Friday, May 30, 2014

Ayah Cita

"WHOAH!" Aku berdecak takjub melihat rumah megah milik Ayah Cita.

Langit-langit penuh ukiran disangga tiang-tiang kokoh yang membelah marmer cokelat dingin. Guci-guci antik yang kutahu tidak dijual di dalam negeri. Etalase berisi berbagai macam penghargaan di dunia bisnis. Laki-laki ini benar-benar pekerja keras. Tidak heran dulu orangtuaku menjodohkanku (secara paksa) dengannya.

Entah berapa pekerja rumah tangga yang mengurus rumah ini. Tidak ada secuil pun debu di belahan mana pun ruangan tempat aku duduk di sofa empuk yang terasa ribuan kali lebih nyaman dibanding sofa tua di rumahku.

Aku menghisap rokokku dalam kemudian mengepulkan asap berbentuk lingkaran dari mulutku.

"Aku tidak punya asbak. Tidak ada yang merokok di rumah ini," ucap Ayah Cita yang baru saja datang, setelah ia meletakkan secangkir teh hangat di meja marmer di depanku.

"Tidak masalah."

"Ini." Laki-laki itu meletakkan sebuah amplop cokelat dan mendorongnya mendekati cangkir tehku.

Aku sekali lagi menghisap rokokku sebelum kemudian kumatikan rokok itu di piring penatak cangkir di depanku. Aku lalu meraih amplop itu dan tanpa basa-basi melihat isinya. Entah berapa lembar uang merah muda bergambar pasangan presiden dan wakil presiden pertama.

Aku meletakkan lagi amplop itu. "Sebenarnya hidup kami sudah cukup makmur," ucapku.

Ayah Cita tersenyum. "Aku tau," jawabnya. "Tapi aku pikir Cita harus ngerasain makan makanan yang dibeli dengan uang halal, sekali-kali. Walaupun makanannya baik, tapi kalau dibeli dengan uang yang tidak baik, tetep bisa berbahaya buat dia."

Aku tersenyum sinis. "Sombong banget kamu."

"Aku gak bermaksud nyindir kamu."

Aku tidak peduli pada pembelaannya. Tetap saja di telingaku kalimat itu terdengar begitu angkuh. Aku lalu meraih cangkir di depanku dan menyeruput teh di dalamnya. "Hm, teh hijau?" tanyaku sambil meletakkan kembali cangkir di tanganku.

Ayah Cita mengangguk. "Aku beli di Jepang minggu lalu. Kamu bisa bawa pulang beberapa untuk Cita."

"Cita gak suka teh. Kamu lupa?"

"Ah, iya, aku lupa," tanggap Ayah Cita sambil tertawa kecil.

"Orang sibuk kayak kamu, mana ada waktu untuk inget anak?" ucapku sarkasitis. Aku lalu tersenyum sinis.

Laki-laki itu menghela nafas. "Ngomong-ngomong, gimana sekolah Cita?"

"Baik-baik aja. Nilainya bukan yang paling tinggi, tapi juga bukan di urutan bawah. Walaupun anak itu selalu dingin dan kaku di rumah, tapi waktu aku datang untuk ambil rapor, kayaknya dia tipikal anak yang ceria kalau di sekolah. Temannya banyak. Dia kelihatan supel dan menyenangkan. Ah, bocah itu. Aku gak percaya dia bisa seberwarna itu kalau gak liat langsung pake mata kepalaku sendiri. Dia gak pernah memperlakukan ibunya sebaik dia memperlakukan temen-temannya di sekolah."

Ayah Cita tersenyum mendengar ceritaku. Senyum yang sama seperti senyumnya dulu, setiap kali ia pulang kerja dan duduk di sampingku sambil mendengarkan cerita tentang tingkah lucu puterinya yang baru berusia lima tahun saat itu. Maksudku, sama palsunya.

"Kapan terakhir kali kamu ketemu sama Cita?" aku bertanya.

Ayah Cita mengernyit seraya mencoba mengingat-ingat sesuatu. "Kira-kira tiga bulan lalu," jawabnya kemudian. "Aku gak sengaja liat dia lagi jalan sama temen-temennya di salah satu mall," lanjut laki-laki itu. "Tapi aku liat kayak ada lebam di bagian lehernya. Kamu suka pukul dia?"

Aku mengangguk.

"Karena dia bersikap sinis ke kamu?"

