Monday, February 24, 2014

Kencan

Kehidupan seorang laki-laki dapat berubah tergantung dengan siapa laki-laki itu berkencan. Paling tidak, itu yang berlaku padaku. Aku bukan tipe pria yang menuntut wanita untuk bisa menyesuaikan diri denganku. Akulah yang harus menyesuaikan diri dengannya.
Delapan bulan yang lalu, aku masih berpacaran dengan seorang wanita kaya raya. Anak pengusaha. Setiap akhir pekan, kami menghabiskan waktu dari satu mall ke mall lain. Mencari entah itu tas, sepatu, pakaian, jam tangan, atau apa pun itu. Sebagai seorang kekasih, sesekali aku membelikan barang yang ia suka. Hanya sesekali. Tas seharga 300 ribu, sepatu hak tinggi yang harganya juga sangat tinggi, jepit rambut lucu seharga 70 ribu, dan barang-barang lainnya.
Pacarku tidak akan makan siang jika bukan di restoran ternama. Kami terbiasa menghabiskan santapan seharga 550 ribu untuk satu kali makan.
Jika ada film yang kebetulan sama-sama kami sukai, kami mengganti jadwal belanja dengan pergi bioskop. Tentu saja bukan bioskop dengan tiket seharga 50 ribu yang ia pesan. Itu bukan kelasnya.
Kadang, pacarku mengundangku bertemu dengan teman-temannya yang sebagian besar anak pengusaha, sebagian kecilnya anak pejabat dan anak para politikus. Kami tidak minum alkohol atau melakukan sex bebas. Tidak sama sekali. Kami hanya makan dan sedikit berdansa di sebuah kafe yang harga satu gelas air putih saja mencapai 30 ribu.
Setiap kali berkunjung ke rumahnya, paling tidak aku harus membawa cheese cake seharga 120 ribu untuk adiknya. Atau minimal bubble tea seharga 25 ribu satu gelasnya.
Kami mengisi liburan panjang dengan berjalan-jalan ke luar kota. Bali, Lombok, atau minimal Jogjakarta. Tidak ada hal penting yang kami lakukan. Benar-benar hanya liburan. Satu kali berlibur, kami bisa menghabiskan biaya lima sampai tujuh juta.
Saat ia berulangtahun, aku membuat kejutan di tepi kolam renang di sebuah restoran yang kupesan khusus dengan harga 500 ribu per jam. Aku juga menyiapkan satu buket bungan dengan harga 300 ribu dan kado sebuah jam tangan yang harganya mencapai 450 ribu.
Kau pikir aku kewalahan? Tidak sama sekali. Aku tidak keberatan dengan semua itu. Aku justru senang bisa menggunakan apa yang kupunya untuk membahagiakan orang yang kusayangi. Meskipun saat ini aku dan perempuan itu sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi. Ya, kami berpisah delapan bulan yang lalu. Wanita itu ternyata telah dijodohkan dengan seorang anak pengusaha lulusan universitas luar negeri. Sakit? Bohong jika aku bilang tidak. Tapi semua kejadian pasti ada hikmahnya, bukan? Untunglah aku bukan orang yang mudah jatuh hanya karena urusan percintaan.
Saat ini aku sedang menjalin hubungan dengan seorang perempuan yang menolongku saat aku jatuh terserempet mobil lima bulan lalu.
Gadis ini sangat manis dan juga sederhana. Gaya dan pola hidupnya bagaikan langit dan bumi jika dibandingkan dengan kekasihku yang sebelumnya. Ia selalu mengenakan tas ransel yang sama sejak pertama kali bertemu. Sepatu tali yang sama. Juga jam tangan yang sama.
Hanya sekali saja bertemu dengannya, kau akan tahu betapa bedanya ia dengan kekasihku yang lama. Tapi entah mengapa aku merasa sangat nyaman berada di sampingnya. Gaya bicaranya yang tidak terlalu lembut tapi juga tidak terlalu kasar membuatku benar-benar menikmati waktu berbincang-bincang dengannya. Sikapnya yang terkesan sedikit dingin tapi penuh perhatian itu membuat aku tidak bisa melupakannya.
