“Siapa yang memulai?”
Tiga orang yang berdiri di sampingku kompak menunjuk ke arahku.
“Kau... lagi?” tikam seorang guru BPK yang berdiri di hadapanku. “Kenapa
kau memukul mereka?” tanyanya.
Aku tak menjawab, juga tak sama sekali mengangkat kepala demi menghindari
matanya yang kini tengah merah membara. Sangat marah, kutahu.
“Anggar! Apa kau tidak memiliki telinga?!” wanita itu berkata tegas.
Tidak berteriak, tapi jelas betul membentak.
“Kalian bertiga boleh kembali ke kelas,” ucap sang guru pada tiga
murid yang wajahnya babak belur kupukuli pagi tadi.
“Baik, Bu,” jawab mereka nyaris bersamaan, sebelum setelah itu berjalan
berurutan meninggalkan ruang Penyuluhan dan Konseling di lantai tiga sekolahku.
“Anggar,” panggil wanita yang kini duduk di kursinya itu. Ia lalu
menarik nafas panjang dan menghempaskannya. “Sekolah hanya memberikanmu satu
kesempatan lagi. Sekali lagi kau membuat masalah, sekolah akan langsung
mengeluarkanmu. Mengerti?”
Aku terus menunduk tanpa memberikan jawaban apa pun. Lagipula, jawaban apa yang guru itu harapkan dariku?
“Anggar!” orang itu memanggilku dengan nada tinggi.
Aku diam.
Ia mengendus kesal. “Kembali ke kelasmu!” perintahnya kemudian.
Alih-alih berbasa-basi seperti memberikan salam atau kalimat tanda berpamitan, aku memutar
tubuhku dan berjalan menuju pintu keluar ruangan.
***
Aku nyaris berada di posisi pertama saat perempuan yang duduk di
sebelahku memanggil namaku, membuat aku kehilangan sepersekian persen
konsentrasiku.
“Bagaimana keadaanmu?” tanyanya tanpa sedikit pun menoleh ke arahku.
“Luar atau dalam?” tanyaku balik, juga tanpa menoleh ke arahnya.
“Sepertinya keduanya tidak baik,” tebaknya. Mobil perempuan di sampingku
itu tiba-tiba melaju dengan cepat. Posisi pertama.
“Sial!” aku mengumpat.
Ia tertawa bangga.
“Kenapa sekolah tidak langsung mengeluarkanku saja? Kesempatan, katanya?
Apa mereka yakin aku akan menggunakan kesempatan itu?” aku bertanya entah pada siapa. Kutekan terus tombol laju, mencoba merebut posisi pertama dalam pertandingan di balik
layar kaca di depanku.
“Memang apa yang akan kau lakukan jika sekolah benar-benar mengeluarkanmu?”
tanyanya.
“Aku bisa punya waktu lebih banyak untuk bekerja. Aku akan membelikanmu
banyak makanan enak, sepatu, tas, baju, buku, dan apa pun yang kau mau.”
Permainan berhenti. Kakakku menekan tombol pause di sticknya.
“Dengar, penghasilanku masih jauh lebih besar dibanding penghasilan
orang yang bekerja tanpa ijazah SMA! Kau ini bodoh atau apa?!” omelnya sambil
melihatku dengan tatapan mengerikan yang terasa begitu hangat. Entah mengapa.
“Cepat lanjutkan permainannya!” ucapku, alih-alih menanggapi kalimatnya.
Ia mendengus.
Tak lama, permainan berlanjut.
“Aku tidak pernah memintamu untuk jadi nomor satu. Cukup tidak membuat
masalah saja, aku sudah sangat berterimakasih.”
“TAPI AKU BERADA DI NOMOR SATU!” teriakku, sambil menunjuk ke arah mobil
balap berwarna perak di depanku.
“Ah, sial! Kau pasti curang!” ia protes.
Aku tertawa.
Sejenak, hening menemani keseriusan kami yang tengah memacu mobil balap
masing-masing sambil sesekali mengumpat. Sampai akhirnya kakak semata wayangku itu memecah keheningan seraya memanggil namaku.
“Ya?” aku menyahut, dengan pandangan terus ke arah depan.
“Kalau boleh tau, mengapa kau memukul mereka?”
Mobilku berhenti melaju. Aku meletakkan stick yang tengah kugenggam.
Keempat roda mobil kakakku ikut berhenti berputar. “Anggar?”
“Mereka mengejekmu. Aku sudah pernah bilang, aku tidak bisa mendengar
siapa pun menjelek-jelekanmu. Kau tau alasan mengapa aku selalu memukuli orang,
bukan?”
“Ah, anak bodoh!” ia mengomeliku lagi, kali ini lengkap dengan sebuah
jitakan yang terasa sangat sakit. “Memang apa yang mereka katakan tentangku?”
“Aku tidak akan mengatakannya. Kau akan sakit hati mendengarnya.”
