Monday, May 5, 2014

Menanti Kabar Ayah

Dulu banget pernah ngepost cerita ini cuma pas dibaca ulang oh sungguh nggilani gitu ewh terus ini abis dipermak sana sini jadi re-post aja walopun gak cantik-cantik amat atau malah worse than before tapi yang lalu biarlah berlalu deh ini semacam buka lembaran baru.

Apa itu dingin? Maksudku, benda seperti apa ia? Bagaimana bentuknya? Benarkah ia dapat menusuk kulitmu dan menyeruaki setiap lapis jaringan epitelmu? Membuatmu menggigil dan enggan melakukan apa pun? Apakah ia sekejam itu?
Ini adalah malam keempat aku duduk sendiri di balkon rumahku. Ah, tidak, aku tidak sendiri. Sesuatu bernama dingin itu menemaniku. Musim penghujan. Tiada hari tanpa eksistensi presipitasi cair hasil kondensasi uap air di atmosfer yang kemudian turun membasahi bumi. Aku dan dingin. Kami bak sahabat setia yang selalu menghabiskan malam bersama dalam keheningan. Tidak ada bunyi, atau lebih tepatnya, aku menutup telinga dari segala macam jenis suara.
Lima hari yang lalu, ayahku pergi ke suatu desa di luar kota. Dua hari kemudian, gempa hebat mengguncang desa tersebut dan meluluhlantahkan semua penghuninya. Jajaran bangunan lebur dan berganti dengan tumpukan jasad yang nyawanya tak terselamatkan. Jalan berlapis aspal pecah menjadi serpihan batu yang berhamburan. Manusia, hewan, tumbuhan, rumah, kendaraan, dan bahkan jutaan kubik mimpi dan harapan, semua lenyap ditelan bumi yang digoyangkan Tuhan dengan sebuah tiupan.
Entah ayahku berada di bagian mana desa itu. Entah bagaimana kabarnya. Entah apa yang sedang ia lakukan sekarang. Aku tidak sama sekali tahu.
Tidak ada satu orang pun yang lewat di depan rumahku tanpa menoleh ke atas dan menatap iba seorang anak laki-laki pincang berusia 10 tahun yang hampir sepekan ini menghabiskan waktu hanya untuk duduk diam menanti kabar kepulangan ayahnya. Aku. Si anak malang, kata orang.

