Friday, December 19, 2014

SEL

Aku menemukan sebuah lencana berwarna hitam milik En saat sedang membersihkan sebuah ruangan kusam yang sejak tiga hari lalu kutempati bersama lima orang yang sampai detik ini masih tidak kukenal sama sekali.

"Bagaimana lencana ini bisa berada di sini?" gumamku seorang diri sambil memasukkan lencana ini ke dalam saku dada bajuku. Aku memang membawanya ke sini, tapi bagaimana lencana ini bisa terpelanting ke sudut ruangan?

"Hei!!!" tiba-tiba seseorang berteriak. "Kau masih bisa mencuri bahkan saat berada di dalam penjara?!"



Aku perlahan menoleh ke arah sumber suara. Seorang wanita tinggi besar tengah berdiri di belakangku dengan bola mata yang terbelalak lebar seperti akan keluar dari kelopaknya.

"Men... curi?"

"Simpan wajah lugumu itu!"

Aku benar-benar tidak mengerti. Sungguh.

"Apa yang kautunggu, bocah? Berikan lencana itu!"

Lencana? Ah, ternyata itu. Aku lalu mengeluarkan lencana hitam milik En yang kutemukan tadi. "Maksudmu... lencana ini?" aku bertanya hati-hati.

Dengan kasar, ia mengambil lencana hitam itu dari tanganku. "Kau benar-benar cari mati!"

"Mungkin ia bermaksud mengembalikannya seusai bersih-bersih, Marie," seseorang lain bersuara. Terdengar seperti sebuah pembelaan untukku.

"Kita semua ada di ruangan ini. Jika ia berniat mengembalikannya, ia bisa lakukan tepat setelah ia menemukannya," ucap wanita lain yang sudah pasti ada di pihak wanita berbadan tinggi besar itu.

"Kau bermaksud untuk mengembalikannya, kan?" orang yang membelaku tadi bertanya lembut kepadaku.

Aku menelan ludah. Rasa gugup dan takut bercampur aduk di dalam dadaku. "Maaf, kukira itu milikku, jadi aku...."

Gelak tawa tiba-tiba meledak di ruangan kusam dengan pintu jeruji besi itu, membuatku menghentikan kalimatku.

"Kau pikir lencana ini milikmu, kau bilang? Kau pernah mengatakan bahwa kau masuk ke dalam penjara karena kesalahpahaman, dan sekarang kau mengaku lencana ini milikmu? Dasar otak udang!" Wanita itu mendorong kepalaku dengan tangan kekarnya. "Kau baru saja menyajikan cerita komedi paling lucu yang pernah kudengar sepanjang hidupku!"

Mereka, kecuali gadis yang membelaku tadi, tertawa geli seperti digelitiki anjing peliharaan yang berputar-putar di sekeliling badan.

Plak! Wanita pemilik lencana itu menamparku dengan santai sambil terus tertawa. Plak! Lagi, kali ini sisi pipiku yang lain. Plak! Ia mengulanginya.

"Cukup!" gadis yang kurasa usianya tak terpaut jauh denganku itu meraih tanganku seraya menarikku ke belakang punggungnya. "Simpan tenaga kalian untuk kerja bakti besok. Terlalu banyak tertawa akan membuat kalian cepat lelah."

"Kenapa kau memanjakan anak bodoh ini? HAH?!" Wanita itu membentak orang yang menggenggam tanganku.

Orang itu menghela nafas. "Sudahlah, aku tidak ingin berdebat denganmu."

Wanita tadi mengekspresikan kesal dengan meludahi baju gadis yang melindungiku sebelum setelah itu ia membalikkan badan dan duduk bersama tiga wanita lain.

Orang itu berputar dan menghadap ke arahku. Ia lalu tersenyum. "Kau tidak apa-apa?"

"Bajumu...." Aku cepat-cepat membersihkan air liur di pakaiannya. Ia diludahi karena membelaku.

"Sudahlah," ia berkata sambil menurunkan tanganku. "Sebentar lagi aku akan mandi dan berganti pakaian," ia lalu menambahkan.

