Kehidupan seorang laki-laki dapat berubah tergantung
dengan siapa laki-laki itu berkencan. Paling tidak, itu yang berlaku padaku.
Aku bukan tipe pria yang menuntut wanita untuk bisa menyesuaikan diri denganku.
Akulah yang harus menyesuaikan diri dengannya.
Delapan bulan yang lalu, aku masih berpacaran dengan
seorang wanita kaya raya. Anak pengusaha. Setiap akhir pekan, kami menghabiskan
waktu dari satu mall ke mall lain. Mencari entah itu tas, sepatu, pakaian, jam
tangan, atau apa pun itu. Sebagai seorang kekasih, sesekali aku membelikan
barang yang ia suka. Hanya sesekali. Tas seharga 300 ribu, sepatu hak tinggi
yang harganya juga sangat tinggi, jepit rambut lucu seharga 70 ribu, dan barang-barang
lainnya.
Pacarku tidak akan makan siang jika bukan di restoran ternama.
Kami terbiasa menghabiskan santapan seharga 550 ribu untuk satu kali makan.
Jika ada film yang kebetulan sama-sama kami sukai,
kami mengganti jadwal belanja dengan pergi bioskop. Tentu saja bukan bioskop
dengan tiket seharga 50 ribu yang ia pesan. Itu bukan kelasnya.
Kadang, pacarku mengundangku bertemu dengan
teman-temannya yang sebagian besar anak pengusaha, sebagian kecilnya anak
pejabat dan anak para politikus. Kami tidak minum alkohol atau melakukan sex
bebas. Tidak sama sekali. Kami hanya makan dan sedikit berdansa di sebuah kafe
yang harga satu gelas air putih saja mencapai 30 ribu.
Setiap kali berkunjung ke rumahnya, paling tidak aku
harus membawa cheese cake seharga 120
ribu untuk adiknya. Atau minimal bubble
tea seharga 25 ribu satu gelasnya.
Kami mengisi liburan panjang dengan berjalan-jalan ke
luar kota. Bali, Lombok, atau minimal Jogjakarta. Tidak ada hal penting yang
kami lakukan. Benar-benar hanya liburan. Satu kali berlibur, kami bisa
menghabiskan biaya lima sampai tujuh juta.
Saat ia berulangtahun, aku membuat kejutan di tepi
kolam renang di sebuah restoran yang kupesan khusus dengan harga 500 ribu per
jam. Aku juga menyiapkan satu buket bungan dengan harga 300 ribu dan kado
sebuah jam tangan yang harganya mencapai 450 ribu.
Kau pikir aku kewalahan? Tidak sama sekali. Aku tidak
keberatan dengan semua itu. Aku justru senang bisa menggunakan apa yang kupunya
untuk membahagiakan orang yang kusayangi. Meskipun saat ini aku dan perempuan
itu sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi. Ya, kami berpisah delapan bulan yang
lalu. Wanita itu ternyata telah dijodohkan dengan seorang anak pengusaha
lulusan universitas luar negeri. Sakit? Bohong jika aku bilang tidak. Tapi
semua kejadian pasti ada hikmahnya, bukan? Untunglah aku bukan orang yang mudah
jatuh hanya karena urusan percintaan.
Saat ini aku sedang menjalin hubungan dengan seorang
perempuan yang menolongku saat aku jatuh terserempet mobil lima bulan lalu.
Gadis ini sangat manis dan juga sederhana. Gaya dan
pola hidupnya bagaikan langit dan bumi jika dibandingkan dengan kekasihku yang
sebelumnya. Ia selalu mengenakan tas ransel yang sama sejak pertama kali
bertemu. Sepatu tali yang sama. Juga jam tangan yang sama.
Hanya sekali saja bertemu dengannya, kau akan tahu
betapa bedanya ia dengan kekasihku yang lama. Tapi entah mengapa aku merasa
sangat nyaman berada di sampingnya. Gaya bicaranya yang tidak terlalu lembut
tapi juga tidak terlalu kasar membuatku benar-benar menikmati waktu berbincang-bincang
dengannya. Sikapnya yang terkesan sedikit dingin tapi penuh perhatian itu
membuat aku tidak bisa melupakannya.
