Tuesday, September 3, 2013

A Hospital

Seorang pria berdasi dan berjas hitam mahal buatan luar negeri tengah berdiri di balik podium gagah, di atas panggung mewah, di dalam auditorium megah. Memberikan sambutan di hari peresmian rumah sakit miliknya. Rumah sakit yang kelak menjadi salah satu rumah sakit terbaik di Ibu Kota.

"Dan ada satu hal yang akan saya ceritakan di depan Anda semua," pria itu melanjutkan kalimatnya. Suaranya berat, memperdengarkan ketegasan dan kearifan dalam setiap tautan kata-katanya. Ia tersenyum kecil. Senyum yang sangat sederhana.

"Saat saya masih duduk di bangku sekolah dasar, saya tidak sama sekali memiliki keinginan untuk terjun ke dunia medis. Apalagi untuk membangun sebuah rumah sakit. Sampai akhirnya ibu saya menderita penyakit kanker. Ibu saya adalah wanita yang paling berharga yang pernah saya miliki. Saat itu, beliau adalah satu-satunya wanita yang ada dalam hidup saya. Satu-satunya bahu tempat saya bersandar, satu-satunya tangan yang menuntun saya dalam setiap langkah, dan satu-satunya hati yang menyayangi saya sepenuhnya. Dan beliau meninggal sebelum saya berhasil menemukan Dr. Syahril."

Audiens mendadak kompak bersuara. Tak jelas. Auditorium bergumuruh oleh gumaman masing-masing para tamu. Dr. Syahril?

"Iya, Dr. Syahril. Anda semua pasti mengenal beliau, bukan?" pria di balik podium itu mengiringi pertanyaannya dengan tersenyum.


Pria itu menunggu sesaat sampai akhirnya ruangan kembali diselimuti sepi. Ia bahkan dapat mengendalikan audiens hanya dengan kediamannya. Tak perlu meminta, apalagi memaksa para tamu untuk diam.

Laki-laki itu menghela nafas sebelum melanjutkan kalimatnya. "Dr. Syahril, seorang onkolog ternama yang saya yakin tidak ada satu orang pun dari Anda semua yang tidak mengetahui kiprahnya di dunia medis. Pasien yang meninggal karena kanker itu adalah istrinya."

Ruangan kembali riuh. Audiens bergumam seraya menerka-nerka hubungan antara si pemilik rumah sakit yang baru akan diresmikan ini dengan dokter yang namanya baru saja mereka dengar.

"Ya, Dr. Syahril adalah ayah kandung saya."

Laki-laki di balik podium itu lagi-lagi diam. Membiarkan para tamu undangan sibuk dengan ketakjuban mereka masing-masing. Hatinya tiba-tiba berkecamuk. Matanya lalu mengarah ke arah seorang wanita dengan rambut cokelat sepunggung yang duduk di barisan terdepan. Ia memandang wajah dan menatap mata wanita itu. Istrinya. Mencoba mencari ketenangan dalam tatapan damai dan senyum yang disunggingkan wanita berwajah lembut itu.

"Saat itu Dr. Syahril tidak gagal. Karena beliau tidak sama sekali menyentuh pasiennya itu. Profesionalitas beliau menuntut beliau untuk tetap bertahan di salah satu rumah sakit kanker di luar kota. Saya bisa mengerti. Saya mengenal beliau dengan sangat baik. Seorang pengabdi berdedikasi tinggi. Kematian ibu saya tidak ada sangkutpautnya sama sekali dengan keterlambatannya. Ibu saya memang sudah terlalu lelah. Beliau memang sudah sampai pada tujuannya.

"Sejak hari itu, saya putuskan untuk kelak mendirikan sebuah rumah sakit kanker. Tak peduli akan seberat apa perjuangan untuk mencapainya, tak peduli sebatas mana kemampuan saya. Saya harus mendirikan rumah sakit kanker dengan kualitas terbaik demi orang-orang yang membutuhkan pelayanan untuk keselamatan hidup mereka. Demi hidup orang-orang yang masih memiliki harapan.

