Wanita yang tengah berdiri di
sebelahku berhenti mengaduk kopinya. Ia lalu mengamati gerakan tanganku yang
tengah mengoleskan selai nanas di atas selembar roti. “Kau terluka?”
“Hah?” aku menoleh ke arahnya sambil
mengangkat kedua alisku.
“Itu.” Ia menunjuk segaris luka
goresan di punggung tanganku.
“Ah, ini, aku juga tidak tahu jelas
kenapa. Sepertinya tergores sesuatu di bus,” jawabku asal. Aku lalu meletakkan
pisau yang kugunakan untuk mengoleskan selai dan kemudian menutup selembar roti
di tanganku dengan selembar roti lain di atasnya.
Kakakku mendengus. “Kemarin
kaubilang kakimu tidak sengaja tercakar kucing liar, sebelumnya lenganmu
terkena pecahan kaca, sekarang tergores sesuatu di bus umum? Kenapa bus umum
harus memiliki benda tajam yang bisa membuat orang terluka?” ia mengomeliku,
seperti biasa.
Aku menelan sisa roti yang sedang
kukunyah. “Bus yang sudah tua memang seperti itu, Kak,” aku lalu menanggapi
kakakku dengan tenang.
“Lama-lama tubuhmu itu seperti
patung pahat, kau tahu?”
Aku tertawa. “Apa aku ini
benar-benar seindah karya seni?” timpalku bercanda.
Kakakku memutar bola matanya.
Jengkel.
“Jangan terlalu mengkhawatirkanku,”
aku berucap.
“Bagaimana aku tidak—“
“Aku pergi dulu!” Aku pamit tanpa
mengindahkan kalimat apa yang hendak wanita itu katakan. Sambil mengunyah
rotiku, aku berjalan meninggalkan kakakku yang kurasa masih dililit rasa kesal
menghadapi adiknya yang sedikit nakal.
Tunggu, aku tidak nakal. Sama sekali
tidak.
Gema tawa terdengar jelas di
telingaku saat aku membuka pintu gerbang rumahku. “Patung pahat?” Ia tertawa
lagi.
Aku menutup pintu gerbangku dari
luar. “Carilah hiburan lain selain menertawakanku!”
Ia tertawa lagi. “Aku tidak bisa
menghibur diri dengan cara menonton drama romantis atau mendengar musik klasik seperti
manusia. Kau tahu itu, kan?” laki-laki yang pagi ini berwajah pucat (dan setiap
hari memang selalu pucat) berkata sambil berjalan di sampingku.
Aku hanya meliriknya dengan lirikan
jengkel sebelum setelah itu kuhela nafas berat.
Laki-laki pucat itu tersenyum lebar,
membuatnya terlihat semakin menyebalkan. “Oh ya,” ia berkata lagi. “Apa itu
terasa sakit?” tanyanya sambil menunjuk ke arah tanganku yang terluka.
“Kau tahu seberapa dalam lukanya, jadi
kau pasti juga tahu seberapa sakitnya. Jangan ajukan pertanyaan retoris padaku!”
Laki-laki pucat di sebelahku
berdecak kesal. “Kau satu-satunya manusia yang tidak pernah bersikap baik
terhadapku. Kau seharusnya tidak pilih kasta dalam berteman!”
Aku menghentikan langkahku.
Pria pucat di sampingku ikut
menghentikan langkahnya.
Aku menoleh ke laki-laki pucat itu. “Sampai
kapan kau akan mengikutiku?”
“Seperti biasa, sampai halte di
ujung jalan,” jawabnya.
“Maksudku, berapa lama lagi kau
menghantuiku? Literally, meng-han-tu-i.”
“Sampai kau pindah dari rumahku. Aku
sudah pernah katakan itu, bukan?”
“Aku sudah membeli rumah itu.
Bagaimana bisa kau bilang itu masih rumahmu?”
Hantu itu menunjukkan ekspresi
seperti menghela nafas, meski kutahu ia tidak lagi bernafas. “Kau marah padaku
karena luka itu?”