Aku semakin tak enak hati. "Terima kasih, eng...." Siapa namanya, omong-omong?

"Calisa," ia menjawab pertanyaan yang bahkan tidak kuutarakan.

"Terima kasih, Calisa."

Calisa hanya membalasnya dengan senyum sebelum setelah itu ia pergi mandi.

Orang itu benar-benar seperti malaikat di antara iblis-iblis yang mendekam di sel ini. Entah mengapa ia bisa berada di tempat laknat ini. Dunia memang aneh dan hidup sungguh penuh dengan ketidakadilan.

***

Tidak ada teman yang lebih baik dibanding sebuah buku. Sejak menjalani hidup di penjara, kalimat itu terasa bertambah 100 kali lipat kebenarannya. Sama seperti hari-hari sebelumnya setiap semua narapidana diberikan waktu luang seusai kerja bakti, aku bercengkrama dengan kaca mata dan sebuah buku tentang konspirasi negara-negara Barat di balik berbagai macam konflik yang terjadi di Timur Tengah. Tidak ada yang lebih menyenangkan selain duduk sendiri sambil membaca di antara anak-anak tangga di salah satu sudut lembaga pemasyarakatan ini.

"Kau di sini rupanya," suara itu datang dari Calisa yang kini tengah berjalan menghampiriku. "Aku mencarimu ke semua penjuru lapas."

Aku menutup bukuku. "Apa jam bebas sudah berakhir?"

Calisa menggeleng. Ia lalu duduk disampingku. Matanya melekat erat pada sampul buku yang sedang kupangku. "Kau benar-benar seorang mahasiswa," ucapnya sambil tertawa kecil.

Aku menanggapinya dengan senyum. "Aku hanya tidak tahu harus melakukan apa."

Calisa menghela nafas. "Jangankan beristirahat di siang hari, kau bahkan tidak bisa meluruskan kakimu di sudut ruangan dan harus tidur tanpa alas dan bantal di malam hari," ucap Calisa.

Aku hanya tersenyum lemah. Mau bagaimana lagi?

"Oleh karena itu, aku mencarimu karena aku baru saja meminta krim otot ini dari sipir," tutur Calisa seraya mengangkat sebotol kecil krim di ujung kalimatnya.

"Kau tidak perlu serepot itu," ucapku tak enak hati.

"Tidak apa-apa. Aku tahu bagaimana menderitanya seorang anak baru sepertimu," Calisa berkata. "Buka pakaianmu!" ia lalu mengeluarkan kalimat perintah dengan lembut.

"Hah?" aku terkejut, tentu saja.

"Kau tidak bisa mengoleskan krim ini ke punggungmu tanpa bantuan orang lain, bukan?"

Aku terbata. Tidak tahu harus merespon apa.

Calisa tertawa melihat wajah kakuku. "Jora," ia memanggilku. "Kau tidak berpikir kalau aku menyukaimu atau semacamnya, kan?" ia bertanya dengan kening berkerut.

Aku semakin seperti ikan yang terpental ke luar kolam. Canggung setengah mati. "Aku... aku tidak berpikiran seperti itu. Sungguh." Sungguh, aku baru saja berbohong. Aku takut, jujur saja. Tidak ada satu narapidana pun yang memperlakukanku dengan baik di lapas ini kecuali Calisa. Aku bukan berburuk sangka. Tapi ini adalah penjara. Siapa pun pasti merasakan ketakutan yang sama dengan yang aku rasakan.

"Jora," Calisa memanggilku. Ia memegang lenganku kiri dan kanan dengan kedua tangannya. "Kau berada di lingkungan wanita. Semua yang berada di sini adalah wanita. Jangankan hanya mengolesi krim punggung, besok-besok kau bisa menyaksikan wanita menggendong wanita, wanita saling berpelukan saat tidur, dan bahkan jika waktu mandi sangat singkat, kau mungkin akan diajak oleh tiga wanita sekaligus untuk mandi bersama," Calisa menjelaskan panjang lebar. Ia menurunkan tangannya dan mengalihkan wajahnya dari wajahku. "Aku mengerti apa yang kau pikirkan. Aku tidak sama sekali tersinggung." Ia kembali menatapku dan tersenyum. "Ini penjara wanita. Tidak akan ada kisah seorang pangeran yang menjadi pahlawan. Kau mengerti?"