Mungkin orang-orang akan menilai bahwa seleraku soal
wanita turun kelas setelah putus dengan seorang anak pengusaha yang hidupnya
serba mewah, lalu mengencani seorang anak pegawai negeri yang kesehariannya
sangat sederhana. Persetan. Peduli apa tentang kata orang. Aku yang menjalani,
aku yang tahu siapa yang membuatku nyaman dan bahagia. Meskipun sesekali aku
bertanya pada diriku sendiri. Bagaimana bisa aku tertarik pada wanita yang bertolakbelakang
dengan wanita terakhir yang aku sukai? Tapi mengingat cinta selalu datang tanpa
bisa dihalangi, aku menyingkirkan pertanyaan tidak penting itu.
Seperti yang telah kukatakan, aku adalah pria yang
selalu berusaha menyesuaikan diri dengan orang yang aku sukai. Bukan ia yang
harus menyesuaikan diri denganku. Maka semenjak dekat dengannya, kehidupan
glamour yang sering aku lakukan dengan kekasihku yang lama benar-benar terkubur
dalam. Meskipun kuakui sebenarnya ia berasal dari keluarga yang berkecukupan untuk
bisa menghambur-hamburkan uang orangtuanya. Tapi sepertinya ia memang dididik
menjadi anak yang tidak suka berfoya-foya. Maka aku menyesuaikan diri
dengannya. Menjadi sosok yang sederhana.
Aku dan pacarku menghabiskan akhir pekan di taman kota
atau tempat rekreasi. Tiket masuk paling mahal hanya 30 ribu untuk berdua.
Sekalipun kami pergi ke mall, ia lebih suka mengunjungi toko buku. Sesekali,
aku membelikan buku yang ia suka. Satu buku hanya seharga 50 sampai 80 ribu,
biasanya.
Ia tidak suka makan di restoran mewah. Ia lebih suka junk food atau makanan di emperan
belakang mall yang satu porsinya tidak lebih dari 30 ribu, sudah lengkap dengan
minumannya.
Ia juga suka menonton film di bioskop. Bioskop apa
saja dan di mall mana saja. Seratus lima puluh ribu sudah cukup untuk membeli
dua tiket nonton dan cemilan serta minumannya.
Aku juga pernah dikenalkan dengan teman-temannya di acara
ulang tahun salah satu temannya saat SMA. Acara manggang. Aku hanya perlu membawa satu kantong penuh makanan ringan
yang jika ditotal hanya sekitar 50 ribu sebagai tanda partisipasi.
Setiap kali berkunjung ke rumahnya, aku sudah sangat
dihargai hanya dengan membawakan keluarganya makanan seperti martabak telur
yang harganya 30 ribu. Sesekali aku membelikan adiknya boneka beruang lucu
seharga 50 ribu. Kami juga sering pergi bertiga ke taman hiburan. Iya, bersama
adik perempuannya yang lucu itu. Jika bosan dengan suasana di luar, aku dan
pacarku belanja sedikit bahan-bahan dapur untuk kemudian dimasak bersama di
rumah.
Satu bulan yang lalu ia berulang tahun. Tidak perlu
membuat kejutan di restoran mahal untuk membuat hari ulangtahunnya menjadi
istimewa. Aku hanya datang ke rumahnya sebelum matahari terbit dan membawakan
bunga mawar seharga 20 ribu, satu tangkai, bukan satu buket. Lalu aku
memberikan sebuah cardigan berwarna
ungu sebagai kado. Tidak mahal, hanya 90 ribu, tapi ia sangat manis
mengenakannya. Tidak lupa sebuah kue ulang tahun sederhana dengan lilin-lilin
kecil di atasnya. Tidak sampai 200 ribu, aku membuat ia benar-benar bahagia di
hari ulangtahunnya.
