

"Jangan terlalu pikirkan apa kata mereka," aku berujar.

Ya, mereka. Kurasa hal yang paling membuatnya tertekan bukanlah kegagalan itu, melainkan kedua orangtuanya. Ah, pasangan suami istri itu menghujaninya dengan kalimat-kalimat hina seolah gagal masuk ke universitas merupakan aib yang sangat besar yang mereka sama sekali tidak bisa terima. Gumpalan daging bodoh yang tak berguna, kata mereka. Aku benar-benar tidak mengerti.

Gadis itu akhirnya menolehkan kepalanya ke arahku dan mengisi bola matanya dengan bayangan wajahku. "Aku hanya punya mereka di dunia ini. Bagaimana kau bisa bilang aku tidak perlu memikirkan apa kata mereka?!"

"Bukankah kau masih punya aku?"

Perempuan yang biasa menghiasi ekspresi cerahnya dengan senyum manis dan mata yang berbinar itu mendengus kesal. Tidak ada cahaya yang terpancar dari sisi mana pun wajahnya. Ia bangun, akhirnya, dan sejurus kemudian melangkah cepat meninggalkanku yang masih diam tak tahu harus melakukan apa.

Aku meninggalkan orang-orang yang kuyakin batin mereka dikerumuni kata 'aneh' atau semacamnya, lalu setengah berlari mengejar si tukang belajar itu. "Hei, bagaimana bisa orang yang sudah diberikan pendamping sepertimu merasa sesendirian ini? Hidupku sudah sangat tidak adil, tolong jangan membuat matiku juga terasa tidak adil!" Aku terus berucap sambil mengikutinya berjalan di trotoar menuju persimpangan.

Ia tidak merespon kalimatku.

Aku tidak tahu harus berkata apa lagi. Aku hanya mengikutinya tanpa bicara sampai ia menghentikan langkahnya di antara orang-orang yang tengah menunggu giliran menyebrang di persimpangan.

"Aku memang hanya hantu, tapi kau bisa melihatku. Jadi jangan anggap aku tidak ada. Aku ini diutus untuk menjadi temanmu," aku berujar lagi.

Orang itu menatapku tajam. Tatapan yang belum pernah kudapatkan sejak pertama kali aku diputuskan untuk menjadi pendampingnya. "Kau hanya terpaksa menjadi temanku demi mempermudah jalanmu menuju surga. Kau melakukan semuanya demi dirimu sendiri. Jangan bersikap seolah-olah kau khawatir dan peduli padaku!" ia berkata dengan sedikit lantang.

Orang-orang di persimpangan serentak menatapnya dengan tatapan heran.

Gadis yang dianggap bicara sendiri itu melangkahkan kaki seenaknya menyebrang jalan.

Kalimat hantu wanita tempo hari itu benar-benar membuatku kesal. Hantu itu bilang aku bisa menjadi satu-satunya sosok yang berada di sampingnya saat tidak ada orang lain yang bisa?! MANA BUKTINYA? "Bagaimana aku tidak khawatir pada orang yang sangat aku sukai? Bagaimana kau bisa katakan bahwa aku berpura-pura peduli terhadap gadis yang selama ini membuatku gila setengah mati? Aku menyukaimu. Sangat menyukaimu seperti anak laki-laki lugu yang menyukai murid perempuan paling pintar di kelasnya. Atau bahkan lebih dari itu. Kau benar, aku jatuh cinta padamu!"

TIIIIIIIN TIIIIIIIIIIIIIIIIIIIN!!!!!!!!!!!!!!!

Aku refleks menoleh ke sumber suara. Kudapati sepasang mata persegi yang terang menyala di muka sebuah balok besi yang melaju cepat menuju seseorang yang tengah menyebrang jalan.

Tak lama, lalu lintas persimpangan berantakan karena jalan raya dipenuhi oleh kerumunan orang yang mengelilingi seorang gadis berlumur darah yang mati di tempat setelah tertabrak sebuah bis pariwisata.

Aku tercekat saat tiba-tiba kuingat peraturan bahwa hantu tidak boleh mengungkapkan cinta pda manusia.
Kurasa aku... membunuhnya....

1 comment:

  1. oh fck. stupid ghost.

    jujur aja, ini sebenernya basic, tapi jadi segar dihandle nya. ngalir, comical stupid ghost. and the ending. Aku salah nebak, lupa ini cerita buatanmu.

    ReplyDelete

About Me

My photo
Tangerang, Banten, Indonesia
bukan penulis, bukan pengarang, hanya pecinta keduanya.