Aku diam. Lagi-lagi tidak tahu harus merespon apa.

"Atau jangan-jangan kau curiga padaku karena aku satu-satunya orang yang memperlakukanmu dengan baik?"

Aku terkejut mendengar terkaan Calisa barusan. Tepat sekali. "Kurasa kau juga bisa memaklumi jika aku punya pikiran seperti itu," aku berkata hati-hati.

Calisa tersenyum. "Aku lebih senang mendengarmu bicara jujur seperti ini."

Aku menghela nafas lega.

"Aku memang bukan orang yang suka menganiaya tahanan baru, tapi jujur saja, aku juga bukan orang yang mudah berteman dengan orang-orang baru di sini. Aku bahkan baru membalas sapaan Jane setelah ia tinggal satu sel denganku selama enam bulan," papar Calisa.

"Jane?"

"Wanita yang mengambil jatah makan siangmu kemarin."

Aku membulatkan mulut.

"Sebetulnya aku sangat dingin," aku Calisa.

"Tapi menurutku kau adalah orang yang baik."

"Tidak ada orang baik di dalam penjara, Jora."

"Begitu?" Aku tidak merasa jahat, jujur saja. "Tapi mengapa kau tidak memperlakukanku seperti sikapmu terhadap Jane?"

"Karena aku melihat Camila dalam dirimu."

"Camila?" Aku mengerutkan kening.

"Aku akan bercerita sambil mengoleskan krim di punggungmu," Calisa bernegosiasi.

Aku berpikir sejenak. Kurasa tidak ada salahnya menjalin sebuah pertemanan dengan orang di dalam penjara. Hei, aku juga penghuni penjara, omong-omong. Aku tidak akan menyakiti diriku dengan percaya kepada orang lain. Aku hanya... mencari teman untuk berbincang? Entahlah. Tapi firasat burukku tentang Calisa agaknya tidak perlu terlalu aku khawatirkan.

Aku melepas kacamataku dan meletakannya di atas buku yang kemudian kupindahkan dari pangkuanku ke sampingku. Aku lalu membuka dua kancing atas pakaianku dan menurunkan bahu baju kiriku hingga nyaris mencapai siku. Lalu kuputar badanku hingga setengah membelakangi Calisa.

"Astaga, banyak sekali memar di tubuhmu," Calisa berkomentar sambil menyeka rambutku ke bahu sebelah kanan. "Bagaimana bisa kau menahan ini semua sendiri?"

"Semua terasa baik-baik saja setelah aku menangis beberapa menit," ucapku, diiringi rintihan tepat saat aku bisa merasakan tangan Calisa yang dilapisi krim dingin menyentuh punggungku. "Apakah luka memarku terlihat parah?" aku bertanya kemudian.

"Terlihat sangat menyedihkan," jawab Calisa sambil terus mengoleskan krim dengan sangat hati-hati di tubuhku. "Bersabarlah, Jora, kau tidak akan selamanya diperlakukan seperti ini. Beberapa bulan ke depan, mereka akan benar-benar seperti keluargamu. Aku merasakan itu."

Aku tersenyum lemah sambil mengangguk pelan. "Omong-omong, siapa Camila?"

"Dia adikku," jawab Calisa. "Berapa usiamu, Jora?" tanyanya kemudian.

"Dua puluh satu tahun."

"Kalian benar-benar seusia, ternyata," ujar Calisa. "Aku tidak sama sekali tertarik seperti apa tahanan baru yang akan tinggal bersamaku. Tapi melihatmu begitu pendiam dan penurut, benar-benar mengingatkanku pada Camila. Camila tidak pernah berkata 'tidak' untuk semua yang aku minta. Sudah lama aku tidak mendengar orang berbicara dengan begitu santun di penjara ini, hingga kau datang dan berkata dengan sangat sopan bahkan di depan orang yang menganiayamu. Kau benar-benar seperti Camila."

