Thursday, May 14, 2015

Sewa

Tuk!
Sebongkah kecil batu es tiba dengan elok tepat di atas ubun-ubunku.

"Aw!" aku refleks menurunkan kameraku dan mengusap-usap kepalaku yang sedikit berair. Aku menyapu sekitar dengan pandanganku berharap menangkap oknum mencurigakan yang bisa kudakwa sebagai pelaku kejahatan barusan.

Dapat.

Ah, bukan aku yang menangkapnya, sebenernya. Tapi pria itu bak pembunuh yang menyerahkan diri ke kantor polisi. Ia melambaikan tangan seraya memberikan isyarat agar aku datang menghampirinya.


Dengan firasat buruk dan perasaan yang tidak terlalu baik, aku beranjak dari tempat dudukku dan menghampiri pria berkumis itu.

Aku menelan air liur. Ngeri.

"Hei, anak muda!" Ia setengah berteriak memanggilku.

Aku sedikit menjauhi pria itu. Bau alkohol yang keluar dari mulutnya membuat perutku mual. Apa orang ini meminum sari bangkai tikus?

"Kau tidak boleh mengambil gambar wanita yang sedang duduk bersama seorang pria, kau tahu? Apa kau tidak diajarkan sopan santun?" ucap pria itu dengan nada bicara seperti orang mabuk. 'Seperti'? Kurasa ia benar-benar mabuk.

Aku mengernyit. Sopan santun? Pria yang selalu pergi ke bar seusai kerja dan mabuk bersama wanita yang ia bayar untuk ia tiduri itu baru saja bicara tentang sopan santun? Aku tertawa. Atau lebih tepatnya, menertawakan.

"Aku tidak mengambil gambar wanitamu, Tuan," ucapku, juga setengah berteriak. Ya, suaraku tidak akan terdengar di ruangan dengan suara musik sekeras ini jika hanya berbicara dengan intonasi normal. "Aku mengambil gambar suasana di bar ini," aku melanjutkan.

"Kau pikir aku bodoh?" laki-laki itu mulai geram. "Aku melihat dengan mataku sendiri, kau hanya mengarahkan kameramu ke arah wanitaku." Orang itu menunjuk ujung hidungku dengan telunjuknya.

Aku mundur satu langkah. Menghindari sentuhan dengan orang semacam itu. Bagaimana jika di telunjuknya terdapat sisa serbuk sabu-sabu? Hidungku bisa ternoda.

"Sudahlah, Sayang," wanita yang duduk di sampingnya bersuara sambil meraih tangan pria berkumis itu. "Kita cari tempat lain yang lebih nyaman," ia lalu berbisik tepat di samping telinga pria itu. Berbisik di tengah keramaian, siapa pun pasti bisa membayangkan sekeras apa suara bisikan itu.

Aku melirik ke arah wanita itu sesaat, dan mengalihkan lagi pandanganku sebelum wanita itu balik melihat ke arahku.

Pria berkumis itu bangun dari tempat duduknya dibantu oleh wanita yang ia bayar. Orang itu benar-benar mabuk, menegakkan tubuhnya saja ia tidak sanggup. "Hei, anak muda," ia bicara lagi padaku. "Kau harus membayar untuk bisa menikmati keindahan wanita-wanita yang ada di sini. Kau tidak bisa memiliki mereka secara cuma-cuma. Apa yang kau lakukan dengan foto-foto di kameramu itu? Mencetaknya lalu menempelnya di dinding kamarmu? Menyedihkan sekali. Aku hanya...."

Wanita yang bersamanya dengan sekuat tenaga menarik laki-laki itu pergi menjauhiku sebelum kalimatnya selesai. "Maaf," ia bicara padaku pelan sambil beranjak pergi. Ya, sangat pelan. Aku tidak mendengar suaranya. Aku hanya bisa membaca apa yang ia katakan dari gerakan mulutnya. Tapi setidaknya ia bicara padaku.

Wanita. Itu. Bicara. Padaku.

Aku senang karena perempuan cantik itu bicara padaku. Tapi kalimat laki-laki tadi benar-benar menggangguku. Aku menghela nafas. Apa yang pria berkumis itu bilang tadi? Aku mencetak foto wanita di bar ini dan menempelnya di dinding kamarku? Cih. Bagaimana ia bisa tau?

