Namaku Safira, dan orang yang sedang
menggendongku ini bernama Dion. Kenapa? Tampan? Kau suka? Ah, kau bahkan tidak
punya waktu untuk sekedar mencukur kumismu, bagaimana kau bisa meluangkan waktu
untuk menyukai Dion?
Dion
sangat tampan. Seluruh penghuni planet bumi beserta masing-masing malaikat
penjaga tau itu. Dan orang-orang bilang sih, aku dan Dion adalah pasangan
paling cocok seantero jagat raya. Aku hanya tertawa setiap mendengar kalimat
itu. Aku dan Dion sudah berteman sejak kami baru mengerti bahwa 2 dikali 2 sama
hasilnya dengan 2 ditambah 2. Kami sudah bersahabat, oh malah berkeluarga sejak
kecil. Bukan, bukan berkeluarga yang seperti itu maksudnya.
Kakiku
terkilir barusan, saat pengambilan nilai basket. Aku tidak suka basket, Dion
tau itu. Ah, apa sih, yang Dion gak tau tentang aku? Begitupula sebaliknya. Aku
tau apapun tentangnya. Ya, apapun. Termasuk…..
Oh ya, saat duduk di kelas sebelas, aku dan Dion pernah mendapat penghargaan sebagai the best couple of the year di acara pensi sekolah. Kaget banget waktu itu. Iya sih, kami memang sangat dekat. Pergi dan pulang sekolah selalu bersama, makan di kantin bersama, sampai mengerjakan tugas bersama. Padahal kami beda jurusan. Hampir tak ada yang percaya jika aku dan Dion mengatakan bahwa kami memang benar-benar hanya teman, ya atau bisa dibilang seperti anak kembar sih.
Hampir
semua orang (maksudnya murid-murid –dan beberapa guru- yang ada di sekolahku) menganggap
kami berpacaran. Padahal sebenarnya Dion sudah memiliki kekasih, dan bukan aku.
Tapi Dion tidak pernah mengatakan hal itu pada siapapun. Ia bahkan tak pernah
sekalipun menunjukkan kedekatanya pada kekasihnya itu. Hanya aku, dion, dan pacarnya
yang mengetahui hal ini. Oh, Tuhan juga tau, dan mungkin malaikat juga.
Bukannya Dion tak ingin menghancurkan hati para wanita yang setiap hari
mengelu-elukannya, tapi karena…. Ya, lagian gak mungkin juga sih, di lingkungan
sekolah, Dion jalan gandengan tangan sama Ryan.
Kenapa?
Tidak percaya? Ryan bukan pacar laki-laki pertamanya loh. Wajar saja jika kau
terkejut. Kau memang tidak bisa menemukan sedikitpun tanda-tanda kelainan pada
Dion. Dia terlihat sangat normal. Tampan, dan tidak sama sekali kemayu. Suka
olah raga, dan tidak suka membaca majalah fashion.
Dan begitu pula Ryan, dia juga tampan dan terlihat normal. Ah, kalau
dipikir-pikir, Ryan beruntung sekali. Dari sekian banyak orang yang menyukai
Dion, ia yang terpilih.
Jujur,
para wanita itu harusnya iri pada Dion, bukan padaku. Aku hanya temannya.
Sedekat-dekatnya aku dengan Dion, ia tak pernah mencium keningku seperti ia
mencium kening Ryan di depan matahari terbenam, kalau jitak sih, sering. Dion
juga tak pernah membiarkan aku tidur pulas dipangkuannya seperti ia membiarkan
Ryan terlelap diatas pahanya, yang ada ia malah menyumpal hidungku saat aku
tertidur di sampingnya. Dion itu romantis. Sangat romantis. Sekali lagi, Ryan
beruntung mendapatkannya. Tapi alangkah lebih beruntungnya, jika wanita yang
mendapat perlakuan itu dari Dion. Ya, wanita.
Walaupun
aku tak pernah mempermasalahkan hal itu, tapi sejujurnya, dari lubuk hatiku
yang paling dalam, saking dalamnya sampai Dion tidak pernah bisa merabanya, aku
ingin Dion sembuh. Aku ingin kelak ia bergandengan tangan dengan seorang
wanita. Jujur.
