Monday, February 17, 2014

A Birth Day Boy


            Setengah jam sudah kupandangi kue tart berbentuk lingkaran di hadapanku. Aku melirik jam dinding. Meski kamarku hanya diterangi biasan cahaya lampu jalan dan api yang menari di ujung 10 lilin kecil yang mengitari tepi kue di depanku, aku masih bisa melihat dengan jelas jarum jam dindingku.
            Lima menit menuju pukul 12 malam. Jarum jam itu berjalan sangat lamban. Tiga menit menuju pukul 12 malam. Semakin lama tampaknya semakin lamban. Satu menit menuju pukul 12 malam. Kali ini jarum paling panjang dan paling tipis itu yang lajunya terasa bagai kura-kura pincang. Tiga puluh detik sebelum pukul 12 malam.
Tepat pukul 12 malam.
            “Selamat ulang tahun. Selamat ulang tahun. Selamat hari ulang tahun. Semoga panjang umur.”
Aku meniup lilin-lilin di hadapanku. Kunyalakan lampu meja belajarku, kuraih buku catatan kecilku, dan kumulai menggoyang-goyangkan pena seraya mencatat sesuatu.
Februari, 17, 2009. Selamat hari ulang tahun!
Aku kembali ke tempat tidurku setelah menutup buku catatan kecil itu dan mematikan lampu meja belajarku.

***

“Selamat ulang tahun. Selamat ulang tahun. Selamat hari ulang tahun. Semoga panjang umur.”
Aku menghentikan api yang menari-nari di ujung 10 lilin yang tertancap di tepi kue berbentuk lingkaran di atas meja belajarku.
Februari, 17, 2010. Happy birth day!

***
“Selamat ulang tahun. Selamat ulang tahun. Selamat hari ulang tahun. Semoga panjang umur.”
Cahaya di ujung lilin-lilin kecil di depanku mati tertiup hembusan angin dari mulutku.
Februari, 17, 2013. Selamat hari ulang tahun! Keep calm and stay alive!!!

***
Februari terakhirku di kota ini. Tahun depan mungkin aku sudah berada di kota  lain, atau bahkan di negara lain. Tergantung di universitas mana otakku berhasil mengalahkan para pesaing.
Penjaga pintu gerbang sekolah memberikan candaan ramah, seperti biasa. Beberapa adik kelas tersenyum dan menyapa, seperti biasa. Guru piket memberikan jempol tanda penghargaan karena tiba di sekolah sebelum kantin buka, seperti biasa.
Februari terakhirku di lingkungan sekolah yang sangat nyaman dan menyenangkan. Semua berjalan seperti biasa. Tidak ada yang berbeda. Tidak ada teriakan selamat ulang tahun dari sudut mana pun gedung hijau ini. Seperti biasa.
Aku membuka pintu ruang kelasku dan terkejut mendapati sang ketua kelas sedang mengukir papan tulis, membentuk sebuah ucapan selamat ulang tahun super besar dengan spidol bermacam-macam warna. Beberapa teman kelasku yang lain naik ke atas meja dan memasang balon-balon di sudut atas kelas. Beberapa orang lagi sibuk menempeli dinding dengan kertas berwarna dan berbagai macam pita.
Ada apa ini?
“Ngapain lo bengong di situ?” tanya sang ketua kelas. “Cepetan masuk! Terus tutup pintunya!”
Aku menutup pintu. “Ini ada apaan sih?” tanyaku sambil berjalan menuju orang yang baru saja mengajakku bicara itu.
“Hari ini ulang tahun wali kelas kita, jadi kita mau bikin kejutan.”
“Ooooooooh. Gue kira ada apaan.”
“Emang lo pikir apa? Kita mau ngerayain hari ulang lo gitu?”
Aku malangkah menuju mejaku tanpa memberikan tanggapan untuk kalimat terakhir sang ketua kelas.
“Eh, emang hari ini lo ulang tahun juga?” tanya salah seorang teman kelasku yang lain.
Aku meletakkan tas ransel di tempat dudukku. “Enggak,” jawabku singkat. “Gue harus bantu apa nih?”

