Thursday, February 27, 2014

BINGO!

“Sembilan. Kau juga sudah pernah mencoba memancingnya agar bertanya balik padamu?” tanya Shanin.

“Sudah. Dua puluh dua,” jawab Illana.

“Tujuh. Bagaimana?” tanya Callista.

“Dua puluh empat,” ucapku sambil menyilang angka 24 di kertasku.

“Dua belas. Berhasilkah?” tanya Shanin.

Illana menggeleng. “Aku bertanya apakah ia tahu rumah wali kelas kita atau tidak. Ia hanya menjawab ‘coba tanyakan pada tata usaha’ tanpa bertanya apa kira-kira keperluanku menanyakan hal itu padanya. Dua puluh tiga,” papar Illana. “Kau pernah mencobanya?” tanyanya kemudian.

“Delapan. Sudah,” jawab Callista.

“Sebelas. Lalu?” tanyaku.

“Aku tetap tidak mendapatkan pertanyaan balik,” jawab Callista. “Giliranmu, Shanin,” lanjutnya mengingatkan Shanin yang tengah diam mengamati perbincangan tanpa menyebutkan angka yang harus kami silang.

“Ah, satu,” Shanin akhirnya berkata. “Apa yang kau tanyakan?”

“Dua,” ucap Illana.

“Aku minta padanya untuk mengatakan pada guru olah raga bahwa aku tidak mengikuti kegiatan olah raga pada hari itu. Ia hanya mengangguk. Harusnya ia bertanya apa aku sedang sakit atau mengapa aku tidak berolahraga, bukan? Lima,” papar Callista.

“Tiga,” ucapku.

“Aku tidak percaya ada manusia seacuh itu. Dia benar-benar tidak pernah bertanya tentang keadaan orang lain. Enam,” Shanin berkomentar.

“Sekali mengajukan pertanyaan, pasti sesuatu yang menyangkut dirinya sendiri,” Illana menambahkan.

“Mungkin golongan darahnya B,” ucap Callista.

“Ada apa dengan golongan darah B?” tanyaku.

“Orientasi tipe B terhadap diri sendiri jauh lebih kuat dibanding terhadap orang lain. Maka tidak heran mereka cenderung acuh dan tidak peduli dengan orang-orang di sekitar mereka,” Shanin memaparkan. “Padahal menurutku dia bukan tipe orang yang dingin dan kaku. Biasa saja. Hanya saja dia tidak pernah mau tau kabar orang lain.”

“Bukan begitu,” Illana, yang kebetulan bergolongan darah B, menyangkal.

“Sekarang giliran siapa?” tanya Callista.

“Illana, giliranmu,” aku menjawab.

“Ah iya, dua puluh, ucapnya. Sebenarnya tipe B terkesan acuh hanya karena tidak ingin ikut campur urusan orang lain saja,” lanjutnya melurusan. “Tapi menurutku dia memang berlebihan. Walaupun tipe B tidak terlalu suka basa-basi, setidaknya dia bisa melakukannya demi menjaga perasaan orang lain.”

Shanin mengangguk tanda setuju.

“Alika, kau pernah mencobanya?” tanya Callista. “Dua puluh satu.”

“Sembilan belas. Coba apa?” tanyaku.

“Memancingnya agar ia bertanya balik,” jawab Callista.

Aku menggeleng.

“Empat belas. Kurasa kau juga harus mencobanya,” ujar Shanin.

“HAAAAAAIIIII!!!” Tiba-tiba Jane datang dengan berteriak dan tanpa basa-basi menarik kursi belakang dan duduk di sampingku. “Kalian pasti sedang membicarakan seseorang,” ucapnya yakin. “Siapa? Siapa? Siapa?” tanyanya kemudian. Terdengar sangat antusias. Seperti biasa.

“Tentang siswa di kelas kita yang tidak pernah bertanya tentang keadaan orang lain tak peduli bagaimanapun situasinya,” jawab Callista.

“Dio?” tebak Jane.

“BINGO!” seru Illana.

Ah, sial. Padahal satu angka lagi aku menang.

***

“Sebelas. Hari ini Keenan telat datang ke sekolah karena sepeda motor yang ia kendarai mogok,” aku melanjutkan cerita setelah menyilang angka 11 di kertasku.

Dio mengangguk. “Lima.”

Miss Stephanie tidak hadir hari ini karena beliau diundang sebagai pembicara di seminar yang diadakan oleh pemerintah,” paparku lagi. “Sembilan.”

“Dua puluh dua,” ucap Dio.

“Tujuh. Karenina seharian terlihat murung karena adiknya kecelakaan tadi malam,” aku berujar.

“Ohya?”

Aku mengangguk. “Giliranmu.”

“Empat. Lalu?”

“Sembilan belas. Frank dihukum karena tertangkap tengah mengunci adik kelas di gudang belakang kemarin. Anak yang dikunci itu kabarnya berencana keluar dari sekolah. Tidak tahan terus dianiaya,” aku melanjutkan laporan.

Dio mendengus kesal. “Frank yang seharusnya keluar dari sekolah, bukan anak itu,” ia berkomentar. “Lima belas.”

“Kupikir juga begitu. Dua puluh satu. Ada hal lain yang membuatmu penasaran dan belum aku ceritakan?” tanyaku.

“Ada. Satu,” ucap Dio.

“Dua. Apa?” tanyaku.

“Tiga. Mengapa kau melarangku bertanya tentang apa yang terjadi pada orang lain? Apa kau benar-benar tidak ingin aku peduli pada teman-temanku yang juga teman-temanmu? Apa kau semudah itu cemburu?” tanya Dio.

“BINGO!” aku berseru, lalu tersenyum ke arah laki-laki di hadapanku.

“Ah, aku kalah. Kita main ulang!” ucap Dio sambil membalik kertasnya dan membuat lagi kotak sebanyak dua puluh lima.

3 comments:

  1. ngga perlu menang bingo doi, udah dapetin dio ini. hahaha

    This is great, refreshing, dan menurutku kamu jago bikin cerita yang unik, rist. Great!

    ReplyDelete
  2. wah apakah ini termasuk 'cerita yang unik'??
    hehe thank you udah baca kal :)
    abis ini mau break dulu ah keknya seminggu kemaren super produktif -_-

    ReplyDelete
  3. *seminggu ini deng maksudnya bukan seminggu kemaren hahaha

    ReplyDelete

About Me

My photo
Tangerang, Banten, Indonesia
bukan penulis, bukan pengarang, hanya pecinta keduanya.