***
Hari
ini hari ulangtahunku. Dion memesan sebuah meja di sebuah kafe kecil khusus
untukku. Ada tiga bangku yang mengelilingi meja bundar yang di atasnya terdapat
tiga gelas, tiga kaleng soda, dan kue pelangi segi empat yang di atasnya
berdiri tegak dua lilin berbentuk angka tujuh dan satu. Hey, ini ulanthaunku
yang ke-17, bukan ke-71!
Kalau
saja seseorangku tidak sedang –dengan terpaksa- ke rumah neneknya di luar kota,
mungkin sekarang aku tidak merayakan ulangtahunku dengan Dion dan kekasihnya.
Maksudku tidak disini dan tidak dengan suasana ini. Sahabat sejati memang tidak
akan membiarkan sahabatnya menghabiskan hari ulangtahunnya sendirian.
Dan
beginilah perayaan ulangtahunku yang ke-17. Aku meniup lilin diatas kue lezat
itu, lalu kuambil tiga potong untuk -yang pertama sudah pasti- sahabatku Dion,
yang kedua untuk Ryan, dan yang terakhir untukku. Dion membeli kue yang cukup
besar. Aku bahkan masih bisa membagi sisa kue ini untuk semua pelayan yang ada
di kafe ini, sebenarnya. Atau bahkan untukmu juga. Kita bisa makan kue bersama.
Iya, kita. Karena Dion dan Ryan seperti memiliki dunianya sendiri. Terkadang
aku curiga mereka berdua lupa bahwa mereka sedang berada di acara ulangtahunku,
dan kue yang sedang mereka makan dengan cara suap-menyuap itu adalah kue
ulangtahunku.
Kalau
saja Dion bukan teman baikku sejak kecil, sudah kutinggalkan kafe ini dan
sepertinya aku akan memilih menghabiskan hari ulangtahunku dengan menonton DVD
penuh 24 jam. Tapi apa yang kulihat memang seperti film sih. Dua orang
laki-laki tampan, saling bersuapan, dan salah satunya mengelap mulut salah satu
yang lain dengan sapu tangan, mereka saling berpandangan, dan kemudian salah
tingkah, dan…. Ah, kalau saja aku tidak terbiasa degan drama semacam ini,
mungkin aku sudah muntah pelangi melihatnya. Aku sudah kebal. Aku maklum,
sangat maklum.
***
Ada
yang mengetuk pintu rumahku. Kubuka.
“Ryan?”
aku cukup terkejut.
“Hai,
Fir,” sapanya sambil tersenyum.
“Ada
apaan nih?” tanyaku.
“Ehm,”
kok kayaknya Ryan gugup ya? “Ini,” ucapnya seraya mengulurkan sebuah kotak
berpita ungu dengan tangan kanannya. “Selamat ulang tahun,” ucapnya. “Maaf
kadonya telat,” tambahnya.
Aku
sangat terkejut kali ini. Ryan? Datang kerumah? Kado? Mati aku jika Dion
mengetahui hal ini.
“Apaan
nih?” tanyaku basa-basi setelah mengambil kotak dari tangan Ryan. Astaga,
tangannya berkeringat.
Ryan
tersenyum. “Kado ulang tahun,” jawabnya.
Oke.
Nenek-nenek yang gak bisa bilang wow
gara-gara bibirnya udah kelewat keriput juga tau ini kado ulang tahun, batinku.
“Ehm,
lo kesini sendiri?” tanyaku seraya melongok ke arah pagar, mungkin ada
seseorang yang datang bersama Ryan ke rumahku.
“Sendiri,”
jawabnya.
“Oh,”
tanggakpu sambil mengangguk. “Dion tau gak lo kesini?” tanyaku lagi, sama
sekali bukan basa-basi. Jujur aku agak takut. Dion adalah tipe orang yang tak
mengenal kata ‘teman’ untuk sebuah kasus bernama ‘cemburu’.
“Itu
yang mau gue omongin, Fir,” tutur Ryan setelah sebelumnya seperti menghela
nafas berat.
Keningku
berkerut. “Ada apa?” tanyaku, serius.
“Jadi,
selama ini…”
“Eh,
gak mau masuk dulu?” tiba-tiba saja aku menyadari posisi kami sangat tidak
mengenakkan. Berdiri di depan pintu.