"Sebenernya sih, gara-gara setiap liat dia, aku selalu inget kamu. Aku gak tau gimana caranya numpahin rasa marah aku ke kamu selain mukul anak itu. Ya, ditambah lagi, dia emang suka sinis ke aku. Jadi aku manfaatin aja kelakuan dia buat jadi alesan numpahin marah ke kamu. Anyway, kemarin masa dia bilang aku gak boleh pegang-pegang pacarnya gara-gara tanganku kotor. Anak macam apa itu?"

"Pacar?"

"Cita bilangnya sih, temen. Tapi selama ini gak pernah ada satu pun temennya yang main ke rumah, kecuali laki-laki itu. Aku juga beberapa kali liat dia berangkat sekolah bareng sama Cita. Jadi, kayaknya emang pacar."

Ayah Cita tersenyum senang. "Apa dia anak baik-baik?"

"Dari garis mukanya sih, kayaknya dia nakal. Tapi nakalnya masih level nakal anak-anak lugu. Tapi manis kok, anaknya. Lucu dan ngegemesin. Apalagi senyum malu-malunya itu."

"Jangan bikin hidup Cita semakin penuh drama dengan suka sama pacarnya!"

"Gak usah ceramah! Aku juga tau."

"Bagus kalau gitu," ucap Ayah Cita. "Ngomong-ngomong, apa kamu udah nanya lagi, Cita mau tinggal sama aku atau enggak?"

"Aku udah ratusan kali nanya, tapi jawabannya tetep sama. Kamu tau kan, Cita itu keras kepala, sekali dia bilang enggak, ya selamanya tetep enggak."

Ayah Cita menghela nafas. "Apa dia pernah ngasih tau alasannya?"

Aku menggeleng. "Aku sama dia kan, gak banyak ngobrol. Setiap aku tanya, dia cuma kasih jawaban seperlunya. Cuma satu atau dua kata aja. Udah kubilang, dia itu dingin dan kaku kalau di rumah."

Ayah Cita mengangguk pasrah. Sangat kecewa, kurasa.

"Tapi walaupun dia gak pernah ngasih tau alasannya, aku rasa kita berdua pasti tau lah, kenapa dia gak mau tinggal sama kamu," ucapku diiringi senyum sarkastis.

"Sayang, kamu reuninya masih lama? Kita ada rapat loh." Tiba-tiba seseorang yang sudah berpakaian rapi bersuara dari samping Ayah Cita.

Ayah Cita menoleh ke arahnya. "Oh, iya, sayang, aku udah selesai kok. Kamu tunggu di mobil ya," ucapnya. Ia lalu mengarahkan lagi matanya ke arahku. "Maaf, aku ada rapat. Lain kali kita ngobrol lagi."

"Kalau aku juga gak sibuk ya."

Ayah Cita tertawa ringan.

Aku memasukkan amplop cokelat berisi tumpukan uang 'halal' tadi ke dalam tasku sebelum setelah itu aku berdiri dan pamit pada pemilik rumah megah ini. Ah, sebelumnya tentu saja aku sekali lagi menyeruput teh hijau mahal itu, sayang kalau minuman yang jarang kutemukan itu aku sisakan begitu saja.

Aku melangkah menuju pintu keluar rumah Ayah Cita. Di teras rumahnya, aku berpapasan dengan orang yang tadi bicara di samping Ayah Cita. Aku sedikit menundukkan kepala sambil tersenyum seraya memberikan salam berpamitan.

Orang itu membalas salamku dengan senyuman singkat diikuti tatapan yang begitu sinis. Ia lalu cepat-cepat menyingkirkan wajahnya dari wajahku. "Sayang, jangan lupa pake dress merah yang kemaren aku beliin itu," laki-laki berkumis itu lalu berteriak sekencang-kencangnya.

"Iya, Mas!" Kudengar gema suara Ayah Cita menjawab dari entah ruangan bagian mana rumah megah di belakangku.

Ah, iya, aku lupa menanyakan di mana ia melakukan perawatan rambut panjangnya yang terlihat sangat bagus dan berkilau itu.

1 comment:

  1. CAN I FREAKING SWEAR?

    ini aku suka banget!!!!

    Mau Liat dari perspective sang "Ayah" dong!

    ReplyDelete

About Me

My photo
Tangerang, Banten, Indonesia
bukan penulis, bukan pengarang, hanya pecinta keduanya.