“Award apa
ya, yang belum pernah kita keluarin?” Asti bertanya.
Aku
mengerutkan kening. “Sebetulnya banyak, tapi apa ya?”
“Ah, murid
paling lugu udah belum?” Bella memberi saran.
“Belum!”
aku dan Asti serentak menjawab.
“Siapa?
Siapa?” tanya Bella semangat.
Asti
menatap langit-langit. “Dika?”
“Dika sih, bukan lugu, tapi pure kurang pinter,”
Bella menolak nama yang diajukan Asti.
Aku tertawa
lebar. “Jenni gimana?” usulku kemudian.
“Jenni 11 Sosial 4?”
Aku
mengangguk cepat.
“Setuju!”
seru Bella. “Sumpah ya, gue pernah ngerjain dia pas april fool day terus dia beneran ketipu tanpa curiga sedikit pun!”
lanjutnya bercerita.
“Itu sih,
lo aja yang emang raja tega kali, Bel,” ucapku.
“Sialan
lo!”
Aku
membalas Bella dengan juluran lidah.
“Eh, by the way, kita suka ngasih award ke anak-anak lain tapi gak pernah
ngasih award ke diri kita sendiri,”
tiba-tiba Asti berkata.
“Oh iya,
bener juga lo,” aku menanggapi.
Bella
mengangguk mengamini. “Kalo gue kira-kira murid paling apa ya?”
“Paling
tega!”
Asti tertawa.
“Atau paling kejam!”
“Kenapa gue
dapet yang gak enak?” Bella protes.
“Emang
hidup lo gak enak, Bel,” aku menanggapi. “Sabar ya, Bel,” tambahku sambil
menepuk-nepuk punggung Bella. Meledek.
“Singkirkan
tangan kotormu itu, Nak!” Bella menepis tanganku.
“Lo
berdua ribut mulu kayak bebek!”
“Bebek
terkenal akur, As.”
“Bagus deh,
kalo mereka udah akur.”
“Sumpah,
jayus banget ah, lo!”
“Eh, eh,
gue murid paling apa?” aku bertanya. “Paling cantik kali ya, kalo Jessica anak 11 IPA 1 itu lagi gak masuk.”
“Mau
Jessica keluar dari sekolah ini juga lo tetep gak bakal jadi murid paling cantik,
Cit!”
“Ah, masa
sih, Bel? Gue masih inget lo pernah bilang kalo gue cantik.”
“Itu gue
khilaf, sumpah!”
“Cit, lo
tuh, cantik karena sering main sama gue sama Bella yang kebetulan kurang mengexplore anugerah kecantikan kita aja. Kalo
dibanding sama anak-anak satu sekolah, lo gak ada apa-apanya! Sama Bu Dona yang
anaknya udah tiga aja lo kalah cantik,” papar Asti panjang lebar.
“Iya deh,
iya, gue terima argumen kalian dengan lapang dada. Jadi gue murid paling apa
nih?”
“Paling
gila! Lo kan, ketawa mulu.”
“Idih, ogah
gue! Emang orang yang hidupnya seneng pasti gila?”
“Yaudah,
murid paling ceria gimana?”
“Boleh tuh,
boleh. Tapi emang gue paling ceria di sekolah ini?”
“Paling
ceria kedua setelah Abe sih. Tapi kan, Abe cerianya gara-gara nyimeng. Kalo lo, cerianya beneran
ceria, menebar tawa di mana pun berada. Hidup lo asik banget pokoknya.”
“Wets, gue
keren juga ya, kedengerannya,” ucapku sambil mengangkat-angkat kedua alis.
“Ngomong-ngomong,
gue jadi murid paling apa?”
“Paling
rajin?” usulku.
“Penghinaan!”
Asti protes. “Sekolah aja gue telat mulu.”
“Ah, murid
paling beruntung!”
“Kenapa
beruntung?” Asti heran.
“Ya, kan,
diantara kita bertiga, lo doang yang punya pacar,” ungkap Bella.
Aku
tertawa. “Lo ngarep banget ya, Bel?”
“Ah,
beruntung apanya? Pacar juga mukanya pas-pasan gitu.”
“Parah
banget lo!”
“Ya, emang
bener. Kalo pacar gue sekeren Kak Dirga tuh, baru gue beruntung.”
“Eh, eh,”
tiba-tiba aku terpikir sesuatu. “Kak Dirga belum kita kasih award!”
“Oh iya,”
timpal Bella. “Murid paling ganteng apa ya?”
“Atau
paling keren!”
“Paling
berkharisma!”
“Paling charming!”
“Paling cool!”
“Wah,
bener, Cit, paling cool. Setiap Kak
Dirga lewat, gue kayaknya langsung hipotermia seketika.”
“Inget
pacar, As!”
Asti
cemberut.
Aku dan
Bella tertawa. Masih tertawa sampai tiba-tiba terdengar seseorang memukul meja
dengan sangat keras. Aku, Asti, dan Bella, kami serentak menghentikan gelak tawa
karena terkejut.
“Lo bertiga
tuh, berisik banget sih! Gak bisa hargain jam tidur orang ya?” Hegi, salah satu
murid kelas kami yang selalu tidur saat jam istirahat, bicara dengan lantang
dari tempat duduknya di sudut kelas.
“Emang
sekolah tempat buat tidur apa, Gi?” Bella menimpali.
“Tau, nih!”
aku mendukung.
