Aku melambaikan tangan dengan semangat ke arah seorang laki-laki yang
berlajan lambat sambil menggandeng koper hitamnya. Orang itu hanya membalasku
dengan senyuman kecil. Sambutan yang sangat tidak sesuai ekspektasi.
“Heboh banget sih, kayak ketemu Justin Bieber aja!” ucapnya setelah ia
tepat berdiri di depanku.
“Jahat banget sih, udah ninggalin enam bulan dan pas ketemu bukannya
bilang kangen kek, apa kek!”
Ia mengangkat tepi bibir kanannya. Menunjukkan senyum yang membuatku
ingin meninju sampai semua giginya rontok tak bersisa. “Ayo ke mobil!” Ia
melangkah meninggalkanku yang masih berdiri menahan rasa kesal yang kini
membengkak lebih besar dari rasa rinduku beberapa menit lalu.
Aku membulatkan mata dan menghela nafas dengan kasar, sebelum akhirnya
mengikutinya menuju mobil.
Kulihat Pak Sopir yang datang ke bandara bersamaku sedikit menundukkan
kepalanya tanda memberikan salam pada laki-laki yang baru tiba dari negeri
orang itu. Laki-laki itu menepuk pelan bahu Pak Sopir sambil bergurau entah apa.
Kulihat mereka berdua tertawa ringan.
Setelah memberikan kopernya pada Pak Sopir untuk dimasukkan ke dalam
bagasi, ia masuk ke dalam mobil tanpa terlebih dahulu mempersilahkanku masuk.
Setelah menutup pintu, ia membuka jendela dan berteriak ke arahku. “Mau pulang
naik taksi?!”
Aku berjalan kesal ke arah mobil. Membuka pintu dan duduk di sebelah
pria menyebalkan itu. Lalu kubanting pintu mobil hingga Pak Sopir yang baru
saja hendak duduk di kursinya tersentak dan refleks menoleh ke arahku.
“Kalo mobilnya rusak ganti ruginya mahal loh,” ucap pria di sebelahku
santai.
Aku tak merespon apa pun. Menoleh ke arahnya saja tidak sama sekali.
“Jalan, Pak,” ucap orang itu lembut.
“Baik, Tuan,” ucap Pak Sopir seraya mengangguk. Pria berkumis putih itu
lalu menyalakan mesin mobil dan mulai menggerakkan keempat roda sedan hitam
yang kutumpangi.
Aku masih mengarahkan wajahku ke luar jendela.
“Jauh banget sih, duduknya,” ucap pria di sampingku.
Aku diam. Kesal.
Ia menghela nafas. Posisi duduknya lalu bergeser ke arahku.
“Ngapain sih? Sempit!” aku protes.
“Nih!” ia memberikan sebuah earphone
merah muda idamanku yang tidak di jual di kota tempat tinggalku dan bahkan
di Negara yang kutempati ini. Hanya dijual di luar.
AAAAAAAAAAAAAAAAA EARPHONE ITU!!!!!
Batinku tak kuasa menahan teriakan yang kalau saja kusuarakan, seluruh mobil di
sekitarku bisa-bisa menabrak tiang-tiang rambu lalu lintas. “Buat siapa?”
tanyaku dingin. AWAS AJA KALO BUAT ORANG LAIN!
“Buat Ibu penjaga kantin. Biar gaul,” jawabnya.
Aku tertawa meremehkan. Gak lucu.
“Ya buat kamu, Ailka.” Ia berkata lagi dengan nada bicara yang seketika
bisa membuat hatiku membeku dan mencair dalam waktu yang bersamaan.
Aku hanya membulatkan bibir.
Melihat aku tak memberikan respon apa pun, ia mengeluarkan earphone itu dari kotak transparan dan
memakaikannya di telingaku. Wajahnya sangat dekat dengan wajahku. Pertama kali
sejak pelukan perpisahan enam bulan yang lalu. Enam bulan.
Jantungku berdetak cepat. Wangi parfum yang sangat kurindukan itu
menyeruak lagi ke dalam rongga pernafasanku setelah enam bulan. Enam bulan.