Aku menyangkal dalam hati. Sebetulnya aku tidak sependiam itu. Hanya saja ini adalah tempat yang tidak nyaman untukku menjadi seseorang yang nyaman. Tanyakan saja pada En, kalau tidak percaya. Ah, tapi apa peduli orang lain tentang bagaimana aku sebenarnya? Aku hanya mendengarkan dengan seksama sambil menahan sakit tiap kali tangan Calisa menekan bagian yang lebam di tubuhku.

"Terlebih saat aku melihatmu membaca buku dengan kaca mata dan poni yang dijepit seperti itu," Calisa melanjutkan.

Aku reflek menyentuh poniku, bukan di kening, tapi di kepala. Aku memang menjepitnya setiap kali akan membaca.

"Camila juga selalu menjepit poninya setiap kali membaca jika ia kehilangan bandana. Ia juga menyukai bacaan yang sama dengan yang kaubaca."

"Wow..." aku bergumam takjub tanpa kusadari.

Calisa menarik bagian bahu bajuku dan mengembalikannya seperti semua. Ia lalu memindahkan rambutku ke sebelah kiri dan menurunkan bahu kanan bajuku hingga nyaris ke siku. Ia melakukan hal yang sama dengan yang ia lakukan pada punggung atas kiriku tadi.

"Apa kau seorang AB?" tanyanya.

"Maksudmu golongan darah?" aku memastikan.

"Camila bergolongan darah AB."

"Golongan darahku juga AB. Bagaimana bisa?" aku berkata sambil sedikit menolehkan wajahku ke arah Calisa.

Aku mendengar Calisa tertawa kecil di belakangku.

"Kau pasti sangat merindukannya."

"Lebih dari apa pun," tanggap Calisa.

"Bisakah kau mempertemukanku dengannya jika ia datang mengunjungimu?"

"Sayangnya tidak bisa."

"Kenapa?"

"Dia tidak akan datang."

"Kenapa?"

"Aku berada di sini karena membunuhnya."

Aku terkejut dan reflek memutar tubuhku ke arah Calisa. "Kau...." Aku bahkan tidak bisa berkata apa-apa.

Calisa tertawa kecil. "Hei, kau sedang bicara dengan seorang narapidana. Kenapa begitu heran mendengar sebuah kasus pembunuhan?"

"Ah, kau benar," tanggapku. Aku lalu menghela nafas. Sudah satu pekan berada di sini dan aku masih belum terbiasa menerima fakta bahwa aku ada di antara para pelaku kriminal.

"Pasang kancing bajumu," ucap Calisa.

"Sudah selesai?" aku memastikan.

Calisa mengangguk. "Ini," ia memberikan krim di tangannya setelah sebelumnya menutup rapat krim itu. "Pakai di tangan dan kakimu jika kau merasa pegal."

Aku mengambil krim itu. "Baik," ucapku kemudian. "Tapi apa yang terjadi dengan adikmu?" tanyaku. "Maksudku... pasti ada alasan mengapa kau melakukan itu," lanjutku sambil mengaitkan kembali kancing bajuku.

"Hidupnya sangat menderita karena HIV. Camila tidak pernah meminta apa pun dariku. Hari itu adalah pertama kali ia memohon padaku. Memohon agar aku menghabisi hidupnya sebelum ia mati karena penyakit itu. Aku terlalu menyayanginya, kurasa, jadi aku menuruti keinginannya," Calisa bercerita dengan suara yang mendadak terdengar parau. Kulihat air menggenang di matanya.

Aku perlahan menepuk-nepuk punggung tangannya. Mencoba menenangkan, seperti yang seorang teman biasa lakukan. Iya, teman.

Calisa tiba-tiba tertawa. "Ayolah, kau bahkan lebih menyedihkan, Jora. Kau berada di sini tanpa membunuh siapa pun."

