Saturday, May 10, 2014

Orang Asing

Teman curhat terbaik adalah orang asing.

Kalimat itu terus berputar di kepalaku sejak aku memutuskan kabur dari rumah hingga saat ini aku berada di trotoar sebuah jembatan layang di atas laut yang dibangun begitu megah oleh pemerintah. Salah satu jembatan kebanggaan dunia, katanya.

Ini adalah kali pertama aku berjalan kaki melewati jembatan ini. Di antara begitu banyak tempat umum di mana aku bisa menemukan orang asing, entah mengapa kakiku membawaku ke jembatan ini. Tiba-tiba saja aku merasa tidak memiliki tujuan lain selain tempat ini.

Aku menepi dan menghadapkan wajahku ke arah barat sambil memegang erat besi penjaga. Aku bisa merasakan hangat yang matahari kuning itu pancarkan ke wajahku. Kehangatan yang tidak sama sekali mencairkan dinginnya hatiku. Kutarik nafas panjang, lalu kucoba hembuskan bersama jutaan kerikil yang selama ini terus menginvasi kepalaku. Nafasku terhempas, namun kerikil itu masih memenuhi dan menusuk-nusuk otakku. Sakit.

Pecah. Rasanya aku ingin meledakkan kepalaku dan menumpahkan semua isinya ke entah siapa. Entah. Aku tidak percaya siapa pun dan bahkan apa pun di muka bumi ini. Tidak, termasuk buku diary. Benda itu bisa saja membocorkan isi hatiku serapat apa pun aku menguncinya. Itu pernah terjadi. Dan aku benar-benar tidak pernah percaya padanya lagi.

Orang asing. Hanya itu satu-satunya harapanku. Orang yang tidak sama sekali mengenalku. Orang yang tidak tau-menau tentang seluk beluk keluargaku. Orang asing. Satu-satunya pilihanku untuk menumpahkan semua rasa sakit yang mengikat kuat batinku. Curhat. Aku ingin mencurahkan semuanya saat ini juga. Aku ingin membuktikan apa yang mereka bilang, bahwa teman curhat terbaik adalah orang asing.

Atau jika tetap tidak bisa mengandalkan orang asing, aku lebih baik....

Aku menelan air liur dan cepat-cepat mengangkat kepalaku dari bentangan laut yang menyeramkan di bawah jembatan ini. Kurasa aku benar-benar sudah gila!

Aku tengah merapikan rambutku yang berantakan ditiup kencangnya angin di atas lautan, saat kusadari seorang laki-laki berdiri satu meter di sebelahku.

Laki-laki itu seusiaku, kurasa. Wajah putihnya berubah oranye tersiram semburat kuningnya langit hasil biasan mentari yang hendak pamit. Laki-laki itu memandang lurus ke arah barat dengan tatapan yang sangat tenang. Seperti benar-benar menikmati suasana senja di atas jembatan ini.

Menikmati? Curang sekali. Seandainya aku juga bisa menikmati sejuknya angin sore ini. Seandainya saja pikiranku sedang tidak sekacau sekarang.

Orang itu tiba-tiba menoleh ke arahku, membuat aku cepat-cepat membuang pandanganku dari wajahnya. Sial.

"Ada yang ingin kau ceritakan?" tiba-tiba saja ia berbicara... padaku?

"Hah?" aku sedikit terkejut mendengarnya. Dan sebenarnya tidak terlalu jelas mendapatkan kata-katanya. Selain angin bertiup sangat kencang, suara kendaraan yang berlalu-lalang di belakangku juga sangat bising.

Aku menoleh kanan dan kiri, memastikan apakah ada orang lain yang mungkin saja sedang ia ajak bicara.

Laki-laki itu melangkah mendekatiku. Tidak terlalu dekat, tapi kurasa cukup untuk melakukan sebuah perbincangan. "Aku bicara padamu," ia berkata dengan setengah berteriak. "Ada yang ingin kauceritakan?" tanyanya.

Aku mengernyit. "Kenapa kau merasa ada yang ingin aku ceritakan?"

"Bukankah semua orang yang menepi di jembatan ini mencari orang asing untuk menumpahkan isi hatinya?"

"Begitukah?"

Ia mengangguk pelan. "Kurasa begitu."

"Jadi kau datang ke sini untuk mencari orang asing juga?" aku bertanya.

Pria itu tertawa. "Tidak," jawabnya. "Aku datang ke sini untuk melihat matahari terbenam."

Tadi ia bilang semua orang yang datang ke sini mencari orang asing untuk bercerita. Apa ia ini bukan orang? Apa ia malaikat?

Aku menarik nafas dalam-dalam, lalu menghempaskannya. "Ayahku pemabuk," aku tiba-tiba saja mengeluarkan kalimat itu.

Orang itu sekali lagi melangkah mendekatiku, memperkecil jarak pendengaran antara kami berdua. "Lalu?"

"Tidak ada yang bisa kulakukan untuk memaksa ibuku menggugat cerai. Ibu sangat bergantung pada laki-laki itu. Padahal setiap hari ia dipukuli. Ah, bukan hanya dirinya, tapi juga kami."

