Thursday, May 15, 2014

Goresan

Wanita yang tengah berdiri di sebelahku berhenti mengaduk kopinya. Ia lalu mengamati gerakan tanganku yang tengah mengoleskan selai nanas di atas selembar roti. “Kau terluka?”
“Hah?” aku menoleh ke arahnya sambil mengangkat kedua alisku.
“Itu.” Ia menunjuk segaris luka goresan di punggung tanganku.
“Ah, ini, aku juga tidak tahu jelas kenapa. Sepertinya tergores sesuatu di bus,” jawabku asal. Aku lalu meletakkan pisau yang kugunakan untuk mengoleskan selai dan kemudian menutup selembar roti di tanganku dengan selembar roti lain di atasnya.
Kakakku mendengus. “Kemarin kaubilang kakimu tidak sengaja tercakar kucing liar, sebelumnya lenganmu terkena pecahan kaca, sekarang tergores sesuatu di bus umum? Kenapa bus umum harus memiliki benda tajam yang bisa membuat orang terluka?” ia mengomeliku, seperti biasa.
Aku menelan sisa roti yang sedang kukunyah. “Bus yang sudah tua memang seperti itu, Kak,” aku lalu menanggapi kakakku dengan tenang.
“Lama-lama tubuhmu itu seperti patung pahat, kau tahu?”
Aku tertawa. “Apa aku ini benar-benar seindah karya seni?” timpalku bercanda.
Kakakku memutar bola matanya. Jengkel.
“Jangan terlalu mengkhawatirkanku,” aku berucap.
“Bagaimana aku tidak—“
“Aku pergi dulu!” Aku pamit tanpa mengindahkan kalimat apa yang hendak wanita itu katakan. Sambil mengunyah rotiku, aku berjalan meninggalkan kakakku yang kurasa masih dililit rasa kesal menghadapi adiknya yang sedikit nakal.
Tunggu, aku tidak nakal. Sama sekali tidak.
Gema tawa terdengar jelas di telingaku saat aku membuka pintu gerbang rumahku. “Patung pahat?” Ia tertawa lagi.
Aku menutup pintu gerbangku dari luar. “Carilah hiburan lain selain menertawakanku!”
Ia tertawa lagi. “Aku tidak bisa menghibur diri dengan cara menonton drama romantis atau mendengar musik klasik seperti manusia. Kau tahu itu, kan?” laki-laki yang pagi ini berwajah pucat (dan setiap hari memang selalu pucat) berkata sambil berjalan di sampingku.
Aku hanya meliriknya dengan lirikan jengkel sebelum setelah itu kuhela nafas berat.
Laki-laki pucat itu tersenyum lebar, membuatnya terlihat semakin menyebalkan. “Oh ya,” ia berkata lagi. “Apa itu terasa sakit?” tanyanya sambil menunjuk ke arah tanganku yang terluka.
“Kau tahu seberapa dalam lukanya, jadi kau pasti juga tahu seberapa sakitnya. Jangan ajukan pertanyaan retoris padaku!”
Laki-laki pucat di sebelahku berdecak kesal. “Kau satu-satunya manusia yang tidak pernah bersikap baik terhadapku. Kau seharusnya tidak pilih kasta dalam berteman!”
Aku menghentikan langkahku.
Pria pucat di sampingku ikut menghentikan langkahnya.
Aku menoleh ke laki-laki pucat itu. “Sampai kapan kau akan mengikutiku?”
“Seperti biasa, sampai halte di ujung jalan,” jawabnya.
“Maksudku, berapa lama lagi kau menghantuiku? Literally, meng-han-tu-i.”
“Sampai kau pindah dari rumahku. Aku sudah pernah katakan itu, bukan?”
“Aku sudah membeli rumah itu. Bagaimana bisa kau bilang itu masih rumahmu?”
Hantu itu menunjukkan ekspresi seperti menghela nafas, meski kutahu ia tidak lagi bernafas. “Kau marah padaku karena luka itu?”
“Aku hanya….” Tiba-tiba aku kehilangan kata-kata. “Kenapa kau harus bisa dilihat oleh penghuni rumah yang berusia sama dengan usiamu saat kau mati? Kenapa usia kematianmu sama dengan usiaku?”
Laki-laki pucat itu mengangkat kedua bahunya.
Aku mendengus. “Sudahlah, jangan bicara padaku lagi, atau orang-orang akan menganggapku gila karena bicara sendiri!” aku berucap sambil melanjutkan lagi langkahku.
“Mereka sudah melakukannya.”
Aku refleks melihat ke sekitar. Benar saja, beberapa orang tengah menatapku dengan tatapan penuh pertanyaan semacam ‘Apa orang itu sudah gila?’
Kurasa aku benar-benar sudah gila.