“Gak
usah, gue cuma sebentar kok,” jawab Ryan.
“Oh
gitu,” timpalku. “Jadi gimana?” tanyaku meminta Ryan melanjutkan kalimatnya.
“Gue
bukan gay, Fir,” ungkap Ryan.
Aku
terdiam. Ini bercanda?
“Gue
normal. Gue suka cewek.”
Aku
masih terkejut.
Aku
diam, Ryan juga diam. Hening. Cukup lama. Dan aku tiba-tiba saja tertawa.
“Santai
aja kali, Yan,” ucapku sambil mendorong pelan tubuh Ryan. “Lo kan tau gue
temenan baik sama Dion, jadi ya gue mah, gak bakal nganggap lo gimana-gimana
kalo lo suka sama dia,” paparku.
Ryan
membuang muka. Tak lama, ia lalu menatapku. “Gue bukan gay, Fir!” tegasnya. “Gue.
Normal!” sekali lagi.
Aku
diam, lagi. Kali ini aku melihat sinar kejujuran dari mata orang yang ada di
depanku itu. Entah mengapa, aku merasa sepertinya Ryan tidak berbohong.
“Terus?”
kedua alisku terangkat.
“Terserah
lo mau percaya atau enggak, jadi selama satu bulan ini gue pacaran sama Dion cuma
karena lo!” ungkap Ryan, dengan pengucapan yang sedikit terlalu cepat sebenarnya,
tapi aku mendapatkan maksudnya.
“Gue?”
“Iya.
Gue suka sama lo, Fir,” dan kalimat yang tak pernah sama sekali terbesit
dibenakku itu keluar, dan dari laki-laki yang juga sama sekali tidak pernah
kusangka-sangka. “Suka sama lo dari kita MOS,” tambahnya.
Oh,
iya! Aku dan Ryan satu kelompok saat MOS. Sungguh, aku baru mengingatnya
sekarang. Tapi… dia menyukaiku? Lalu Dion?
“Mungkin
gue udah terlalu gila sama rasa suka itu. Udah hampir tiga tahun gue pendem
rasa itu, Fir. Udah berkali-kali gue coba ngedeketin lo, tapi selalu gak bisa.
Udah lebih dari sekedar berkali-kali gue berusaha buat ngelupain lo dan
ngelepas lo dari otak gue, tapi gue malah semakin suka sama lo,” paparnya
panjang lebar.
Aku
tidak percaya kalimat itu keluar dari laki-laki yang selalu bermesraan dengan
Dion di depan mataku. Aku menelan ludah, dan tetap tak bisa bicara apa-apa.
“Gue
selalu suka sama lo setiap hari, tanpa tanggal merah,” ucapnya lagi. Ya Tuhan,
ini romantis, menurutku. Mungkin ia mempelajarinya dari Dion. “Gue gak pernah
berani ngedeketin lo lebih karena gue gak percaya lo sama Dion cuma temenan. Gue
tau lo pasti sayang sama Dion entah sebagai apa, tapi dia pasti berharga banget
buat lo. Gue minder, Fir.”
Aku
masih diam.
“Tapi
lama-lama gue sadar, kita udah mau UN, kita udah mau pisah, gue gak mungkin
tiga tahun cuma suka secara diem-diem sama orang tanpa pernah sama sekali kenal
sama orang itu. Akhirnya gue nekat sok-sok temenan sama Dion. Tujuannya cuma
biar gue bisa temenan sama lo juga.
Ternyata
jadi temennya Dion bener-bener pilihan yang tepat. Lo akhirnya kenal sama gue. Gue
bisa SMS-an sama lo. Gue seneng banget. Tapi ternyata hati gue minta lebih dari
itu. Gue pengen bisa ngabisin banyak waktu di luar sekolah bareng lo. Dan sampe
akhirnya Dion bilang kalo dia suka sama gue….”
Tiba-tiba
Ryan berhenti. Ia diam, dan menunduk. Dan aku? Aku benar-benar tak tau harus
berkata apa sekarang. Sungguh. Aku seperti ingin cepat-cepat terbagun jika ini
adalah sebuah mimpi.
