Saturday, May 17, 2014

Pupus

Seperti rabu-rabu sebelumnya, hari ini aku berkunjung ke salah satu rumah sakit ternama dan duduk di ruang tunggu lantai dasar gedung yang sangat kusuka aromanya itu. Tidak ada jadwal konsultasi (aku sehat-sehat saja, omong-omong), tidak ada kerabat yang sakit, dan tidak harus menebus obat di apotek. Hanya duduk, menikmati atmosfer dan aroma rumah sakit, serta melihat para petugas medis yang berlalu-lalang dengan pakaian yang membuat mereka terlihat begitu berkharisma.

"Dokter Zaldy!" seorang laki-laki yang duduk di sampingku menyapa seorang pria berkacamata yang baru saja lewat di depanku.

Sial, ternyata orang itu ada di rumah sakit ini juga.


Pria yang dipanggil dokter itu berhenti dan meloneh ke arah sumber suara. "Ah, Eric!" Ia lalu menghampiri laki-laki di sebelahku dan menjabat tangannya.

"Dinas di sini juga?"

"Iya. Baru dipindah dua hari lalu sih. Jemput?"

"Iya."

"Oh, yaudah gue naik dulu ya, lagi ditunggu pasien."

"Oh, iya iya, kapan-kapan main ke rumah. Sok sibuk banget!"

Dokter Zaldy tertawa. "Insya Allah kapan-kapan gue main. Yaudah, gue ke atas dulu."

"Sip sip."

Dokter itu baru dua kali melangkahkan kakinya saat tiba-tiba ia seakan menyadari sesuatu dan kembali menolehkan kepalanya. Matanya menyipit. Ke arahku, aku menyadari itu.

Aku pura-pura sibuk dengan ponsel di tanganku.

"Ada apa, Zal?" tanya pria di sampingku.

Zaldy melangkah mendekatiku. "Bagas?"

Mau tak mau, aku mengangkat kepalaku. Dengan perasaan penuh ketidakberuntungan, kusunggingkan senyum tipis seadanya. "Hei, Zal," aku menyapanya pelan.

"LO BENERAN BAGAS?!"

Aku nyengir.

"Lo jangan ke mana-mana! Satu jam lagi gue balik ke sini. Pokoknya lo jangan pulang dulu. Gue pengen ngobrol banyak sama lo!"

"Iya. Udah sana lo ditunggu pasien juga!" Basa-basi. Aku tidak punya keberanian bertemu dengannya, jujur saja.

Zaldy mundur teratur. "Awas ya kalo lo pulang!" ucapnya lagi sebelum setelah itu ia benar-benar pergi dan kemudian hilang di balik pintu lift.

"Temen?" tiba-tiba laki-laki di sampingku yang bernama... Eric, kalau aku tidak salah ingat, bertanya padaku.

Aku sedikit terkejut diajak bicara oleh orang asing. "Ya?"

"Keliatannya Anda deket sama Dokter Zaldy."

Aku membulatkan bibir. "Temen dari SMP sampe kuliah," jawabku. Aku lalu tertawa kecil.

"Wah, deket banget ya, berarti. Udah lama gak ketemu ya?"

Aku mengangguk.

"Berarti Anda doketr juga?"

Aku menggeleng. "Enggak. Saya gak selesai kuliahnya."

Pria di sebelahku membulatkan bibir sambil mengangguk-angguk.

"Cuma sampe semester 4," tiba-tiba aku berkata tanpa ditanya. Lagi pula, kurasa ia juga akan bertanya pada Zaldy nantinya.

"Gak sesuai passion ya?"

"Justru jadi dokter itu impian saya dari kecil. Saya belajar mati-matian supaya masuk fakultas kedokteran. Kalo banyak orang punya banyak alternatif cita-cita, kalo saya cuma pengen jadi dokter. Satu itu aja."

"Kalo boleh tau kenapa berhenti?"

Aku tertawa. "Biaya."

"Ah, iya, kuliah di kedokteran emang butuh biaya yang super banyak."

"Sebenernya bapak saya udah nyiapin semua untuk bayar biaya semester lima, cuma saya pake uangnya." Aku tertawa lebar.

"Buat?"

"Ya, buat foya-foya. Ngurusin motor. Jalan-jalan ke luar negeri. Biasa lah anak muda." Aku tertawa semakin lebar.

Eric ikut tertawa. "Terus keluarga gimana tuh?"

"Bapak saya meninggal karena serangan jantung pas tau kalo saya udah gak kuliah lagi. Padahal uang semester itu juga ditambah hasil pinjem sana-sini. Shock banget pasti."

