Saturday, April 19, 2014

Jaksa

“Apa cita-citamu saat kecil dulu?” Seorang pria berkumis bertanya dengan suaranya yang berat dan nada bicara yang terdengar sangat bijaksana.
“Menjadi seorang jaksa.” Aku menjawab pertanyaan itu tanpa perlu satu detik pun untuk mengingat-ingat.
Seluruh orang yang mengelilingi meja makan serentak bersuara. Sebagian tertawa, sebagian lagi berdecak kagum setengah tak percaya.
Siapa bocah berumur sembilan tahun yang belum pernah mendapatkan pertanyaan ‘apa cita-citamu?’ dari orang dewasa? Mereka tertawa saat kukatakan aku ingin menjadi seorang jaksa. Bukan dokter, guru, polisi, artis, atau astronot, seperti anak-anak pada umumnya. Tidak, jaksa bukan pekerjaan yang langka atau aneh. Hanya saja tidak banyak anak-anak sekolah dasar yang memikirkan profesi itu sebagai cita-cita.
Ayah dan ibuku meninggal dibunuh oleh seorang psikopat kaya raya yang akhirnya hanya dijatuhi hukuman satu tahun penjara. Satu tahun. Menggelikan sekali. Luka anak-anak yang ditinggalkan oleh korban bahkan tidak pulih dalam waktu satu tahun. Jangankan pulih, mengering pun tidak sama sekali.
Sejak hari itu, kukatakan pada kakakku, satu-satunya anggota keluarga yang kupunya, aku ingin menjadi orang yang bisa menghukum para penjahat sesuai dengan kejahatan mereka. Aku ingin menuntut tangan-tangan kotor itu dengan hukuman yang setimpal dengan apa yang telah mereka lakukan. Aku tidak ingin ada lebih banyak lagi anak-anak yang harus hidup dengan menanggung rasa benci dan marah terhadap hukum Negara mereka sendiri. Sesederhana itu.
“Kau pasti tidak menyangka kau akan tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik seperti sekarang,” wanita paruh baya di sampingku berkomentar sambil meletakkan gelas lemonadenya. “Kalau aku tahu dewasa nanti aku akan secantik dirimu, aku pasti akan bercita-cita menjadi seorang model.” Ia menutup kalimatnya dengan tawa.
“Anda juga sangat cantik. Kenapa memilih menjadi polisi dan bukan bintang film saja?” Aku balik bercanda meski sedikit takut leluconku terdengar tidak sopan. Aku lalu tersenyum canggung.
Mereka tertawa.
“Jangan terlalu sering memuji Ibu yang satu itu, kepalanya bisa membesar sebesar roda mobil tronton yang sering terparkir di belakang kantornya.”
“Hei, hei, hei, polisi muda, jangan sembarangan bicara tentang atasanmu,” wanita itu berkata santai sambil menggoyang-goyangkan telunjuknya ke arah laki-laki yang usianya kira-kira hanya dua atau tiga tahun lebih tua dariku itu.
Sekeliling meja makan tertawa lagi.
“Sejujurnya aku lebih senang disebut sebagai detektif dibanding polisi,” ucap pemuda tadi. “Detektif tampan.” Ia lalu meletakkan gestur centang di bawah dagunya.
“Nona Jaksa,” pria di sebelah pemuda tadi memanggilku. “Apa menurutmu detektif di sampingku ini tampan?”
“Apa?” Aku tersentak. Pertanyaan macam apa itu?
“Hei, kau jangan membuat orang menjadi salah tingkah seperti itu!” Pemuda yang tengah dibicarakan itu protes.
“Kau selalu mendapat pujian tampan dari wanita-wanita berumur, aku ingin mendengar pendapat gadis seusiamu.”
“Maaf, apa yang Anda maksud dengan wanita berumur?” perempuan di sebelahku ikut protes.
“Err… maksudku….”
“Kerang ini enak sekali!” tiba-tiba seorang laki-laki yang kukenal sebagai kepala polisi divisi kriminal menyela perdebatan. “Boleh aku minta satu porsi lagi?” ia lalu berkata pada seorang pelayan wanita di samping meja kami.