***

“Apa kau tidak ada acara sepulang sekolah nanti?” tanya kakakku sambil membuatkanku segelas susu.
“Kurasa tidak. Ada apa?”
“Teman lamaku ingin bertemu denganmu.”
“Teman lama? Siapa?”
“Hansel, kau masih mengingatnya?”
Ah, psikiater itu. “Kenapa tiba-tiba orang itu ingin bertemu denganku?”
Kakakku sekali lagi mengaduk susu di depannya, lalu memberikan susu itu padaku. “Saat kau kecil, ia sangat menyukaimu, kan? Ia hanya ingin tahu seberapa cantiknya kau setelah SMA.” Ia tersenyum.
Aku mengelap sisa-sisa susu di tepi bibir dengan punggung tanganku. “Berikan saja fotoku,” ucapku kemudian, lalu meminum lagi susu cokelat dari gelas di tanganku.
“Bukan bintang terkenal saja sudah sesombong itu!” Celetukan itu tentu saja berasal dari sesosok laki-laki yang tengah bersandar di sudut dapur sambil menyilangkan kedua tangannya di dada.
Aku meliriknya kesal.
“Jangan terlalu dingin pada laki-laki,” ucap kakakku. Kalimatnya sungguh lebih menyebalkan dibanding kalimat si hantu itu, jujur saja.
Aku tertawa. “Aku hanya bercanda,” ucapku sambil meletakkan gelas ke meja dapur di sebelahku. “Kenapa kau mau mempertemukanku dengan seorang psikiater?” Aku bukan tipe orang yang suka basa-basi.
“Hah? Psikiater?” kakakku (pura-pura) tidak mengerti.
“Kak Hansel bekerja di salah satu rumah sakit jiwa, kan?”
“Kau tahu dari mana?” tanya kakakku. “Ah, tapi aku bukan bermaksud seperti itu, aku hanya….” Wanita itu tidak melanjutkan kalimatnya.
“Kau berpikir aku melukai diriku sendiri? Atau kau sering mendapat laporan bahwa aku kerap kali berbicara sendiri?”
Kakakku menatap asal kanan dan kiri. Salah tingkah. Bingung harus berkata apa. Kurasa ia sedikit takut melukai perasaanku.
Aku tertawa. “Aku akan pulang cepat dan ikut denganmu menemui Kak Hansel, tenang saja,” ucapku. “Aku pergi ke sekolah dulu.”
“Kau tidak merasa tersinggung, kan?” tanya kakakku hati-hati.
Aku tersenyum. “Tidak sama sekali.”

