Sunday, April 27, 2014

Enam Bulan

Aku melambaikan tangan dengan semangat ke arah seorang laki-laki yang berlajan lambat sambil menggandeng koper hitamnya. Orang itu hanya membalasku dengan senyuman kecil. Sambutan yang sangat tidak sesuai ekspektasi.
“Heboh banget sih, kayak ketemu Justin Bieber aja!” ucapnya setelah ia tepat berdiri di depanku.
“Jahat banget sih, udah ninggalin enam bulan dan pas ketemu bukannya bilang kangen kek, apa kek!”
Ia mengangkat tepi bibir kanannya. Menunjukkan senyum yang membuatku ingin meninju sampai semua giginya rontok tak bersisa. “Ayo ke mobil!” Ia melangkah meninggalkanku yang masih berdiri menahan rasa kesal yang kini membengkak lebih besar dari rasa rinduku beberapa menit lalu.
Aku membulatkan mata dan menghela nafas dengan kasar, sebelum akhirnya mengikutinya menuju mobil.
Kulihat Pak Sopir yang datang ke bandara bersamaku sedikit menundukkan kepalanya tanda memberikan salam pada laki-laki yang baru tiba dari negeri orang itu. Laki-laki itu menepuk pelan bahu Pak Sopir sambil bergurau entah apa. Kulihat mereka berdua tertawa ringan.
Setelah memberikan kopernya pada Pak Sopir untuk dimasukkan ke dalam bagasi, ia masuk ke dalam mobil tanpa terlebih dahulu mempersilahkanku masuk. Setelah menutup pintu, ia membuka jendela dan berteriak ke arahku. “Mau pulang naik taksi?!”
Aku berjalan kesal ke arah mobil. Membuka pintu dan duduk di sebelah pria menyebalkan itu. Lalu kubanting pintu mobil hingga Pak Sopir yang baru saja hendak duduk di kursinya tersentak dan refleks menoleh ke arahku.
“Kalo mobilnya rusak ganti ruginya mahal loh,” ucap pria di sebelahku santai.
Aku tak merespon apa pun. Menoleh ke arahnya saja tidak sama sekali.
“Jalan, Pak,” ucap orang itu lembut.
“Baik, Tuan,” ucap Pak Sopir seraya mengangguk. Pria berkumis putih itu lalu menyalakan mesin mobil dan mulai menggerakkan keempat roda sedan hitam yang kutumpangi.
Aku masih mengarahkan wajahku ke luar jendela.
“Jauh banget sih, duduknya,” ucap pria di sampingku.
Aku diam. Kesal.
Ia menghela nafas. Posisi duduknya lalu bergeser ke arahku.
“Ngapain sih? Sempit!” aku protes.
“Nih!” ia memberikan sebuah earphone merah muda idamanku yang tidak di jual di kota tempat tinggalku dan bahkan di Negara yang kutempati ini. Hanya dijual di luar.
AAAAAAAAAAAAAAAAA EARPHONE ITU!!!!! Batinku tak kuasa menahan teriakan yang kalau saja kusuarakan, seluruh mobil di sekitarku bisa-bisa menabrak tiang-tiang rambu lalu lintas. “Buat siapa?” tanyaku dingin. AWAS AJA KALO BUAT ORANG LAIN!
“Buat Ibu penjaga kantin. Biar gaul,” jawabnya.
Aku tertawa meremehkan. Gak lucu.
“Ya buat kamu, Ailka.” Ia berkata lagi dengan nada bicara yang seketika bisa membuat hatiku membeku dan mencair dalam waktu yang bersamaan.
Aku hanya membulatkan bibir.
Melihat aku tak memberikan respon apa pun, ia mengeluarkan earphone itu dari kotak transparan dan memakaikannya di telingaku. Wajahnya sangat dekat dengan wajahku. Pertama kali sejak pelukan perpisahan enam bulan yang lalu. Enam bulan.
Jantungku berdetak cepat. Wangi parfum yang sangat kurindukan itu menyeruak lagi ke dalam rongga pernafasanku setelah enam bulan. Enam bulan.
