Cerita ini hanya fiktif belaka. Apabila ada kesamaan nama atau cerita, hal tersebut murni tidak disengaja.
Aku melangkah memasuki lobby sebuah gedung mewah milik pemerintah yang berdiri kokoh di pusat Ibu Kota. Kuhampiri meja receptionist yang dijaga oleh dua wanita cantik dengan rambut klimis yang disanggul rapi.
“Ada yang bisa saya bantu?” tanya salah satu receptionist di hadapanku dengan ramah.
“Saya mau ketemu Pak Binarta Dandrearta,” ucapku
santai.
“Apa Anda sudah membuat janji?” tanya wanita itu lagi.
“Emm… belum sih,” jawabku. “Tapi bilang aja kalo Natasha
Arta mau ketemu,” aku menambahkan.
Aku berdecak kesal. “Gini aja deh, Mbak bilang dulu ke
Pak Binar kalo ada anak manis yang namanya Natasha nunggu di lobby. Masalah beliau mau ngegubris atau
enggak, itu urusan belakangan,” paparku kemudian.
“Maaf ya, Dek, kantor ini bukan tempat untuk
main-main,” timpal wanita itu. Wajah ramahnya perlahan berubah menjadi tidak menyenangkan.
Aku mendengus kesal. Main-main, katanya? Sepertinya
orang ini tidak pernah melihat program berita di televisi. Iya sih, aku tidak
pernah menampakkan wajah di layar kaca, tapi paling tidak seharusnya ia
familiar dengan namaku. Payah sekali!
“Kalau tidak ada keperluan lain, silahkan keluar,”
ujar wanita tadi dengan nada sopan.
Apa dia baru saja mengusirku? Apa-apaan? Begini mereka
memperlakukan keluarga orang penting Negara? Aku menghela nafas dan cepat-cepat
mengalihkan pandanganku dari wanita dengan bibir merah delima itu. Baru saja
hendak melangkahkan kaki menuju pintu keluar, beberapa orang berjas terlihat melewati lantai di ruangan besar yang sama denganku.
Pucuk dicinta, ulam pun tiba. “Papa!” aku memanggil
setengah berteriak.
Enam orang laki-laki yang tengah menuju pintu keluar
itu serentak menoleh. “Natasha?” suara itu muncul dari laki-laki yang memang
ingin kutemui.
Sejenak, kulirik kanan dan kiri, dan tak lupa juga ke arah receptionist yang
saat ini wajahnya semerah bibirnya itu. Malu. Dengan setengah berlari, aku
menghampiri kumpulan laki-laki yang sepertinya tengah menungguku itu.
“Ternyata bener kamu. Kamu ngapain di kantor Papa?”
“Papa mau pergi ya?”
“Cuma makan siang sih. Kamu ada perlu sama seseorang?
Atau….”
“Aku ke sini emang mau ketemu sama Papa. Hari ini hari
ulang tahun aku. Papa lupa?”
“Gak mungkin lupa lah. Kamu mau pamit berangkat ke
Paris?”
Aku menggeleng.
Pria di depanku itu mendekatkan wajahnya ke telingaku.
“Kan Papa udah reserve hotel di Paris
sesuai permintaan kamu buat ngerayain ulang tahun sama temen-temen,” ia
berbisik.
“Pesawatnya delay.
Hari ini aku mau makan siang sama Papa. Berdua aja. Bisa?”
Laki-laki berwajah bijaksana di depanku menatap satu
per satu orang yang tengah berdiri di sekelilingnya, bermaksud meminta
persetujuan. “Kenapa kamu ngeliatin anak saya kayak gitu? Naksir?” candanya
pada salah seorang staf muda yang sedari tadi memandangku dengan pandangan mengamati yang jujur saja membuatku merasa sangat tidak nyaman.
Pria muda itu tertawa. “Ah, mana boleh saya naksir
sama anak Pak Menteri. Pamali, Pak,” tanggapnya setengah gugup. “Saya kayak
familiar sama puteri Bapak, tapi gak terlalu inget pernah liat di mana,” ia
melanjutkan.
“Kamu kan pernah ke rumah saya, ya pasti pernah ketemu
sama Natasha lah.”
“Oh iya ya, Pak,” pria manis itu tertawa salah
tingkah. Eh? Manis, kubilang? Lupakan.
“Kalau gitu, saya mohon maaf hari ini tidak bisa makan
bersama. Ada anak nakal yang harus diprioritaskan.” Ia tertawa lepas.
Semua pria berjas itu ikut tertawa. Menertawakan
sebutan ‘anak nakal’-ku? Apa-apaan?
***
Aku dan pria berdasi yang menanggung banyak tugas demi
Negara di hadapanku akhirnya berbincang-bincang di sebuah ruang vvip di
restoran mewah ditemani beberapa piring makanan lezat pengundang air liur dan
dua gelas minuman segar yang melihatnya saja sudah membuat rasa haus bertambah
tujuh kali lipat. A truly quality time!
“Gimana sekolah kamu?”