Aku tiba-tiba tertawa. Kali ini tertawa karena merasa kalimat Calisa barusan terdengar sangat lucu.

"Wah, kau menertawai dirimu sendiri dengan sangat baik."

"Terkadang aku merasa sangat konyol saat menyadari bahwa aku sedang berada di dalam penjara, padahal membunuh seekor kecoa saja tidak pernah terlintas di pikiranku."

"Tapi bagaimana mereka bisa menangkapmu?" tanya Calisa.

"Aku sedang menuju kamarku di lantai empat sebuah rumah susun. Di ujung lantai dua, aku melihat sesuatu. Aku menghampirinya dan sangat terkejut saat mendapati seorang laki-laki berlumuran darah dengan pisau terpatri di dadanya. Aku panik. Kupikir aku masih bisa menyelamatkan pria itu. Aku lalu mencabut pisau dari dadanya dan kucoba menahan darah yang keluar dengan tanganku. Tapi...." Aku menghela nafas. Jantungku berdetak cepat. Nafasku tersenggal. Tak kusangka bercerita sependek ini akan sebegini melelahkan. Aku tidak sanggup lagi melanjutkan ceritaku.

"Seseorang datang dan kau adalah satu-satunya orang yang bisa dicurigai?"

Aku mengangguk. "Tidak peduli apa pun yang aku katakan, mereka tidak mempercayaiku."

Kali ini Calisa yang menghela nafas. "Terkadang, keadilan memang hanya bisa dimengerti oleh Tuhan," ucapnya.

Aku tidak memberikan respon apa pun. Entah tidak tahu atau tidak mau. Jujur saja, sejak hakim memutuskan untuk memenjarakanku, aku tidak pernah lagi mempermasalahkan 'keadilan' itu ada atau tidak, hidup atau mati, nyata atau hanya sebuah mitos. Aku bahkan mencoba melupakan bahwa aku pernah mengenal kata itu. Keadilan. Mungkin ia memang ada, tapi seperti yang Calisa katakan, hanya bisa dimengerti oleh Tuhan.

Kalau saja sore itu aku tidak melihat lencana En tergeletak di ujung koridor... ah, lencana. Aku baru ingat. Aku benar-benar ingin menanyakan hal ini pada Calisa. "Omong-omong," tanpa berpikir labih lama lagi, aku kembali membuka perbincangan yang sempat seperti sudah selesai beberapa menit lalu. "Apa aku boleh bertanya sesuatu?"

"Tentu saja," jawab Calisa.

"Lencana hitam yang kutemukan seminggu yang lalu... kau tahu sesuatu tentang itu? Maksudku, kenapa seolah-olah tidak ada orang lain yang bisa memiliki lencana yang sama dengan yang wanita itu punya?"

"Ah, lencana itu," tanggap Calisa. "Tentu saja orang lain juga bisa punya lencana itu," ia melajutkan. "Tapi tidak mungkin kau, Jora."

Aku mengernyit. "Kenapa? Apa harganya sangat mahal? Atau hanya dijual di luar negeri?"

Calisa tertawa. "Bukan, bukan seperti itu."

"Lalu?"

"Itu adalah lencana..." Calisa menghentikan kalimatnya. Ia lalu melirik ke kanan, kiri, dan bahkan ke atas. Kurasa memastikan tidak ada orang lain yang jaraknya terlalu dekat dengan kami. Calisa mendekatkan mulutnya ke telingaku. "Black Eagle," ia berbisik.

Aku semakin tidak mengerti. "Apa itu?"

Calisa mengembalikan kepalanya ke posisi semula. "Sudah kubilang, orang sepertimu tidak akan tahu keberadaan organisasi segelap itu."

"Maukah kau menceritakannya padaku?"

"Jika Merie sudah merasa nyaman denganmu, ia akan menceritakannya," jawab Calisa. "Kau akan terbiasa dengan cerita-cerita pembunuhan. Mengapa kami menjadi pembunuh dan bagaimana kami membunuh, cepat atau lambat kau akan mengetahuinya," ia menambahkan. "Dan tentang bagaimana kejamnya pembunuhan orang-orang yang ada di dalam organisasi itu, kau juga akan mengetahuinya."

