Saturday, February 22, 2014

Bro

“Siapa yang memulai?”
Tiga orang yang berdiri di sampingku kompak menunjuk ke arahku.
“Kau... lagi?” tikam seorang guru BPK yang berdiri di hadapanku. “Kenapa kau memukul mereka?” tanyanya.
Aku tak menjawab, juga tak sama sekali mengangkat kepala demi menghindari matanya yang kini tengah merah membara. Sangat marah, kutahu.
“Anggar! Apa kau tidak memiliki telinga?!” wanita itu berkata tegas. Tidak berteriak, tapi jelas betul membentak.
Aku tetap tidak memberikan respon apa pun.
“Kalian bertiga boleh kembali ke kelas,” ucap sang guru pada tiga murid yang wajahnya babak belur kupukuli pagi tadi.
“Baik, Bu,” jawab mereka nyaris bersamaan, sebelum setelah itu berjalan berurutan meninggalkan ruang Penyuluhan dan Konseling di lantai tiga sekolahku.
“Anggar,” panggil wanita yang kini duduk di kursinya itu. Ia lalu menarik nafas panjang dan menghempaskannya. “Sekolah hanya memberikanmu satu kesempatan lagi. Sekali lagi kau membuat masalah, sekolah akan langsung mengeluarkanmu. Mengerti?”
Aku terus menunduk tanpa memberikan jawaban apa pun. Lagipula, jawaban apa yang guru itu harapkan dariku?
“Anggar!” orang itu memanggilku dengan nada tinggi.
Aku diam.
Ia mengendus kesal. “Kembali ke kelasmu!” perintahnya kemudian.
Alih-alih berbasa-basi seperti memberikan salam atau kalimat tanda berpamitan, aku memutar tubuhku dan berjalan menuju pintu keluar ruangan.

***

Aku nyaris berada di posisi pertama saat perempuan yang duduk di sebelahku memanggil namaku, membuat aku kehilangan sepersekian persen konsentrasiku.
“Bagaimana keadaanmu?” tanyanya tanpa sedikit pun menoleh ke arahku.
“Luar atau dalam?” tanyaku balik, juga tanpa menoleh ke arahnya.
“Sepertinya keduanya tidak baik,” tebaknya. Mobil perempuan di sampingku itu tiba-tiba melaju dengan cepat. Posisi pertama.
“Sial!” aku mengumpat.
Ia tertawa bangga.
“Kenapa sekolah tidak langsung mengeluarkanku saja? Kesempatan, katanya? Apa mereka yakin aku akan menggunakan kesempatan itu?” aku bertanya entah pada siapa. Kutekan terus tombol laju, mencoba merebut posisi pertama dalam pertandingan di balik layar kaca di depanku.
“Memang apa yang akan kau lakukan jika sekolah benar-benar mengeluarkanmu?” tanyanya.
“Aku bisa punya waktu lebih banyak untuk bekerja. Aku akan membelikanmu banyak makanan enak, sepatu, tas, baju, buku, dan apa pun yang kau mau.”
Permainan berhenti. Kakakku menekan tombol pause di sticknya.
“Dengar, penghasilanku masih jauh lebih besar dibanding penghasilan orang yang bekerja tanpa ijazah SMA! Kau ini bodoh atau apa?!” omelnya sambil melihatku dengan tatapan mengerikan yang terasa begitu hangat. Entah mengapa.
“Cepat lanjutkan permainannya!” ucapku, alih-alih menanggapi kalimatnya.
Ia mendengus.
Tak lama, permainan berlanjut.
“Aku tidak pernah memintamu untuk jadi nomor satu. Cukup tidak membuat masalah saja, aku sudah sangat berterimakasih.”
“TAPI AKU BERADA DI NOMOR SATU!” teriakku, sambil menunjuk ke arah mobil balap berwarna perak di depanku.
“Ah, sial! Kau pasti curang!” ia protes.
Aku tertawa.
Sejenak, hening menemani keseriusan kami yang tengah memacu mobil balap masing-masing sambil sesekali mengumpat. Sampai akhirnya kakak semata wayangku itu memecah keheningan seraya memanggil namaku.
“Ya?” aku menyahut, dengan pandangan terus ke arah depan.
“Kalau boleh tau, mengapa kau memukul mereka?”
Mobilku berhenti melaju. Aku meletakkan stick yang tengah kugenggam.
Keempat roda mobil kakakku ikut berhenti berputar. “Anggar?”
“Mereka mengejekmu. Aku sudah pernah bilang, aku tidak bisa mendengar siapa pun menjelek-jelekanmu. Kau tau alasan mengapa aku selalu memukuli orang, bukan?”
“Ah, anak bodoh!” ia mengomeliku lagi, kali ini lengkap dengan sebuah jitakan yang terasa sangat sakit. “Memang apa yang mereka katakan tentangku?”
“Aku tidak akan mengatakannya. Kau akan sakit hati mendengarnya.”
“AKU SUDAH CUKUP SAKIT HATI KARENA KAU TERUS MENERUS MEMUKULI ORANG!”
“KENAPA KAU BERTERIAK?!”
Kakakku mendengus kesal. Ia lalu mengembalikan pandangannya ke arah tv plasma dan kembali menggerakkan roda-roda mobil balapnya.
Aku melakukan hal yang sama. Bukan mendengus, tapi kembali menjalankan mobil silverku. “Kak,” aku lalu memanggilnya pelan.
“Hm?”
“Berhentilah bersikap tidak menyenangkan dan menikahlah dengan seorang pria yang baik.”
“Kau sudah mengatakan itu sebanyak empat ratus delapan belas kali?”
“Lebih baik kau lakukan apa yang kukatakan, bukan malah menghitungnya!”
Kakakku menghela nafas. “Kau tau, setelah menikah, seorang wanita harus mengikuti semua yang dikatakan suaminya. Semua!”
“Lalu? Kau tidak mau diatur oleh suamimu? Kalau begitu carilah suami yang bisa kau atur-atur.”
“Bukan itu masalahnya. Aku hanya takut suamiku nanti memintaku untuk tinggal terpisah denganmu.”
Aku refleks menekan tombol pause. “Kakak, apa kau pikir aku ini anak kecil?”
“Mana ada orang dewasa yang memukuli orang lain hanya karena mendengar kakaknya diejek sebagai perempuan galak yang tak laku?!”
“Kakak!”
“Ah, sudahlah. Sudah malam. Besok kita harus bangun pagi-pagi,” ucap kakakku. Ia lalu meletakkan stick PS-nya. “Kau yang bereskan semua,” lanjutnya sebelum setelah itu bangkit dan pergi menuju kamarnya.