Tunggu, aku merasa sangat aneh. Mengutarakan kalimat yang sama sekali tidak pernah terpikir akan kuutarakan di depan orang lain. Aku baru saja melakukannya. Curhat. Sungguh, aku benar-benar melakukannya.

"Lalu?" orang itu bertanya sambil memandangku dengan tatapan peduli penuh kekhawatiran. Tatapan yang belum pernah kudapatkan dari siapa pun di dunia ini.

Perlahan, aku membuang perasaan canggung itu dan menguatkan hatiku untuk menumpahkan semuanya di hadapan orang asing ini. Bukankah itu tujuanku datang ke sini?

"Kau tidak tahan terus disiksa? Terumata melihat keluargamu dipukuli?"

Aku mengangguk. "Selain itu, aku juga tidak tahan mendengar celaan para tetangga. Ah, orang-orang itu, kapan mereka berhenti mengurusi rumah tangga orang lain?!"

"Pakailah earphone setiap kali keluar rumah. Kau tidak akan mendengar cemooh mereka."

"Aku sudah melakukannya, tapi tetap saja mereka terus menatapku dengan tatapan menjijikan. Sepertinya mereka menganggap aku ini sampah atau semacamnya." Aku mendengus kesal. "Dan adikku... mereka melarang anak mereka bermain dengan adikku. Bisa memberikan pengaruh buruk, katanya. Padahal berani taruhan, adikku masih lebih sopan dan pintar dibanding anak-anak mereka. Ah, anak malang itu sudah harus menjadi penyendiri di usianya yang bahkan belum sampai sejumlah jemari kedua tangannya."

Laki-laki itu menatapku dengan tatapan menenangkan.

"Kalau saja penjara tidak ada, rasanya ingin kubunuh saja laki-laki pembawa sial itu."

"Kau bicara tentang ayahmu?"

Aku mengangguk. "Rasanya ingin kuteriakkan di depan wajahnya, aku menyesali keputusan Tuhan yang telah menjadikanku puterinya. Dari sekian banyak ayah yang baik di dunia ini, mengapa aku harus mendapatkan ayah seperti dia?"

"Apa kau merasa hidup ini tidak adil?"

Aku mengangguk. "Aku benci berteman dengan orang-orang yang keluarganya sempurna. Memiliki ayah yang bekerja keras mencari nafkah, ibu yang selalu tersenyum setiap hari, adik yang bermain bersama teman-teman sebayanya, liburan keluarga, makan bersama, foto bersama, dan bahkan saling bercerita tentang apa yang terjadi setiap hari. Aku selalu mendengarkan teman-temanku bercerita tentang ketidakadilan itu. Aku muak, jujur saja. Kuharap Tuhan menghilangkan fungsi indra pendengaranku setiap kali mereka bercerita tentang pengalaman-pengalaman itu.

"Aku juga benci memiliki teman dengan keluarga kaya raya. Mereka yang bisa membeli ini dan itu semaunya. Pergi ke negeri ini dan itu kapan pun mereka suka. Aku benci berada di sekitar orang-orang dengan kehidupan sempurna."

"Tapi kau tetap duduk dan menjadi pendengar yang baik bagi mereka, bukan?"

Aku menghela nafas. "Apa kaupikir alasanku bisa diterima? Mereka akan menganggap aku ini menyedihkan karena merasa iri dan dengki jika aku menjauhi mereka dengan alasan itu. Itu yang membuat aku membenci diriku sendiri, terkadang."

Laki-laki itu mengangguk.

"Apa kau juga merasa aku semenyedihkan itu?"

"Tidak juga," jawabnya. "Kau bukan iri, hanya saja cerita mereka membuatmu membenci takdir. Sebenarnya kau tidak ingin membenci Tuhanmu, kan?"

Aku diam. Tepat sekali. Aku tidak pernah berpikir seperti itu sebelumnya. Tapi setelah mendengar kalimat itu, aku tiba-tiba menyadari bahwa ucapannya sangat tepat dengan yang aku rasakan. Bagimana bisa ia mengerti apa yang bahkan belum pernah kupikirkan.

Ah, aku tidak mengerti bagaimana dinamika dunia percurhatan. Mungkin teman curhat memang selalu bisa mengerti. Entahlah, aku belum pernah sekalipun menceritkan apa pun kepada siapa pun. Ya, yang barusan adalah pengecualian.

Aku menghela nafas. Tak kusangka, ternyata begini rasanya bisa bercerita. Meski tidak mengubah apa-apa, tapi simpul rumit yang mengikat erat dan membuat sesak dadaku seakan mengendur dan membuatku sedikit lega.

"Apa hidupmu menyenangkan?" tiba-tiba aku bertanya, basa-basi saja.

Ia hanya tersenyum kecil. Orang itu memutar kepalanya, kembali menghadap ke arah barat. Menatap matahari yang tenggelam di balik laut dengan tatapan tenang seakan tidak memiliki beban apa pun dalam pikirannya.

Aku iri.

"Apa yang kau lakukan di sini?" Seseorang terdengar bicara dengan setengah berteriak dari sisi sebelah kananku.

