“Kita
putus aja,” ucapnya tegas, meski dengan intonasi yang terdengar sangat
lemah.
“Kenapa?”
aku bertanya pelan.
“Bukan
cuma saat muncul, saat pergi juga kadang cinta gak punya alasan apa-apa,”
tambah perempuan yang berdiri di hadapanku itu.
Aku
menatap dalam matanya. Asing. Setidakpeduli itukah ia padaku? Aku menelan air
liur. Sulit. Kerongkonganku seperti diikat kuat oleh rasa sakit yang bahkan tak bisa kujabarkan.
“Mulai
hari ini, anggap kita gak pernah kenal. Sekalipun kita ketemu, anggap aku orang
asing. Aku juga akan ngelakuin hal yang sama,” tutur gadis itu.
Aku
menghela nafas. “Terus?” tanyaku.
“Cari
perempuan lain yang baik dan hidup bahagia di samping orang itu,” ia berujar
ringan.
Aku
mengangguk-anggukkan kepalaku perlahan. Mengerti.
Tanpa satu
pun kata perpisahan, ia memutar badannya dan pergi begitu saja meninggalkanku.
Kupandangi punggung wanita itu sambil berharap ia menoleh ke arahku.
Menolehlah. Paling tidak, buat aku berpikir bahwa hatimu berat meninggalkanku.
Tidak? Sama sekali tidak? Sepertinya tidak. Ia terus berjalan meninggalkanku
dengan langkahnya yang terlihat amat ringan. Ia pergi.
Lagi,
aku menarik nafas, kali ini lebih dalam, kemudian kuhempaskan.
***
Aku berdiri di seberang rumah gadisku. Aku ingin
melihatnya menikmati matahari terbenam sambil bersepeda, seperti yang biasa ia
lakukan. Aku merindukannya, meskipun pertemuan terakhir dengannya adalah
beberapa jam yang lalu. Ia makan siang dengan seorang laki-laki di sebuah rumah
makan pukul satu tadi. Aku duduk di belakang laki-laki itu, menghadap ke arahnya.
Melihatnya makan, minum, tertawa, dan bahkan sesekali menunjukkan ekspresi
kesal yang sangat lucu. Aku benar-benar merindukannya.
Ia keluar dari rumahnya, lalu menghampiri sepedanya
dan menuntunnya melewati pintu gerbang. Aku tersenyum seorang diri melihat
wajahnya yang begitu bahagia. Tiga tahun yang lalu, ia masih tidak bisa
bersepeda meski usianya sudah berkepala dua. Aku membelikan sebuah sepeda dan
mengajarinya menaiki sepeda itu setiap sore. Sejak itu, ia selalu memintaku
menemaninya menanti terbenamnya matahari di atas sepedanya.
Ia masih menuntun sepedanya saat menyebrang jalan dan
melewatiku begitu saja. Gadis yang mengenakan semi-dress putih selutut itu baru akan menaiki sepedanya saat tiba-tiba
saja seperti menyadari sesuatu. Ia menoleh dan menatapku. Keningnya mengerut.
“Kamu….”
Aku tersenyum ke arahnya. Menyapa.
Ia menyangga sepedanya kemudian melangkah
menghampiriku.
“Ada yang mau aku omongin,” ucapnya.
“Apa?” tanyaku.
“Kita putus aja.”
Aku menaggapinya dengan senyum. Senyum yang –kalau
saja ia mau mengerti- terlihat sangat menyakitkan.
“Jangan tanya ‘kenapa’,” ujarnya. “Bukan cuma saat
muncul, saat pergi juga kadang cinta gak punya alasan apa-apa,” tambah gadis
itu.
Aku mengangguk.
“Mulai
hari ini, anggap kita gak pernah kenal. Sekalipun kita ketemu, anggap aku orang
asing. Aku juga akan ngelakuin hal yang sama. Cari perempuan lain yang baik dan
hidup bahagia di samping orang itu,” paparnya.
Lagi,
aku mengangguk kecil. “Oke,” tanggapku kemudian.
Tanpa
berpamitan, gadis itu pergi meninggalkanku dan menghampiri sepedanya. Angin
sore meniup rambut lurus sepunggungnya saat ia mulai menggerakkan kedua
kakinya, mengayuh sepeda pertamanya.
***
Aku
duduk di kursi meja makan dengan dua piring nasi, dua mangkuk sup jagung, dua
piring kecil yang masing-masing berisi sebutir telur mata sapi dan sepotong
tahu goreng, serta dua gelas air putih.
