Saturday, December 7, 2013

Terulang

        “Kita putus aja,” ucapnya tegas, meski dengan intonasi yang terdengar sangat lemah.
         “Kenapa?” aku bertanya pelan.
         “Bukan cuma saat muncul, saat pergi juga kadang cinta gak punya alasan apa-apa,” tambah perempuan yang berdiri di hadapanku itu.
          Aku menatap dalam matanya. Asing. Setidakpeduli itukah ia padaku? Aku menelan air liur. Sulit. Kerongkonganku seperti diikat kuat oleh rasa sakit yang bahkan tak bisa kujabarkan.
          “Mulai hari ini, anggap kita gak pernah kenal. Sekalipun kita ketemu, anggap aku orang asing. Aku juga akan ngelakuin hal yang sama,” tutur gadis itu.
          Aku menghela nafas. “Terus?” tanyaku.
          “Cari perempuan lain yang baik dan hidup bahagia di samping orang itu,” ia berujar ringan.
          Aku mengangguk-anggukkan kepalaku perlahan. Mengerti.
          Tanpa satu pun kata perpisahan, ia memutar badannya dan pergi begitu saja meninggalkanku. Kupandangi punggung wanita itu sambil berharap ia menoleh ke arahku. Menolehlah. Paling tidak, buat aku berpikir bahwa hatimu berat meninggalkanku. Tidak? Sama sekali tidak? Sepertinya tidak. Ia terus berjalan meninggalkanku dengan langkahnya yang terlihat amat ringan. Ia pergi.
          Lagi, aku menarik nafas, kali ini lebih dalam, kemudian kuhempaskan.
***
Aku berdiri di seberang rumah gadisku. Aku ingin melihatnya menikmati matahari terbenam sambil bersepeda, seperti yang biasa ia lakukan. Aku merindukannya, meskipun pertemuan terakhir dengannya adalah beberapa jam yang lalu. Ia makan siang dengan seorang laki-laki di sebuah rumah makan pukul satu tadi. Aku duduk di belakang laki-laki itu, menghadap ke arahnya. Melihatnya makan, minum, tertawa, dan bahkan sesekali menunjukkan ekspresi kesal yang sangat lucu. Aku benar-benar merindukannya.
Ia keluar dari rumahnya, lalu menghampiri sepedanya dan menuntunnya melewati pintu gerbang. Aku tersenyum seorang diri melihat wajahnya yang begitu bahagia. Tiga tahun yang lalu, ia masih tidak bisa bersepeda meski usianya sudah berkepala dua. Aku membelikan sebuah sepeda dan mengajarinya menaiki sepeda itu setiap sore. Sejak itu, ia selalu memintaku menemaninya menanti terbenamnya matahari di atas sepedanya.
Ia masih menuntun sepedanya saat menyebrang jalan dan melewatiku begitu saja. Gadis yang mengenakan semi-dress putih selutut itu baru akan menaiki sepedanya saat tiba-tiba saja seperti menyadari sesuatu. Ia menoleh dan menatapku. Keningnya mengerut. “Kamu….”
Aku tersenyum ke arahnya. Menyapa.
Ia menyangga sepedanya kemudian melangkah menghampiriku.
“Ada yang mau aku omongin,” ucapnya.
“Apa?” tanyaku.
“Kita putus aja.”
Aku menaggapinya dengan senyum. Senyum yang –kalau saja ia mau mengerti- terlihat sangat menyakitkan.
“Jangan tanya ‘kenapa’,” ujarnya. “Bukan cuma saat muncul, saat pergi juga kadang cinta gak punya alasan apa-apa,” tambah gadis itu.
Aku mengangguk.
          “Mulai hari ini, anggap kita gak pernah kenal. Sekalipun kita ketemu, anggap aku orang asing. Aku juga akan ngelakuin hal yang sama. Cari perempuan lain yang baik dan hidup bahagia di samping orang itu,” paparnya.
          Lagi, aku mengangguk kecil. “Oke,” tanggapku kemudian.
          Tanpa berpamitan, gadis itu pergi meninggalkanku dan menghampiri sepedanya. Angin sore meniup rambut lurus sepunggungnya saat ia mulai menggerakkan kedua kakinya, mengayuh sepeda pertamanya.