Organisasi gelap? En? Aku berkali-kali mencoba menolak dugaan bahwa En adalah bagian dari organisasi itu, tapi tidak ada satu alasan pun yang bisa menjelaskan mengapa ia selalu menyimpan lencana itu di laci mejanya. Terlebih mengingat beberapa kontak di ponselnya yang menggunakan kode-kode tertentu, aku memang sempat curiga En menjadi anggota komunitas atau organisasi entah apa itu. Tapi... organisasi hitam... mungkinkah? En? Pelaku pembunuhan di lorong itu?

"Omong-omong," Calisa bersuara, membuyarkan isi kepalaku yang tengah berkumpul dan membentuk gumpalan tak beraturan. "Apa badanmu sudah terasa lebih ringan?"

"Ah, iya," aku refleks menggerak-gerakkan bahuku. "Kurasa begitu," lanjutku. "Terima kasih, Calisa."

***

Aku tahu di mana aku sedang berdiri saat ini dan lapangan tempat aku biasa menghabiskan waktu untuk bekerja bakti hanya dipisahkan oleh sebuah tembok tinggi. Tapi entah mengapa oksigen yang kuhirup terasa sangat jauh berbeda. Aku baru merasa benar-benar bernafas.

Hari ini adalah hari ke-193 masa tahananku. Dan aku dibebaskan setelah En menemukan saksi yang melihatku berada di sebuah toko buku sepanjang saat pembunuhan diperkirakan terjadi. En juga mendatangkan salah seorang kerabat dari penghuni rumah susun yang mengaku melihat seseorang yang mencurigakan berjalan ke sudut koridor lantai dua pada hari kejadian perkara. Bisa dikatakan, En yang membebaskanku. En, apakah ini sebuah penebusan dosa? Entahlah.

Calisa benar tentang orang-orang di dalam sel yang lambat laun akan menjadi keluarga.  Aku tidak pernah membayangkan bahwa berpisah dengan mereka yang memperlakukanku dengan sangat tidak manusiawi pada hari-hari pertama masa tahananku akan semengharukan tadi. Jane bahkan menyisir rambutku dengan sangat lembut. Merie membantu mengepak barang-barangku. Dan Maggy, dia sibuk menjelaskan padaku bahwa ia bukan pembunuh, tapi perampok. Perampok yang tertangkap basah oleh pemilik rumah dan membunuh si pemilik itu karena panik. Sampai kapan pun, Maggy tidak mau disebut sebagai pembunuh. Ah, dan ia juga sibuk bertanya, "Apa yang akan kau lakukan jika kau menemukan pembunuh sebenarnya, Jora?" Pertanyaan yang tidak pernah bisa kujawab. Bahkan meluangkan waktu untuk memikirkan jawabannya saja aku tidak mau.

Kembali ke para penghuni sel itu. Tidak kusangka, aku menitikkan air mata saat berpisah dengan mereka. Terlebih Calisa. Ia benar-benar kuanggap seperti kakak kandungku. Bodoh sekali rasanya jika mengingat aku pernah berprasangka buruk padanya dulu. Aku berjanji akan mengunjungi makam Camila untuknya. Pasti.

"Apa ada seseorang yang merindukanku?"

Suara itu! Aku segera menoleh ke arah sumber suara. EN!!! Tanpa aba-aba, aku melepas genggaman tanganku pada koper dan merentangkan tangan seraya bersiap memeluk seseorang yang kini tengah setengah berlari menghampiriku.

En lalu memelukku dengan sangat erat. Hangat, setelah entah berapa lama aku selalu merasa kedinginan di dalam penjara. Dingin yang membuatku bercucuran keringat setiap harinya.

Setelah entah berapa lama berpelukan, perlahan, En melepas pelukan dari tubuhku. Ia lalu menatapku dengan mata sembabnya.

"Kau menangis?" Aku meledek.