Seseorang keluar dari kamar tidurnya. Ia masih
menggunakan piyamanya saat berjalan ke kamar mandi untuk mencuci muka dan
menggosok giginya. Keluar dari kamar mandi, ia lalu menghampiri meja makan.
“Wah, pagi-pagi gini Kakak udah selesai masak?”
tanyanya.
Aku tak menjawab. Pertanyaan itu bukan ia tujukan
untukku.
Orang itu duduk di hadapanku. “Wah, kayaknya enak!”
serunya. Ia lalu mengangkat kepalanya dan tersenyum ke arahku, hanya satu per
sekian detik, sebelum setelah itu ia menyadari bahwa yang sedang duduk di
depannya bukanlah kakak laki-lakinya.
“Ayo kita makan!” Aku mengabaikan mimik tak
menyenangkan yang ia tunjukkan. Kuraih sendok yang sedari tadi tergeletak di
sisi kanan piringku, kemudian mulai menyiram nasiku dengan sup jagung, sesendok
demi sesendok.
“Ngapain kamu di sini?” tanya gadis di hadapanku.
Aku menatap wajahnya yang sama sekali tak bersahabat
itu, kemudian tersenyum ke arahnya. “Mau sarapan bareng sama kamu,” jawabku.
“Kita….”
“Gak bagus makan sambil ngobrol,” aku memotong
kalimatnya. “Abisin dulu makanannya,” tambahku.
Tanpa menunggu tanggapan apa pun darinya, aku
melanjutkan sarapanku. Aku mengunyah dengan sangat lamban nasi yang baru saja
kumasukkan ke dalam mulutku. Kemudian kuambil sepotong tahu yang tengah
berbaring manis di samping telur mata sapi dengan tangan kananku. “Katanya ini
tahu yang kualitasnya paling bagus di antara tahu-tahu lain,” ucapku sebelum
setelah itu menggigitnya lalu mengunyahnya dengan lamban.
Jujur saja, rasanya aku sulit menelan isi mulutku.
Dadaku sesak. Seluruh saluran pencernaanku sepertinya tersumbat. Aku meraih
segelas air putih dan meminumnya satu tegukan. Tanpa air itu, kurasa aku
benar-benar tidak sanggup menelan apa yang kumakan.
Aku kembali mengarahkan mataku pada perempuan di
hadapanku. Ia tidak sama sekali menyentuh makanan yang kusediakan untuknya.
“Gak mau makan?” tanyaku. “Kata orang, masakanku….”
“Kita putus aja,” kali ini ia yang menyela kalimatku.
Aku baru akan memasukkan suapan berikutnya saat gadis
di depanku melontarkan kalimat itu. Urung, kuletakkan lagi sendok makanku. “Beneran?”
tanyaku.
Ia mengangguk. “Bukan cuma saat muncul, tapi cinta juga
kadang gak butuh alasan untuk pergi,” ucapnya.
Aku tertawa kecil. “Jadi begitu?”
“Mulai hari ini, anggap kita gak pernah kenal.
Sekalipun kita ketemu, anggap aku orang asing. Aku juga akan ngelakuin hal yang
sama,” ia berujar lagi. Gadis itu lalu berdiri. “Cari perempuan lain yang baik
dan hidup bahagia di samping orang itu,” tambahnya sebelum meninggalkanku dan
dua porsi sarapan yang pagi ini bernasib sial karena tidak dinikmati bahkan
oleh orang yang memasaknya sendiri.
Aku diam tak berkutik, sesaat, sebelum setelah itu
kembali memegang sendok dan memasukkan sesuap nasi ke dalam mulutku. Dengan
selera makan yang sedang sangat buruk, kukunyah isi mulutku, lalu susah payah
kutelan dengan bantuan seteguk air putih. Dadaku sesak.
Setelah dibantu kakak laki-lakinya menghabiskan
sarapan dan merapikan semua peralatan makan yang kugunakan, aku masuk ke kamar
gadis itu.
“Kamu? Ngapain masuk ke kamarku? Aku bilang hubungan
kita selesai!” pemilik kamar itu mengomeliku.
“Aku mau pamit,” ucapku.
“Jangan pernah dateng ke sini lagi!” ia memerintah
tegas, tanpa sedikit pun memandangku.
Aku mengangguk. Sebelum melangkahkan kaki keluar,
kupandangi setiap sisi ruangan biru itu. Dinding kamarnya seperti dinding
koridor SMA-ku dulu, ramai dengan berbagai macam kertas tempel dan foto
orang-orang terdekatnya. Ada fotoku di sana, dan sebuah catatan di bawah foto
itu.