Ternyata benar, kebahagiaan tidak dapat diukur dengan
uang. Memang betul, uang dapat membuat manusia bahagia, tapi ternyata kebahagiaan
bukan hanya berasal dari banyaknya uang yang kau punya. Kalau dibandingkan, menurutmu
aku lebih bahagia bersama pacarku yang lama, atau bersama gadis yang sekarang
tengah kukencani? Jawabannya, sama. Mereka berdua sama-sama memiliki sifat yang
kusukai. Sama-sama wanita yang baik dan pengertian. Sama-sama menyenangkan
diajak berbincang-bincang. Sama-sama cantik. Letak perbedaannya hanya pada gaya
hidup mereka. Berhubung aku bagaikan bunglon yang bisa menyesuaikan diri dengan
siapa pun, maka jujur saja, semua perbedaan itu tidak sama sekali menjadi
masalah untukku. Hal yang paling penting adalah bahwa aku bisa membahagiakan
mereka.
***
“Kita sampe di sini aja ya,” ucapnya pelan.
“Ada masalah?” tanyaku.
“Enggak sih, cuma aku ngerasa kita udah enggak bisa
sama-sama aja.”
“Aku punya salah sama kamu?”
“Enggak kok, beneran.”
“Kamu suka sama cowok lain?”
“Enggak sama sekali. Aku masih… ya, sebenernya masih
sayang sama kamu. Tapi enggak tau kenapa aku ngerasa mending kita udahan aja.
Kamu boleh marah sama aku karena aku emang jahat banget mutusin kamu padahal
kamu enggak punya salah apa-apa. Aku… minta maaf.”
Aku tersenyum lemah. “It’s okay. Aku enggak apa-apa kalo kamu emang udah gak bisa sama
aku lagi. Aku enggak mau maksain kamu. Tapi kamu mau janji sesuatu sama aku?”
“Janji apa?”
“Setelah hari ini, kamu harus jaga diri baik-baik,
tidur yang cukup, jangan telat makan, cari laki-laki yang lebih baik dari aku,
dan… jangan pernah benci apalagi dendam sama aku.”
Ia mengangguk sambil memaksakan diri untuk tersenyum.
Matanya berair. “Gak ada alasan untuk benci sama kamu.”
“Enggak selalu butuh alasan untuk ngelakuin sesuatu
kan? Buktinya kamu juga mutusin aku tanpa alasan,” ucapku diiringi tawa kecil
yang terdengar menyakitkan.
Ia diam. Kurasa tak tahu harus menjawab apa.
“Oh iya, aku punya sesuatu buat kamu.”
“Apa?” tanyanya.
Aku mengeluarkan sebuah buku kecil dari ranselku.
Sesuatu yang selalu aku berikan pada orang-orang yang kusayangi saat mereka
memutuskan untuk menyudahi hubungannya denganku. “Ini.”
“Ini apa?” ia meraih buku itu dan bertanya.
“Biaya yang aku keluarin selama pacaran sama kamu. Yang
aku catet bener-bener cuma yang aku keluarin untuk kamu. Aku enggak sama sekali
masukin pengeluaran yang aku pake buat diri aku sendiri. Aku juga udah motong
semua biaya yang kamu keluarin buat neraktir aku makan, nonton, atau beliin aku
bensin. Aku enggak mau korupsi. Aku juga enggak maksa kamu buat balikin semua
biaya itu secepatnya. Kamu bisa balikin kapan aja. Makasih atas semua waktu
yang kamu kasih buat aku. Semoga kamu bahagia.” Aku bangun dan pergi
meninggalkan mereka, gadisku, masa-masa indahku bersamanya, dan sebuah buku tabungan yang saldonya hanya bisa
kugunakan untuk membeli smartphone itu.
Jumlahnya Jauh berbeda dengan buku tabunganku
dengan wanita sebelumnya.
oke, begini. dari awal aku membaca ini, aku mulai sedikit heran dengan angka-angka sialan yang dituliskan oleh laki-laki itu. tadinya kupikir dia sangat perhitungan dan kemudian aku pikir aku salah sangka dan menyangka dia orang yang benar-benar baik. tapi apa yang terjadi diakhir cerita adalah laki-laki itu berhasil membuatku menyumpahi dan mengutuknya dalam-dalam. sekali lagi kau benar-benar membuatku terpana akan keindahan tulisanmu. terima kasih :)
ReplyDeletekutuk! kutuk laki-laki itu sampe puas haha. yet you were true, he's actually a nice guy.
ReplyDeletesama-sama. makasih juga udah baca dan komentar :))))