Eric menunjukkan ekspresi bela sungkawa. "Banyak hal yang bikin nyesel di ujung emang," ia berkomentar. "Terus keluarga yang lain?"

"Saya diusir. Ya, masih untung gak dibunuh sih." Aku tertawa lagi. "Siapa yang gak kesel sama orang yang ngabisin biaya kuliah puluhan juta?"

Eric tertawa kecil, sekedar basa-basi agar tidak terlalu kaku, sepertinya. "Sekarang gimana? Udah balik sama keluarga?"

Aku menggeleng. "Kalo udah jadi dokter saya baru berani pulang ke rumah. Tapi ya, gak mungkin jadi dokter juga sih." Tawaku semakin menggelak. "Saya merasa gagal."

"Pasti ada jalan lain yang lebih bagus dibanding jadi dokter. Orang sukses bukan cuma dokter kan?"

"Bukan masalah sukses atau enggak, tapi ini masalah mimpi. Satu-satunya mimpi dari kecil. Apalagi mimpi bareng Zaldy buat pake jas putih di rumah sakit yang sama. Belajar keras bareng demi ujian masuk kedokteran. Rasanya saya gak sempurna hidup sebagai manusia. Seneng sih, liat temen-temen lain sukses jadi dokter. Seneng akhirnya Zaldy bisa pake baju kebanggaan itu. Tapi semakin seneng, ya, saya semakin ngerasa gak ada artinya. Ibaratnya kayak mereka orang-orang kraton, saya rakyat jelata yang gak punya darah Jawa sama sekali."

"Jangan-jangan Anda datang ke rumah sakit cuma sekedar mau ngeliat orang-orang yang kerja di rumah sakit?"

Aku tertawa. "Saya suka suasana rumah sakit. Saya suka baunya. Saya juga suka ngeliatin orang-orang pake baju medis. Saya kayak lagi ngeliat artis idola dari tivi. Suka banget, tapi gak mungkin digapai." Aku tertawa  lagi.

"Apa itu gak bikin tambah sakit?"

Aku menghela nafas. "Ya emang sakit sih." Aku tertawa. "Tapi saya bisa apa lagi? Saya juga gak ada kerjaan. Gak tau harus jadi apa selain jadi dokter."

Eric mengangguk.

"Sayang, udah lama?" tiba-tiba sepasang kaki beralas sepatu heels melangkah mendekati laki-laki di sampingku.

"Eh, kamu," tanggap Eric. "Udah selesai?"

Jangtungku tiba-tiba berhenti berdetak saat mataku menangkap wajah orang yang baru datang itu. Tanganku mendadak dibanjiri keringat dingin. Wanita yang tengah berdiri di depan Eric itu....

"Udah," jawab wanita itu. "Yuk, pulang seka--" Ia menghentikan kaimatnya saat matanya bertabrakan dengan mataku.

"Oh, ini temen kuliahnya Zaldy," ucap Eric memperkenalkanku. "Eh, bentar, kalo dia temen kuliah Zaldy, berarti temen kuliah kamu juga dong ya? Kan, kamu sama Zaldy satu kampus."

Aku masih diam.

Wanita yang menatapku dengan tatapan entah apa, juga diam.

"Sayang?" Eric memanggil wanitanya.

"Oh," orang itu tersentak. "Kenapa?"

"Kamu kenal dia kan?"

"Oh, iya, temen kuliah dulu," jawab wanita itu dengan sedikit terbata.

"Kayaknya kalian gak terlalu deket ya? Gak kayak pas Zaldy ketemu dia tadi." Eric bercerita ringan. "Aku abis diceritain tentang--"

"Sayang, kita pulang sekarang yuk!" perempuan itu memotong kalimat Eric. "Aku kayaknya hari ini capek banget. Tadi ada kecelakaan bus soalnya, jadi pasien penuh banget."

"Oh, yaudah yuk, kita pulang sekarang," ucap Eric sambil berdiri. "Saya pulang dulu ya," ia lalu pamit.

Aku mengangguk.

Wanita yang tangannya kini di dalam genggaman Eric itu sekali lagi menoleh ke arahku, tanpa senyum, sebelum setelah itu melangkahkan kakinya pergi menjauhiku.

Aku tertangkap. Dua tahun mengunjungi rumah sakit ini, akhirnya ia tahu keberadaanku.

***

"Bagas," Alifya, wanita yang kemarin pulang bersama laki-laki asing yang mengajakku bicara, tiba-tiba menghampiriku dan memanggil namaku.

Aku menengadah. Antara terkejut tapi tidak terkejut. Entahlah.

"Bisa kita ngomong sebentar?"

