Monday, February 10, 2014

Rumpi! 2

Note:
This isn't prequel nor sequel, but we better read Rumpi!, created by my friend, Hadiqal, before read this Rumpi! 2. Thank you and enjoy :)

“Apa ada yang mendengar tentang kasus pembunuhan pagi tadi?” tanya Maria sambil menuang minuman merah segar berperisa ke dalam gelasnya.
“Yang hanya tersisa tubuh dan kepalanya itu?” Shan, yang duduk di sampingku, memastikan.
“Atau yang tangan dan kakinya hilang itu?” kali ini Inne, bertanya sambil mengunyah cemilan yang sampai kapan pun tidak akan ia bagi dengan siapa pun.
“Bisakah kau memberikan pertanyaan yang lebih cerdas, Nona Inne?” ucap Tria sarkastis.
“Seperti berapa jumlah alien yang menetap di Neptunus? Begitu?” Inne menimpali wanita yang bersila di sebelahnya itu dengan serius. Wajah serius yang selalu menggelitiki perutku.
Semua tertawa kecuali Inne. Ah, dan Tria. Aku tidak menghitung tawa meremehkan Tria sebagai sebuah tawa.
“Kurasa ia dibunuh,” Maria melanjutkan perbincangan.
“Boleh tolong ambilkan air putih?” ucap Cindy pada Tria.
“Ambil sendiri!” timpal Tria.
Aku yang kebetulan duduk di dekat teko air putih, menggeser teko tersebut ke arah Cindy. “Ini,” ucapku.
“Terima kasih, Ra,” ucap Cindy.
“Menurutmu apa seseorang bisa memotong tangan dan kakinya sendiri?” Tria bersuara lagi.
“Ia pasti dibunuh oleh wanita-wanita laknat itu!” Shan berujar yakin.
Cindy yang tengah meminum air putihnya, nyaris tersedak mendengar kalimat Shan barusan. “Wanita-wanita laknat?” ia mengulangi. Tak mengerti.
“Iya. Sekumpulan wanita kan…” Shan menghentikan kalimatnya. “Ah, menyebutkannya saja aku tak sampai hati.”
“Kan? Kan apa? Kantung?” dengan cemilan memenuhi mulutnya, Inne bertanya.
“Kandang, Inne,” aku meimpali dengan santai. Asal saja.
“Oh, wanita kandang.” Inne mengangguk-angguk.
Maria, Cindy, dan Shan tertawa. Tria tertawa meremehkan. Tak apa, sudah biasa. Lagi pula, aku memang tak sama sekali bermaksud melucu.
“Sampah!” ucapnya Tria tiba-tiba. Terdengar sangat ketus.
“Aku?” tanya Inne. Wajahnya ketakutan. Inne sangat takut pada Tria, memang. Ia yang paling sering mendapat senyuman sinis wanita yang jelas betul tampak sangat tidak ramah itu. Ya, kau pasti tahu alasannya.
Tak tega melihat wajah ketakutan Inne, aku bersuara. “Bukan Inne, tapi para wanita kandang itu,” ucapku sambil tersenyum.
“Apa perkumpulan seperti itu benar-benar ada? Kukira hanya mitos.” Untunglah Cindy si anti minuman berwarna itu berkata saat Inne baru saja hendak mengeluarkan kalimat tak berartinya.
“Kudengar mereka tinggal di tempat yang kumuh dan melakukan acara makan bersama setiap sore,” ucap Shan.
“Di atas sebuah meja makan reot yang nyaris habis digerogoti rayap,” Maria menambahkan. “Menyedihkan.”
“Makan… anggota tubuh korban mereka?” Cindy memastikan. Wajahnya lalu menunjukkan ekspresi seperti ingin muntah.
Aku dan Shan saling berpandangan dan dengan mimik yang sama dengan yang Cindy tunjukkan. Kalimat Cindy terdengar sangat menjijikan, apalagi jika kau membayangkannya. Yaks.
“Benar-benar seperti sampah!” ucap Tria.
Maria menjauhkan bibirnya dari bibir gelas bening berisi minuman merahnya. “Taruhan, mereka pasti memakan tubuh korban-korban mereka sambil tertawa seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa,” ia lalu berujar.
Shan tertawa kecil. “Aku baru mau mengatakan hal itu.”
“Atau jangan-jangan mereka makan sambil membicarakan tentang menu hari selanjutnya,” Cindy ikut menerka.
Siapa lagi yang akan kita makan besok?” Lucu, kalimat itu keluar dari mulut kami secara bersamaan. Kecuali Inne, tentu saja.
Kami lalu tertawa, kali ini termasuk Tria. Ah, Inne juga ikut tertawa, entah apa yang ia tertawakan. Dan… sebenarnya aku juga tidak tahu apa yang sedang kutertawakan.
“Apa aku datang terlambat?” Suara itu menghentikan gelak tawa kami.
Kami serentak menoleh ke arahnya.