“AKU SUDAH CUKUP SAKIT HATI KARENA KAU TERUS MENERUS MEMUKULI ORANG!”
“KENAPA KAU BERTERIAK?!”
Kakakku mendengus kesal. Ia lalu mengembalikan pandangannya ke arah tv
plasma dan kembali menggerakkan roda-roda mobil balapnya.
Aku melakukan hal yang sama. Bukan mendengus, tapi kembali menjalankan
mobil silverku. “Kak,” aku lalu memanggilnya pelan.
“Hm?”
“Berhentilah bersikap tidak menyenangkan dan menikahlah dengan seorang
pria yang baik.”
“Kau sudah mengatakan itu sebanyak empat ratus delapan belas kali?”
“Lebih baik kau lakukan apa yang kukatakan, bukan malah menghitungnya!”
Kakakku menghela nafas. “Kau tau, setelah menikah, seorang wanita harus
mengikuti semua yang dikatakan suaminya. Semua!”
“Lalu? Kau tidak mau diatur oleh suamimu? Kalau begitu carilah suami
yang bisa kau atur-atur.”
“Bukan itu masalahnya. Aku hanya takut suamiku nanti memintaku untuk
tinggal terpisah denganmu.”
Aku refleks menekan tombol pause.
“Kakak, apa kau pikir aku ini anak kecil?”
“Mana ada orang dewasa yang memukuli orang lain hanya karena mendengar
kakaknya diejek sebagai perempuan galak yang tak laku?!”
“Kakak!”
“Ah, sudahlah. Sudah malam. Besok kita harus bangun pagi-pagi,” ucap
kakakku. Ia lalu meletakkan stick PS-nya.
“Kau yang bereskan semua,” lanjutnya sebelum setelah itu bangkit dan pergi
menuju kamarnya.
***
“Anggar, apa kau tidak sama sekali memikirkan kata-kataku minggu lalu?
Mengapa kau memukul orang lagi?” tanya guru yang sama yang mengomeliku minggu
lalu di ruang yang berbeda. Kali ini aku ada di ruang kepala sekolah.
“Apa kau menganggap ancaman sekolah itu main-main?” giliran ibu kepala
sekolah yang bicara dengan tenang dari kursi dibalik mejanya..
Aku diam. Tidak menjawab meski dengan anggukan atau gelengan sekali pun.
“Apa yang harus kami lakukan pada murid sepertimu?” tanya ibu kepala
sekolah lagi.
“Keluarkan saja,” akhirnya aku menjawab. Pelan. Berat. Lirih.
PLAK! Sebuah tamparan mendarat tepat di pipiku. “Apa kau ini sudah gila!
Setidak berarti itu kah sekolah bagimu! Apa kau tidak punya cita-cita! Apa yang
akan kau lakukan untuk masa depanmu! Bodoh! Idiot! Kenapa kau tidak pukuli aku
saja!” teriak guru wanita di hadapanku sambil memukuliku dengan tangannya,
dengan tumpukan buku, dengan papan nama, dengan apa saja yang bisa ia gunakan.
“Iya! Pukuli saja aku seperti ini!!!”
Aku tidak melakukan apa-apa. Hanya diam menerima puluhan hantaman dari
wanita di hadapanku, sambil sesekali melirik ke arahnya, ke arah mata yang
tengah menangis penuh rasa marah dan kecewa.
***
“Wah, indah sekali rasanya tidak harus bangun pagi setiap hari. Kita
bisa bermain game seperti ini sampai
larut malam,” ucap kakakku sambil menggoyang-goyangkan sticknya ke kanan, lalu ke kiri, mencoba mengikuti liuk jalan raya
di balik layar kaca.
“Kakak.”
“Ya?”
“Maaf, karena aku kau jadi pengangguran seperti ini,” ucapku sambil
memandangi wajahnya yang tampak betul menyembunyikan jutaan rasa sakit yang
mendalam.
“Bukan salahmu. Kalaupun aku tidak mengundurkan diri, guru yang memukuli anak murid sudah sepantasnya di
pecat, bukan?” ucap kakak perempuanku. Ia menghentikan laju mobilnya, kemudian menoleh
ke arahku dan tersenyum.
Aku membalas senyumnya. “Mulai sekarang, carilah pekerjaan lain selain
guru. Tidak akan ada sekolah yang mau menerimamu.” Aku lalu tertawa.
Perempuan di sampingku ikut tetawa. “Dari pada mencari kerja, rasanya
aku ingin mencari calon suami saja.”
“BENARKAH?!”
I KNEW IT! tadinya terkecoh pas si kakak dan adek lagi maen PS bareng. aku pikir kakaknya adalah wts. tapi yeah, more than that!
ReplyDeletea deep meaningful story! aku suka dan makin bisa membuka pikiran yang "jangan suka negatif thinking, Qal." Thank you for this, Risty! go write a novel, so people can read your greatness!
aku gak tau loh kalo ceritanya se-meaningful itu hehehehe makasih kal. someday. amiiiin.
ReplyDelete