“Ini adalah pesta keberhasilan kasus pertama jaksa muda kita, kenapa kalian harus berdebat tentang ketampanan detektif sok tampan itu?” laki-laki berkumis bersuara lagi.
“Aku bukan sok tampan,” polisi muda, maksudku detektif muda tadi berkata pelan sambil menunjukkan ekspresi cemberut seperti anak usia lima tahun yang tidak dibelikan permen kapas oleh ibunya.
Aku tertawa kecil. “Tidak kusangka suasana makan malam bersama orang-orang kepolisian bisa semenyenangkan ini.”
“Kau salah besar jika mengira kami ini adalah kumpulan orang-orang yang serius dan menyeramkan,” kepala polisi divisi kriminal berkata lagi setelah menelan makanan di mulutnya.
“Ini rahasia di antara kita saja, penagak hukum itu banyak ber-acting,” ucap salah seorang polisi lain.
Kami tertawa.
“Ngomong-ngomong, apa kau bekerja sebagai agent atau semacamnya?” detektif muda yang mengaku tampan –dan jujur saja ia memang tampan- bertanya padaku.
Aku menggeleng. “Tidak.”
“Kau pasti merasa reputasimu sebagai detektif dikalahkan oleh seorang jaksa baru, bukan?” celetuk wanita di sampingku.
“Aku hanya heran saja dari mana ia tahu banyak data yang bahkan belum pernah kuselidiki sebagai dekektif.”
Tuk! Laki-laki di sebelahnya memukul kepala detektif itu dengan sendok makan. “Kau sungguh mempermalukan dirimu sendiri di depan anak baru!”
“Aw!” Pria muda itu mengelus-elus kepalanya.
“Itulah mengapa pesta malam ini sangat penting. Kita bukan hanya merayakan keberhasilan kasus pertama jaksa muda ini, tapi juga merayakan Negara kita yang sekarang memiliki seorang penegak hukum yang sangat luar biasa!” Pria berkumis berseru.
“Sepertinya Anda sedikit berlebihan,” aku menanggapi dengan tak enak hati.
Ia menggeleng. “Tidak sama sekali berlebihan,” ucapnya. “Kau tau, Nona, organisasi pembunuh bayaran itu sudah berkali-kali masuk ke pengadilan. Tapi tidak ada satu jaksa pun yang berhasil menuntut mereka dengan hukuman yang setimpal. Apa kau tidak sadar bahwa kau baru saja memberikan hukuman mati pada kepala organisasi itu?”
“Tapi para polisi yang berhasil menangkap tersangka, bukan jaksa. Dan hakim lah yang menjatuhkan hukuman untuk tersangka, bukan jaksa,” ucapku.
“Jujur saja ini bukan pertama kali kami menangkap orang itu,” ucap kepala polisi divisi kriminal. “Susah payah kami membongkar kejahatannya, tapi ia lolos karena jaksa yang menangani kasusnya selalu kalah dengan pengacara-pengacara bayaran si pelaku,” lanjutnya.
“Kau pasti tahu betapa kami sangat puas akan hasil persidangan hari ini.”
“Kau membuat pengacara si pelaku mati berdiri di balik mejanya.”
“Tidak ada sangkalan!”
“Tidak ada pembelaan.”
Checkmate!”
“Hukuman mati!”
“Pak Hakim mengetuk palu dengan sangat yakin.”
“Sempurna!”
“Bersiaplah karena para wartawan akan mencarimu.”
“Wajahmu akan muncul di halaman depan surat kabar!”
Aku meraih gelas jus jerukku dan meminumnya. Tidak tahu harus menanggapi serbuan pujian-pujian itu dengan kalimat apa.
“Tapi kudengar kepala gangster itu punya sebuah panti yang menampung anak-anak jalanan, jadi ia mengggunakan sebagian bayarannya untuk membiayai hidup anak-anak itu.”
“Ah, tujuan tidak menghalalkan cara! Sekali penjahat, tetap saja penjahat! Bukan begitu, Nona Jaksa?”
Aku hanya mengangguk sambil tersenyum kaku.