Aku menoleh ke arah sumber suara. Ah, bocah laki-laki itu, ternyata. Salah satu teman sekolah yang juga merupakan anak tetangga yang memiliki kegemaran menatapku dengan tatapan merendahkan. Kurasa ibunya juga melarangnya berteman denganku. Ia sama sekali tak pernah bicara padaku sebelumnya.

Hei, aku juga tidak ingin berteman dengannya, ngomong-ngomong. Dan siapa ia sampai aku harus bicara padanya? Namanya saja aku tidak peduli siapa.

"Kau merasa muak dengan hidupmu dan ingin menghakhirinya di tempat ini?"

Aku membelakangi laki-laki di samping kiriku dan menghadap sempurna ke arah anak si penggunjing memuakkan itu. Kutunjukkan seutas senyum sinis ke arahnya. "Ibumu pasti sangat gembira jika kau menyampaikan kabar tentang kematianku. Untuk itu kau datang ke sini, bukan?"

Ia menggeleng. "Aku datang ke sini dengan suasana hati yang sama dengan semua orang yang menepi di sini. Matahari terbit dan terbenam dengan sangat indah di sisi-sisi jembatan ini. Bukankah manusia ingin menikmati sesuatu yang indah sebelum mereka mati?"

Aku mengerutkan kening. "Apa yang sedang kaubicarakan?"

Ia dengan tenang mengangkat dagunya seraya menunjuk ke arah belakangku.

Aku menoleh ke belakang, ke arah laki-laki yang kuajak bicara tadi. Tenggorokanku tiba-tiba saja seperti kehabisan udara saat mendapati orang itu baru saja melepaskan pegangannya setelah tanpa kusadari ia menyebrangkan kedua kakinya ke sisi luar besi penjaga. Aku refleks mengulurkan tangan seperti ingin menahannya, meski laki-laki itu sudah terjun menerobos angin dan jatuh menembus wajah laut puluhan meter di bawah jembatan ini.

Suara benda berat yang menghantam permukaan air terdengar samar-samar di antara desing kendaraan yang berlalu-lalang.

Aku tak bersuara. Jangankan berteriak, menelan air liur saja terasa sangat serat. Dadaku seakan dihantam batu bata berat. Aku sempurna tercekat.

Orang itu.... Secepat itu....

"Kurang beruntung, ia tidak menemukan orang asing yang tepat senja ini," si anak tetangga menyebalkan itu bicara lagi. Wajahnya datar, seperti wajah pengunjung lain tepi jembatan ini.

Aku sempat menyapu sekitar beberapa saat setelah suara benda yang jatuh ke air terdengar samar di telingaku. Tidak ada yang berteriak. Tidak ada yang panik. Tidak ada yang seterkejut diriku, sepertinya.

"Aku pergi," orang di sebelahku berpamitan.

Aku tidak terlalu menghiraukan. Pikiranku masih memaksaku untuk menerima apa yang baru saja kulihat dengan mata kepalaku sendiri. Ternyata pikiran aneh yang menyapaku saat pertama kali memegang besi penjaga jembatan ini juga dipikirkan oleh semua orang yang ada di sini. Menemukan orang asing untuk menumpahkan semua penat, atau menghilangkannya dengan melompat....

Anak si tukang bergunjing yang tidak memiliki teman itu benar juga, orang itu tidak menemukan orang asing yang bisa ia ajak bicara seperti ia menjadi orang asing yang aku ajak bercerita. Seandainya aku bisa menjadi.... TUNGGU, BOCAH ITU!

Aku cepat-cepat menoleh ke kanan. Kudapati punggung seorang laki-laki yang tengah melangkah lamban menjauhiku. "KEVIN!" aku memanggilnya.

Setengah berlari, aku menghampiri Kevin setelah anak itu menoleh ke arahku.

"Ya?" pria yang baru saja kupanggil namanya untuk pertama kali sejak aku mengenalnya itu mengangkat kedua alisnya.

"Apa ada yang ingin kauceritakan padaku?"

"Kenapa kau merasa bahwa aku harus bercerita padamu?"

Aku diam sejenak. "Err... karena aku adalah orang asing bagimu, bukan begitu?"

Kevin hanya menjawabku dengan menyunggingkan senyum tipis di tepi bibirnya.

2 comments:

  1. SHIT.
    SHIT.
    SHIT.

    Pardon my french but Your story is deep!

    keren, keren! ini terlalu dalam maknanya. tadinya aku pikir doi satu orang.

    ini tokoh utamanya cewe bukan? kamu jadi sering bikin tokoh cewe ya? bagus loh rist. seriusan. bagus banget! aku suka!

    ReplyDelete
  2. ah iya tokoh utama cewek!
    gak aku jelasin ya? aku kayaknya ada part angin mengacaukan rambut panjangku gitu tp sempet diapus dan kayaknya lupa dimasukin lagi hahahaha.

    lagi belajar esensi hidup eaaa eaa haha thanks kal :)

    ReplyDelete

About Me

My photo
Tangerang, Banten, Indonesia
bukan penulis, bukan pengarang, hanya pecinta keduanya.