Mungkin orang-orang akan menilai bahwa seleraku soal wanita turun kelas setelah putus dengan seorang anak pengusaha yang hidupnya serba mewah, lalu mengencani seorang anak pegawai negeri yang kesehariannya sangat sederhana. Persetan. Peduli apa tentang kata orang. Aku yang menjalani, aku yang tahu siapa yang membuatku nyaman dan bahagia. Meskipun sesekali aku bertanya pada diriku sendiri. Bagaimana bisa aku tertarik pada wanita yang bertolakbelakang dengan wanita terakhir yang aku sukai? Tapi mengingat cinta selalu datang tanpa bisa dihalangi, aku menyingkirkan pertanyaan tidak penting itu.
Seperti yang telah kukatakan, aku adalah pria yang selalu berusaha menyesuaikan diri dengan orang yang aku sukai. Bukan ia yang harus menyesuaikan diri denganku. Maka semenjak dekat dengannya, kehidupan glamour yang sering aku lakukan dengan kekasihku yang lama benar-benar terkubur dalam. Meskipun kuakui sebenarnya ia berasal dari keluarga yang berkecukupan untuk bisa menghambur-hamburkan uang orangtuanya. Tapi sepertinya ia memang dididik menjadi anak yang tidak suka berfoya-foya. Maka aku menyesuaikan diri dengannya. Menjadi sosok yang sederhana.
Aku dan pacarku menghabiskan akhir pekan di taman kota atau tempat rekreasi. Tiket masuk paling mahal hanya 30 ribu untuk berdua. Sekalipun kami pergi ke mall, ia lebih suka mengunjungi toko buku. Sesekali, aku membelikan buku yang ia suka. Satu buku hanya seharga 50 sampai 80 ribu, biasanya.
Ia tidak suka makan di restoran mewah. Ia lebih suka junk food atau makanan di emperan belakang mall yang satu porsinya tidak lebih dari 30 ribu, sudah lengkap dengan minumannya.
Ia juga suka menonton film di bioskop. Bioskop apa saja dan di mall mana saja. Seratus lima puluh ribu sudah cukup untuk membeli dua tiket nonton dan cemilan serta minumannya.
Aku juga pernah dikenalkan dengan teman-temannya di acara ulang tahun salah satu temannya saat SMA. Acara manggang. Aku hanya perlu membawa satu kantong penuh makanan ringan yang jika ditotal hanya sekitar 50 ribu sebagai tanda partisipasi.
Setiap kali berkunjung ke rumahnya, aku sudah sangat dihargai hanya dengan membawakan keluarganya makanan seperti martabak telur yang harganya 30 ribu. Sesekali aku membelikan adiknya boneka beruang lucu seharga 50 ribu. Kami juga sering pergi bertiga ke taman hiburan. Iya, bersama adik perempuannya yang lucu itu. Jika bosan dengan suasana di luar, aku dan pacarku belanja sedikit bahan-bahan dapur untuk kemudian dimasak bersama di rumah.
Satu bulan yang lalu ia berulang tahun. Tidak perlu membuat kejutan di restoran mahal untuk membuat hari ulangtahunnya menjadi istimewa. Aku hanya datang ke rumahnya sebelum matahari terbit dan membawakan bunga mawar seharga 20 ribu, satu tangkai, bukan satu buket. Lalu aku memberikan sebuah cardigan berwarna ungu sebagai kado. Tidak mahal, hanya 90 ribu, tapi ia sangat manis mengenakannya. Tidak lupa sebuah kue ulang tahun sederhana dengan lilin-lilin kecil di atasnya. Tidak sampai 200 ribu, aku membuat ia benar-benar bahagia di hari ulangtahunnya.