“Lucu juga,” ia berkomentar tepat di depan wajahku.
“Udah sanaan ih, sempit tau!” Aku menyiku pinggangnya. Salah tingkah,
sebenarnya.
“Lucu banget tau!” ia berkata lagi.
“Iya tau aku emang lucu!” Aku lalu melepaskan earphone merah muda itu dari telingaku.
“Yah kok dilepas?”
“Ya gak ada musiknya juga buat apaan?”
“Oh, kode minta dikasih hadiah iPod ya? Ayo ngaku!” Ia tersenyum sambil
menunjuk-nunjuk hidungku. Senyum meledek menyebalkan andalannya.
Aku menepis tangannya dari wajahku dengan kasar.
“Galak banget sih. Emang gak kangen?”
“Aku yang harusnya nanya gitu ke kamu. Ah, tapi pasti kamu gak kangen
sama aku lah. Aku udah tau jawabannya.”
“Kok tau sih?”
Ergh! Aku mengepal telapak tanganku. Menahan kesal.
Ia lalu meraih kepalan tanganku dan merenggangkannya dengan pelan dan
penuh kelembutan. “Jangan sering-sering kesel nanti cepet tua kayak Ibu Kepala
Yayasan loh.”
Aku tersenyum kecil. Ingin tertawa, sejujurnya, tapi kutahan.
Ia masih menggenggam tanganku di atas pahanya saat kudengar dengan jelas
hempasan nafasnya.
Aku diam. Ingin kutarik tanganku dari genggamannya, tapi tangan itu
terlalu hangat. Terlalu menenangkan.
“Gak ada yang genggam tangan ini kan selama enam bulan kemarin?” ia
bertanya sambil melihat ke arah tautan tangannya dan tanganku.
“Ada lah! Aku suka gandengan sama Vianca,” jawabku.
“Maksudnya laki-laki!”
“Ada.”
Pria di sebelahku lalu menoleh ke arahku dan menatap mataku dengan
tajam.
“Kan, aku sering salaman sama orang lain. Sama Pak Guru, Pak RT, Pak RW,
Pak Lurah.”
Ia melepaskan genggamannya. “Lain kali gak usah salaman! Cukup tundukin
kepala aja sedikit sambil senyum.”
“Ye tradisi budaya kita emang salaman kali! Egois banget!”
“Itu bukan egois, tapi upaya untuk menjaga.”
Aku sedikit memutar posisi dudukku ke arahnya. “Itu,” ucapku sambil
menunjuk bahunya dengan mataku.
“Apa?” Ia menoleh ke arah bahunya. “Ketombe?”
“Bukan,” jawabku. “Selama enam bulan kemarin gak ada yang bersandar di
bahu itu kan?”
Ia tertawa. “Ada lah. Cewek mana yang tahan untuk gak sandaran di bahu
kekar kayak gini?” Ia berkata sambil menepuk-nepuk bahunya.
Aku tertawa meremehkan. “Gak mungkin lah. Kamu aja gak lebih tinggi dari
cewek-cewek bule.” Aku semakin lebar tertawa.
“Emang gak sambil berdiri. Kan sandarannya sambil duduk di sofa, terus
sambil minum-minum wine gitu sampe mabok, terus lama-lama….”
“Udah deh!” aku memotong kalimatnya. “Iya iya aku gak heran kalo di sana
kamu suka minum-minum sama cewek-cewek bule, terus sandar-sandaran di bahu,
terus pijet-pijetan kan, terus ceweknya mabok terus kamu gendong sampe hotel,
terus….” Lidahku tiba-tiba kaku saat kurasakan tangannya menarik pelan kepalaku
hingga mendarat lembut di atas bahunya yang begitu nyaman.
“Masih terasa kan, ceplakkan kepala kamu di situ?” tanyanya kemudian.
Aku diam. Jantungku yang beberapa saat lalu berdetak cepat karena kesal,
kini berdegup lebih cepat lagi karena kalimat dari mulut manisnya itu. Dasar
laki-laki memang pandai bicara. Lama, aku masih terdiam.
