Thursday, February 27, 2014

BINGO!

“Sembilan. Kau juga sudah pernah mencoba memancingnya agar bertanya balik padamu?” tanya Shanin.

“Sudah. Dua puluh dua,” jawab Illana.

“Tujuh. Bagaimana?” tanya Callista.

“Dua puluh empat,” ucapku sambil menyilang angka 24 di kertasku.

“Dua belas. Berhasilkah?” tanya Shanin.

Illana menggeleng. “Aku bertanya apakah ia tahu rumah wali kelas kita atau tidak. Ia hanya menjawab ‘coba tanyakan pada tata usaha’ tanpa bertanya apa kira-kira keperluanku menanyakan hal itu padanya. Dua puluh tiga,” papar Illana. “Kau pernah mencobanya?” tanyanya kemudian.

Wednesday, February 26, 2014

Sekolah Baru

Ini adalah minggu ketiga sejak aku dipindahkan ke sekolah baru. Belum genap 20 hari, tapi keanehan yang kutemui di sini sudah lebih dari jumlah jemari yang kumiliki.

Bagaimana tidak kukatakan aneh? Di sekolah ini, aku bisa menemui bermacam-macam murid dengan bermacam-macam kebiasaan yang tidak kutemui di sekolahku yang lama. Seorang siswa yang suka memakan kelopak bunga sepatu di halaman belakang sekolah, murid laki-laki yang sering membenturkan kepalanya di pintu kelas, anak perempuan yang mengepang sembilan rambutnya (terkadang aku berpikir mungkin ia terobsesi dengan siluman rubah berekor sembilan seperti mitos-mitos di Korea sana), siswa yang selalu memakai sepatu dengan warna berbeda di kaki kiri dan kanannya, yang mengisi tas ranselnya dengan bola basket dan membawa semua bukunya dengan keranjang belanja, yang gemar memakai celana terbalik, yang selalu berjalan mundur, dan manusia-manusia aneh lainnya. Kubilang, ada lebih dari 20 keanehan yang kutemui di sekolah ini.

Tuesday, February 25, 2014

Eksklusif

Cerita ini hanya fiktif belaka. Apabila ada kesamaan nama atau cerita, hal tersebut murni tidak disengaja.

Aku melangkah memasuki lobby sebuah gedung mewah milik pemerintah yang berdiri kokoh di pusat Ibu Kota. Kuhampiri meja receptionist yang dijaga oleh dua wanita cantik dengan rambut klimis yang disanggul rapi.
“Ada yang bisa saya bantu?” tanya salah satu receptionist di hadapanku dengan ramah.
“Saya mau ketemu Pak Binarta Dandrearta,” ucapku santai.
“Apa Anda sudah membuat janji?” tanya wanita itu lagi.
“Emm… belum sih,” jawabku. “Tapi bilang aja kalo Natasha Arta mau ketemu,” aku menambahkan.
“Maaf, Anda tidak bisa bertemu kalau belum membuat janji dengan beliau.”

Monday, February 24, 2014

Kencan

Kehidupan seorang laki-laki dapat berubah tergantung dengan siapa laki-laki itu berkencan. Paling tidak, itu yang berlaku padaku. Aku bukan tipe pria yang menuntut wanita untuk bisa menyesuaikan diri denganku. Akulah yang harus menyesuaikan diri dengannya.

Saturday, February 22, 2014

Bus Pagi

Aku tengah melihat-lihat suasana pagi di luar jendela saat seorang penumpang duduk di sampingku. Aku menoleh ke arahnya. Ia tersenyum ramah ke arahku. Hah? Aku bahkan tidak memberikannya senyum. Sedikit ragu, aku membalas senyum laki-laki itu.

Lima menit berlalu, aku kembali menoleh ke arah penumpang di sampingku. Dilihat-lihat, dia tampan juga. Maksudku, aku memang suka laki-laki yang mengenakan kaca mata. Juga, sebenarnya gaya rambutnya membuat ia benar-benar terlihat berkarisma. Tapi ia anak SMA mana ya? Ah, hari senin memang sulit mengenali identitas sekolah seseorang dari seragam. Hampir semua pelajar mengenakan kemeja putih dengan badge OSIS cokelat kuning di sakunya.

