Aku berdiri
di depan sebuah kamar yang dipadati resonansi raung tangis seorang wanita paruh
baya dan beberapa puterinya. Menangisi kepergian salah satu anggota
keluarga mereka. Ganisya, yang belakangan ini menjadi teman terbaikku.
Ini adalah
kematian ketiga temanku dalam satu bulan terakhir. Kematian kelima dalam dua bulan terakhir. Kematian kesembilan dalam empat bulan terakhir. Kematian ke-11 sejak malam pertama aku berada di sini. Dan aku masih belum menemukannya.
Aku tidak
bisa melihat wajah Ganisya. Punggung wanita yang menangis itu menutupi bagian
kepalanya. Aku hanya dapat melihat telapak tangannya. Pucat. Tak ada darah yang
mengalir di sana. Tak ada nadi yang berdenyut menyanyikan lagu kehidupan.
Tangan itu. Tangan yang senang sekali berbagi roti denganku. Tangan yang
terkadang menjitak pelan kepalaku. Tangan yang selalu merebut remote tivi dari
tangan siapa pun dan dengan seenaknya mengganti channel ke program favoritnya.
Aku
mengalihkan pandangan dari tangan kaku itu ke arah lain. Ke semua sudut
kamar itu. Ke sela-sela kaki dokter dan keluarga Ganisya. Ke langit-langit
ruangan. Ke mana pun. Benar-benar tidak ada. Lagi-lagi aku tidak menemukannya.
“Arira,”
seseorang memanggilku lembut.
Aku
menoleh.
Seorang
dokter muda dengan stethoscope biru
laut berujung kepala jerapa yang dimasukan ke saku jas putihnya itu tersenyum
ke arahku. “Bukankah ini waktunya minum obat?” tanyanya sambil membelai lembut
kepalaku.
Aku
mengangguk pelan. Tanpa perlu mendengar perintah dari dokter itu, aku
menggandeng tiang infus portable tempat tergantungnya kantung berisi cairan
yang mengalir melalui selang panjang menuju pembuluh di tanganku, dan berjalan
beriringan dengan sang dokter menuju kamarku.
“Kenapa kau
selalu ada di depan pintu kamar temanmu yang pulang? Apa kau merasa harus
berpamitan?” tanya dokter di sampingku.
Pulang, katanya?
“Kau
harusnya beristirahat di kamarmu, Arira,” ucap dokter muda itu lagi.
“Dokter,”
aku memanggilnya pelan.
“Ya?”
“Ada berapa
malaikat pencabut nyawa di rumah sakit ini?” tanyaku. Sudah lama sekali rasanya
aku ingin mengajukan pertanyaan ini.
Laki-laki
di sampingku menghentikan langkahnya, membuatku ikut menghentikan langkahku. Ia lalu
berlutut seraya menyamakan tinggi badannya denganku. Lagi, ia membelai pelan
kepalaku. “Tidak ada malaikat pencabut nyawa, yang ada hanya malaikat yang
membantu manusia untuk bertemu dengan Tuhannya,” jawabnya. Ia lalu tersenyum.
Aku sibuk
memikirkan jawaban itu sampai lupa membalas senyumnya. Tidak ada malaikat pencabut nyawa? Lalu bagaimana dengan mimpi itu?
Mimpi yang kualami enam bulan lalu, tepat satu malam sebelum penyakit bernama pnuemonia itu membuatku resmi menjadi
penghuni tetap di rumah sakit ini. Mimpi di mana makhluk putih bersinar itu
mengatakan padaku bahwa aku adalah anak terpilih yang boleh mengajukan satu
permintaan setelah melihat malaikat maut. Dan dokter itu bilang tidak ada
malaikat maut? Bercanda.
“Apa kau
takut?” tanya dokter itu.
Aku diam.
Masih berkemelut dengan jawaban tentang malaikat pencabut nyawa itu. Tidak
mungkin tidak ada malaikat pencabut nyawa. Tidak mungkin. Meskipun aku selalu
gagal menemukannya di sudut mana pun rumah sakit ini, tapi malaikat itu pasti
ada. Aku yakin.
“Arira,”
panggil dokter itu lagi, suaranya sedikit meninggi.
Aku
tersentak. “Ya?”
“Jangan
takut pada malaikat,” ucap dokter itu.
Aku menoleh
kanan dan kiri, depan dan belakang. Mencari. Mungkin saja malaikat itu muncul
karena aku menyebut-nyebut namanya. Lagi-lagi nihil. Tidak ada siapa pun yang
tertangkap oleh mataku kecuali beberapa perawat yang berlalu-lalang di
persimpangan dan seseorang dengan pakaian rumah sakit yang sama dengan yang kugunakan
tengah duduk sedirian di salah satu bangku di koridor sebelah kiriku.
“Bukan aku
yang takut, tapi dia,” ucapku sambil menunjuk ke arah Dama, anak
laki-laki berusia dua tahun lebih muda dariku yang sepertinya sedang menangis
itu. Ya, kurasa anak yang sering kulihat tengah muntah empedu itu selalu ketakutan setiap kali mendengar kabar tentang kematian.
Sang dokter
menyipitkan matanya. “Dama?”
“Dama
selalu menangis setiap kali ada salah satu dari kami yang… pulang,” tuturku. “Kurasa
ia takut bertemu dengan Tuhan,” aku menambahkan.