“Makasih ya, Ailka,” ia berucap pelan, nyaris tidak terdengar.
“Makasih untuk apa?”
“Emm… untuk apa ya?” Ia lalu tertawa kecil.
“Ngucapin makasih aja gak ikhlas!” umpatku.
Ia tertawa lagi. Hening sesaat menyelimuti pesta sederhana pertemuannya
denganku hingga ia menarik nafasnya cukup dalam lalu menghampaskannya. “Karena
bertahan di pundak itu walaupun gak nyaman, sulit, nyakitin, dan….” Ia
berhenti.
Aku tersenyum. “Sama-sama,” ucapku pelan.
Sepi bermelodi lagi. Membiarkan aku tenggelam bersama jutaan perasaan
yang sekuat apa pun usahaku untuk menjelaskannya, tidak akan pernah bisa
kujelaskan.
“Kita hampir sampai, Tuan,” tiba-tiba Pak Sopir bersuara.
Aku dan pria di sampingku tersadar dari lamunan masing-masing. Kami
menegakkan badan dan cepat-cepat merapikan penampilan. Kusisir rambutku dengan
jari dan kuhapus titik air di ujung mata yang nyaris saja menetesi pipiku. Aku
membuka ransel dan memasukkan earphone
ke dalamnya. Kami merenggang. Duduk saling menjauh.
Tak lama, roda-roda mobil sedan hitam yang membawa kami dari bandara
berhenti di depan sebuah gedung empat lantai berwarna hijau toska. Aku membuka
pintu mobil bersamaan dengan Pak Sopir yang sudah lebih dulu turun dan
membukakan pintu untuk laki-laki di sampingku.
Baru saja mengeluarkan kepala dari mobil itu, beberapa orang menyambut dengan memanggil namaku dari lantai dua, membuatku refleks
menoleh ke arah mereka dan melambaikan tangan tanda menyapa. Seorang wanita
menghampiri pria yang keluar dari pintu yang lain dengan pintu tempat aku baru
saja keluar. Wanita itu lalu meraih dan mencium tangan pria yang selama
perjalanan tadi duduk di sampingku. Pria
itu tersenyum sambil membelai lembut kepala si wanita sambil berbisik beberapa
kata entah apa.
Aku baik-baik saja. Tenanglah.
Laki-laki itu lalu tersenyum ke arahku sambil mengucapkan terima kasih
sebelum setelah itu ia melangkah menuju ruangannya. Aku hanya mengangguk pelan
dan menunjukkan senyum tipis di ujung bibirku.
Wanita yang kepalanya dibelai tadi kini berjalan menghampiriku. “Terima
kasih loh, Ailka, sudah mau direpotkan,” ucap Ibu Kepala Yayasan itu dengan
sangat berwibawa. “Padahal tidak ada undang-undangnya kalau Ketua Osis punya
tugas untuk menjemput Kepala Sekolah,” lanjutnya.
Aku tersenyum. “Sama-sama, Ibu. Saya melakukannya dengan senang hati,”
ucapku, jujur dari hati yang paling dalam.
Ibu Kepala Yayasan menepuk pelan punggungku sebelum setelah itu melangkahkan
kaki menuju ruang Kepala Sekolah, menemui suaminya yang sudah enam bulan
bertugas di negeri orang.
"oh........."
ReplyDeleteitu adalah nada kekecewaan (IN A GOOD WAY) pas aku baca endingnya. what the fuck sih. WHAT THE FUCK IN EVERYFUCKINGWAY YOU SAID IT WAS NOT GOOD!
besok-besok aku fix ya nganggep not good kamu artinya Endingnya bikin nyesek dan bikin hilang arah tujuan kemana kaki melangkah. Emosional banget aku suka tapi.
Congratulation! shit.
aku ga ngerti nada kecewa in a good way -_-
ReplyDeleteanyway aku juga enggak bilang secara eksplisit ini not good kok AKU BILANG INI AGAK BANGSAD HEHEHEHEE
bangsad kan?
WHAT THE HELL KATAY.
ReplyDeleteBANGSAD KAMPRET BENERAN.