Thursday, February 6, 2014

Permen Karamel Paling Lezat Di Seluruh Dunia

Aku berdiri di depan sebuah kamar yang dipadati resonansi raung tangis seorang wanita paruh baya dan beberapa puterinya. Menangisi kepergian salah satu anggota keluarga mereka. Ganisya, yang belakangan ini menjadi teman terbaikku.

Ini adalah kematian ketiga temanku dalam satu bulan terakhir. Kematian kelima dalam dua bulan terakhir. Kematian kesembilan dalam empat bulan terakhir. Kematian ke-11 sejak malam pertama aku berada di sini. Dan aku masih belum menemukannya.

Aku tidak bisa melihat wajah Ganisya. Punggung wanita yang menangis itu menutupi bagian kepalanya. Aku hanya dapat melihat telapak tangannya. Pucat. Tak ada darah yang mengalir di sana. Tak ada nadi yang berdenyut menyanyikan lagu kehidupan. Tangan itu. Tangan yang senang sekali berbagi roti denganku. Tangan yang terkadang menjitak pelan kepalaku. Tangan yang selalu merebut remote tivi dari tangan siapa pun dan dengan seenaknya mengganti channel ke program favoritnya.

Aku mengalihkan pandangan dari tangan kaku itu ke arah lain. Ke semua sudut kamar itu. Ke sela-sela kaki dokter dan keluarga Ganisya. Ke langit-langit ruangan. Ke mana pun. Benar-benar tidak ada. Lagi-lagi aku tidak menemukannya.

“Arira,” seseorang memanggilku lembut.

Aku menoleh.

Seorang dokter muda dengan stethoscope biru laut berujung kepala jerapa yang dimasukan ke saku jas putihnya itu tersenyum ke arahku. “Bukankah ini waktunya minum obat?” tanyanya sambil membelai lembut kepalaku.

Aku mengangguk pelan. Tanpa perlu mendengar perintah dari dokter itu, aku menggandeng tiang infus portable tempat tergantungnya kantung berisi cairan yang mengalir melalui selang panjang menuju pembuluh di tanganku, dan berjalan beriringan dengan sang dokter menuju kamarku.

“Kenapa kau selalu ada di depan pintu kamar temanmu yang pulang? Apa kau merasa harus berpamitan?” tanya dokter di sampingku.

Pulang, katanya?

“Kau harusnya beristirahat di kamarmu, Arira,” ucap dokter muda itu lagi.

“Dokter,” aku memanggilnya pelan.

“Ya?”

“Ada berapa malaikat pencabut nyawa di rumah sakit ini?” tanyaku. Sudah lama sekali rasanya aku ingin mengajukan pertanyaan ini.

Laki-laki di sampingku menghentikan langkahnya, membuatku ikut menghentikan langkahku. Ia lalu berlutut seraya menyamakan tinggi badannya denganku. Lagi, ia membelai pelan kepalaku. “Tidak ada malaikat pencabut nyawa, yang ada hanya malaikat yang membantu manusia untuk bertemu dengan Tuhannya,” jawabnya. Ia lalu tersenyum.

Aku sibuk memikirkan jawaban itu sampai lupa membalas senyumnya. Tidak ada malaikat pencabut nyawa? Lalu bagaimana dengan mimpi itu? Mimpi yang kualami enam bulan lalu, tepat satu malam sebelum penyakit bernama pnuemonia itu membuatku resmi menjadi penghuni tetap di rumah sakit ini. Mimpi di mana makhluk putih bersinar itu mengatakan padaku bahwa aku adalah anak terpilih yang boleh mengajukan satu permintaan setelah melihat malaikat maut. Dan dokter itu bilang tidak ada malaikat maut? Bercanda.

“Apa kau takut?” tanya dokter itu.

Aku diam. Masih berkemelut dengan jawaban tentang malaikat pencabut nyawa itu. Tidak mungkin tidak ada malaikat pencabut nyawa. Tidak mungkin. Meskipun aku selalu gagal menemukannya di sudut mana pun rumah sakit ini, tapi malaikat itu pasti ada. Aku yakin.

“Arira,” panggil dokter itu lagi, suaranya sedikit meninggi.

Aku tersentak. “Ya?”

“Jangan takut pada malaikat,” ucap dokter itu.

Aku menoleh kanan dan kiri, depan dan belakang. Mencari. Mungkin saja malaikat itu muncul karena aku menyebut-nyebut namanya. Lagi-lagi nihil. Tidak ada siapa pun yang tertangkap oleh mataku kecuali beberapa perawat yang berlalu-lalang di persimpangan dan seseorang dengan pakaian rumah sakit yang sama dengan yang kugunakan tengah duduk sedirian di salah satu bangku di koridor sebelah kiriku.

“Bukan aku yang takut, tapi dia,” ucapku sambil menunjuk ke arah Dama, anak laki-laki berusia dua tahun lebih muda dariku yang sepertinya sedang menangis itu. Ya, kurasa anak yang sering kulihat tengah muntah empedu itu selalu ketakutan setiap kali mendengar kabar tentang kematian.

Sang dokter menyipitkan matanya. “Dama?”

“Dama selalu menangis setiap kali ada salah satu dari kami yang… pulang,” tuturku. “Kurasa ia takut bertemu dengan Tuhan,” aku menambahkan.