"Beberapa bulan setelah saya menyelesaikan pendidikan saya di salah satu fakultas ekonomi terbaik di negeri tetangga, saya didiagnosa menderita chronic kidney disease. Bisa dipastikan saya tidak bisa hidup normal seperti orang sehat pada umumnya. Atau bisa juga dikatakan bahwa saya dan kematian sudah sangat dekat. Seperti jari telunjuk dan jari tengah."

Pria itu tersenyum getir.

"Saya merasa saya tidak boleh mati saat itu. Bukan. Bukan karena takut mati. Tapi saya belum mewujudkan resolusi saya untuk membangun sebuah rumah sakit kanker. Perlajanan saya baru saja akan dimulai. Saya tidak boleh jatuh sebelum melangkah.

"Saat itu ayah saya terus memberikan semangat hidup untuk saya. Beliau bilang, beliau akan berusaha sekuat mungkin demi kesembuhan saya. Beliau bilang saya tidak boleh berhenti berjuang. Beliau bilang saya harus mendirikan rumah sakit kanker untuk almarhumah ibu saya. Beliau lah satu-satunya orang yang memberikan motivasi sehingga saya tetap kuat berdiri.

"Hari ini, saya berdiri di depan Anda semua karena Tuhan mengizinkan saya untuk berdiri di sini. Dengan segala kerendahan hati dan dengan penuh rasa hormat, saya mengucapkan banyak terima kasih untuk segala macam bentuk partisipasi Anda semua. Saya merasa sangat bangga dan bersyukur bahwa orang-orang hebat seperti Anda hadir di acara sederhana saya ini."

Para tamu undangan mengencangkan dasi, mengusap rambut, tersenyum, atau entah apa. Merasa tersanjung oleh kalimat pria di depan mereka.

"Dan wanita kedua yang saya miliki setelah ibu saya. Istri yang sangat saya cintai, yang tengah membawa calon bayi pertama kami di dalam perutnya. Terima kasih karena tidak pernah pergi, bertahan, walau sesulit apapun keadaan yang harus saya jalani." Ia tersenyum manis ke arah sang istri. Lalu melirik ke arah calon anaknya. Perut buncit wanitanya.

Wanita itu membalas senyum suaminya dengan lemah. Matanya berair. Pipinya sempurna basah. Beberapa pasang mata memandanginya. Tak peduli. Ia terus menatap wajah suaminya yang seolah-olah baik-baik saja, sambil terus berbicara pada Tuhan di dalam hati. Berdoa untuk pria yang paling ia cintai.

"Dan tentu saja, untuk laki-laki terhebat yang pernah saya miliki. Dokter dengan dedikasi yang tak terkalahkan. Yang selalu mementingkan keselamatan pasien-pasiennya. Yang terus berjuang sampai titik keringat terakhirnya. Terima kasih karena tak pernah berhenti memberikan keyakinan bahwa suatu hari saya harus berdiri di tempat ini, dan menyampaikan rasa terima kasih ini. Terima kasih, Ayah."

Mata laki-laki itu menerawang hampa. Titik bulir air mata menetes membasahi pipinya.

Dua langkah, ia mundur menjauh dari podiumnya. Memberikan senyum terakhir tanda berpamitan pada para tamunya.

Seseorang berdiri dan memulai satu, dua, tiga tepukan tangan. Audiens yang lain ikut bertepuk tangan dalam keharuan dan suasana bahagia yang amat membanggakan. Beberapa dari mereka bahkan juga berdiri. Memberikan penghargaan yang amat tinggi.

Pria pemilik rumah sakit itu melangkah ke belakang panggung sambil menundukkan kepala. Tertawa kecil untuk dirinya sendiri. Sampai di belakang panggung, ia lalu masuk ke dalam subuah ruangan. Dipandanginya beberapa orang yang entah sudah berapa lama menunggunya di sana. Pria itu menarik nafas, lalu menghembuskannya bersamaan dengan hempasan suasana hati yang kacau tak terungkapkan. Laki-laki itu menunjukkan senyum semu di wajah pucat pasinya. Ia lalu mengangguk lemah pada pria-pria yang sekarang sudah berdiri di hadapannya.