***

Aku menarik nafas, menghempaskannya, menarik nafas lagi, menghempaskannya lagi, terus menerus begitu sampai entah berapa kali, sebelum akhirnya aku memberanikan diri untuk membuka kenop pintu salah satu kamar di bar yang biasa kukunjungi itu.

Suasana mendadak hening saat kututup pintu kamar itu dari dalam. Suara musik beserta seluruh kegaduhan di ruang utama terhalang masuk oleh pintu tanpa ventilasi udara.

"Sudah datang?" Seorang wanita dengan ponytail indah yang duduk memunggungi pintu menyapaku dengan sangat lembut.

Biasanya aku mendengar ia bicara setengah berteriak di antara orang-orang yang tengah berdansa. Kali ini mendengar suaranya di ruangan yang sepi seperti ini, otakku benar-benar ingin menyimpan lembutnya suara itu di tempat yang tidak bisa digantikan oleh memori jenis apa pun.

"Ternyata kamar ini tidak seburuk yang aku kira," aku berkata sambil menggeledah seisi ruangan dengan mataku. Aku lalu mengibas tangan tepat di depan hidungku. "Kecuali bau asap rokok dan alkohol yang menyengat."

Wanita yang duduk di depan meja rias itu memutar tubuhnya dan menghadap ke arahku. Ia lalu mengerutkan kening. "Kau? Apa yang kau lakukan di sini?"

"Aku?" Aku menunjuk diriku sendiri. "Mereka bilang, jika aku membayar, aku bisa memilikimu selama satu jam."

Wanita itu tertawa sinis. "Laki-laki dengan wajah polos sepertimu tidak pantas berada di ruangan ini. Pergilah!"

Aku melangkah menghampiri tempat tidur yang spreinya begitu wangi. Wangi alkohol. "Pertama, terima kasih karena telah mengatakan bahwa aku berwajah polos," ucapku. "Kedua, aku rela melewatkan tiga pameran berkelas hanya untuk menabung demi berada di ruangan ini. Dan kau mengusirku?" Aku lalu duduk di tepi tempat tidur 'kotor' itu. Sedikit jijik, sebenarnya, tapi aku sendiri yang membayar untuk masuk ke tempat menjijikan ini. "Ah, aku juga makan malam dengan mie instan selama satu minggu penuh sebagai bentuk penghematan," aku menambahkan.

"Aku tidak pernah melihatmu minum atau makan di bar ini, juga tidak pernah melihatmu berdansa, dan kau tidak sama sekali menggoda wanita. Kupikir kau berbeda. Tapi ternyata sama saja dengan semua laki-laki brengsek yang ada di sini."

"Aku tidak brengsek!"

"Kau membayar seorang wanita untuk kau tiduri!"

"Hei, aku tidak berniat menidurimu!" aku menyangkal cepat-cepat.

Hening meraja sesaat bersama dengan suasana canggung yang sulit kujelaskan dengan kalimat.

"Aku datang ke sini memang bukan untuk minum atau berdansa, apalagi untuk tidur dengan seorang wanita. Aku hanya ingin mengambil gambarmu saja," aku berkata pelan.

"Sungguh?"

Aku mengangguk.

"Apa yang kau lakukan dengan foto-foto itu?" ia bertanya.

"Seperti yang pria berkumis itu katakan seminggu yang lalu, aku mencetaknya dan menempelnya di dinding kamarku." aku mengaku sambil menunduk malu.

Kulihat kaki wanita itu melangkah dengan gemulai mendekatiku. "Jadi kau benar-benar menginginkanku? Hanya aku?"

Aku mengangkat kepalaku dan mendapati pusar wanita itu tepat di depan mataku. Aku cepat-cepat berpaling. "Jangan berdiri di depanku sedekat itu!" Jantungku berdetak kencang tak beraturan.

"Kau membayarku tapi tidak ingin kudekati?"

Masih dengan wajah yang menghadap entah ke mana, aku mengangguk menjawab pertanyaannya.

Aku bisa mendengar helaan nafas wanita itu. Ia lalu duduk di sampingku. "Aku akan mundur jika ini terlalu dekat?"

Perlahan, aku menoleh ke arahnya. Jantungku masih berdegup kecang. Jika suaranya sampai terdengar wanita di hadapanku, kuharap ia mengira itu bunyi dentuman musik yang terlalu kencang hingga menembus dinding ruangan ini. "Tidak perlu," aku menjawab gugup. Tidak peduli sejauh apa ia duduk, kukira aku tetap tidak nyaman dengan belahan dadanya.