Orang itu tiba-tiba menoleh ke arahku. Sial. Aku dengan cepat membuang pandanganku ke luar jendela. Mengapa aku bodoh sekali mengamati orang dari jarak sedekat ini?

Bro

“Siapa yang memulai?”
Tiga orang yang berdiri di sampingku kompak menunjuk ke arahku.
“Kau... lagi?” tikam seorang guru BPK yang berdiri di hadapanku. “Kenapa kau memukul mereka?” tanyanya.
Aku tak menjawab, juga tak sama sekali mengangkat kepala demi menghindari matanya yang kini tengah merah membara. Sangat marah, kutahu.
“Anggar! Apa kau tidak memiliki telinga?!” wanita itu berkata tegas. Tidak berteriak, tapi jelas betul membentak.
Aku tetap tidak memberikan respon apa pun.

Monday, February 17, 2014

A Birth Day Boy


            Setengah jam sudah kupandangi kue tart berbentuk lingkaran di hadapanku. Aku melirik jam dinding. Meski kamarku hanya diterangi biasan cahaya lampu jalan dan api yang menari di ujung 10 lilin kecil yang mengitari tepi kue di depanku, aku masih bisa melihat dengan jelas jarum jam dindingku.
            Lima menit menuju pukul 12 malam. Jarum jam itu berjalan sangat lamban. Tiga menit menuju pukul 12 malam. Semakin lama tampaknya semakin lamban. Satu menit menuju pukul 12 malam. Kali ini jarum paling panjang dan paling tipis itu yang lajunya terasa bagai kura-kura pincang. Tiga puluh detik sebelum pukul 12 malam.
Tepat pukul 12 malam.

Wednesday, February 12, 2014

Chatting

we can say this is still part of RUMPI! series hehehehe.

Chat Group: R!
G, Kivo, Tora, Yoza, Haki, Julio, Stevan, Yandra.

*Tora joined the group*
*Julio joined the group*
Tora: tes
Tora: grup apaan nih?
Tora: wey!
*Yandra joined the group*
Tora: halo hola
Julio: ‘R!’
Julio: Rispal
Tora: maksud ngana makhluk dari planet 4L@y itu?

Monday, February 10, 2014

Rumpi! 2

Note:
This isn't prequel nor sequel, but we better read Rumpi!, created by my friend, Hadiqal, before read this Rumpi! 2. Thank you and enjoy :)

“Apa ada yang mendengar tentang kasus pembunuhan pagi tadi?” tanya Maria sambil menuang minuman merah segar berperisa ke dalam gelasnya.
“Yang hanya tersisa tubuh dan kepalanya itu?” Shan, yang duduk di sampingku, memastikan.
“Atau yang tangan dan kakinya hilang itu?” kali ini Inne, bertanya sambil mengunyah cemilan yang sampai kapan pun tidak akan ia bagi dengan siapa pun.
“Bisakah kau memberikan pertanyaan yang lebih cerdas, Nona Inne?” ucap Tria sarkastis.
“Seperti berapa jumlah alien yang menetap di Neptunus? Begitu?” Inne menimpali wanita yang bersila di sebelahnya itu dengan serius. Wajah serius yang selalu menggelitiki perutku.
Semua tertawa kecuali Inne. Ah, dan Tria. Aku tidak menghitung tawa meremehkan Tria sebagai sebuah tawa.

Thursday, February 6, 2014

Permen Karamel Paling Lezat Di Seluruh Dunia

Aku berdiri di depan sebuah kamar yang dipadati resonansi raung tangis seorang wanita paruh baya dan beberapa puterinya. Menangisi kepergian salah satu anggota keluarga mereka. Ganisya, yang belakangan ini menjadi teman terbaikku.

Ini adalah kematian ketiga temanku dalam satu bulan terakhir. Kematian kelima dalam dua bulan terakhir. Kematian kesembilan dalam empat bulan terakhir. Kematian ke-11 sejak malam pertama aku berada di sini. Dan aku masih belum menemukannya.

About Me

My photo
Tangerang, Banten, Indonesia
bukan penulis, bukan pengarang, hanya pecinta keduanya.