Note:
This isn't prequel nor sequel, but we better read Rumpi!, created by my friend, Hadiqal, before read this Rumpi! 2. Thank you and enjoy :)
This isn't prequel nor sequel, but we better read Rumpi!, created by my friend, Hadiqal, before read this Rumpi! 2. Thank you and enjoy :)
“Apa
ada yang mendengar tentang kasus pembunuhan pagi tadi?” tanya Maria sambil
menuang minuman merah segar berperisa ke dalam gelasnya.
“Yang
hanya tersisa tubuh dan kepalanya itu?” Shan, yang duduk di sampingku,
memastikan.
“Atau
yang tangan dan kakinya hilang itu?” kali ini Inne, bertanya sambil mengunyah
cemilan yang sampai kapan pun tidak akan ia bagi dengan siapa pun.
“Bisakah
kau memberikan pertanyaan yang lebih cerdas, Nona Inne?” ucap Tria sarkastis.
“Seperti
berapa jumlah alien yang menetap di Neptunus? Begitu?” Inne menimpali wanita
yang bersila di sebelahnya itu dengan serius. Wajah serius yang selalu
menggelitiki perutku.
Semua
tertawa kecuali Inne. Ah, dan Tria. Aku tidak menghitung tawa meremehkan Tria
sebagai sebuah tawa.
“Kurasa
ia dibunuh,” Maria melanjutkan perbincangan.
“Boleh
tolong ambilkan air putih?” ucap Cindy pada Tria.
“Ambil
sendiri!” timpal Tria.
Aku
yang kebetulan duduk di dekat teko air putih, menggeser teko tersebut ke arah
Cindy. “Ini,” ucapku.
“Terima
kasih, Ra,” ucap Cindy.
“Menurutmu
apa seseorang bisa memotong tangan dan kakinya sendiri?” Tria bersuara lagi.
“Ia
pasti dibunuh oleh wanita-wanita laknat itu!” Shan berujar yakin.
Cindy
yang tengah meminum air putihnya, nyaris tersedak mendengar kalimat Shan
barusan. “Wanita-wanita laknat?” ia mengulangi. Tak mengerti.
“Iya.
Sekumpulan wanita kan…” Shan menghentikan kalimatnya. “Ah, menyebutkannya saja
aku tak sampai hati.”
“Kan?
Kan apa? Kantung?” dengan cemilan memenuhi mulutnya, Inne bertanya.
“Kandang,
Inne,” aku meimpali dengan santai. Asal saja.
“Oh,
wanita kandang.” Inne mengangguk-angguk.
Maria,
Cindy, dan Shan tertawa. Tria tertawa meremehkan. Tak apa, sudah biasa. Lagi
pula, aku memang tak sama sekali bermaksud melucu.
“Sampah!”
ucapnya Tria tiba-tiba. Terdengar sangat ketus.
“Aku?”
tanya Inne. Wajahnya ketakutan. Inne sangat takut pada Tria, memang. Ia yang
paling sering mendapat senyuman sinis wanita yang jelas betul tampak sangat
tidak ramah itu. Ya, kau pasti tahu alasannya.
Tak
tega melihat wajah ketakutan Inne, aku bersuara. “Bukan Inne, tapi para wanita
kandang itu,” ucapku sambil tersenyum.
“Apa
perkumpulan seperti itu benar-benar ada? Kukira hanya mitos.” Untunglah Cindy
si anti minuman berwarna itu berkata saat Inne baru saja hendak mengeluarkan
kalimat tak berartinya.
“Kudengar
mereka tinggal di tempat yang kumuh dan melakukan acara makan bersama setiap
sore,” ucap Shan.
“Di
atas sebuah meja makan reot yang nyaris habis digerogoti rayap,” Maria
menambahkan. “Menyedihkan.”
“Makan…
anggota tubuh korban mereka?” Cindy memastikan. Wajahnya lalu menunjukkan
ekspresi seperti ingin muntah.
Aku
dan Shan saling berpandangan dan dengan mimik yang sama dengan yang Cindy
tunjukkan. Kalimat Cindy terdengar sangat menjijikan, apalagi jika kau
membayangkannya. Yaks.
“Benar-benar
seperti sampah!” ucap Tria.
Maria
menjauhkan bibirnya dari bibir gelas bening berisi minuman merahnya. “Taruhan,
mereka pasti memakan tubuh korban-korban mereka sambil tertawa seolah-olah
tidak pernah terjadi apa-apa,” ia lalu berujar.
Shan
tertawa kecil. “Aku baru mau mengatakan hal itu.”
“Atau
jangan-jangan mereka makan sambil membicarakan tentang menu hari selanjutnya,”
Cindy ikut menerka.
“Siapa lagi yang akan kita makan besok?”
Lucu, kalimat itu keluar dari mulut kami secara bersamaan. Kecuali Inne, tentu
saja.
Kami
lalu tertawa, kali ini termasuk Tria. Ah, Inne juga ikut tertawa, entah apa
yang ia tertawakan. Dan… sebenarnya aku juga tidak tahu apa yang sedang
kutertawakan.
