Dulu banget pernah ngepost cerita ini cuma pas dibaca ulang oh sungguh nggilani gitu ewh terus ini abis dipermak sana sini jadi re-post aja walopun gak cantik-cantik amat atau malah worse than before tapi yang lalu biarlah berlalu deh ini semacam buka lembaran baru.
Apa itu dingin? Maksudku, benda seperti apa ia?
Bagaimana bentuknya? Benarkah ia dapat menusuk kulitmu dan menyeruaki setiap
lapis jaringan epitelmu? Membuatmu menggigil dan enggan melakukan apa pun?
Apakah ia sekejam itu?
Ini adalah malam keempat aku duduk sendiri di balkon
rumahku. Ah, tidak, aku tidak sendiri. Sesuatu bernama dingin itu menemaniku.
Musim penghujan. Tiada hari tanpa eksistensi presipitasi cair hasil kondensasi
uap air di atmosfer yang kemudian turun membasahi bumi. Aku dan dingin. Kami
bak sahabat setia yang selalu menghabiskan malam bersama dalam keheningan.
Tidak ada bunyi, atau lebih tepatnya, aku menutup telinga dari segala macam
jenis suara.
Lima hari yang lalu, ayahku pergi ke suatu desa di
luar kota. Dua hari kemudian, gempa hebat mengguncang desa tersebut dan
meluluhlantahkan semua penghuninya. Jajaran bangunan lebur dan berganti dengan
tumpukan jasad yang nyawanya tak terselamatkan. Jalan berlapis aspal pecah
menjadi serpihan batu yang berhamburan. Manusia, hewan, tumbuhan, rumah,
kendaraan, dan bahkan jutaan kubik mimpi dan harapan, semua lenyap ditelan bumi
yang digoyangkan Tuhan dengan sebuah tiupan.
Entah ayahku berada di bagian mana desa itu. Entah
bagaimana kabarnya. Entah apa yang sedang ia lakukan sekarang. Aku tidak sama
sekali tahu.
Tidak ada satu orang pun yang lewat di depan rumahku tanpa menoleh ke atas
dan menatap iba seorang anak laki-laki pincang berusia 10 tahun yang hampir
sepekan ini menghabiskan waktu hanya untuk duduk diam menanti kabar kepulangan
ayahnya. Aku. Si anak malang, kata orang.
***
Hingga memasuki minggu kedua sejak kejadian gempa dahsyat itu, aku belum
juga mendapatkan kabar tentang keberadaan ayahku. Pikiranku tak tenang setiap
hari. Tidurku tak nyenyak setiap malam. Aku berantakan.
Setelah menyuapi ibu
sarapan pagi, aku kembali melakukan ritual yang sampai hari ini masih kulakukan. Memeluk lutut di balkon rumah. Menanti kabar tentang Ayah.
Pagi ini tidak hujan. Hanya segerombolan rintik gerimis yang datang
melantunkan kakofoni tak bermelodi di telingaku. Aku tidak terlalu
peduli bagaimana bunyi syairnya. Aku hanya peduli bagaimana keadaan ayahku
sekarang. Sungguh.
Setiap kali mengingat betapa hebatnya guncangan itu, jantungku berdetak
tiga kali lebih cepat. Setiap kali wajah ayahku muncul di semua dinding-dinding
pikiranku, darahku seakan mengalir tiga kali lebih deras. Apakah Ayah selamat? Pertanyaan semacam itu tak pernah berhenti
menginvasi seluruh isi kepalaku. Penuh, hingga tak ada lagi ruang untuk
memikirkan apa yang harus kumakan nanti malam.
Lalu seutas doa terpanjat dari dasar terdalam hatiku dan meluncur cepat
menuju singgasana-Nya.
Juga ketika otakku mengonvergensi memori ke masa-masa bersama Ayah,
keringat dingin kerap membuat kening dan telapak tanganku basah. Aku gelisah.
Sungguh hati ini sempurna dibalut resah.
Dan sebait doa lagi-lagi terlantun dari lubuk jiwa diiringi harapan
malaikat ikut mengamininya.
Tiba-tiba sesuatu membuat aku bangun dari lamunanku. Sekian frekuensi suara
yang membuyarkan seluruh rangkaian konten kontemplasi di kepalaku semakin lama
semakin terdengar mendekat. Semakin keras dan semakin jelas. Aku menegakkan
tubuh dan mengerutkan keningku.
Suara itu. Jangan-jangan menuju
rumahku.
Aku bangkit dan melangkah ke tepi balkon. Kugenggam erat teralis besi
pembatas dengan keduan tanganku. Ah, tidak, aku bahkan mencengkeramnya.
Percikan gerimis membasahi wajahku yang entah kini bagaimana mimiknya.
Dalam hitungan detik, sebuah mobil
putih yang meraung menyeramkan terlihat berhenti di depan rumahku. Sejurus
kemudian, beberapa orang datang dan mengelilingi mobil yang sirinenya masih
menyanyikan lagu kesedihan itu. Tidak peduli pada gerimis. Seperti aku yang tak
peduli apa itu dingin.
Ambulance. Bulu romaku berdiri menatap
mobil itu dari lantai dua rumahku. Jantungku berdetak kencang bak langkah
serdadu. Tarikan dan hembusan nafasku semakin dekat dan kian beradu. Denyut
nadiku tak lagi berirama. Tanganku
gemetar dan semakin erat mencengkeram besi penjaga.