Aku tersenyum perih, sebelum sekali lagi kupandangi
gadis yang sedang duduk di atas tempat tidur tanpa melakukan hal apa pun itu.
Sepertinya ia benar-benar tak ingin melihat ke arahku. “Besok aku datang lagi,”
ucapku pelan, entah ia mendengarnya atau tidak, aku tak peduli. Aku lalu
berbalik badan dan keluar dari kamarnya.
***
Seorang gadis yang masih menggunakan pakaian tidurnya
datang menghampiriku. “Masak apa?”
Aku menoleh ke arahnya, membalas manis senyumnya, lalu
mengembalikan pandanganku ke penggorengan sedang yang ada di depanku. “Nasi goreng
paprika yang paling lezat di seluruh dunia!” aku berucap dengan lantang dan
bangga.
Dari belakangku, terdengar orang itu mengendus seperti
kucing. Ia lalu meletakkan dagunya di bahu kananku. “Baunya sih enak, tapi gak
tau deh gimana rasanya nanti,” komentarnya.
“Rasanya juga pasti enak. Kamu pasti belum pernah
ngerasain nasi goreng seenak ini di belahan dunia mana pun,” ucapku.
“Ohya?” ia meledek.
Sambil terus mengaduk-aduk nasi gorengku, aku melirik
ke bawah, ke arah kakinya. Benar saja, ia sedikit berjinjit agar dagunya
mencapai bahuku. “Kamu pakai high heels
dulu gih!” aku balas meledek.
Ia menurunkan dagunya dan dengan cepat memukul
punggungku pelan. “Jahat banget sih!” omelnya. “Sini, aku masukin gula yang
banyak di nasi goreng buatan kamu! Sini!” ia mengancam seraya menyendok satu
sendok penuh gula pasir dan siap membuangnya di atas masakanku.
“JANGAAAAN!”
Ia tertawa. Gadis itu. Alih-alih belajar memasak, ia
malah menggangguku setiap hari. Ya, setiap hari. Sejak aku meminta izin pada
kakak laki-lakinya untuk mengganti catatan yang tertempel di bawah fotoku di
kamar biru itu, hal seperti ini terus terulang setiap hari.
Kini, aku adalah juru masak paling mahir di dunia yang
akan selalu memasak untuknya setiap pagi. Aku adalah orang yang selalu
menyayanginya selain kakak dan teman-teman dekatnya. Aku adalah bagian dari
hatinya. Aku adalah miliknya.
Aku bukan lagi aku yang ia ciptakan sejak ia menyadari
bahwa penyakit Alzeimer-nya lambat laun akan semakin parah merenggut memorinya.
Sejak saat itu, ia membuatku menjadi laki-laki tak baik yang tidak boleh terus berada di sisinya. Laki-laki
yang apabila bertemu dengannya, ia harus mengatakan bahwa hubungannya dengan
laki-laki itu sudah saatnya selesai, bahwa cinta yang ia miliki telah hilang
tanpa alasan, bahwa suatu hari ketika laki-laki itu bertemu dengannya, ia tidak
akan mengenali lagi siapa orang itu. Itu lah aku menurut catatan kecil yang ada
di bawah fotoku. Foto dan catatan yang harusnya ia buang setelah memutuskan
untuk menyudahi hubungannya denganku, kalau saja ingatannya bisa bertahan lebih
dari setengah hari.
“Cari
perempuan lain yang baik dan hidup bahagia di samping orang itu.” Kau pasti sedang dalam keadaan sangat mencintaiku saat
menuliskan pesan itu, bukan begitu? Cinta itu bukan pergi tanpa alasan, ia
hanya sedang terduduk diam di depan pintu hatimu karena kau dengan sengaja
tidak mengizinkannya masuk ke dalam.
Aku bukan memaksamu mencintaiku dengan catatan yang
kurekatkan di bawah fotoku itu. Aku hanya ingin menunjukkan padamu bahwa aku hidup bahagia dengan
wanita baik itu. Aku ingin menunjukkannya setiap hari.
judulnya bagus, isi ceritanya keren dan romantis. tapiiiii, aku ngerasa ini not so risty. ceritanya terlalu basic dan biasa. I like this, but I can't love this after you gave me those superior stories. :DDD
ReplyDeleteJadi kayak semacam lagu yang salah timing buat dirilis ya hahaha oke thank you :)
Deleteanyway kamu hutang cerita duet!