***

“Sidang pertamaku. Apa aku terlihat keren?”
Laki-laki tampan di hadapanku mengacungkan kedua ibujarinya. “Orang-orang itu pasti memujimu.”
Aku mengangguk. “Semua orang memujiku. Tapi aku hanya ingin mendengar pujian darimu.”
Ia tertawa ringan. “Hei, jangan menunjukkan wajah kenakan-kanakan seperti itu. Kau adalah penegak hukum yang tegas dan berkharisma!”
“Ini hanya antara kita berdua, penegak hukum itu banyak ber-acting!” Aku mengutip kalimat salah satu polisi di meja makan tempo hari.
Pria di depanku tertawa. “Ngomong-ngomong, apa ada polisi muda yang tampan, baik, jujur, dan belum menikah?”
Aku mengerutkan kening. “Kenapa?”
“Berkencanlah dengannya,” ucap laki-laki itu santai.  “Tapi harus polisi yang jujur. Kau pasti tahu bahwa banyak penegak hukum yang menjadi biang pelanggaran hukum, bukan?”
Aku menghela nafas. “Aku tidak mau berkencan.”
“Nona Jaksa, kau adalah gadis dewasa! Sampai kapan kau mau berlindung di bawah ketiakku? Aku tidak selamanya bisa menggandeng tanganmu, menggendongmu saat kaujatuh, menjagamu, menghapus airmatamu, dan melakukan ini itu. Carilah laki-laki baik dan hiduplah bahagia dengannya.”
“Aku tidak mau berkencan dengan siapa pun sebelum kau menikah dengan wanita yang kausuka. Siapa namanya? Anak pemilik toko roti itu, kau masih mencintainya kan?”
Ia tertawa. “Kau bercanda? Orang sepertiku tidak berhak mengharapkan cinta. Seberapa dalam pun aku menyukai gadis itu. Siapa yang rela anaknya dinikahi oleh seorang kepala organisasi hitam yang menjadi pembicaraan orang-orang di setiap sudut kota. Lagi pula, hidupku juga tak akan lama lagi.” Pria di depanku menutup kalimatnya dengan senyum lemah.
“Aku akan mencarikan pengacara terbaik untuk meringankan hukumanmu.”
“Tidak. Aku merasa sangat terhormat dijatuhi hukuman mati oleh jaksa terbaik negeri ini. Aku sangat bangga padamu.”
Aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Pipiku kini dibasahi air yang jatuh dari kedua ujung mataku, meski sudah dengan susah payah kutahan tangisan itu.
“Waktu kunjungan sudah habis!” Seorang sipir datang sambil setengah berteriak. Ia lalu menarik kakakku dan membawanya lagi ke dalam ruangan sempit yang dipagari dengan jeruji besi.
Laki-laki tampan itu tersenyum pasi ke arahku sebelum ia kembali ke ruangan tempatnya menanti detik-detik kematian. Meninggalkanku sendirian, tanpa terlebih dahulu menghapus air mata di pipiku seperti hari-hari sebelumnya.

2 comments:

  1. tuh kan. ini endingnya udah ketahuan :D
    sapa suruh kakaknya ga dimasukin ke dalam dialog bersama polisi-polisi itu :o

    pengen tau motif doi membunuh deh. hahhahha. I like this, but I love the other one. Yang paling aku suka dalam cerita ini? DIALOG BERSAMA PARA POLISI DAN JAKSANYA. DEM NGALIR BANGET.

    ReplyDelete
  2. ehew sulit kalo pembacanya org yang udah kenal bgt sama otak nulisku. susah bikin twist (alesan)

    ReplyDelete

About Me

My photo
Tangerang, Banten, Indonesia
bukan penulis, bukan pengarang, hanya pecinta keduanya.