“Sembilan.
Kau juga sudah pernah mencoba memancingnya agar bertanya balik padamu?” tanya
Shanin.
“Sudah. Dua
puluh dua,” jawab Illana.
“Tujuh.
Bagaimana?” tanya Callista.
“Dua puluh
empat,” ucapku sambil menyilang angka 24 di kertasku.
“Dua belas.
Berhasilkah?” tanya Shanin.
Illana
menggeleng. “Aku bertanya apakah ia tahu rumah wali kelas kita atau tidak. Ia
hanya menjawab ‘coba tanyakan pada tata usaha’ tanpa bertanya apa kira-kira keperluanku menanyakan
hal itu padanya. Dua puluh tiga,” papar Illana. “Kau pernah mencobanya?”
tanyanya kemudian.
“Delapan. Sudah,” jawab Callista.
“Sebelas.
Lalu?” tanyaku.
“Aku tetap
tidak mendapatkan pertanyaan balik,” jawab Callista. “Giliranmu, Shanin,”
lanjutnya mengingatkan Shanin yang tengah diam mengamati perbincangan tanpa menyebutkan
angka yang harus kami silang.
“Ah, satu,”
Shanin akhirnya berkata. “Apa yang kau tanyakan?”
“Dua,” ucap
Illana.
“Aku minta
padanya untuk mengatakan pada guru olah raga bahwa aku tidak mengikuti kegiatan
olah raga pada hari itu. Ia hanya mengangguk. Harusnya ia bertanya apa aku
sedang sakit atau mengapa aku tidak berolahraga, bukan? Lima,” papar Callista.
“Tiga,”
ucapku.
“Aku tidak
percaya ada manusia seacuh itu. Dia benar-benar tidak pernah bertanya tentang
keadaan orang lain. Enam,” Shanin berkomentar.
“Sekali mengajukan pertanyaan, pasti sesuatu yang menyangkut dirinya sendiri,”
Illana menambahkan.
“Mungkin
golongan darahnya B,” ucap Callista.
“Ada apa dengan golongan darah B?” tanyaku.
“Orientasi tipe B terhadap diri sendiri jauh lebih kuat dibanding
terhadap orang lain. Maka tidak heran mereka cenderung acuh dan tidak peduli
dengan orang-orang di sekitar mereka,” Shanin memaparkan. “Padahal menurutku
dia bukan tipe orang yang dingin dan kaku. Biasa saja. Hanya saja dia tidak
pernah mau tau kabar orang lain.”
“Bukan begitu,” Illana, yang kebetulan bergolongan darah B, menyangkal.
“Sekarang
giliran siapa?” tanya Callista.
“Illana,
giliranmu,” aku menjawab.
“Ah iya, dua puluh,” ucapnya. “Sebenarnya tipe B terkesan acuh hanya karena tidak ingin
ikut campur urusan orang lain saja,” lanjutnya melurusan. “Tapi menurutku dia
memang berlebihan. Walaupun tipe B tidak terlalu suka basa-basi, setidaknya dia bisa melakukannya demi menjaga perasaan orang lain.”
Shanin mengangguk tanda setuju.
“Alika, kau
pernah mencobanya?” tanya Callista. “Dua puluh satu.”
“Sembilan
belas. Coba apa?” tanyaku.
“Memancingnya
agar ia bertanya balik,” jawab Callista.
Aku menggeleng.
“Empat
belas. Kurasa kau juga harus mencobanya,” ujar Shanin.
“HAAAAAAIIIII!!!”
Tiba-tiba Jane datang dengan berteriak dan tanpa basa-basi menarik kursi
belakang dan duduk di sampingku. “Kalian pasti sedang membicarakan seseorang,”
ucapnya yakin. “Siapa? Siapa? Siapa?” tanyanya kemudian. Terdengar sangat
antusias. Seperti biasa.
“Tentang siswa di kelas kita yang tidak pernah bertanya tentang keadaan
orang lain tak peduli bagaimanapun situasinya,” jawab Callista.
“Dio?”
tebak Jane.
“BINGO!”
seru Illana.
Ah, sial.
Padahal satu angka lagi aku menang.
***
“Sebelas.
Hari ini Keenan telat datang ke sekolah karena sepeda motor yang ia kendarai
mogok,” aku melanjutkan cerita setelah menyilang angka 11 di kertasku.
Dio
mengangguk. “Lima.”
“Miss Stephanie
tidak hadir hari ini karena beliau diundang sebagai pembicara di seminar yang
diadakan oleh pemerintah,” paparku lagi. “Sembilan.”
“Dua puluh
dua,” ucap Dio.
“Tujuh.
Karenina seharian terlihat murung karena adiknya kecelakaan tadi malam,” aku
berujar.
“Ohya?”
Aku
mengangguk. “Giliranmu.”
“Empat.
Lalu?”
“Sembilan
belas. Frank dihukum karena tertangkap tengah mengunci adik kelas di gudang
belakang kemarin. Anak yang dikunci itu kabarnya berencana keluar dari sekolah. Tidak tahan terus dianiaya,” aku melanjutkan laporan.
Dio
mendengus kesal. “Frank yang seharusnya keluar dari sekolah, bukan anak itu,” ia berkomentar. “Lima
belas.”
“Kupikir juga begitu. Dua puluh
satu. Ada hal lain yang membuatmu penasaran dan belum aku ceritakan?” tanyaku.
“Ada. Satu,”
ucap Dio.
“Dua. Apa?”
tanyaku.
“Tiga.
Mengapa kau melarangku bertanya tentang apa yang terjadi pada orang lain? Apa kau benar-benar
tidak ingin aku peduli pada teman-temanku yang juga teman-temanmu? Apa kau semudah itu cemburu?” tanya Dio.
“BINGO!”
aku berseru, lalu tersenyum ke arah laki-laki di hadapanku.
“Ah, aku
kalah. Kita main ulang!” ucap Dio sambil membalik kertasnya dan membuat lagi
kotak sebanyak dua puluh lima.
ngga perlu menang bingo doi, udah dapetin dio ini. hahaha
ReplyDeleteThis is great, refreshing, dan menurutku kamu jago bikin cerita yang unik, rist. Great!
wah apakah ini termasuk 'cerita yang unik'??
ReplyDeletehehe thank you udah baca kal :)
abis ini mau break dulu ah keknya seminggu kemaren super produktif -_-
*seminggu ini deng maksudnya bukan seminggu kemaren hahaha
ReplyDelete