***
“Soal yang ini, selain pake cara kayak gini kayaknya ada cara lain ya?” tanyaku sambil menunjukkan buku contoh soal beserta jawaban yang kukerjakan di buku catatan kecilku.
“Kayaknya iya. Tapi gue juga lupa.”
“Gue ke rak buku emteka dulu deh ya,” ucapku sambil berdiri. “Siapa tau rumusnya ada di buku terbitan penerbit lain.”
“Oke,” tanggap temanku.
Aku berdiri cukup lama di lorong rak buku sains perpustakaan sekolahku. Membuka semua buku Matematika kelas tiga dan mencari bagian yang ingin kutemukan rumus alternatifnya. Guruku pernah mengajarkan cara lain yang lebih mudah untuk menyelesaikan soal semacam tadi, seingatku. Sialnya, aku memiliki kebiasaan mencatat pelajaran di sembarang tempat. Di buku apa saja. Bahkan di buku milik siapa saja. Lebih sial dari itu, berani taruhan seluruh penghuni kelasku pasti tidak sama sekali ada yang mencatatnya.
Tidak ada. Aku tidak menemukan cara itu di buku penerbit mana pun. Semua buku menuliskan rumus yang sama. Tanpa hasil, aku kembali ke meja baca tempat aku dan temanku duduk tadi.
Aku mengernyit. Temanku sudah tidak ada di tempatnya. Hanya ada beberapa buku yang tadi ia baca, yang ditinggalkan terbuka di atas meja, dan seorang murid yang tidak kukenali tengah duduk menunduk di bangku yang kutempati tadi. Sedang apa dia? Ah! Buku catatan kecilku tadi juga kubiarkan terbuka. Jangan-jangan ia mau mencari contekan atau semacamnya.
“Ehm, sorry, ini tempat gu….”
Suaraku membuat orang itu menoleh ke arahku.
Mulutku mendadak kaku. Lidahku kelu. Pita suaraku beku. Sempurna membisu. Lututku lemas tak ada daya. Kepalaku berat bak tertimpa besi baja. Jantungku berdetak cepat tanpa jeda. Kualihkan pandanganku dari wajah murid itu menuju buku catatan kecil milikku yang ia pegang.
Halaman itu….
“Hari ini lo ulang tahun?” tanya orang itu.
Rasanya aku ingin lari sekencang-kencangnya ke pulau paling terpencil di dunia dan bersembunyi di gua yang belum pernah terjamah manusia.