***

Aku berdiri di depan seorang perempuan cantik dengan blazer putih bersih melapisi semi-dress krem di dalamnya. Dia cantik sekali, tidak bohong.

"Sejak kapan kamu suka dateng ke sini?"

"Minggu lalu."

"Bohong! Receptionist bilang kamu rutin ke rumah sakit ini sejak tahun lalu."

Ketahuan. Aku akan tampak semakin bodoh jika menyangkal. "Laki-laki kemarin itu pacar kamu?" Sebenarnya aku benci membicarakan topik ini, tapi hanya orang itu yang muncul di kepalaku saat aku merasa harus mengalihkan pembicaraan.

"Dia suami aku, Gas."

Sial. Aku benar-benar salah menanyakan hal ini.

"Kamu mau apa datang ke sini?" tanya Alifya.

"Aku mau jadi dokter," jawabku. Singkat, padat, lugas, dan tanpa basa-basi.

"Bagas...."

"Kamu tau mimpi aku, Al."

"Bagas, aku kenal kamu. Kamu itu bisa ngelakuin banyak hal. Kamu gak cuma pinter di kedokteran, kamu pinter di semua bidang. Kamu bisa kerja jadi apa aja. Aku tau banget itu, Gas."

"Jadi karena itu kamu ngerasa aku baik-baik aja walaupun gak bisa ngewujudin mimpi itu?"

"Aku khawatir banget sama kamu, tapi kan, kamu yang ninggalin aku, Gas. Kamu yang ngilang. Bukan aku!" Suara Alifya bergetar. Matanya mulai berkaca-kaca. "Kamu gak pernah bilang kalo ayah kamu meninggal, kamu gak bilang kalo kamu diusir dari rumah, kamu gak pernah ngabarin aku apa-apa. KAMU MIKIRIN PERASAAN AKU GAK SIH, GAS?" Pipi perempuan di depanku mulai dialiri air mata.

Aku menghela nafas. "Aku takut kamu ngerasa bersalah, Al."

"Sejak hari itu, sejak kamu ngilang tanpa kabar, aku selalu ngerasa bersalah, Gas. Aku selalu ngerasa kamu marah. Aku selalu ngerasa kamu benci sama aku. Aku selalu...." Alifya tidak melanjutkan kalimatnya. Ia lalu mengusap pipi dengan jemari lentiknya. Jemari yang salah satunya dilingkari cincin emas yang terlihat begitu indah.

"Maafin aku, Al." Aku benar-benar tidak tahu harus mengeluarkan kalimat apa selain permohonan maaf.

Perlahan, Alifya menarik nafas kemudian menghempaskannya. Wanita itu lalu memasukkan tangan ke dalam saku blazernya dan mengeluarkan sesuatu dari dalamnya. "Aku selalu nyariin kamu karena aku ngerasa harus balikin ini ke kamu." Ia lalu mengulurkan sesuatu itu ke arahku.

Aku diam, tidak menggerakkan tanganku sama sekali. "Aku ke sini bukan untuk itu, Al."

Alifa menghela nafas. Ia lalu meraih tanganku dengan tangannya. Iya, ia menyentuk tanganku. Tangan itu terasa sangat lembut. Sangat menenangkan. "Ini," ucapnya sambil meletakkan kartu yang ia ambil dari sakunya ke tanganku. "Jumlahnya lebih dari nominal uang semester yang kamu bayarin atas nama aku dulu. Pin-nya masih tanggal lahir kamu," paparnya. Perlahan, ia melepaskan tangannya dari tanganku.

Aku menatap ATM di tanganku, lalu menoleh ke arahnya. Menatap dalam-dalam mata basah wanita di depanku.

"Maaf, karena aku udah ngancurin satu-satunya mimpi kamu, Gas," tutur Alifya. Ia lalu menunjukkan senyum kecil paksa sebelum setelah itu ia memutar badan dan pergi meninggalkanku.

Aku memandangi punggung wanita itu sampai ia benar-benar hilang dari pandanganku.

Sebenarnya aku masih punya satu mimpi lagi, Al. Kamu. Dan hari ini aku tahu kalau satu-satunya mimpi yang tersisa itu juga udah kamu hancurin.

1 comment:

  1. ...............

    HAHAHHAHAHA. KASIAN COWONYA KAYA AKU. *eh

    ceritanya biasa aja, ada vibe-vibe orang asing versi realis. aku ngerasa damned related with Bagas shit. so I guess it's alright. not my fave, tho.

    ReplyDelete

About Me

My photo
Tangerang, Banten, Indonesia
bukan penulis, bukan pengarang, hanya pecinta keduanya.