Inikah jawaban dari
penantianku?
Terdengar seseorang mengetuk pintu rumah sambil berteriak memanggil namaku
dan ibuku.
Aku lalu memutar badan dan berlari menuruni anak-anak tangga yang entah
mengapa terasa begitu banyak jumlahnya. Seperti turun dari lantai dua puluh
dua. Aku menarik nafas dalam dan menghempaskannya bersamaan dengan tumpukan
keraguan untuk membukakan pintu. Perlahan, kuputar kenop berwarna perak dan
kubuka pintu rumahku.
Puluhan orang dengan baju kebasahan yang berkumpul tanpa formasi di teras
rumahku menyambut anak pincang berusia 10 tahun dengan wajah sendu. Seorang
wanita paruh baya bahkan secara tiba-tiba memeluk erat tubuhku setelah
sebelumnya ia berlutut seraya menyamakan tinggi badannya denganku. Luka
belakang yang sudah nyaris sembuh terasa lagi perihnya saat wanita itu
mengelus-elus punggungku sambil terisak. “Tabah ya, Nak, tabah.” Ia terus
mengulang kalimat itu dalam tangisnya.
Pelukan wanita itu sesaat mengalihkan pikiranku. Maksudku, apa mobil itu
benar-benar membawa pulang ayahku? Bagaimana keadaannya?
Wanita itu akhirnya melepas pelukannya saat dua orang laki-laki berpakaian
putih hendak masuk ke dalam rumahku sambil menggotong tandu yang dilapisi kain
putih menutupi sesuatu di atasnya.
Apakah itu ayahku?
Aku membiarkan dua laki-laki itu masuk dan meletakkan bawaannya di lantai ruang tamu yang lebih dulu dilapisi tikar oleh
tetanggaku yang lain.
Perlahan, aku menghampiri sesuatu itu meski lututku lemas dan kakiku seakan
tak mampu lagi menopang tubuhku. Aku diam di samping sesuatu yang masih
ditutupi kain putih itu.
Apakah itu ayahku? Aku bahkan masih
bertanya-tanya sendiri pada pikiranku yang kini nyaris kosong.
Seseorang membuka kain di bagian atas sesuatu yang terbaring itu.
Tubuhku kaku. Seluruh saluran pernafasanku seakan disumbat benda padat
entah apa itu. Jantungku kini seperti berhenti berdetak. Sekarat.
Aku melihatnya. Melihat wajah itu.
Ia-benar-benar-ayahku.
Ayahku pucat pasi tanpa rona. Luka mengerikan menghiasi setiap lipatan
kulitnya. Lebam di sana. Goresan di sini. Wajahnya jauh berbeda saat terakhir
kali aku melihatnya.
“Di mana Ibu, Nak?” seorang pria bertanya sambil menyentuh pelan bahuku.
Ibu! Ah, aku nyaris melupakannya. Tanpa basa-basi, aku membalikkan badan
dan menerobos kerumunan. Meninggalkan kumpulan orang yang kuyakin secara
serentak menoleh ke arahku. Lupa tentang kakiku yang masih terluka, aku
berjalan cepat menuju kamar ibuku di bagian paling belakang rumah besar ini.
Aku tak sama sekali merasakan sakit. Apa itu sakit? Kurasa aku benar-benar mati
rasa.
Aku membuka kenop pintu kamar belakang dan masuk ke ruangan gelap ibuku.
“Ibu….”
Wanita yang tengah duduk di salah satu sudut ruangan tak bercahaya itu
sedikit memutar kepalanya. Ibu tidak menoleh ke arahku, tapi kutahu ia
menyadari kehadiranku.
“Ibu,” aku memanggilnya lagi ditengah senggalan nafasku. “Orang itu sudah
kembali.”
Ibu menoleh ke arahku. Tatapan yang biasanya kosong kini dipenuhi gurat
suasana hati yang sekuat apa pun kucoba, tetap tidak akan bisa kujelaskan.
“Dia pulang,” ucapku lagi. “Tanpa nyawa.”
Mata ibuku melebar. Sesaat, wajahnya kaku tak bergerak, sebelum akhirnya
kedua tepi bibirnya merenggang seraya menyunggingkan sebuah senyuman. Wajah
wanita itu berbinar meski dikepung kegelapan ruangan. Matanya memancarkan
cahaya yang entah sudah berapa lama tidak pernah berpendar dari lensanya.
Aku melangkah perlahan mendekati tempat duduk ibuku. Kuraih pegangan kursi
roda dan kuputar menuju pintu kamar. “Aku senang melihat Ibu bisa tersenyum
lagi seperti itu,” ucapku sambil mendorong kursi roda itu keluar kamar.
“Ternyata Tuhan tidak tuli, Dia mendengar semua doa kita selama ini.”
Wanita yang buta dan cacat karena siksaan suami bejatnya itu menyentuh
lembut tanganku, membuat aku tersenyum sambil menahan titik air mata bahagia.
story wise, ini sama aja kayak cerita sebelumnya (YAIYALAH) tapi pas aku compare secara langsung. Narasi di sini jauh lebih bagus daripada yang pertama (YAIYALAH).
ReplyDeleteterus komen apa lagi nih? aku bingung. intinya, aku cuma impress sama Narasi/penceritaan yang jadi much much better than earlier (it's a remake, anyway, sooo)