“Apa
aku datang terlambat?” Suara itu menghentikan gelak tawa kami.
Kami
serentak menoleh ke arahnya.
“Datang
juga akhirnya?” Tria menimpali dengan sinis.
“Maaf.
Ada masalah yang harus kuselesaikan,” ucap anggota baru itu.
“Tidak
masalah,” Shan berkata. “Berhubung ini adalah pesta penyambutanmu sebagai
anggota baru, jadi kau dimaafkan,” lanjutnya. Ia lalu tersenyum ramah.
Anggota
baru itu membalas senyum Shan. “Boleh aku duduk?” tanyanya.
“Oh,
silahkan!” dengan senang hati, Inne bergeser dan mempersilahkan anggota baru
itu duduk di antara ia dan Tria. Dengan sangat senang hati.
Anggota
baru itu duduk bersila di antara Inne dan Tria. Ikut bergabung membentuk
lingkaran bersama kami. “Terima kasih,” ucapnya. Sekilas, ia melirik Tria dan
tersenyum padanya.
Tria
tidak membalas senyum itu, tentu saja.
“Apa
kau mau makan sesuatu?” Inne bertanya. “Selain cemilanku, tentunya,” tambahnya
cepat-cepat.
Anggota
baru itu tertawa kecil. “Tidak. Aku sedang tidak berselera makan,” ucapnya.
“Anggota
baru selalu tidak berselera makan di hari pesta penyambutan,” tutur Cindy.
“Sudah biasa,” lanjutnya. Ia lalu tertawa.
Kami
mengangguk membenarkan kalimat Cindy. Ya, apa yang Cindy katakan itu sangat
tepat. Tidak ada satu pun dari kami yang makan di hari penyambutan diri
sendiri.
“Siapa
yang melakukannya?” aku bertanya pada anggota baru itu. Selalu hal itu yang
kutanyakan setiap kali ada anggota baru yang bergabung. Entah mengapa, aku
selalu penasaran akan hal itu.
Ia
mengangkat kedua bahunya. “Aku tak terlalu yakin,” ucapnya. “Tapi sepertinya
orang itu,” anggota baru itu menunjuk ke arah sepasang kaki dengan flastshoes colekat yang talinya nyaris
putus. “Aku juga masih tidak terlalu yakin. Dia teman terdekatku belakangan
ini.”
“Ah,
mereka tidak mengenal apa itu teman,” ucap Maria. “Aku sudah lama berteman
dengan pelacur itu, tapi dia yang paling lahap menyantap usus dan suluruh isi
perutku,” paparnya kesal. Ia lalu meludahi kaki mulus berhias sepatu hak tinggi
berwarna merah itu.
“Kau
seharusnya tidak berteman dengan pelacur, Maria,” Inne tiba-tiba saja berkata
dengan nada bijak dan wajah dewasa bak ibu peri. Sangat menggelikan, jujur saja.
“Lalu
aku harus berteman dengan gadis baik hati yang mengunyah kedua bola matamu
itu?” Maria menimpali, menunjuk sepasang kaki milik seorang gadis baik hati
yang tengah menghisap jemari si anggota baru itu.
Semua,
selain Maria yang masih termakan jengkel, tertawa. Lagi-lagi tak mengerti
menertawakan apa.
“Jadi
apa yang sedang kalian bicarakan di kolong meja makan reot ini?” anggota baru
itu menghentikan gelak tawa kami dengan pertanyaan antusiasnya. Sedikit
memaksakan diri agar terlihat baik-baik saja, kutahu. Setiap anggota baru
selalu seperti itu.
“Tentang
berapa banyak alien yang tinggal di planet Neptunus,” jawabku.
“Sebenarnya
aku tidak percaya pada alien,” Cindy yang pertama menimpali.
“Planet?
Kukira Neptunus itu nama dewa,” ucap Inne polos.
“Maksudmu
alien tinggal di dalam tubuh dewa? Kau bodoh atau apa?” ujar Tria.
“Sebenarnya
aku juga meragukan teori itu, Tria. Sungguh,” Inne membela diri.
Kami
tertawa, kecuali Tria, yang kini memandang Inne dengan tatapan murka seakan
memikirkan bagaimana cara untuk membunuh gadis yang tak lagi bernyawa, dan
Inne, yang memandang Tria penuh harap agar wanita itu yakin bahwa ia
benar-benar tak sebodoh itu percaya tentang teori alien yang tinggal di dalam
tubuh dewa.
ide ceritanya bagus, udah dapet. unik dan bikin ketipu. tapi menurut aku konsepnya terlalu mirip sama rumpi! yang pertama. jadi aku kurang sreg. kesannya kayak cerita yang sama cuma beda ide doang gitu loh.
ReplyDeleteselain itu sih aku suka. banget! another great sidequel! mestinya kita sering sering nih bikin cerita bareng. hahahaha. thank you for this, Risti. anyway, you got my name wrong there.