"Kau sudah membayarku. Tidak ada yang ingin kau lakukan?"

"Ah, ya, sebenarnya ada yang ingin kulakukan."

"Baik, lakukanlah."

Aku lalu melepas tas ranselku dan meletakannya di samping kakiku.

"Kau membawa kamera di tas itu?" ia bertanya.

"Iya," aku menjawab singkat.

"Jadi kau ingin mengambil gambarku tanpa busana di atas tempat tidur ini dengan alasan seni?"

Aku menatap wanita itu dengan serius. "Apa aku boleh melakukan itu?"

Ia menyeringai.

Aku tertawa kecil. "Aku bercanda," aku meluruskan. "Aku memang berniat mengambil gambarmu, tapi bukan tanpa busana."

Wanita itu membulatkan mulutnya sambil mengangguk. Ekspresi wajahnya tiba-tiba berubah saat ia melihatku melepas hoodie yang kukenakan. Kuyakin ia mengutukku di dalam hatinya dengan kata-kata kasar.

Aku lalu memberikan hoodieku padanya. "Pakai ini," pintaku.

"Hah?" Ia mengangkat kedua alisnya.

"Aku bukan tidak menyukai tubuhmu, justru karena aku terlalu menyukainya, jadi tutuplah dengan hoodie ini dan selamatkan mataku," tuturku sambil berusaha tidak melihat ke arah dada dan perutnya meskipun yang kumaksud adalah bagian itu.

Ia meraih hoodie di tanganku dan memakainya. Kali ini kuyakin ia menggerutu dalam hatinya tentang pria sok suci yang duduk di hadapannya. "Sudah," ia berkata seusai memakai hoodie lengan panjang milikku. "Lalu?"

Aku lalu mengambil bantal yang ada di belakangku dan kuletakkan bantal itu di pangkuannya. Rok yang ia kenakan sangat mini, membuat  bagian pahanya yang terbuka lebih banyak dibanding yang tertutup.

Wanita itu meletakkan kedua tangannya di atas bantal yang ia pangku. "Jadi apa yang ingin kau lakukan?"

Aku membungkuk seraya mengambil sesuatu dari ranselku. Satu pak tissu basah yang sudah kusiapkan sebelum aku datang ke bar ini. Aku membuka kemasan tissu basah itu dan menarik satu lembar isinya.

Wanita itu menatapku dengan tatapan kosong. Kali ini aku tidak bisa menerka apa yang ia pikirkan. Apakah ia tengah menebak-nebak apa yang akan kulakukan, atau ia sedang menertawakanku dan menganggap bahwa aku adalah laki-laki aneh.

Aku bergeser seraya mendekatkan diriku ke arah wanita itu. Lalu kuulurkan tanganku ke wajahnya. Kuusap perlahan keningnya dengan tissu basah hingga bedak tebal yang melapisi kulitnya sedikit demi sedikit mulai berpindah ke tissu yang kugunakan.

Wanita itu tidak sama sekali bergerak atau pun mengatakan sesuatu. Ia bertahan dalam geming sambil tetap menatapku dengan tatapan kosong.

Aku mengambil lembar selanjutnya dan membersihkan bagian lain wajahnya. Pipi kanan dan kiri, hidung, dagu, dan bibir merahnya yang sangat berlebihan. Aku memintanya memejamkan mata untuk membersihkan alis dan eyeshadow kerlap-kerlip yang ia gunakan dengan lembar tissu selanjutnya.

Sangat sulit untuk membersihkannya sampai benar-benar bersih. Make-up yang ia gunakan benar-benar berlebihan. Ya, aku tau semua wanita di sini memang seberlebihan ini. Oleh karena itu aku menyediakan banyak tissu basah di ranselku.

"Kalau kau berpikir aku menghapus make-up yang sudah mahal-mahal kau beli, ingat, aku juga membayar mahal untuk bisa melakukan ini."

"Aku tidak berpikir seperti itu. Lakukanlah apa pun yang kau mau. Aku milikmu sampai tiga puluh menit lagi."

Aku melihat pergelangan tangan kiriku. Ah, waktuku benar-benar tinggal 30 menit lagi. Cepat sekali.