En cepat-cepat menghapus air mata yang membanjiri pipinya kanan dan kiri. "Kau tidak akan percaya jika kukatakan aku menangisimu setiap malam," ucapnya.

"Benarkah?"

"Tentu saja tidak, Jora. Mataku bisa buta jika aku menangis setiap hari." En tertawa. Tawa yang terasa lebih menyegarkan bahkan dibandingkan dengan udara di luar penjara.

Aku mendengus. "Setelah terpisah denganku selama beberapa bulan, tidak bisakah kau bersikap manis?"

"Hei," En mengernyitkan keningnya. "Bagaimana bisa kau terlihat begitu cantik setelah keluar dari penjara? Apa kau melakukan perawatan di dalam sana?" tutur En diakhiri dengan teluntuknya yang mengarah pada sebuah bangunan besar tak jauh dari tempat kami berdiri.

Aku tertawa. "Sudah kukatakan aku ini terlahir sebagai dewi kecantikan," tanggapku. Aku lalu menyeka rambutku ke balik telinga, bertingkah seolah puteri tercantik sedunia.

En tertawa. "Kuharap kau senang mendengar bualanku," ucapnya kemudian sambil berlari menuju sebuah taksi yang sejak tadi menunggu di seberang jalan.

"EN!!!"

***

"Jora."

"Hm?"

"Bagaimana rasanya keluar dari penjara?"

"Rasanya? Ehm... rasanya aku ingin memakan pancake durian sebanyak perutku bisa menampungnya!"

"Maksudmu ini?"

Aku dengan cepat menoleh ke arahnya. "Kau!" Aku merebut satu kotak pancake durian kesukaanku dari tangan En. Tanpa basa-basi, aku membuka kotak itu dan langsung melahap potongan pertama tanpa jeda nafas. "Ah, berada di dalam taksi tidak pernah seindah ini," aku berkata dengan mulut yang masih terisi penuh dengan kue yang En bawakan.

En tersenyum lebar. "Ini," ia lalu menyodorkan sebuah gelas ke arahku. "Hanya jika seleramu tidak berubah."

"BUBBLE BLACK TEA!!!" Aku dengan lebih cepat meraih gelas di tangan En dan menikmati sedotan pertama tanpa jeda nafas.

"Kau benar-benar seperti kera kelaparan," En berkomentar.

Kulirik En dengan tatapan sinis. "Kau," aku berkata setelah menelan kunyahan terakhir dan mengosongkan mulutku. "Harusnya kau membawakan ini sejak saat aku masih di penjara."

"Aku sudah pernah menitipkan pada sipir, tapi ia bilang kue itu dimakan oleh orang lain yang berada satu sel denganmu," En memaparkan.

Aku menghela nafas.

"Apa mereka benar-benar tidak menyenangkan?"

Aku mengambil potongan kedua dan mulai mengunyahnya, kali ini dengan cara makan selayaknya manusia. "Mereka tidak buruk akhir-akhir ini, tapi kurasa narapidana lain akan tetap menyebalkan sampai akhir zaman," aku bercerita santai. "Kami seperti membentuk genk antar sel. Selalu berkelahi tiap kali bertemu."

En tertawa kecil. "Dan kau ikut berkelahi?" tanyanya dengan nada meremehkan.

Aku tertawa. "Tentu saja tidak!" jawabku. "Aku hanya diam di belakang sambil menbayangkan kau ada di sana, menguncir rambutmu, menggulung lengan bajumu, bertolak pinggang, dan berteriak 'Hei, kau! Mengapa wajahmu terlihat seperti ikan pari-pari?'" aku meniru gaya En tempo hari saat ia dengan 'sok berani' menghadapi preman halte yang menghalangi jalan kami.

En tertawa. Ia lalu menghela nafas dan mengalihkan pandangannya dari wajahku ke kaca depan taksi yang kami tumpangi. "Kalau saja aku bisa menggantikan posisimu di sana," ucapnya kemudian.