***
          Aku duduk di kursi meja makan dengan dua piring nasi, dua mangkuk sup jagung, dua piring kecil yang masing-masing berisi sebutir telur mata sapi dan sepotong tahu goreng, serta dua gelas air putih.
Seseorang keluar dari kamar tidurnya. Ia masih menggunakan piyamanya saat berjalan ke kamar mandi untuk mencuci muka dan menggosok giginya. Keluar dari kamar mandi, ia lalu menghampiri meja makan.
“Wah, pagi-pagi gini Kakak udah selesai masak?” tanyanya.
Aku tak menjawab. Pertanyaan itu bukan ia tujukan untukku.
Orang itu duduk di hadapanku. “Wah, kayaknya enak!” serunya. Ia lalu mengangkat kepalanya dan tersenyum ke arahku, hanya satu per sekian detik, sebelum setelah itu ia menyadari bahwa yang sedang duduk di depannya bukanlah kakak laki-lakinya.
“Ayo kita makan!” Aku mengabaikan mimik tak menyenangkan yang ia tunjukkan. Kuraih sendok yang sedari tadi tergeletak di sisi kanan piringku, kemudian mulai menyiram nasiku dengan sup jagung, sesendok demi sesendok.
“Ngapain kamu di sini?” tanya gadis di hadapanku.
Aku menatap wajahnya yang sama sekali tak bersahabat itu, kemudian tersenyum ke arahnya. “Mau sarapan bareng sama kamu,” jawabku.
“Kita….”
“Gak bagus makan sambil ngobrol,” aku memotong kalimatnya. “Abisin dulu makanannya,” tambahku.
Tanpa menunggu tanggapan apa pun darinya, aku melanjutkan sarapanku. Aku mengunyah dengan sangat lamban nasi yang baru saja kumasukkan ke dalam mulutku. Kemudian kuambil sepotong tahu yang tengah berbaring manis di samping telur mata sapi dengan tangan kananku. “Katanya ini tahu yang kualitasnya paling bagus di antara tahu-tahu lain,” ucapku sebelum setelah itu menggigitnya lalu mengunyahnya dengan lamban.
Jujur saja, rasanya aku sulit menelan isi mulutku. Dadaku sesak. Seluruh saluran pencernaanku sepertinya tersumbat. Aku meraih segelas air putih dan meminumnya satu tegukan. Tanpa air itu, kurasa aku benar-benar tidak sanggup menelan apa yang kumakan.
Aku kembali mengarahkan mataku pada perempuan di hadapanku. Ia tidak sama sekali menyentuh makanan yang kusediakan untuknya. “Gak mau makan?” tanyaku. “Kata orang, masakanku….”
“Kita putus aja,” kali ini ia yang menyela kalimatku.
Aku baru akan memasukkan suapan berikutnya saat gadis di depanku melontarkan kalimat itu. Urung, kuletakkan lagi sendok makanku. “Beneran?” tanyaku.
Ia mengangguk. “Bukan cuma saat muncul, tapi cinta juga kadang gak butuh alasan untuk pergi,” ucapnya.
Aku tertawa kecil. “Jadi begitu?”
“Mulai hari ini, anggap kita gak pernah kenal. Sekalipun kita ketemu, anggap aku orang asing. Aku juga akan ngelakuin hal yang sama,” ia berujar lagi. Gadis itu lalu berdiri. “Cari perempuan lain yang baik dan hidup bahagia di samping orang itu,” tambahnya sebelum meninggalkanku dan dua porsi sarapan yang pagi ini bernasib sial karena tidak dinikmati bahkan oleh orang yang memasaknya sendiri.
Aku diam tak berkutik, sesaat, sebelum setelah itu kembali memegang sendok dan memasukkan sesuap nasi ke dalam mulutku. Dengan selera makan yang sedang sangat buruk, kukunyah isi mulutku, lalu susah payah kutelan dengan bantuan seteguk air putih. Dadaku sesak.
Setelah dibantu kakak laki-lakinya menghabiskan sarapan dan merapikan semua peralatan makan yang kugunakan, aku masuk ke kamar gadis itu.
“Kamu? Ngapain masuk ke kamarku? Aku bilang hubungan kita selesai!” pemilik kamar itu mengomeliku.
“Aku mau pamit,” ucapku.
“Jangan pernah dateng ke sini lagi!” ia memerintah tegas, tanpa sedikit pun memandangku.
Aku mengangguk. Sebelum melangkahkan kaki keluar, kupandangi setiap sisi ruangan biru itu. Dinding kamarnya seperti dinding koridor SMA-ku dulu, ramai dengan berbagai macam kertas tempel dan foto orang-orang terdekatnya. Ada fotoku di sana, dan sebuah catatan di bawah foto itu.
Aku tersenyum perih, sebelum sekali lagi kupandangi gadis yang sedang duduk di atas tempat tidur tanpa melakukan hal apa pun itu. Sepertinya ia benar-benar tak ingin melihat ke arahku. “Besok aku datang lagi,” ucapku pelan, entah ia mendengarnya atau tidak, aku tak peduli. Aku lalu berbalik badan dan keluar dari kamarnya.