Tapi... bagaimana wanita ini bisa tau? Di ruangan ini bahkan tidak ada jam dinding. Profesional sekali.

"Aku ingin mengambil gambarmu," aku berucap sambil mengambil kamera dari ranselku.

"Silakan," ia berkata.

"Ah, tunggu sebentar." Aku berdiri dan menggerakkan kakiku dua langkah ke arah belakang wanita itu. Perlahan, kulepaskan ikatan yang menguncir-kuda rambut pirangnya dengan sangat kencang dan rapi. "Kudengar, perempuan selalu merasa kepalanya seperti sedang ditarik oleh helikopter setiap kali rambutnya harus dikuncir-kuda seperti ini." Aku lalu merapikan rambutnya dengan jemariku sebelum aku kembali ke posisiku semula. "Merasa lebih baik?"

"Apa? Kepalaku? Ah, ya, seperti ada ikatan rantai yang lepas," ia menjawab sambil tertawa kecil.

Tawa pertamanya untukku.

"Baik, tersenyumlah karena aku akan mencetak foto ini dengan ukuran 10 kali lebih besar dari ukuran biasa."

"Apa kau tidak berniat meletakkan baliho di dalam kamarmu?"

"Akan kupertimbangkan usulan itu," ucapku sambil menyiapkan kamera dan mencobanya sesekali. "Ah," aku menurunkan kameraku saat tiba-tiba menyadari ada sesuatu yang kurang.

"Apa lagi?"

Aku mengulurkan tangaku ke arahnya. "Maaf," ucapku sebagai bentuk permohonan izin sebelum kuseka rambut di sisi kirinya ke balik telinga.

Aku kembali mengarahkan kameraku ke arahnya. "Senyum yang manis. Satu... dua... tiga...."

Ia tersenyum di hitungan ketiga dan kembali dengan tatapan kosongnya setelah aku menurunkan kameraku.

"Benar-benar cantik," aku bergumam tanpa sadar.

"Terima kasih," ia menimpali gumamanku. "Waktumu tinggal lima belas menit lagi," lagi, ia mengingatkanku.

"Aku ingin berkencan denganmu," ucapku tanpa basa-basi.

"Bukankah saat ini kita sedang berkencan?"

Aku menggeleng. "Aku ingin berkencan seperti pemuda seusiaku berkencan dengan kekasihnya. Duduk berdampingan di bus kota, pergi menonton film romantis, makan malam bersama, berjalan sambil bergandengan tangan, mengunjungi taman hiburan, menaiki wahana... wahana apa yang seperti ular naga itu?"

"Rollercoaster."

"Ah, iya, rollercoaster. Aku ingin mendengarmu berteriak ketakutan sambil mencengkeram erat lenganku. Aku ingin membelikanmu boneka, gulali, dan bandana dengan telinga Minie Mouse. Aku ingin melihatmu menggunakan sepatu sket, long jeans, kemeja dan sweater rajut, dan hanya menggunakan make-up sederhana dengan rambut hitam yang digerai. Aku ingin...."

"Waktumu sudah habis."

Aku menatapnya. Dalam. Lebih dalam dari semua rasa sakit yang kurasakan. "Kau tidak ingin melakukan hal-hal menyenangkan itu lagi denganku?"

Wanita itu menghela nafas. "Kau tidak punya cukup banyak uang untuk melakukan hal sebanyak itu denganku. Pergilah, dan jangan pernah datang ke tempat hina ini lagi."

Aku memasukkan kamera ke dalam ranselku dan berdiri lalu memakai tasku seraya bersiap untuk meninggalkan kamar menjijikan ini. "Semakin kau tidak menyukai keberadaanku, semakin aku ingin datang menemuimu." Aku melangkah pergi.

"Aku bukan tidak menyukai keberadaanmu, justru karena aku terlalu menyukainya, jadi jangan pernah datang lagi dan selamatkan mataku."

Aku menghentikan gerak kakiku dan menoleh lagi ke arahnya.

Air mata jatuh membasahi bantal yang tengah ia remas kencang di pangkuannya.

Ia masih mencintaiku. Akhirnya aku mendapatkan jawaban itu.

No comments:

Post a Comment

About Me

My photo
Tangerang, Banten, Indonesia
bukan penulis, bukan pengarang, hanya pecinta keduanya.