Ternyata benar, kebahagiaan tidak dapat diukur dengan uang. Memang betul, uang dapat membuat manusia bahagia, tapi ternyata kebahagiaan bukan hanya berasal dari banyaknya uang yang kau punya. Kalau dibandingkan, menurutmu aku lebih bahagia bersama pacarku yang lama, atau bersama gadis yang sekarang tengah kukencani? Jawabannya, sama. Mereka berdua sama-sama memiliki sifat yang kusukai. Sama-sama wanita yang baik dan pengertian. Sama-sama menyenangkan diajak berbincang-bincang. Sama-sama cantik. Letak perbedaannya hanya pada gaya hidup mereka. Berhubung aku bagaikan bunglon yang bisa menyesuaikan diri dengan siapa pun, maka jujur saja, semua perbedaan itu tidak sama sekali menjadi masalah untukku. Hal yang paling penting adalah bahwa aku bisa membahagiakan mereka.
                                                         ***                              
“Kita sampe di sini aja ya,” ucapnya pelan.
“Ada masalah?” tanyaku.
“Enggak sih, cuma aku ngerasa kita udah enggak bisa sama-sama aja.”
“Aku punya salah sama kamu?”
“Enggak kok, beneran.”
“Kamu suka sama cowok lain?”
“Enggak sama sekali. Aku masih… ya, sebenernya masih sayang sama kamu. Tapi enggak tau kenapa aku ngerasa mending kita udahan aja. Kamu boleh marah sama aku karena aku emang jahat banget mutusin kamu padahal kamu enggak punya salah apa-apa. Aku… minta maaf.”
Aku tersenyum lemah. “It’s okay. Aku enggak apa-apa kalo kamu emang udah gak bisa sama aku lagi. Aku enggak mau maksain kamu. Tapi kamu mau janji sesuatu sama aku?”
“Janji apa?”
“Setelah hari ini, kamu harus jaga diri baik-baik, tidur yang cukup, jangan telat makan, cari laki-laki yang lebih baik dari aku, dan… jangan pernah benci apalagi dendam sama aku.”
Ia mengangguk sambil memaksakan diri untuk tersenyum. Matanya berair. “Gak ada alasan untuk benci sama kamu.”
“Enggak selalu butuh alasan untuk ngelakuin sesuatu kan? Buktinya kamu juga mutusin aku tanpa alasan,” ucapku diiringi tawa kecil yang terdengar menyakitkan.
Ia diam. Kurasa tak tahu harus menjawab apa.
“Oh iya, aku punya sesuatu buat kamu.”
“Apa?” tanyanya.
Aku mengeluarkan sebuah buku kecil dari ranselku. Sesuatu yang selalu aku berikan pada orang-orang yang kusayangi saat mereka memutuskan untuk menyudahi hubungannya denganku. “Ini.”
“Ini apa?” ia meraih buku itu dan bertanya.
“Biaya yang aku keluarin selama pacaran sama kamu. Yang aku catet bener-bener cuma yang aku keluarin untuk kamu. Aku enggak sama sekali masukin pengeluaran yang aku pake buat diri aku sendiri. Aku juga udah motong semua biaya yang kamu keluarin buat neraktir aku makan, nonton, atau beliin aku bensin. Aku enggak mau korupsi. Aku juga enggak maksa kamu buat balikin semua biaya itu secepatnya. Kamu bisa balikin kapan aja. Makasih atas semua waktu yang kamu kasih buat aku. Semoga kamu bahagia.” Aku bangun dan pergi meninggalkan mereka, gadisku, masa-masa indahku bersamanya, dan sebuah buku tabungan yang saldonya hanya bisa kugunakan untuk membeli smartphone itu. Jumlahnya Jauh berbeda dengan buku tabunganku dengan wanita sebelumnya.

2 comments:

  1. oke, begini. dari awal aku membaca ini, aku mulai sedikit heran dengan angka-angka sialan yang dituliskan oleh laki-laki itu. tadinya kupikir dia sangat perhitungan dan kemudian aku pikir aku salah sangka dan menyangka dia orang yang benar-benar baik. tapi apa yang terjadi diakhir cerita adalah laki-laki itu berhasil membuatku menyumpahi dan mengutuknya dalam-dalam. sekali lagi kau benar-benar membuatku terpana akan keindahan tulisanmu. terima kasih :)

    ReplyDelete
  2. kutuk! kutuk laki-laki itu sampe puas haha. yet you were true, he's actually a nice guy.


    sama-sama. makasih juga udah baca dan komentar :))))

    ReplyDelete

About Me

My photo
Tangerang, Banten, Indonesia
bukan penulis, bukan pengarang, hanya pecinta keduanya.