Thursday, May 29, 2014

Murid Paling

Award apa ya, yang belum pernah kita keluarin?” Asti bertanya.

Aku mengerutkan kening. “Sebetulnya banyak, tapi apa ya?”

“Ah, murid paling lugu udah belum?” Bella memberi saran.

“Belum!” aku dan Asti serentak menjawab.

“Siapa? Siapa?” tanya Bella semangat.

Asti menatap langit-langit. “Dika?”

“Dika sih, bukan lugu, tapi pure kurang pinter,” Bella menolak nama yang diajukan Asti.

Aku tertawa lebar. “Jenni gimana?” usulku kemudian.

“Jenni 11 Sosial 4?”

Aku mengangguk cepat.

“Setuju!” seru Bella. “Sumpah ya, gue pernah ngerjain dia pas april fool day terus dia beneran ketipu tanpa curiga sedikit pun!” lanjutnya bercerita.

“Itu sih, lo aja yang emang raja tega kali, Bel,” ucapku.

“Sialan lo!”

Aku membalas Bella dengan juluran lidah.

“Eh, by the way, kita suka ngasih award ke anak-anak lain tapi gak pernah ngasih award ke diri kita sendiri,” tiba-tiba Asti berkata.

“Oh iya, bener juga lo,” aku menanggapi.

Bella mengangguk mengamini. “Kalo gue kira-kira murid paling apa ya?”

“Paling tega!”

Asti tertawa. “Atau paling kejam!”

“Kenapa gue dapet yang gak enak?” Bella protes.

“Emang hidup lo gak enak, Bel,” aku menanggapi. “Sabar ya, Bel,” tambahku sambil menepuk-nepuk punggung Bella. Meledek.

“Singkirkan tangan kotormu itu, Nak!” Bella menepis tanganku.

“Lo berdua ribut mulu kayak bebek!”

“Bebek terkenal akur, As.”

“Bagus deh, kalo mereka udah akur.”

“Sumpah, jayus banget ah, lo!”

“Eh, eh, gue murid paling apa?” aku bertanya. “Paling cantik kali ya, kalo Jessica anak 11 IPA 1 itu lagi gak masuk.”

“Mau Jessica keluar dari sekolah ini juga lo tetep gak bakal jadi murid paling cantik, Cit!”

“Ah, masa sih, Bel? Gue masih inget lo pernah bilang kalo gue cantik.”

“Itu gue khilaf, sumpah!”

“Cit, lo tuh, cantik karena sering main sama gue sama Bella yang kebetulan kurang mengexplore anugerah kecantikan kita aja. Kalo dibanding sama anak-anak satu sekolah, lo gak ada apa-apanya! Sama Bu Dona yang anaknya udah tiga aja lo kalah cantik,” papar Asti panjang lebar.

“Iya deh, iya, gue terima argumen kalian dengan lapang dada. Jadi gue murid paling apa nih?”

“Paling gila! Lo kan, ketawa mulu.”

“Idih, ogah gue! Emang orang yang hidupnya seneng pasti gila?”

“Yaudah, murid paling ceria gimana?”

“Boleh tuh, boleh. Tapi emang gue paling ceria di sekolah ini?”

“Paling ceria kedua setelah Abe sih. Tapi kan, Abe cerianya gara-gara nyimeng. Kalo lo, cerianya beneran ceria, menebar tawa di mana pun berada. Hidup lo asik banget pokoknya.”

“Wets, gue keren juga ya, kedengerannya,” ucapku sambil mengangkat-angkat kedua alis.

“Ngomong-ngomong, gue jadi murid paling apa?”

“Paling rajin?” usulku.

“Penghinaan!” Asti protes. “Sekolah aja gue telat mulu.”

“Ah, murid paling beruntung!”

“Kenapa beruntung?” Asti heran.

“Ya, kan, diantara kita bertiga, lo doang yang punya pacar,” ungkap Bella.

Aku tertawa. “Lo ngarep banget ya, Bel?”

“Ah, beruntung apanya? Pacar juga mukanya pas-pasan gitu.”

“Parah banget lo!”

“Ya, emang bener. Kalo pacar gue sekeren Kak Dirga tuh, baru gue beruntung.”

“Eh, eh,” tiba-tiba aku terpikir sesuatu. “Kak Dirga belum kita kasih award!”

“Oh iya,” timpal Bella. “Murid paling ganteng apa ya?”

“Atau paling keren!”

“Paling berkharisma!”

“Paling charming!

“Paling cool!”

“Wah, bener, Cit, paling cool. Setiap Kak Dirga lewat, gue kayaknya langsung hipotermia seketika.”

“Inget pacar, As!”

Asti cemberut.

Aku dan Bella tertawa. Masih tertawa sampai tiba-tiba terdengar seseorang memukul meja dengan sangat keras. Aku, Asti, dan Bella, kami serentak menghentikan gelak tawa karena terkejut.

“Lo bertiga tuh, berisik banget sih! Gak bisa hargain jam tidur orang ya?” Hegi, salah satu murid kelas kami yang selalu tidur saat jam istirahat, bicara dengan lantang dari tempat duduknya di sudut kelas.

“Emang sekolah tempat buat tidur apa, Gi?” Bella menimpali.

“Tau, nih!” aku mendukung.

“Dasar murid paling sering tidur!” Asti berkata dengan setengah berteriak.