Dokter itu menatapku dengan tatapan yang berbeda dari sebelumnya, namun aku tidak mengerti apa artinya. Apa ada yang salah pada kalimatku? Aku hanya mengulangi apa yang dokter itu sampaikan tadi. Tentang Ganisya yang pulang. Tentang malaikat yang mempertemukan manusia dengan Tuhan. Tidak ada yang salah, bukan?

"Dokter, apa aku boleh menemui Dama?" aku bertanya sambil membelokkan pandanganku ke arah Dama. Sengaja menghindari tatapan dokter itu.

“Kembalilah ke kamar. Sebentar lagi suster akan membawakanmu obat,” ucap doker itu. Lagi, ia lalu tersenyum.

Aku mengangguk tanpa protes sama sekali dan langsung menggandeng lagi tiang infusku dan berjalan menuju kamarku, berlawanan arah dengan sang dokter yang kini menghampiri anak berusia tujuh tahun yang tengah duduk sendirian itu.

***

Aku menggigil. Suhu badanku tak terkendali. Dadaku sesak. Nyeri. Seperti ada yang menghantam kencang setiap kali kucoba menarik nafas dalam. Tubuhku lemas. Tak bertenaga sama sekali. Aku mencengkeram apa pun yang bisa kugapai demi menahan rasa sakit di dadaku. Perih. Pandanganku kabur. Aku tak dapat melihat jelas berapa orang yang tengah mengelilingi tempat tidurku. Yang mana sanak keluargaku. Yang mana dokter yang menanganiku. Siapa yang memasangkan tempurung di atas hidungku. Siapa yang berteriak ini, berteriak itu. Siapa orang hitam berwajah menyeramkan yang berdiri di sudut ruanganku.

Tunggu. Orang hitam itu. Ah, tidak. Dia bukan orang. Dia bukan manusia. Dia….

Tak sanggup menahan rasa sakit, aku tak tau lagi apa yang terjadi setelah nafas terakhirku.

***

“Arira.”

“Kau?”

“Kau masih mengingatku?” tanyanya.

“Kau masih mengingatku?” tanyaku balik.

“Kau pikir aku bercanda tentang kau adalah anak terpilih?”

“Apakah ia hitam, besar, dan menyeramkan?” tanyaku.

Makhluk bercahaya di hadapanku mengangguk.

“Akhirnya aku melihatnya. Di sudut ruanganku.”

Ia mengangguk lagi. “Kau memang baru bisa melihatnya ketika ia ingin berkenalan denganmu.”

“Apa aku sudah boleh mengajukan permintaan itu? Apa pun?”

“Apa pun. Kecuali dua hal, meminta malaikat itu untuk mempercepat atau memperlambat kematianmu.”

Aku mengangguk. “Aku tidak akan meminta hal itu.”

“Jadi… apa permintaanmu?”

***

Januari, 2026.

Usiaku baru 22 tahun tapi aku sudah 4 kali pindah dari satu planet ke planet lain. Sekarang aku tinggal di planet terkecil di antara planet lain di jagat raya. Tak ada wortel, tak ada kentang, dan tak ada susu cokelat yang dicampur dengan eskrim vanilla. Yang ada hanya tumpukan manusia dengan segala macam keserakahannya.

Tak ada mesin waktu. Benda yang paling ingin kumiliki sejak 13 tahun yang lalu. Tepat satu minggu setelah aku mengajukan permintaan itu. Karena hanya mesin waktu yang dapat membawaku kembali ke rumah sakit itu. Kembali menjadi anak istimewa dan bertemu dengan makhluk bercahaya.

Aku ingin Tuhanmu memberikanku permen karamel paling lezat di seluruh dunia.” Aku ingin mengucapkan kalimat itu. Kalimat yang terlintas di benakku saat pertama kali mendapatkan mimpi itu dulu.


Aku ingin Tuhanmu meniadakan makhluk hitam besar menyeramkan yang mencabut nyawa manusia.” Bukan kalimat keparat ini.

4 comments:

  1. Your Friend, who Likes Writing and ReadingFebruary 6, 2014 at 10:03 PM

    DAMN! selalu tertipu diakhir!

    tapi Rist, Aku rasa ceritamu yang ini paling beda dengan yang lain, maksudku, di sini esensi kemanusiaan (apa ini) hidup dan jelas banget. Ide ceritanya jenius, dan beda dari yang lain! siapa coba yang bisa mikirin kalau nggak ada malaikat pencabut nyawa di dunia ini? ceritamu tambah dewasa, segar, dan keren. I LOVE THIS! makasih udah bikin cerita sebagus ini! udah lama ga baca cerita sebagus ini :')

    ReplyDelete
    Replies
    1. apaan esensi kemanusiaan hahahahaha
      makasih kal. tapi kayaknya aku harus kasih credit ya soalnya aku minjem genre kamu ._.

      Delete
    2. genre? genre apa? that's not even mine. haha.

      Anyway aku pengen kamu terus bikin cerita, yang (kalo bisa) jauh lebih dalam mengenai kemanusiaan dan kehidupan. *eaaaaaaaaaaaa.

      Delete
    3. kalau begitu, tolong beri bimbingan hehehe.

      Delete

About Me

My photo
Tangerang, Banten, Indonesia
bukan penulis, bukan pengarang, hanya pecinta keduanya.