“Aku hanya….” Tiba-tiba aku kehilangan
kata-kata. “Kenapa kau harus bisa dilihat oleh penghuni rumah yang berusia sama
dengan usiamu saat kau mati? Kenapa usia kematianmu sama dengan usiaku?”
Laki-laki pucat itu mengangkat kedua
bahunya.
Aku mendengus. “Sudahlah, jangan
bicara padaku lagi, atau orang-orang akan menganggapku gila karena bicara
sendiri!” aku berucap sambil melanjutkan lagi langkahku.
“Mereka sudah melakukannya.”
Aku refleks melihat ke sekitar.
Benar saja, beberapa orang tengah menatapku dengan tatapan penuh pertanyaan
semacam ‘Apa orang itu sudah gila?’
Kurasa aku benar-benar sudah gila.
***
“Apa kau tidak ada acara sepulang
sekolah nanti?” tanya kakakku sambil membuatkanku segelas susu.
“Kurasa tidak. Ada apa?”
“Teman lamaku ingin bertemu
denganmu.”
“Teman lama? Siapa?”
“Hansel, kau masih mengingatnya?”
Ah, psikiater itu. “Kenapa tiba-tiba
orang itu ingin bertemu denganku?”
Kakakku sekali lagi mengaduk susu di
depannya, lalu memberikan susu itu padaku. “Saat kau kecil, ia sangat
menyukaimu, kan? Ia hanya ingin tahu seberapa cantiknya kau setelah SMA.” Ia
tersenyum.
Aku mengelap sisa-sisa susu di tepi
bibir dengan punggung tanganku. “Berikan saja fotoku,” ucapku kemudian, lalu
meminum lagi susu cokelat dari gelas di tanganku.
“Bukan bintang terkenal saja sudah
sesombong itu!” Celetukan itu tentu saja berasal dari sesosok laki-laki yang
tengah bersandar di sudut dapur sambil menyilangkan kedua tangannya di dada.
Aku meliriknya kesal.
“Jangan terlalu dingin pada
laki-laki,” ucap kakakku. Kalimatnya sungguh lebih menyebalkan dibanding
kalimat si hantu itu, jujur saja.
Aku tertawa. “Aku hanya bercanda,”
ucapku sambil meletakkan gelas ke meja dapur di sebelahku. “Kenapa kau mau
mempertemukanku dengan seorang psikiater?” Aku bukan tipe orang yang suka
basa-basi.
“Hah? Psikiater?” kakakku
(pura-pura) tidak mengerti.
“Kak Hansel bekerja di salah satu
rumah sakit jiwa, kan?”
“Kau tahu dari mana?” tanya kakakku.
“Ah, tapi aku bukan bermaksud seperti itu, aku hanya….” Wanita itu tidak
melanjutkan kalimatnya.
“Kau berpikir aku melukai diriku
sendiri? Atau kau sering mendapat laporan bahwa aku kerap kali berbicara
sendiri?”
Kakakku menatap asal kanan dan kiri.
Salah tingkah. Bingung harus berkata apa. Kurasa ia sedikit takut melukai
perasaanku.
Aku tertawa. “Aku akan pulang cepat
dan ikut denganmu menemui Kak Hansel, tenang saja,” ucapku. “Aku pergi ke
sekolah dulu.”
“Kau tidak merasa tersinggung, kan?”
tanya kakakku hati-hati.
Aku tersenyum. “Tidak sama sekali.”
***
“Kurasa aku harus ke toilet,” ucap
kakakku. “Kalian ngobrol berdua saja dulu.”
Pria bernama Hansel itu mengangguk.
Kakakku sekali lagi meminum jus
tomatnya sebelum setelah itu ia berdiri dan hendak pamit ke toilet atau entah
ke mana. Ah, tak lupa ia melirik penuh arti ke arah Hansel sebelum benar-benar
pergi. Aku tahu benar apa maksudnya.