***

“Kurasa aku harus ke toilet,” ucap kakakku. “Kalian ngobrol berdua saja dulu.”
Pria bernama Hansel itu mengangguk.
Kakakku sekali lagi meminum jus tomatnya sebelum setelah itu ia berdiri dan hendak pamit ke toilet atau entah ke mana. Ah, tak lupa ia melirik penuh arti ke arah Hansel sebelum benar-benar pergi. Aku tahu benar apa maksudnya.
Hansel menatapku. Bukan, bukan wajahku. Ia mengamati lamat-lamat luka terbaru di tangan kiriku. “Bagaimana ia melakukannya?” tanya Hansel setelah ia menggeser matanya ke mataku.
Aku menoleh ke arah laki-laki pucat yang duduk di salah bangku tepat di depan kakakku duduk tadi.
“Menggunakan pensil yang ada di atas mejamu,” ucap hantu itu.
Aku lalu mengarahkan pandanganku ke arah pria di depanku. “Menggunakan pensil, katanya,” ucapku.
“Apa kau tidak merasa sakit?”
“Aku sudah pernah mengatakan padamu, aku selalu meminum obat penahan sakit setiap sebelum tidur.”
Hansel menghela nafas. “Obat seperti itu tidak baik dikonsumsi terus menerus.”
Aku mengangguk. “Aku tahu,” ucapku. “Tapi apa aku punya pilihan lain?”
“Bagaimana jika kau tinggal di rumahku? Maksudku, ibuku menyewakan beberapa kamar di rumah.”
“Ah, dia mulai lagi!” hantu itu mengumpat sendiri.
Aku tersenyum. “Terima kasih atas tawarannya, tapi kurasa perjalananku ke sekolah akan menjadi lebih jauh,” paparku.
“Kenapa kau tidak pernah bicara selembut itu padaku?!” Laki-laki pucat itu cemberut.
Hansel tertawa. “Benar juga,” tanggapnya.  “Tapi aku takut sesuatu yang lebih buruk terjadi padamu. Aku benar-benar mengkhawatirkanmu.”
“AH, MULUT LAKI-LAKI INI!”
Aku tertawa kecil melihat tingkah hantu bodoh itu.
“Kenapa kau tertawa?” tanya Hansel.
“Temanku cemburu melihatmu begitu mengkhawatirkanku,” aku menjawab sambil tertawa.
“YANG BENAR SAJA!” Laki-laki pucat itu protes.
Hansel tertawa. “Ah, ngomong-ngomong, temanmu itu… tidak bisakah ia menjagamu?”
“HEI, AKU INI HANTU, BUKAN MALAIKAT PENJAGA!”
Aku tersenyum.
“Ia bilang apa?” tanya Hansel.
“Ia bilang, ia akan menjagaku sebisanya,” jawabku.
“Aish, orang ini!” Hantu itu masih menggerutu seorang diri.
“Ah, terdengar sedikit melegakan,” ujar Hansel. “Aku akan berusaha menyembuhkan kakakmu secepatnya. Aku harap kau bisa menjaga dirimu dengan baik. Ia bisa melakukan hal yang lebih tidak terduga dari yang sudah pernah ia lakukan.”
Aku mengangguk. “Aku juga sangat mengkhawatirkan kakakku. Aku takut ia melakukan itu terhadap dirinya sendiri,” ucapku. “Aku benar-benar mengandalkanmu,” aku melanjutkan dengan dibumbui senyum di ujung kalimatku.
Hansel membalas senyumku dengan tatapan yang membuat aku benar-benar tidak bisa tidak percaya padanya.
“Sudah kubilang aku bukan manusia yang bisa terhibur dengan menyaksikan drama romantis seperti ini!”
Aku menahan tawa melihat wajah pucat jengkel hantu itu.

2 comments:

  1. JUDULNYA HANTU! TAPI KOK HANTUNYA JADI BEKGRON DOANG?!!!!!!!!!

    bagus banget. ga nyangka kakaknya gitu :o

    terus tadinya sempet mikir kakaknya ini cowo, adenya cewe, ternyata salah ya. mereka berdua cewe -__-

    ceritanya bagus, dalem, tapi ga sedalem cerita sebelumnya. terus kayanya salah judul :/ Hansel and Gretel ya ini? cool.

    Bekstori si hantu ga ketauan, ade/kakaknya Hansel kah? :o

    ReplyDelete
  2. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete

About Me

My photo
Tangerang, Banten, Indonesia
bukan penulis, bukan pengarang, hanya pecinta keduanya.