***

Seorang gadis yang masih menggunakan pakaian tidurnya datang menghampiriku. “Masak apa?”
Aku menoleh ke arahnya, membalas manis senyumnya, lalu mengembalikan pandanganku ke penggorengan sedang yang ada di depanku. “Nasi goreng paprika yang paling lezat di seluruh dunia!” aku berucap dengan lantang dan bangga.
Dari belakangku, terdengar orang itu mengendus seperti kucing. Ia lalu meletakkan dagunya di bahu kananku. “Baunya sih enak, tapi gak tau deh gimana rasanya nanti,” komentarnya.
“Rasanya juga pasti enak. Kamu pasti belum pernah ngerasain nasi goreng seenak ini di belahan dunia mana pun,” ucapku.
“Ohya?” ia meledek.
Sambil terus mengaduk-aduk nasi gorengku, aku melirik ke bawah, ke arah kakinya. Benar saja, ia sedikit berjinjit agar dagunya mencapai bahuku. “Kamu pakai high heels dulu gih!” aku balas meledek.
Ia menurunkan dagunya dan dengan cepat memukul punggungku pelan. “Jahat banget sih!” omelnya. “Sini, aku masukin gula yang banyak di nasi goreng buatan kamu! Sini!” ia mengancam seraya menyendok satu sendok penuh gula pasir dan siap membuangnya di atas masakanku.
“JANGAAAAN!”
Ia tertawa. Gadis itu. Alih-alih belajar memasak, ia malah menggangguku setiap hari. Ya, setiap hari. Sejak aku meminta izin pada kakak laki-lakinya untuk mengganti catatan yang tertempel di bawah fotoku di kamar biru itu, hal seperti ini terus terulang setiap hari.
Kini, aku adalah juru masak paling mahir di dunia yang akan selalu memasak untuknya setiap pagi. Aku adalah orang yang selalu menyayanginya selain kakak dan teman-teman dekatnya. Aku adalah bagian dari hatinya. Aku adalah miliknya.
Aku bukan lagi aku yang ia ciptakan sejak ia menyadari bahwa penyakit Alzeimer-nya lambat laun akan semakin parah merenggut memorinya. Sejak saat itu, ia membuatku menjadi laki-laki tak baik yang tidak boleh terus berada di sisinya. Laki-laki yang apabila bertemu dengannya, ia harus mengatakan bahwa hubungannya dengan laki-laki itu sudah saatnya selesai, bahwa cinta yang ia miliki telah hilang tanpa alasan, bahwa suatu hari ketika laki-laki itu bertemu dengannya, ia tidak akan mengenali lagi siapa orang itu. Itu lah aku menurut catatan kecil yang ada di bawah fotoku. Foto dan catatan yang harusnya ia buang setelah memutuskan untuk menyudahi hubungannya denganku, kalau saja ingatannya bisa bertahan lebih dari setengah hari.
“Cari perempuan lain yang baik dan hidup bahagia di samping orang itu.” Kau pasti sedang dalam keadaan sangat mencintaiku saat menuliskan pesan itu, bukan begitu? Cinta itu bukan pergi tanpa alasan, ia hanya sedang terduduk diam di depan pintu hatimu karena kau dengan sengaja tidak mengizinkannya masuk ke dalam.

Aku bukan memaksamu mencintaiku dengan catatan yang kurekatkan di bawah fotoku itu. Aku hanya ingin menunjukkan padamu bahwa aku hidup bahagia dengan wanita baik itu. Aku ingin menunjukkannya setiap hari.

2 comments:

  1. judulnya bagus, isi ceritanya keren dan romantis. tapiiiii, aku ngerasa ini not so risty. ceritanya terlalu basic dan biasa. I like this, but I can't love this after you gave me those superior stories. :DDD

    ReplyDelete
    Replies
    1. Jadi kayak semacam lagu yang salah timing buat dirilis ya hahaha oke thank you :)


      anyway kamu hutang cerita duet!

      Delete

About Me

My photo
Tangerang, Banten, Indonesia
bukan penulis, bukan pengarang, hanya pecinta keduanya.