Dokter itu
menatapku dengan tatapan yang berbeda dari sebelumnya, namun aku tidak mengerti apa artinya. Apa ada yang salah pada kalimatku? Aku hanya
mengulangi apa yang dokter itu sampaikan tadi. Tentang Ganisya yang pulang. Tentang malaikat yang mempertemukan manusia dengan Tuhan.
Tidak ada yang salah, bukan?
"Dokter, apa aku boleh menemui Dama?" aku bertanya sambil membelokkan pandanganku ke arah Dama. Sengaja menghindari tatapan dokter itu.
“Kembalilah ke kamar. Sebentar lagi suster akan membawakanmu obat,” ucap doker itu. Lagi, ia lalu tersenyum.
“Kembalilah ke kamar. Sebentar lagi suster akan membawakanmu obat,” ucap doker itu. Lagi, ia lalu tersenyum.
Aku
mengangguk tanpa protes sama sekali dan langsung menggandeng lagi tiang infusku dan berjalan menuju kamarku, berlawanan arah dengan sang dokter yang kini menghampiri anak berusia
tujuh tahun yang tengah duduk sendirian itu.
***
Aku
menggigil. Suhu badanku tak terkendali. Dadaku sesak. Nyeri. Seperti ada yang
menghantam kencang setiap kali kucoba menarik nafas dalam. Tubuhku lemas. Tak
bertenaga sama sekali. Aku mencengkeram apa pun yang bisa kugapai demi menahan
rasa sakit di dadaku. Perih. Pandanganku kabur. Aku tak dapat melihat jelas
berapa orang yang tengah mengelilingi tempat tidurku. Yang mana sanak
keluargaku. Yang mana dokter yang menanganiku. Siapa yang memasangkan tempurung
di atas hidungku. Siapa yang berteriak ini, berteriak itu. Siapa orang hitam berwajah
menyeramkan yang berdiri di sudut ruanganku.
Tunggu.
Orang hitam itu. Ah, tidak. Dia bukan orang. Dia bukan manusia. Dia….
Tak sanggup
menahan rasa sakit, aku tak tau lagi apa yang terjadi setelah nafas terakhirku.
***
“Arira.”
“Kau?”
“Kau masih
mengingatku?” tanyanya.
“Kau masih
mengingatku?” tanyaku balik.
“Kau pikir
aku bercanda tentang kau adalah anak terpilih?”
“Apakah ia
hitam, besar, dan menyeramkan?” tanyaku.
Makhluk
bercahaya di hadapanku mengangguk.
“Akhirnya aku
melihatnya. Di sudut ruanganku.”
Ia
mengangguk lagi. “Kau memang baru bisa melihatnya ketika ia ingin berkenalan
denganmu.”
“Apa aku sudah boleh mengajukan permintaan itu? Apa pun?”
“Apa pun. Kecuali dua hal, meminta malaikat itu untuk mempercepat atau memperlambat
kematianmu.”
Aku
mengangguk. “Aku tidak akan meminta hal itu.”
“Jadi… apa
permintaanmu?”
***
Januari,
2026.
Usiaku baru
22 tahun tapi aku sudah 4 kali pindah dari satu planet ke planet lain. Sekarang
aku tinggal di planet terkecil di antara planet lain di jagat raya. Tak ada
wortel, tak ada kentang, dan tak ada susu cokelat yang dicampur dengan eskrim
vanilla. Yang ada hanya tumpukan manusia dengan segala macam keserakahannya.
Tak
ada mesin waktu. Benda yang paling ingin kumiliki sejak 13 tahun yang lalu. Tepat satu minggu
setelah aku mengajukan permintaan itu. Karena hanya mesin waktu yang dapat
membawaku kembali ke rumah sakit itu. Kembali menjadi anak istimewa dan bertemu
dengan makhluk bercahaya.
“Aku ingin
Tuhanmu memberikanku permen karamel paling lezat di seluruh dunia.” Aku ingin
mengucapkan kalimat itu. Kalimat yang terlintas di benakku saat pertama kali mendapatkan mimpi itu dulu.
“Aku ingin
Tuhanmu meniadakan makhluk hitam besar menyeramkan yang mencabut nyawa manusia.” Bukan kalimat keparat ini.
DAMN! selalu tertipu diakhir!
ReplyDeletetapi Rist, Aku rasa ceritamu yang ini paling beda dengan yang lain, maksudku, di sini esensi kemanusiaan (apa ini) hidup dan jelas banget. Ide ceritanya jenius, dan beda dari yang lain! siapa coba yang bisa mikirin kalau nggak ada malaikat pencabut nyawa di dunia ini? ceritamu tambah dewasa, segar, dan keren. I LOVE THIS! makasih udah bikin cerita sebagus ini! udah lama ga baca cerita sebagus ini :')
apaan esensi kemanusiaan hahahahaha
Deletemakasih kal. tapi kayaknya aku harus kasih credit ya soalnya aku minjem genre kamu ._.
genre? genre apa? that's not even mine. haha.
DeleteAnyway aku pengen kamu terus bikin cerita, yang (kalo bisa) jauh lebih dalam mengenai kemanusiaan dan kehidupan. *eaaaaaaaaaaaa.
kalau begitu, tolong beri bimbingan hehehe.
Delete