“Lucu juga,” ia berkomentar tepat di depan wajahku.
“Udah sanaan ih, sempit tau!” Aku menyiku pinggangnya. Salah tingkah, sebenarnya.
“Lucu banget tau!” ia berkata lagi.
“Iya tau aku emang lucu!” Aku lalu melepaskan earphone merah muda itu dari telingaku.
“Yah kok dilepas?”
“Ya gak ada musiknya juga buat apaan?”
“Oh, kode minta dikasih hadiah iPod ya? Ayo ngaku!” Ia tersenyum sambil menunjuk-nunjuk hidungku. Senyum meledek menyebalkan andalannya.
Aku menepis tangannya dari wajahku dengan kasar.
“Galak banget sih. Emang gak kangen?”
“Aku yang harusnya nanya gitu ke kamu. Ah, tapi pasti kamu gak kangen sama aku lah. Aku udah tau jawabannya.”
“Kok tau sih?”
Ergh! Aku mengepal telapak tanganku. Menahan kesal.
Ia lalu meraih kepalan tanganku dan merenggangkannya dengan pelan dan penuh kelembutan. “Jangan sering-sering kesel nanti cepet tua kayak Ibu Kepala Yayasan loh.”
Aku tersenyum kecil. Ingin tertawa, sejujurnya, tapi kutahan.
Ia masih menggenggam tanganku di atas pahanya saat kudengar dengan jelas hempasan nafasnya.
Aku diam. Ingin kutarik tanganku dari genggamannya, tapi tangan itu terlalu hangat. Terlalu menenangkan.
“Gak ada yang genggam tangan ini kan selama enam bulan kemarin?” ia bertanya sambil melihat ke arah tautan tangannya dan tanganku.
“Ada lah! Aku suka gandengan sama Vianca,” jawabku.
“Maksudnya laki-laki!”
“Ada.”
Pria di sebelahku lalu menoleh ke arahku dan menatap mataku dengan tajam.
“Kan, aku sering salaman sama orang lain. Sama Pak Guru, Pak RT, Pak RW, Pak Lurah.”
Ia melepaskan genggamannya. “Lain kali gak usah salaman! Cukup tundukin kepala aja sedikit sambil senyum.”
“Ye tradisi budaya kita emang salaman kali! Egois banget!”
“Itu bukan egois, tapi upaya untuk menjaga.”
Aku sedikit memutar posisi dudukku ke arahnya. “Itu,” ucapku sambil menunjuk bahunya dengan mataku.
“Apa?” Ia menoleh ke arah bahunya. “Ketombe?”
“Bukan,” jawabku. “Selama enam bulan kemarin gak ada yang bersandar di bahu itu kan?”
Ia tertawa. “Ada lah. Cewek mana yang tahan untuk gak sandaran di bahu kekar kayak gini?” Ia berkata sambil menepuk-nepuk bahunya.
Aku tertawa meremehkan. “Gak mungkin lah. Kamu aja gak lebih tinggi dari cewek-cewek bule.” Aku semakin lebar tertawa.
“Emang gak sambil berdiri. Kan sandarannya sambil duduk di sofa, terus sambil minum-minum wine gitu sampe mabok, terus lama-lama….”
“Udah deh!” aku memotong kalimatnya. “Iya iya aku gak heran kalo di sana kamu suka minum-minum sama cewek-cewek bule, terus sandar-sandaran di bahu, terus pijet-pijetan kan, terus ceweknya mabok terus kamu gendong sampe hotel, terus….” Lidahku tiba-tiba kaku saat kurasakan tangannya menarik pelan kepalaku hingga mendarat lembut di atas bahunya yang begitu nyaman.
“Masih terasa kan, ceplakkan kepala kamu di situ?” tanyanya kemudian.
Aku diam. Jantungku yang beberapa saat lalu berdetak cepat karena kesal, kini berdegup lebih cepat lagi karena kalimat dari mulut manisnya itu. Dasar laki-laki memang pandai bicara. Lama, aku masih terdiam.
“Makasih ya, Ailka,” ia berucap pelan, nyaris tidak terdengar.
“Makasih untuk apa?”
“Emm… untuk apa ya?” Ia lalu tertawa kecil.
“Ngucapin makasih aja gak ikhlas!” umpatku.