“Dasar
murid paling sering tidur!” Asti berkata dengan setengah berteriak.
“Murid
paling aneh!” tukas Bella menambahkan.
“Lo bertiga
tuh, yang aneh! Tiap hari kerjaannya ngasih award-award
fiktif yang gak bermutu kayak gitu!” Hegi masih mengomel saat ia bangun dari
tempat duduknya dan melangkah menuju pintu kelas.
“Ye, dasar
murid paling sensitif!” Bella sekali lagi berteriak sebelum setelah itu laki-laki
tukang tidur itu keluar dengan membanting pintu kelas.
***
Aku
berhenti sejenak. Kugoyangkan secara perlahan pergelangan kaki kiriku sambil
sesekali merintih. Semalam tidak terlalu terasa sakit, sebenarnya, tapi
ternyata sangat tidak nyaman digunakan untuk berjalan. Aku mendengus. Halte di
ujung gang jadi terasa berkali-kali lipat jauhnya dibanding hari-hari biasa.
“Kenapa lo?”
tiba-tiba Hegi muncul dan mengagetkanku. “Keseleo?”
“Gak
apa-apa,” jawabku sekenanya. Aku lalu melanjutkan lagi langkahku.
“Pincang
gitu lo bilang gak apa-apa?”
“Kayak baru
pertama kali ngeliat gue pincang aja.”
Hegi tertawa.
Ia lalu setengah berlari menuju bangku panjang di depan toko sembako yang
jaraknya tidak jauh dari tempatku berdiri. “Sini duduk!” ucapnya sambil
menepuk-nepuk bangku yang ia duduki.
Aku berjalan
pincang menghampirinya. “Ngapain?”
“Coba gue liat
kaki lo. Gue kan, anak futsal, jadi udah ngerti segala macem bentuk keseleo,”
ungkap Hegi sombong.
“Ye, gak
usah. Yang ada kaki gue tambah parah.”
“Sini!”
Hegi menarik tanganku dan membuat aku jatuh terduduk di bangku panjang tepat di
sebelahnya.
Aku
berdecak kesal.
Laki-laki
di sampingku lalu berjongkok. Secara perlahan, ia menurunkan kaos kaki kiriku
hingga pergelangan. “Astaga, lebam gini,” ia bergumam. Sekilas, ia menengadah,
menoleh ke arahku.
Aku
cepat-cepat membuang muka, malas bercerita padanya meski hanya lewat tatapan
mata.
“Gue ada
salep buat lebam kayak gitu,” ucap Hegi. Ia lalu melepaskan tas ransel dan
mengambil sesuatu dari dalamnya. Sebuah botol kecil berisi krim dingin yang
kemudian ia oleskan di sekeliling pergelangan kaki kiriku.
“Pelan-pelan!”
Aku berteriak di antara rintihan kesakitan.
“Iye, ini
gue pelan banget kali.”
Selesai
mengolesi kakiku dengan salepnya, Hegi lalu menaikkan kembali kaos kakiku ke
posisi semula. Kemudian ia berdiri dan memakai lagi tas ranselnya setelah
menaruh kembali botol krim itu di tempat semula.
Aku
menggoyang-goyangkan kakiku perlahan. “Awas ya, kalo kaki gue malah makin parah
gara-gara salep lo!”
Hegi
mendengus. “Kayak gitu cara lo ngucapin makasih? Iya, sama-sama.”
“Kalo kaki
gue udah sembuh, baru gue ngucapin makasih.”
Hegi
tertawa. “Sebelum yang itu sembuh, paling lo udah dapet luka baru lagi. Murid
paling ceria, mereka bilang?” Tawa laki-laki itu semakin lebar. “Lo lebih pas
kalo dikasih award murid paling
pinter… pura-pura!”
Aku baru
saja berdiri dengan susah payah dan hendak meninju perut Hegi saat tiba-tiba
kusadari sepasang laki-laki dan wanita berdiri di depanku dan menatapku. “Kamu
kenapa, Cita?” tanya si wanita.
“Gak
kenapa-kenapa,” aku menjawab singkat tanpa melihat sedikit pun ke arah
wajahnya.
“Nanti
malam jangan lupa siapin makanan ya, Cita, jangan kayak semalem. Bukan cuma kaki
kamu yang bisa patah, tapi seluruh badan kamu bisa saya bikin biru semua,”
wanita itu berkata lagi, lengkap dengan suara tawa di ujung kalimatnya.
Wanita itu
akhirnya melanjutkan langkahnya seraya berlalu bersama laki-laki muda yang
menggandeng tangannya.
“Dasar
tante girang berhati iblis!” celetuk Hegi.
Aku
mendorong kening laki-laki itu dengan jari telunjuk dan jari tengahku. “Jaga
mulut lo! Bisa-bisanya lo ngatain orang di depan anaknya sendiri!” Setelah menunjukkan
tatapan setengah sinis ke arah Hegi, aku lalu meneruskan perjalanan dengan sedikit
pincang menuju halte ujung gang rumahku.
“Cita, kaki
lo lagi sakit, jangan naik bis!” Hegi berteriak dari belakangku. “Naik taksi
aja, gue nebeng!”
wow. engga nyangka sesuatu yang ceria macam di atas itu bisa tiba-tiba diplintir sampe diabisin atasnya. KEREN AS USUAL!
ReplyDeleteI love this, deep. tapi tetep ye ada bumbu-bumbu romannya. hahha. Gjob.