***

“Anggar, apa kau tidak sama sekali memikirkan kata-kataku minggu lalu? Mengapa kau memukul orang lagi?” tanya guru yang sama yang mengomeliku minggu lalu di ruang yang berbeda. Kali ini aku ada di ruang kepala sekolah.
“Apa kau menganggap ancaman sekolah itu main-main?” giliran ibu kepala sekolah yang bicara dengan tenang dari kursi dibalik mejanya..
Aku diam. Tidak menjawab meski dengan anggukan atau gelengan sekali pun.
“Apa yang harus kami lakukan pada murid sepertimu?” tanya ibu kepala sekolah lagi.
“Keluarkan saja,” akhirnya aku menjawab. Pelan. Berat. Lirih.
PLAK! Sebuah tamparan mendarat tepat di pipiku. “Apa kau ini sudah gila! Setidak berarti itu kah sekolah bagimu! Apa kau tidak punya cita-cita! Apa yang akan kau lakukan untuk masa depanmu! Bodoh! Idiot! Kenapa kau tidak pukuli aku saja!” teriak guru wanita di hadapanku sambil memukuliku dengan tangannya, dengan tumpukan buku, dengan papan nama, dengan apa saja yang bisa ia gunakan. “Iya! Pukuli saja aku seperti ini!!!”
Aku tidak melakukan apa-apa. Hanya diam menerima puluhan hantaman dari wanita di hadapanku, sambil sesekali melirik ke arahnya, ke arah mata yang tengah menangis penuh rasa marah dan kecewa.

***

“Wah, indah sekali rasanya tidak harus bangun pagi setiap hari. Kita bisa bermain game seperti ini sampai larut malam,” ucap kakakku sambil menggoyang-goyangkan sticknya ke kanan, lalu ke kiri, mencoba mengikuti liuk jalan raya di balik layar kaca.
“Kakak.”
“Ya?”
“Maaf, karena aku kau jadi pengangguran seperti ini,” ucapku sambil memandangi wajahnya yang tampak betul menyembunyikan jutaan rasa sakit yang mendalam.
“Bukan salahmu. Kalaupun aku tidak mengundurkan diri, guru yang memukuli anak murid sudah sepantasnya di pecat, bukan?” ucap kakak perempuanku. Ia menghentikan laju mobilnya, kemudian menoleh ke arahku dan tersenyum.
Aku membalas senyumnya. “Mulai sekarang, carilah pekerjaan lain selain guru. Tidak akan ada sekolah yang mau menerimamu.” Aku lalu tertawa.
Perempuan di sampingku ikut tetawa. “Dari pada mencari kerja, rasanya aku ingin mencari calon suami saja.”
“BENARKAH?!”

2 comments:

  1. I KNEW IT! tadinya terkecoh pas si kakak dan adek lagi maen PS bareng. aku pikir kakaknya adalah wts. tapi yeah, more than that!

    a deep meaningful story! aku suka dan makin bisa membuka pikiran yang "jangan suka negatif thinking, Qal." Thank you for this, Risty! go write a novel, so people can read your greatness!

    ReplyDelete
  2. aku gak tau loh kalo ceritanya se-meaningful itu hehehehe makasih kal. someday. amiiiin.

    ReplyDelete

About Me

My photo
Tangerang, Banten, Indonesia
bukan penulis, bukan pengarang, hanya pecinta keduanya.