Ia tertawa lagi. Hening sesaat menyelimuti pesta sederhana pertemuannya denganku hingga ia menarik nafasnya cukup dalam lalu menghampaskannya. “Karena bertahan di pundak itu walaupun gak nyaman, sulit, nyakitin, dan….” Ia berhenti.
Aku tersenyum. “Sama-sama,” ucapku pelan.
Sepi bermelodi lagi. Membiarkan aku tenggelam bersama jutaan perasaan yang sekuat apa pun usahaku untuk menjelaskannya, tidak akan pernah bisa kujelaskan.
“Kita hampir sampai, Tuan,” tiba-tiba Pak Sopir bersuara.
Aku dan pria di sampingku tersadar dari lamunan masing-masing. Kami menegakkan badan dan cepat-cepat merapikan penampilan. Kusisir rambutku dengan jari dan kuhapus titik air di ujung mata yang nyaris saja menetesi pipiku. Aku membuka ransel dan memasukkan earphone ke dalamnya. Kami merenggang. Duduk saling menjauh.
Tak lama, roda-roda mobil sedan hitam yang membawa kami dari bandara berhenti di depan sebuah gedung empat lantai berwarna hijau toska. Aku membuka pintu mobil bersamaan dengan Pak Sopir yang sudah lebih dulu turun dan membukakan pintu untuk laki-laki di sampingku.
Baru saja mengeluarkan kepala dari mobil itu, beberapa orang menyambut dengan memanggil namaku dari lantai dua, membuatku refleks menoleh ke arah mereka dan melambaikan tangan tanda menyapa. Seorang wanita menghampiri pria yang keluar dari pintu yang lain dengan pintu tempat aku baru saja keluar. Wanita itu lalu meraih dan mencium tangan pria yang selama perjalanan tadi duduk di sampingku.  Pria itu tersenyum sambil membelai lembut kepala si wanita sambil berbisik beberapa kata entah apa.
Aku baik-baik saja. Tenanglah.
Laki-laki itu lalu tersenyum ke arahku sambil mengucapkan terima kasih sebelum setelah itu ia melangkah menuju ruangannya. Aku hanya mengangguk pelan dan menunjukkan senyum tipis di ujung bibirku.
Wanita yang kepalanya dibelai tadi kini berjalan menghampiriku. “Terima kasih loh, Ailka, sudah mau direpotkan,” ucap Ibu Kepala Yayasan itu dengan sangat berwibawa. “Padahal tidak ada undang-undangnya kalau Ketua Osis punya tugas untuk menjemput Kepala Sekolah,” lanjutnya.
Aku tersenyum. “Sama-sama, Ibu. Saya melakukannya dengan senang hati,” ucapku, jujur dari hati yang paling dalam.
Ibu Kepala Yayasan menepuk pelan punggungku sebelum setelah itu melangkahkan kaki menuju ruang Kepala Sekolah, menemui suaminya yang sudah enam bulan bertugas di negeri orang.

3 comments:

  1. "oh........."
    itu adalah nada kekecewaan (IN A GOOD WAY) pas aku baca endingnya. what the fuck sih. WHAT THE FUCK IN EVERYFUCKINGWAY YOU SAID IT WAS NOT GOOD!

    besok-besok aku fix ya nganggep not good kamu artinya Endingnya bikin nyesek dan bikin hilang arah tujuan kemana kaki melangkah. Emosional banget aku suka tapi.

    Congratulation! shit.

    ReplyDelete
  2. aku ga ngerti nada kecewa in a good way -_-

    anyway aku juga enggak bilang secara eksplisit ini not good kok AKU BILANG INI AGAK BANGSAD HEHEHEHEE

    bangsad kan?

    ReplyDelete
  3. WHAT THE HELL KATAY.
    BANGSAD KAMPRET BENERAN.

    ReplyDelete

About Me

My photo
Tangerang, Banten, Indonesia
bukan penulis, bukan pengarang, hanya pecinta keduanya.