Hansel menatapku. Bukan, bukan
wajahku. Ia mengamati lamat-lamat luka terbaru di tangan kiriku. “Bagaimana ia
melakukannya?” tanya Hansel setelah ia menggeser matanya ke mataku.
Aku menoleh ke arah laki-laki pucat
yang duduk di salah bangku tepat di depan kakakku duduk tadi.
“Menggunakan pensil yang ada di atas
mejamu,” ucap hantu itu.
Aku lalu mengarahkan pandanganku ke
arah pria di depanku. “Menggunakan pensil, katanya,” ucapku.
“Apa kau tidak merasa sakit?”
“Aku sudah pernah mengatakan padamu,
aku selalu meminum obat penahan sakit setiap sebelum tidur.”
Hansel menghela nafas. “Obat seperti
itu tidak baik dikonsumsi terus menerus.”
Aku mengangguk. “Aku tahu,” ucapku. “Tapi
apa aku punya pilihan lain?”
“Bagaimana jika kau tinggal di
rumahku? Maksudku, ibuku menyewakan beberapa kamar di rumah.”
“Ah, dia mulai lagi!” hantu itu
mengumpat sendiri.
Aku tersenyum. “Terima kasih atas tawarannya,
tapi kurasa perjalananku ke sekolah akan menjadi lebih jauh,” paparku.
“Kenapa kau tidak pernah bicara
selembut itu padaku?!” Laki-laki pucat itu cemberut.
Hansel tertawa. “Benar juga,”
tanggapnya. “Tapi aku takut sesuatu yang
lebih buruk terjadi padamu. Aku benar-benar mengkhawatirkanmu.”
“AH, MULUT LAKI-LAKI INI!”
Aku tertawa kecil melihat tingkah
hantu bodoh itu.
“Kenapa kau tertawa?” tanya Hansel.
“Temanku cemburu melihatmu begitu
mengkhawatirkanku,” aku menjawab sambil tertawa.
“YANG BENAR SAJA!” Laki-laki pucat
itu protes.
Hansel tertawa. “Ah,
ngomong-ngomong, temanmu itu… tidak bisakah ia menjagamu?”
“HEI, AKU INI HANTU, BUKAN MALAIKAT
PENJAGA!”
Aku tersenyum.
“Ia bilang apa?” tanya Hansel.
“Ia bilang, ia akan menjagaku
sebisanya,” jawabku.
“Aish, orang ini!” Hantu itu masih
menggerutu seorang diri.
“Ah, terdengar sedikit melegakan,”
ujar Hansel. “Aku akan berusaha menyembuhkan kakakmu secepatnya. Aku harap kau
bisa menjaga dirimu dengan baik. Ia bisa melakukan hal yang lebih tidak terduga
dari yang sudah pernah ia lakukan.”
Aku mengangguk. “Aku juga sangat
mengkhawatirkan kakakku. Aku takut ia melakukan itu terhadap dirinya sendiri,”
ucapku. “Aku benar-benar mengandalkanmu,” aku melanjutkan dengan dibumbui
senyum di ujung kalimatku.
Hansel membalas senyumku dengan
tatapan yang membuat aku benar-benar tidak bisa tidak percaya padanya.
“Sudah kubilang aku bukan manusia
yang bisa terhibur dengan menyaksikan drama romantis seperti ini!”
Aku menahan tawa melihat wajah pucat
jengkel hantu itu.
JUDULNYA HANTU! TAPI KOK HANTUNYA JADI BEKGRON DOANG?!!!!!!!!!
ReplyDeletebagus banget. ga nyangka kakaknya gitu :o
terus tadinya sempet mikir kakaknya ini cowo, adenya cewe, ternyata salah ya. mereka berdua cewe -__-
ceritanya bagus, dalem, tapi ga sedalem cerita sebelumnya. terus kayanya salah judul :/ Hansel and Gretel ya ini? cool.
Bekstori si hantu ga ketauan, ade/kakaknya Hansel kah? :o
This comment has been removed by the author.
ReplyDelete