“Murid paling aneh!” tukas Bella menambahkan.

“Lo bertiga tuh, yang aneh! Tiap hari kerjaannya ngasih award-award fiktif yang gak bermutu kayak gitu!” Hegi masih mengomel saat ia bangun dari tempat duduknya dan melangkah menuju pintu kelas.

“Ye, dasar murid paling sensitif!” Bella sekali lagi berteriak sebelum setelah itu laki-laki tukang tidur itu keluar dengan membanting pintu kelas.

***

Aku berhenti sejenak. Kugoyangkan secara perlahan pergelangan kaki kiriku sambil sesekali merintih. Semalam tidak terlalu terasa sakit, sebenarnya, tapi ternyata sangat tidak nyaman digunakan untuk berjalan. Aku mendengus. Halte di ujung gang jadi terasa berkali-kali lipat jauhnya dibanding hari-hari biasa.

“Kenapa lo?” tiba-tiba Hegi muncul dan mengagetkanku. “Keseleo?”

“Gak apa-apa,” jawabku sekenanya. Aku lalu melanjutkan lagi langkahku.

“Pincang gitu lo bilang gak apa-apa?”

“Kayak baru pertama kali ngeliat gue pincang aja.”

Hegi tertawa. Ia lalu setengah berlari menuju bangku panjang di depan toko sembako yang jaraknya tidak jauh dari tempatku berdiri. “Sini duduk!” ucapnya sambil menepuk-nepuk bangku yang ia duduki.

Aku berjalan pincang menghampirinya. “Ngapain?”

“Coba gue liat kaki lo. Gue kan, anak futsal, jadi udah ngerti segala macem bentuk keseleo,” ungkap Hegi sombong.

“Ye, gak usah. Yang ada kaki gue tambah parah.”

“Sini!” Hegi menarik tanganku dan membuat aku jatuh terduduk di bangku panjang tepat di sebelahnya.

Aku berdecak kesal.

Laki-laki di sampingku lalu berjongkok. Secara perlahan, ia menurunkan kaos kaki kiriku hingga pergelangan. “Astaga, lebam gini,” ia bergumam. Sekilas, ia menengadah, menoleh ke arahku.

Aku cepat-cepat membuang muka, malas bercerita padanya meski hanya lewat tatapan mata.

“Gue ada salep buat lebam kayak gitu,” ucap Hegi. Ia lalu melepaskan tas ransel dan mengambil sesuatu dari dalamnya. Sebuah botol kecil berisi krim dingin yang kemudian ia oleskan di sekeliling pergelangan kaki kiriku.

“Pelan-pelan!” Aku berteriak di antara rintihan kesakitan.

“Iye, ini gue pelan banget kali.”

Selesai mengolesi kakiku dengan salepnya, Hegi lalu menaikkan kembali kaos kakiku ke posisi semula. Kemudian ia berdiri dan memakai lagi tas ranselnya setelah menaruh kembali botol krim itu di tempat semula.

Aku menggoyang-goyangkan kakiku perlahan. “Awas ya, kalo kaki gue malah makin parah gara-gara salep lo!”

Hegi mendengus. “Kayak gitu cara lo ngucapin makasih? Iya, sama-sama.”

“Kalo kaki gue udah sembuh, baru gue ngucapin makasih.”

Hegi tertawa. “Sebelum yang itu sembuh, paling lo udah dapet luka baru lagi. Murid paling ceria, mereka bilang?” Tawa laki-laki itu semakin lebar. “Lo lebih pas kalo dikasih award murid paling pinter… pura-pura!”

Aku baru saja berdiri dengan susah payah dan hendak meninju perut Hegi saat tiba-tiba kusadari sepasang laki-laki dan wanita berdiri di depanku dan menatapku. “Kamu kenapa, Cita?” tanya si wanita.

“Gak kenapa-kenapa,” aku menjawab singkat tanpa melihat sedikit pun ke arah wajahnya.

“Nanti malam jangan lupa siapin makanan ya, Cita, jangan kayak semalem. Bukan cuma kaki kamu yang bisa patah, tapi seluruh badan kamu bisa saya bikin biru semua,” wanita itu berkata lagi, lengkap dengan suara tawa di ujung kalimatnya.

Wanita itu akhirnya melanjutkan langkahnya seraya berlalu bersama laki-laki muda yang menggandeng tangannya.

“Dasar tante girang berhati iblis!” celetuk Hegi.

Aku mendorong kening laki-laki itu dengan jari telunjuk dan jari tengahku. “Jaga mulut lo! Bisa-bisanya lo ngatain orang di depan anaknya sendiri!” Setelah menunjukkan tatapan setengah sinis ke arah Hegi, aku lalu meneruskan perjalanan dengan sedikit pincang menuju halte ujung gang rumahku.

“Cita, kaki lo lagi sakit, jangan naik bis!” Hegi berteriak dari belakangku. “Naik taksi aja, gue nebeng!”

1 comment:

  1. wow. engga nyangka sesuatu yang ceria macam di atas itu bisa tiba-tiba diplintir sampe diabisin atasnya. KEREN AS USUAL!

    I love this, deep. tapi tetep ye ada bumbu-bumbu romannya. hahha. Gjob.

    ReplyDelete

About Me

My photo
Tangerang, Banten, Indonesia
bukan penulis, bukan pengarang, hanya pecinta keduanya.