“Datang juga akhirnya?” Tria menimpali dengan sinis.
“Maaf. Ada masalah yang harus kuselesaikan,” ucap anggota baru itu.
“Tidak masalah,” Shan berkata. “Berhubung ini adalah pesta penyambutanmu sebagai anggota baru, jadi kau dimaafkan,” lanjutnya. Ia lalu tersenyum ramah.
Anggota baru itu membalas senyum Shan. “Boleh aku duduk?” tanyanya.
“Oh, silahkan!” dengan senang hati, Inne bergeser dan mempersilahkan anggota baru itu duduk di antara ia dan Tria. Dengan sangat senang hati.
Anggota baru itu duduk bersila di antara Inne dan Tria. Ikut bergabung membentuk lingkaran bersama kami. “Terima kasih,” ucapnya. Sekilas, ia melirik Tria dan tersenyum padanya.
Tria tidak membalas senyum itu, tentu saja.
“Apa kau mau makan sesuatu?” Inne bertanya. “Selain cemilanku, tentunya,” tambahnya cepat-cepat.
Anggota baru itu tertawa kecil. “Tidak. Aku sedang tidak berselera makan,” ucapnya.
“Anggota baru selalu tidak berselera makan di hari pesta penyambutan,” tutur Cindy. “Sudah biasa,” lanjutnya. Ia lalu tertawa.
Kami mengangguk membenarkan kalimat Cindy. Ya, apa yang Cindy katakan itu sangat tepat. Tidak ada satu pun dari kami yang makan di hari penyambutan diri sendiri.
“Siapa yang melakukannya?” aku bertanya pada anggota baru itu. Selalu hal itu yang kutanyakan setiap kali ada anggota baru yang bergabung. Entah mengapa, aku selalu penasaran akan hal itu.
Ia mengangkat kedua bahunya. “Aku tak terlalu yakin,” ucapnya. “Tapi sepertinya orang itu,” anggota baru itu menunjuk ke arah sepasang kaki dengan flastshoes colekat yang talinya nyaris putus. “Aku juga masih tidak terlalu yakin. Dia teman terdekatku belakangan ini.”
“Ah, mereka tidak mengenal apa itu teman,” ucap Maria. “Aku sudah lama berteman dengan pelacur itu, tapi dia yang paling lahap menyantap usus dan suluruh isi perutku,” paparnya kesal. Ia lalu meludahi kaki mulus berhias sepatu hak tinggi berwarna merah itu.
“Kau seharusnya tidak berteman dengan pelacur, Maria,” Inne tiba-tiba saja berkata dengan nada bijak dan wajah dewasa bak ibu peri. Sangat menggelikan, jujur saja.
“Lalu aku harus berteman dengan gadis baik hati yang mengunyah kedua bola matamu itu?” Maria menimpali, menunjuk sepasang kaki milik seorang gadis baik hati yang tengah menghisap jemari si anggota baru itu.
Semua, selain Maria yang masih termakan jengkel, tertawa. Lagi-lagi tak mengerti menertawakan apa.
“Jadi apa yang sedang kalian bicarakan di kolong meja makan reot ini?” anggota baru itu menghentikan gelak tawa kami dengan pertanyaan antusiasnya. Sedikit memaksakan diri agar terlihat baik-baik saja, kutahu. Setiap anggota baru selalu seperti itu.
“Tentang berapa banyak alien yang tinggal di planet Neptunus,” jawabku.
“Sebenarnya aku tidak percaya pada alien,” Cindy yang pertama menimpali.
“Planet? Kukira Neptunus itu nama dewa,” ucap Inne polos.
“Maksudmu alien tinggal di dalam tubuh dewa? Kau bodoh atau apa?” ujar Tria.
“Sebenarnya aku juga meragukan teori itu, Tria. Sungguh,” Inne membela diri.
Kami tertawa, kecuali Tria, yang kini memandang Inne dengan tatapan murka seakan memikirkan bagaimana cara untuk membunuh gadis yang tak lagi bernyawa, dan Inne, yang memandang Tria penuh harap agar wanita itu yakin bahwa ia benar-benar tak sebodoh itu percaya tentang teori alien yang tinggal di dalam tubuh dewa.

1 comment:

  1. ide ceritanya bagus, udah dapet. unik dan bikin ketipu. tapi menurut aku konsepnya terlalu mirip sama rumpi! yang pertama. jadi aku kurang sreg. kesannya kayak cerita yang sama cuma beda ide doang gitu loh.

    selain itu sih aku suka. banget! another great sidequel! mestinya kita sering sering nih bikin cerita bareng. hahahaha. thank you for this, Risti. anyway, you got my name wrong there.

    ReplyDelete

About Me

My photo
Tangerang, Banten, Indonesia
bukan penulis, bukan pengarang, hanya pecinta keduanya.