“Gue
sebenernya malu sama diri gue sendiri, Fir. Tapi mungkin gue udah buta. Gue kecanduan
ngobrol sama lo, ketagihan bercanda sama lo. Gue terlalu addict sama lo, Fir. Dan otak gila gue saat itu bilang, cuma dengan
jadi pacar dari sahabat lo gue bisa deket sama lo. Gue gak peduli harus
ngelakuin semua kegiatan yang sejujurnya gue juga jijik ngelakuinnya, gue gak
peduli asal gue bisa ada sama lo.”
Aku
menggigit bibir. Apa-apaan ini? Ternyata ada orang yang hatinya sampai seperti
ini untukku. Dan hampir tiga tahun….
“Lo
gila, ya?” aku akhirnya bersuara.
“Gue
emang gila, Fir. Gue gila gara-gara tergila-gila sama lo.”
Mati
aku. Mati. Hari ini Ryan benar-benar tampak berbeda dari Ryan yang kukenal
sejak sebulan lalu. Ini… Ryan yang sesungguhnyakah?
Laki-laki
itu lalu mengeluarkan tangan kirinya yang sedari tadi disembunyikan di balik
punggungnya. Setangkai bunga mawar. “Gak salah kan, gue sayang sama lo, Safira
Faralisya?” tanyanya seraya menatapku dengan tatapan yang bisa kurasakan
ketulusannya.
Nafasku,
entah mengapa tiba-tiba saja memendek. Aku memang tidak pernah sama sekali
memiliki perasaan apapun pada Ryan. Aku benar-benar menganggapnya sebagai
pasangan Dion. Aku tak suka pada Ryan. Mana mungkin aku menyukainya? Aku tak
suka Ryan. Tapi ada dalam suasana seperti ini, tetap saja jantungku tidak bisa
berdetak secara normal.
Aku
akhirnya meraih bunga mawar dari tangan Ryan. Bukan, bukan pertanda aku
menerima cintanya. Maksudku, aku hanya menjawab pertanyaan terakhirnya. Tidak
salah? Ya, tentu saja tidak salah. Cinta itu bukan manusia yang menciptakannya.
Cinta tercipta dengan sendirinya. Tanpa bisa dikendalikan. Tidak ada perasaan
yang salah. Tidak pernah ada.
Tiba-tiba
aku merasa ada bayangan yang… oh bukan, itu bukan bayangan. Ternyata ada
seseorang yang berdiri tidak jauh dari aku dan Ryan. Mungkin tadi aku terlalu
kalut sampai aku tidak menyadarinya. Aku reflek menegaskan pandanganku ke arah….
Apa-apaan
ini? Kenapa dia ada disitu? Sejak kapan? Bagaimana bisa? Lalu bagaimana ini? Apa
yang harus aku lakukan? Aku panik. Panik tingkat paling tinggi dari semua panik
yang pernah kualami.
Ryan ikut menoleh ke arah orang yang matanya sedang berapi-api itu. Tampak betul
raut kecemburuan meluap dari wajahnya. Terlalu penuh. Bahkan sampai aku takut
menatapnya.
Ia
menusuk-nusuk mataku dengan tatapan kesakitannya, sebelum akhirnya membalikkan
badan dan berjalan menuju keluar pagar rumahku.
Kekasihku.
Aku refleks melepas bunga mawar pemberian Ryan dan meninggalkan Ryan untuk
mengejarnya.
“Tunggu!”
teriakku.
Alih-alih
menoleh, ia justru berjalan semakin cepat.
“Tunggu,
Al! Alyssa, dengerin penjelasan aku dulu!” aku terus mengejarnya. “AKU BILANG
TUNGGU!!!”
WHAT THE FCK?????????????????
ReplyDeleteaku nggak nyangka kalo Safira itu siegnovhien ajsdh wsde
risty, you make me die in stupidness!!!
karakter gilamu, sangat2 keren.it's GREAAAT!!!! I LOVE IT!!!
*ga mau bikin cerita happy ending????*
MAUUUUUUUUUU mau banget tapi niat awalnya selalu belok kalo mau bikin happy ending bbbzzztt
ReplyDeletekeep reading ya bakal ada 2 cerita lagi ttg 2 makhluk ini kayaknya. haha.
buruan dong adanya!!!! aku ga sabar!!!
Delete-______-
Delete