Sunday, September 8, 2013

Bukan Jodoh

Kulihat rambut hitam panjangnya dibelai manja oleh angin senja yang bermelodi riang. Yang melantunkan lagu nan sejuk dan menyenangkan. Iri sekali rasanya aku pada udara sore ini. Mengacak-acak rambutnya. Membuatnya sibuk membenahi poni dengan tangan kirinya.

Sementara aku? Aku hanya melihatnya dari kejauhan. Tidak terlalu jauh, sebenarnya. Tapi juga tidak terlalu dekat untuk membuatnya menyadari sepasang mataku yang tak henti mengawasi sambil terus memuji.

Lamat-lamat, kutatap setiap sketsa keindahan yang melukiskan wajahnya yang menenangkan. Kelopak mata nyaris tak bergaris yang setiap satu kali berkedip, satu bunga yang mati mekar kembali. Hidung mungil yang setiap kali menghirup nafas, gerombolan karbon dioksida berharap dapat merubah diri mereka menjadi O2. Bibir bening merah muda yang bagian bawahnya kerap kali ia gigit seraya mengimbangi konsentrasi goyangan tangannya di atas sebuah buku berukuran A3. Menggambar. Ia senang sekali menggambar. Setiap sore di taman kota ini.

Entah ini hari keberapa sejak pertama kali aku mendapati gadis itu duduk di sana. Di bangku favoritnya. Menghadap kolam dengan patung ikan raksasa yang di aliri air di sekujur tubuhnya. Kolam ikan palsu. Sesekali ia tertawa mengamati tingkah beberapa anak kecil yang tak henti mengoceh bertanya. Mengapa ada ikan sebesar itu di sana? Dan mengapa ikannya tidak berenang?

Kurasa sudah cukup banyak hari kulalui hanya dengan duduk beberapa meter darinya dan mengamati setiap gerak-geriknya. Kurasa hari ini aku harus memberanikan diri mendekatinya. Paling tidak menyapanyaIya, aku yakin benar akan kemampuanku membuat orang lain menyambutku dengan manis. Apalagi gadis yang (sepertinya) sangat lembut itu. Aku suka perempuan yang lembut. Sangat suka.

Aku beranjak dari bangkuku dan perlahan menghampiri bangku gadis itu. Setengah gugup, aku menyapanya. Ia menoleh ke arahku. Matanya melebar. Terkejut, sepertinya. Sudah kuduga. Aku berusaha mengabaikan keterkejutannya. Tanpa basa-basi, aku duduk di sampingnya.

Gadis itu dengan cepat menutup bukunya dan beranjak pergi meninggalkan tempat duduk favoritnya, dan aku. Pensilnya terjatuh. Ia benar-benar terlihat buru-buru menghindariku.

Aku tersenyum pahit. Sedikit kecewa. Hanya sedikit. Tenang saja, aku terkenal sosok yang berjiwa besar dan pantang menyerah. Semua orang tau itu. Setelah menghela nafas, aku bangkit dan mencari ke mana gadis itu pergi. Dapat. Ia tengah duduk di salah satu bangku di sudut lain taman ini.

Tak peduli perlakuan apa yang baru saja kuterima, aku tetap akan mendekatinya. Kurasa ia tidak akan terkejut untuk kedua kalinya. Kali ini tanpa terlebih dahulu menyapa, aku duduk di sampingnya.

Benar. Ia tidak terkejur seperti beberapa menit yang lalu. Gadis itu lebih cepat lagi menutup buku yang baru saja ia buka, kemudian pergi meninggalkan bangku yang kini aku duduki sendiri. Tanpa sama sekali memandangku. Tanpa menghiraukan kehadiranku.

Aku tersenyum getir. Ada organ yang seakan diremas buas di entah bagian mana dadaku. Sakit? Iya. Menyerah? Tentu saja tidak.

Aku beranjak dari bangku itu. Berjalan mengikuti langkah gadis manis yang rambut panjangnya terlihat lebih indah dibanding saat ia duduk. Aku benar-benar berjalan di belakangnya.

Meski tidak sama sekali menoleh ke belakang, tapi kurasa gadis itu tahu bahwa aku mengikutinya. Ia mempercepat langkahnya. Aku mempercepat langkahku. Ia setengah berlari mengikuti jalan setapak taman kota. Aku setengah berlari mengikutinya. Ia tiba-tiba saja menghentikan langkahnya. Aku mendadak menghentikan langkahku.

"BISAKAH KAU BERHENTI MENGIKUTIKU?!!!" ia berteriak, tepat setelah tubuhnya sempurna menghadap ke arahku. Suaranya bergetar. Sepertinya ia sangat marah. Atau... takut? Entah lah. Nafasnya tersenggal. Wajahnya memerah. Tetap cantik, tapi tidak lagi terlihat semenenangkan biasanya, seperti yang sering kulihat di bangku taman.

Aku membalas tatapan matanya dengan lemah. Tatapan itu. Tatapan yang sama sekali tak pernah kukira akan kudapat darinya. Aku melangkahkan kakiku sekali ke arahnya. Ia melangkahkan kakinya tiga kali menjauhiku.

"Hei, mengapa kau membentaknya?" suara lembut itu datang dari seorang laki-laki yang mendekati kami berdua. Laki-laki itu mengernyit ke arah gadis manis di depanku.

"Aku tidak bermaksud membentaknya. Aku hanya..." gadis itu sepertinya kesulitan bicara. Terbata. Tangannya gemetar. "Aku... aku benar-benar phobia hewan berbulu. Maaf." Gadis itu memutar lagi tubuhnya setelah memberikan isyarat salam pamit seadanya pada laki-laki di depannya. Kemudian dengan setengah berlari, ia melanjutkan perjalanan di jalan setapak taman sambil memeluk buku A3 miliknya. Meninggalkanku.

Laki-laki tadi berjongkok dan menggendongku. Sejenak memandangi punggung gadis manis itu sambil membelai lembut kepalaku. "Padahal kucing ini sangat lucu." 

Aku mengeong lemah. Kecewa. Gadis itu bukan jodohku.

1 comment:

  1. KETIPU!!!!

    AKU KIRA DIA PEMBUNUH ATAU BURONAN OR SOMETHING LIKE THAT! YOU GOT ME,AGAIN!

    maaf ya kemaren kemaren aku lagi liburan jadi akses internet terbatas. twitter baru kamu apa?

    -U KNOW ME

    ReplyDelete

About Me

My photo
Tangerang, Banten, Indonesia
bukan penulis, bukan pengarang, hanya pecinta keduanya.