***
“Selamat ulang tahun. Selamat ulang tahun. Selamat hari ulang tahun. Semoga panjang umur.”
Lilin-lilin yang mengelilingi tepi kue tart berbentuk lingkarang di depanku ditiup berkali-kali hingga api terakhir padam. Setelah semua lilin padam, ia menyalakan korek api dan membakar kembali ujung lilin-lilin kecil itu. “Tujuh belas Februari 2013,” ucapnya.
“Selamat ulang tahun. Selamat ulang tahun. Selamat hari ulang tahun. Semoga panjang umur.”
Lagi, tarian api di atas kue tart itu dihentikan. Kemudian ia nyalakan korek api dan ia hidupkan lagi 10 lilin di hadapannya itu. “Tujuh belas Februari 2014.”
Aku menarik nafasku dalam, lalu menghembuskannya kencang. Terlalu kencang, hingga dua lilin di atas kue itu padam. “Aduh, ma… maaf,” ucapku pelan.
Tak ada respon apa pun.
Aku menggigit bibir bagian bawahku dan dengan usaha yang amat sangat berat, kuangkat kepalaku dan kulihat wajahnya. Aku benar-benar salah tingkah. Benar-benar tidak tahu harus melakukan apa. Tak tahan lama-lama menatapnya, aku menutup wajah dengan kedua telapak tanganku. Kuharap para alien datang dan menculikku ke planet mereka. Sekarang juga.
Kudengar suara korek api dinyalakan. Sepertinya ia menghidupkan kembali lilin yang padam karena hembusan nafasku tadi. “Tujuh belas Februari 2014. Cepet!”
Aku mengintip melalui sela-sela jari dan mendapati orang di hadapanku tengah memandangku dengan wajah menunggu.
Ia menaikkan kedua alisnya. “Cepetan!”
Aku menurunkan kedua tanganku perlahan. Kutarik nafas panjang dan kuhempaskan. Tidak, kali ini aku tidak memadamkan satu lilin pun. Untunglah aku menyadari keberadaan lilin di depanku dan dengan cepat menengadahkan kepala satu detik sebelum menghempaskan nafas.
“Seumur hidup, gue enggak pernah tau apa yang spesial dari hari ulang tahun. Gue enggak pernah dapet ucapan selamat ulang tahun, gue enggak pernah tiup lilin di atas kue ulang tahun, apalagi dinyanyiin lagu selamat ulang tahun. Lo udah bikin gue ngerasa rugi selama bertahun-tahun karena lo ngelakuin semuanya tanpa sepengetahuan gue. Harusnya gue ngerasa jadi orang seberarti ini sejak enam tahun yang lalu. Harusnya gue ngerasain kebahagiaan kayak gini sejak enam tahun yang lalu. Jadi lo harus bayar semuanya sampe lunas,” tuturnya panjang lebar. Kalimat terpanjang yang pernah kudengar dari laki-laki yang hanya menyapaku seadanya sejak pertama kali kami saling mengenal dalam orientasi murid baru di sekolah menengah pertama kami enam tahun lalu. Ia memang terlihat sedikit dingin pada wanita. Alasan mengapa aku tak pernah mencoba berteman lebih dekat dengannya. Aku tidak menyangka ia bisa bicara dengan nada seakrab itu. Bicara padaku.
Tiba-tiba saja aku ingin menangis, entah karena apa.
“Tujuh belas Februari 2014,” ia berucap lagi.
Aku menelan ludah. Kutarik nafas, lalu dengan sedikit bergetar, kumulai lagi nyanyianku. “Happy birth day to you. Happy birth day….
“Tunggu!” ia menghentikan laguku. “Dari tadi lo nyanyi buat kue, buat lilin, buat meja, dan bahkan buat sepatu lo sendiri. Ini lagu terakhir, jadi lo harus nyanyi sambil ngeliat ke arah gue.”
Aku memberanikan diri menatap matanya. “Mending lo bunuh gue aja deh.”
Ia memasang wajah terkejut sekaligus kebingungan. Tak lama, ia tertawa. Benar-benar tertawa. Tawa paling bercahaya yang pernah kulihat dari wajahnya.
Kurasa aku benar-banar akan mati satu detik setelah kata terakhir tertulis dalam kalimat ini.

6 comments:

  1. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete
  2. I DONT GET IT! who's the boy. what does he want? what the hell happened???? is he supposed to be a psycho? NEED MOAR!
    kok Narasimu bisa bagus gitu sih? ajarin lah Rist.

    ah, anyway, what a lovely birthday present. Thank you! :D

    ReplyDelete
  3. ini ceritanya simple banget sebenernya. she's just a lover and you can find many girls like her in real life. that boy is someone the girl loves.

    ReplyDelete
  4. AH! THAT'S MAKE SENSE THEN!
    aku pikir it's a lot of deeper, tho so it's kinda confused me.
    can you make a prequel, please? Need this kind of thing in my life!

    ReplyDelete
  5. "this kind" maksudnya apa nih???

    omong-omong, HAPPY BIRTHDAY KAAAAAALLLLL

    ReplyDelete
  6. THANK YOU RISTY! I'M SO GLAD WITH THIS STORY!

    cerita bertema gelap dan confusing. bisa bikin otakku yang udah debuan buat mikir lagi. haha

    ReplyDelete

About Me

My photo
Tangerang, Banten, Indonesia
bukan penulis, bukan pengarang, hanya pecinta keduanya.