Aku menatap mata En. Dalam. Benarkah itu? Masih bisakah aku mempercayai orang yang entah sudah berapa tahun selalu kupercaya ini? En adalah sahabatku, itu yang hatiku katakan. Tapi otakku terus bertanya, siapa ia sebenarnya? Apa aku benar-benar mengenalnya?

En tiba-tiba menolehkan wajahnya ke arahku. "Apakah dewi kecantikan harus menatap seorang jagoan seperti itu?"

Aku tertawa. "Omong-omong," aku berucap sebelum setelah itu kusedot lagi teh dingin yang ada di tanganku. "Terima kasih sudah mengeluarkanku dari tempat itu."

"Jangan besar kepala," ucap En. "Aku malakukan ini karena aku nyaris mati bosan tinggal sendirian. Tidak ada yang bisa kusuruh-suruh saat aku malas. Tidak ada yang bisa kujahili setiap hari. Dan yang lebih penting lagi, aku tidak mungkin terus menerus melampiaskan rasa marahku pada remote tivi. Aku benar-benar membutuhkanmu, Jora. Percayalah," papar En. Ia lalu menepuk-nepuk pelan lututku dengan ekspresi wajah yang sangat menjengkelkan.

Aku menghela nafas. Anak ini benar-benar tidak bisa berkata manis bahkan untuk temannya yang baru saja terbebas dari perkumpulan para pembunuh.

En sekali lagi menunjukkan cengiran lebarnya.

"Ohya!" Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Aku lalu mengambil lencana hitam milik En dari saku hoodie-ku. "Ini," aku lalu memberikannya pada En. Jantungku tiba-tiba berdetak lebih cepat. Apakah aku siap menerima kenyataan siapa En sebenarnya? Ah, aku tidak akan tahu sampai aku benar-benar melakukannya.

Wajah En tiba-tiba berubah. Cahaya terang yang mencerahkan wajahnya mendadak hilang dan berganti dengan kening yang mengernyit ditambah rasa terkejut yang tidak bisa ia tutupi. "Bagaimana lencana itu bisa ada padamu?" En sedikit terbata.

"Pantulan cahaya di lencana ini yang membuat aku mendatangi sudut koridor lantai dua hari itu. Kurasa kau menjatuhkannya, jadi aku mengambilnya."

Perlahan, En mengambil lencana itu dari tanganku.

"Maaf karena aku baru mengembalikannya sekarang."

En tidak memberikan respon apa-apa. Ia memutar-mutar lencana itu. Mengecek entah apa.

"En," aku memanggilnya pelan.

En tersentak. "Ya?"

"Apa kau masih bergabung dengan organisasi itu?"

"Apa?" En terkejut mendengar pertanyaanku.

"Kenapa kau harus bersenang-senang sendirian?" aku bertanya. "Bawalah aku bergabung bersamamu, jadi kita bisa melakukannya bersama dan kau tidak perlu merahasiakan apa pun dariku."

"Jora, kau...."

Aku menghela nafas. "Aku mendengar begitu banyak cerita hebat selama di penjara, kurasa akan sangat keren jika aku mempraktekannya secara langsung." Aku lalu mengembalikan kotak kue dan gelas yang masih berisi teh di tanganku ke tangan En. "Aku sangat lelah, jadi aku ingin tidur sebenatar," ucapku sambil merenggangkan otot-otot di tubuhku. "Bangunkan aku jika kita sudah sampai markasmu. Oke?"
Aku lalu menyandarkan kepalaku dan tidak perlu waktu lama untuk kemudian terlelap. Tidur.

1 comment:

  1. Ahem. so, menurutku ini tidak lebih baik daripada cerita kamu yang sebelum-sebelumnya. Tidak jelek, tentu saja. tapi ceritamu yang terdahulu itu superior. di sini ceritanya masih butuh eksplorasi yang lebih dalam lagi.

    Lebih enak sebenarnya kalo lencana itu ga direveal di awal-awal. :o

    ReplyDelete

About Me

My photo
Tangerang, Banten, Indonesia
bukan penulis, bukan pengarang, hanya pecinta keduanya.