“Nothing's special. Aku masih suka Ekonomi dan masih buruk di
semua jenis olah raga.”
Kami tertawa.
“Gimana kerjaan Papa?”
“Semua berjalan lancar. Kamu tau sendiri kan, Papa
sehebat apa?” ia tersenyum bangga.
Aku tertawa. “Ah, harusnya aku gak nanya pertanyaan
yang aku udah tau jawabannya,” tanggapku. “Oh iya Pa, Papa masih ada hubungan
bisnis sama Om Prambudi? Bisnis apa sih, Pa?”
Ia tersedak tepat setelah mendengar pertanyaanku
barusan.
“Masih kan, Pa?” tanyaku lagi. Aku lalu membuat
lingkaran di sekitar bibir dengan telapak tanganku. “Curangin aja Pa, biar kita
dapet untungnya lebih banyak,” ucapku berbisik, meski kutahu hanya ada kami di ruangan khusus itu. Aku lalu tertawa lebih lebar.
“Kamu ngajarin Papa korupsi?”
“Oh,Papa udah mahir ya? Gak perlu aku ajarin segala.”
Kami tertawa lagi.
“Aku udah banyak denger cerita dari Mama,” aku
berujar. “It’s okay, Pa. Aku tau Papa
ngelakuin itu semua buat keluarga,” tambahku. Aku lalu memberikan senyum
menangkan. Senyum khas seorang anak perempuan kesayangan.
“Kamu udah gede ya sekarang,” ia memujiku sambil
tersenyum bangga.
“Oh iya, Papa abis beliin Kak Jammie mobil sport baru ya?” tanyaku. Aku lalu
membuat gelembung di pipiku. Iri.
“Kan kamu jalan-jalan ke Paris. Adil dong?”
“But that was my birth day gift!”
“Ya kakakmu juga kan hadiah….”
“Hadiah apa?”
“Hadiah karena dia ganteng kayak Papa!”
“Not even funny at all, Pa!”
“Jangan ngambek dong. Nanti kamu Papa kasih bonus deh.
Mau apa? Jalan-jalan ke London? Atau mau nonton Piala Dunia?”
“Mau Pa! World Cup! Beneran ya?”
“Iya. Tapi doain supaya urusan selanjutnya lancar.”
“Urusan apa lagi?”
“Penggelapan dana di perusahaan tambang Negara,”
ucapnya berbisik, lebih pelan dari bisikanku tadi. Padahal ia sadar juga bahwa di ruangan ini hanya ada kami berdua.
“Wah! Besar-besaran gak tuh kalo lolos?” tanyaku
antusias.
“Kamu nonton Piala Dunia satu kelas juga masih ada
sisanya.”
Aku refleks tepuk tangan kegirangan. “Awas ya kalo
Papa bohong!” aku lalu mengancam manja.
“Swear!”
ucapnya lengkap dengan gestur jari telunjuk dan jari tengah.
“Tapi Pa, kalo dipikir-pikir, pengeluaran Papa terlalu
banyak bulan ini. Pasti bukan cuma Om Prambudi yang Papa tipu. Ya kan?”
Ia tertawa. “You’re
doubtlessly my daughter!” pujinya bangga. “Penggelapan dana di perusahaan
minyak, walau pun belum sukses 100 persen, tapi hasilnya udah lumayan sih. Terus
korupsi kas pemerintahan kan jalan terus sejak tahun lalu. Sama yang baru-baru
ini lolos besar-besaran ya dana pengadaan fasilitas di daerah terpencil.
Jumlahnya terlalu besar untuk desa sekecil itu. Papa potong 70 persen juga
masih bisa dikorup lagi sama bagian lain.”
“Wow!” aku takjub. Benar-benar tak menyangka aliran
uang turun sederas itu ke saku orang-orang berjas di gedung dengan receptionist cantik berlipstik merah
delima itu. “Siapa aja sih, Pa, yang kerja sama sama Papa?”
Ia lalu menyebutkan nama-nama yang tentu saja tidak
asing di telingaku beserta peran masing-masing dalam kasus-kasus yang berbeda.
Beberapa nama sudah kuterka, beberapa lagi membuatku tercengang seketika karena
sama sekali tidak menyangka.
“Kamu doain aja semua lancar,” ia berucap sambil
tersenyum tenang.
“Tapi doa ke siapa? Malu ah, kalo doa ke Tuhan buat
hal-hal kayak gitu,” ucapku diiringi tawa.
Ia ikut tertawa.
“Tapi Pa, apa wartawan bener-bener gak ada yang tau
tentang ini? Kayaknya berita gak pernah nyebut-nyebut nama Papa?”
“Ada sih yang tau. Makanya Papa bagi-bagi rejeki juga
ke media,” ucapnya lalu kembali tertawa. “Paling yang agak susah itu TopNews
TV, ideologi mereka susah dibeli. Tapi untungnya mereka cuma tau samar-samar
tentang kasus ini. Gak tau sampe detail. Mereka malah taunya tentang penyakit
Papa. Tapi kalo masalah itu gampang, tinggal minta mereka ngerahasiain tentang
penyakit Papa dengan alasan stabilitas kinerja departemen Papa,” paparnya
panjang lebar.