Salah seorang dari pria-pria berseragam itu mengeluarkan borgol dan melingkarkannya di kedua pergelangan tangan pemilik rumah sakit yang baru akan di buka beberapa hari lagi itu. Salah seorang yang lain menarik pria itu keluar ruangan, hendak membawanya ke mobil petugas kepolisian.

Laki-laki itu baru saja melewati satu langkah dari pintu saat terkejut karena mendapati seorang wanita tengah menunggunya di luar ruangan. Istri dan calon anak pertamanya. Tanpa permisi, wanita itu memeluk suaminya. Erat. Air mata menetesi bagian bahu jas mewah yang pemilik rumah sakit itu kenakan. Wanita itu terisak. Bersuara tepat di samping telinga suaminya. Membuat laki-laki dengan tangan terborgol itu semakin perih hatinya. Ingin rasanya ia melepas ikatan besi di tangannya demi memeluk tubuh perempuan yang akan ditinggalkannya itu. Tapi ia tak memiliki daya untuk melakukannya. Diam saja. Menikmati pelukan terakhir yang mungkin tidak akan ia rasakan lagi untuk entah berapa lama.

Seorang polisi menyentuh lembut tangan wanita yang sedang menangis itu. Menandakan bahwa pelukan perpisahan itu harus segera dilepaskan. Bukan, bukan karena polisi-polisi itu tidak suka melihat adegan romantis menyedihkan seperti yang sedang mereka saksikan, tapi laki-laki yang diborgol ini memang tidak memiliki banyak waktu keluar dari rumah berjerujinya. Ia harus segera dikembalikan.

Perlahan, wanita dengan kandungan berusia 32 minggu mengendurkan pelukannya. Ia melepaskan tangan dari tubuh suami tampannya.

"Ada yang mau disampaikan?" seorang polisi bertanya, entah pada narapidananya, atau pada istri narapidana itu.

Wanita yang sinar wajahnya nyaris mati tak bercahaya itu diam tak bersuara. Lamat-lamat ia pandangi wajah suami di hadapannya. Mencoba merekam setiap lekuk dan raut ke dalam memorinya.

Laki-laki yang tengah dipandangi itu tersenyum. "Laki-laki atau perempuan katanya?" ia bertanya.

"Laki-laki," jawab sang istri singkat tanpa ekspresi.

"Beri nama yang sama dengan nama rumah sakit kita di belakang namanya," ucap pria itu. Tenang. Ia tersenyum lembut.

Sang istri hanya mengangguk pelan. Ia membalas senyum suaminya itu sekuatnya.

Polisi kembali menarik lengan narapidananya. Pemilik rumah sakit itu hanya diizinkan keluar dari sel beberapa jam saja, demi pidato pembukaan rumah sakitnya. Pemerintah Kota yang sengaja memintanya. Kehadirannya sangat berharga, katanya.

Pemilik rumah sakit itu melangkah melewati istrinya. Sejenak, ia menoleh ke belakang seraya tersenyum untuk terakhir kali di pertemuan pertamanya setelah tujuh bulan terpisah dengan orang tercintanya itu.

Pipi wanita itu basah lagi. Ia pandangi punggung suaminya yang kini tengah berjalan dituntun oleh pria-pria berseragam. Menjauhinya. Kembali ke tempat tinggal sederhana tanpa dirinya.

Laki-laki itu. Laki-laki yang dicintainya itu memang laki-laki hebat dengan ambisi yang sangat mulia. Tapi bagaimanapun juga, membunuh ayahnya sendiri satu tahun lalu demi mendapatkan kedua ginjalnya tetap saja pebuatan yang patut mendapatkan hukuman. Meskipun kedua ginjal itu digunakan untuk hal yang tidak sia-sia, satu ditransplantasikan untuknya demi mempertahankan hidup, satu yang lain dijual dan hasilnya disumbangkan untuk mendirikan Rumah Sakit Kanker Syahril kebanggaannya.

No comments:

Post a Comment

About Me

My photo
Tangerang, Banten, Indonesia
bukan penulis, bukan pengarang, hanya pecinta keduanya.