***

Hingga memasuki minggu kedua sejak kejadian gempa dahsyat itu, aku belum juga mendapatkan kabar tentang keberadaan ayahku. Pikiranku tak tenang setiap hari. Tidurku tak nyenyak setiap malam. Aku berantakan.
Setelah menyuapi ibu sarapan pagi, aku kembali melakukan ritual yang sampai hari ini masih kulakukan. Memeluk lutut di balkon rumah. Menanti kabar tentang Ayah.
Pagi ini tidak hujan. Hanya segerombolan rintik gerimis yang datang melantunkan kakofoni tak bermelodi di telingaku. Aku tidak terlalu peduli bagaimana bunyi syairnya. Aku hanya peduli bagaimana keadaan ayahku sekarang. Sungguh.
Setiap kali mengingat betapa hebatnya guncangan itu, jantungku berdetak tiga kali lebih cepat. Setiap kali wajah ayahku muncul di semua dinding-dinding pikiranku, darahku seakan mengalir tiga kali lebih deras. Apakah Ayah selamat? Pertanyaan semacam itu tak pernah berhenti menginvasi seluruh isi kepalaku. Penuh, hingga tak ada lagi ruang untuk memikirkan apa yang harus kumakan nanti malam.
Lalu seutas doa terpanjat dari dasar terdalam hatiku dan meluncur cepat menuju singgasana-Nya.
Juga ketika otakku mengonvergensi memori ke masa-masa bersama Ayah, keringat dingin kerap membuat kening dan telapak tanganku basah. Aku gelisah. Sungguh hati ini sempurna dibalut resah.
Dan sebait doa lagi-lagi terlantun dari lubuk jiwa diiringi harapan malaikat ikut mengamininya.
Tiba-tiba sesuatu membuat aku bangun dari lamunanku. Sekian frekuensi suara yang membuyarkan seluruh rangkaian konten kontemplasi di kepalaku semakin lama semakin terdengar mendekat. Semakin keras dan semakin jelas. Aku menegakkan tubuh dan mengerutkan keningku.
Suara itu. Jangan-jangan menuju rumahku.
Aku bangkit dan melangkah ke tepi balkon. Kugenggam erat teralis besi pembatas dengan keduan tanganku. Ah, tidak, aku bahkan mencengkeramnya. Percikan gerimis membasahi wajahku yang entah kini bagaimana mimiknya.
Dalam  hitungan detik, sebuah mobil putih yang meraung menyeramkan terlihat berhenti di depan rumahku. Sejurus kemudian, beberapa orang datang dan mengelilingi mobil yang sirinenya masih menyanyikan lagu kesedihan itu. Tidak peduli pada gerimis. Seperti aku yang tak peduli apa itu dingin.
Ambulance. Bulu romaku berdiri menatap mobil itu dari lantai dua rumahku. Jantungku berdetak kencang bak langkah serdadu. Tarikan dan hembusan nafasku semakin dekat dan kian beradu. Denyut nadiku tak lagi berirama.  Tanganku gemetar dan semakin erat mencengkeram besi penjaga.
Inikah jawaban dari penantianku?
Terdengar seseorang mengetuk pintu rumah sambil berteriak memanggil namaku dan ibuku.
Aku lalu memutar badan dan berlari menuruni anak-anak tangga yang entah mengapa terasa begitu banyak jumlahnya. Seperti turun dari lantai dua puluh dua. Aku menarik nafas dalam dan menghempaskannya bersamaan dengan tumpukan keraguan untuk membukakan pintu. Perlahan, kuputar kenop berwarna perak dan kubuka pintu rumahku.
Puluhan orang dengan baju kebasahan yang berkumpul tanpa formasi di teras rumahku menyambut anak pincang berusia 10 tahun dengan wajah sendu. Seorang wanita paruh baya bahkan secara tiba-tiba memeluk erat tubuhku setelah sebelumnya ia berlutut seraya menyamakan tinggi badannya denganku. Luka belakang yang sudah nyaris sembuh terasa lagi perihnya saat wanita itu mengelus-elus punggungku sambil terisak. “Tabah ya, Nak, tabah.” Ia terus mengulang kalimat itu dalam tangisnya.
Pelukan wanita itu sesaat mengalihkan pikiranku. Maksudku, apa mobil itu benar-benar membawa pulang ayahku? Bagaimana keadaannya?
Wanita itu akhirnya melepas pelukannya saat dua orang laki-laki berpakaian putih hendak masuk ke dalam rumahku sambil menggotong tandu yang dilapisi kain putih menutupi sesuatu di atasnya.
Apakah itu ayahku?
Aku membiarkan dua laki-laki itu masuk dan meletakkan bawaannya di lantai ruang tamu yang lebih dulu dilapisi tikar oleh tetanggaku yang lain.
Perlahan, aku menghampiri sesuatu itu meski lututku lemas dan kakiku seakan tak mampu lagi menopang tubuhku. Aku diam di samping sesuatu yang masih ditutupi kain putih itu.
Apakah itu ayahku? Aku bahkan masih bertanya-tanya sendiri pada pikiranku yang kini nyaris kosong.
Seseorang membuka kain di bagian atas sesuatu yang terbaring itu.
Tubuhku kaku. Seluruh saluran pernafasanku seakan disumbat benda padat entah apa itu. Jantungku kini seperti berhenti berdetak. Sekarat.
Aku melihatnya. Melihat wajah itu.
Ia-benar-benar-ayahku.
Ayahku pucat pasi tanpa rona. Luka mengerikan menghiasi setiap lipatan kulitnya. Lebam di sana. Goresan di sini. Wajahnya jauh berbeda saat terakhir kali aku melihatnya.
“Di mana Ibu, Nak?” seorang pria bertanya sambil menyentuh pelan bahuku.
Ibu! Ah, aku nyaris melupakannya. Tanpa basa-basi, aku membalikkan badan dan menerobos kerumunan. Meninggalkan kumpulan orang yang kuyakin secara serentak menoleh ke arahku. Lupa tentang kakiku yang masih terluka, aku berjalan cepat menuju kamar ibuku di bagian paling belakang rumah besar ini. Aku tak sama sekali merasakan sakit. Apa itu sakit? Kurasa aku benar-benar mati rasa.
Aku membuka kenop pintu kamar belakang dan masuk ke ruangan gelap ibuku. “Ibu….”
Wanita yang tengah duduk di salah satu sudut ruangan tak bercahaya itu sedikit memutar kepalanya. Ibu tidak menoleh ke arahku, tapi kutahu ia menyadari kehadiranku.
“Ibu,” aku memanggilnya lagi ditengah senggalan nafasku. “Orang itu sudah kembali.”
Ibu menoleh ke arahku. Tatapan yang biasanya kosong kini dipenuhi gurat suasana hati yang sekuat apa pun kucoba, tetap tidak akan bisa kujelaskan.
“Dia pulang,” ucapku lagi. “Tanpa nyawa.”
Mata ibuku melebar. Sesaat, wajahnya kaku tak bergerak, sebelum akhirnya kedua tepi bibirnya merenggang seraya menyunggingkan sebuah senyuman. Wajah wanita itu berbinar meski dikepung kegelapan ruangan. Matanya memancarkan cahaya yang entah sudah berapa lama tidak pernah berpendar dari lensanya.
Aku melangkah perlahan mendekati tempat duduk ibuku. Kuraih pegangan kursi roda dan kuputar menuju pintu kamar. “Aku senang melihat Ibu bisa tersenyum lagi seperti itu,” ucapku sambil mendorong kursi roda itu keluar kamar. “Ternyata Tuhan tidak tuli, Dia mendengar semua doa kita selama ini.”

Wanita yang buta dan cacat karena siksaan suami bejatnya itu menyentuh lembut tanganku, membuat aku tersenyum sambil menahan titik air mata bahagia.

1 comment:

  1. story wise, ini sama aja kayak cerita sebelumnya (YAIYALAH) tapi pas aku compare secara langsung. Narasi di sini jauh lebih bagus daripada yang pertama (YAIYALAH).

    terus komen apa lagi nih? aku bingung. intinya, aku cuma impress sama Narasi/penceritaan yang jadi much much better than earlier (it's a remake, anyway, sooo)

    ReplyDelete

About Me

My photo
Tangerang, Banten, Indonesia
bukan penulis, bukan pengarang, hanya pecinta keduanya.