Aku hanya mengangguk. “Oh iya, ngomong-ngomong tentang
penyakit Papa, Papa masih suka sakit kepala?” tanyaku, mengalihkan pembicaraan.
“Gak kok, Papa kan rutin minum obat,” jawabnya sambil
mencoba meyakinkanku dengan sebuah senyum bahwa ia baik-baik saja.
Aku membalas senyumnya. "Papa gak seharusnya pergi ke luar tanpa sekretaris Papa kayak gini kan?"
"Sekretaris Papa lagi ada wawancara media di luar kota, jadi hari ini gak ke kantor. Lagian cuma ketemu anak sendiri sih gak ada masalah." Ia tertawa lagi.
“Papa punya foto aku kan?”
tanyaku tiba-tiba.
“Ya punya lah. Kan kamu sendiri yang nyuruh Papa buat selalu
nyimpen foto keluarga di dompet.”
“Aku… boleh liat fotonya?”
“Buat apa?”
“Mau liat aja aku cantik apa gak di foto itu.” Aku
tertawa kecil.
Ia ikut tertawa. “Sebentar.” Laki-laki di depanku mengeluarkan dompet
dari saku belakangnya. Ia lalu membuka dompetnya dan mengeluarkan selembar foto
yang selalu ia bawa ke mana pun ia pergi. Foto keluarganya.
Pria berdasi di hadapanku berhenti saat baru saja
hendak memberikan foto itu padaku. Ia menatap wajahku, lalu mengembalikan
pandangannya lagi ke foto yang tengah ia pegang itu, dan kembali menatap
wajahku, lalu melihat lagi foto itu, terus seperti itu sampai keningnya
sempurna mengerut dan wajahnya berubah pucat pasi.
“Ada... masalah?” aku bertanya hati-hati.
“Anda… siapa?” tanyanya lebih hati-hati. Suaranya mendadak serak dan tak jelas.
Aku tersenyum. “Saya Adifya Farisha dari TopNews TV,”
ucapku. “Terima kasih atas wawancara eksklusif hari ini, Pak Menteri,” tuturku
halus sambil mengangkat alat perekam yang baru saja kukeluarkan dari saku
seragam khas sekolah anak para pejabar negara yang dada bagian kanannya kupasang nametag dengan nama puterinya. Natasha Cindya Arta.
Pak Menteri mencengkeram telapak tangannya. Geram.
Kurasa kepalanya sempurna terbakar hingga ke ujung-ujung anak rambutnya.
Aku bangun dari tempat dudukku. “Ah, semua makanan yang
saya makan biar saya sendiri yang bayar. Agama saya melarang makan makanan yang
dibeli dengan uang haram,” tuturku. Aku tersenyum ke arahnya. Senyum tanda
penghormatan yang jelas betul bermaksud meremehkan.
Aku lalu pergi meninggalkan pria berdasi penderita prosopagnosia yang kini tengah memegangi kepala seperti seorang yang nyaris kehabisan nyawa. Haruskah kupanggilkan ambulance, sebelum aku menghubungi polisi?
nice idea, vo shoo.
ReplyDeletetapi aku agak ga suka sama twistnya. a lil bit out of logic. how the hell a father could forget his own daughter face? is he not a real father of something? dan aku rada ga nyaman sama percakapan yang emang agak mirip interview ini. kata-kata korupsi terlalu apa ya... mengarahkan kalau cerita ini memang berita? don't know.
menurut aku, buat cerita pertama nyoba genre beginian, aku lumayan suka. tapi mungkin bisa lebih di eksplor lagi. btw "Malu ah, kalo doa ke Tuhan buat hal-hal kayak gitu" my favorite quote. :D
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteOH BILANG DONG! sebenernya aku udah tau sih pas ada clue kata-kata "Sakit" sebelumnya. tapi terlalu kabur, jadi gitu deh. ini ceritanya mau jadi series ya? OMG I CAN'T REALLY WAIT!
ReplyDeletetunggu.............. AKU TERNYATA ENGGAK NYEBUTIN NAMA PENYAKITNYA YA HAHAHAHAHA kayaknya udah disebutin di ending tapi mungkin pas ngedit ulang bagian itu aku apus dan lupa aku masukin lagi.
ReplyDeletesiapa yang bilang mau jadi series? -_-
Engga ada. kamu cuma nyebutin sakit kepala (penyakit papa) makanya aku bilang twistnya rada nyeleneh. kalo ada mah ini keren pake banget! hahahahaha.
ReplyDeletekomenmu di atas seakan ngehint buat series :D
aku udah edit hehehehehehehe
ReplyDeleteinsyaAllah kalau ada inspiracihhh :)))
AH I LIKE THIS MUCH BETTER! suka penggunaan kata penggelapan dana dan penyakit prosopagnosia-nya :D.
ReplyDeleteNICE ONE. FORGET MY PREVIOUS COMMENT! BRAVO!