Thursday, October 18, 2012

TUNGGU!!!


Namaku Safira, dan orang yang sedang menggendongku ini bernama Dion. Kenapa? Tampan? Kau suka? Ah, kau bahkan tidak punya waktu untuk sekedar mencukur kumismu, bagaimana kau bisa meluangkan waktu untuk menyukai Dion?
Dion sangat tampan. Seluruh penghuni planet bumi beserta masing-masing malaikat penjaga tau itu. Dan orang-orang bilang sih, aku dan Dion adalah pasangan paling cocok seantero jagat raya. Aku hanya tertawa setiap mendengar kalimat itu. Aku dan Dion sudah berteman sejak kami baru mengerti bahwa 2 dikali 2 sama hasilnya dengan 2 ditambah 2. Kami sudah bersahabat, oh malah berkeluarga sejak kecil. Bukan, bukan berkeluarga yang seperti itu maksudnya.
Kakiku terkilir barusan, saat pengambilan nilai basket. Aku tidak suka basket, Dion tau itu. Ah, apa sih, yang Dion gak tau tentang aku? Begitupula sebaliknya. Aku tau apapun tentangnya. Ya, apapun. Termasuk…..

Oh ya, saat duduk di kelas sebelas, aku dan Dion pernah mendapat penghargaan sebagai the best couple of the year di acara pensi sekolah. Kaget banget waktu itu. Iya sih, kami memang sangat dekat. Pergi dan pulang sekolah selalu bersama, makan di kantin bersama, sampai mengerjakan tugas bersama. Padahal kami beda jurusan. Hampir tak ada yang percaya jika aku dan Dion mengatakan bahwa kami memang benar-benar hanya teman, ya atau bisa dibilang seperti anak kembar sih.
Hampir semua orang (maksudnya murid-murid –dan beberapa guru- yang ada di sekolahku) menganggap kami berpacaran. Padahal sebenarnya Dion sudah memiliki kekasih, dan bukan aku. Tapi Dion tidak pernah mengatakan hal itu pada siapapun. Ia bahkan tak pernah sekalipun menunjukkan kedekatanya pada kekasihnya itu. Hanya aku, dion, dan pacarnya yang mengetahui hal ini. Oh, Tuhan juga tau, dan mungkin malaikat juga. Bukannya Dion tak ingin menghancurkan hati para wanita yang setiap hari mengelu-elukannya, tapi karena…. Ya, lagian gak mungkin juga sih, di lingkungan sekolah, Dion jalan gandengan tangan sama Ryan.
Kenapa? Tidak percaya? Ryan bukan pacar laki-laki pertamanya loh. Wajar saja jika kau terkejut. Kau memang tidak bisa menemukan sedikitpun tanda-tanda kelainan pada Dion. Dia terlihat sangat normal. Tampan, dan tidak sama sekali kemayu. Suka olah raga, dan tidak suka membaca majalah fashion. Dan begitu pula Ryan, dia juga tampan dan terlihat normal. Ah, kalau dipikir-pikir, Ryan beruntung sekali. Dari sekian banyak orang yang menyukai Dion, ia yang terpilih.
Jujur, para wanita itu harusnya iri pada Dion, bukan padaku. Aku hanya temannya. Sedekat-dekatnya aku dengan Dion, ia tak pernah mencium keningku seperti ia mencium kening Ryan di depan matahari terbenam, kalau jitak sih, sering. Dion juga tak pernah membiarkan aku tidur pulas dipangkuannya seperti ia membiarkan Ryan terlelap diatas pahanya, yang ada ia malah menyumpal hidungku saat aku tertidur di sampingnya. Dion itu romantis. Sangat romantis. Sekali lagi, Ryan beruntung mendapatkannya. Tapi alangkah lebih beruntungnya, jika wanita yang mendapat perlakuan itu dari Dion. Ya, wanita.
Walaupun aku tak pernah mempermasalahkan hal itu, tapi sejujurnya, dari lubuk hatiku yang paling dalam, saking dalamnya sampai Dion tidak pernah bisa merabanya, aku ingin Dion sembuh. Aku ingin kelak ia bergandengan tangan dengan seorang wanita. Jujur.

***

Hari ini hari ulangtahunku. Dion memesan sebuah meja di sebuah kafe kecil khusus untukku. Ada tiga bangku yang mengelilingi meja bundar yang di atasnya terdapat tiga gelas, tiga kaleng soda, dan kue pelangi segi empat yang di atasnya berdiri tegak dua lilin berbentuk angka tujuh dan satu. Hey, ini ulanthaunku yang ke-17, bukan ke-71!
Kalau saja seseorangku tidak sedang –dengan terpaksa- ke rumah neneknya di luar kota, mungkin sekarang aku tidak merayakan ulangtahunku dengan Dion dan kekasihnya. Maksudku tidak disini dan tidak dengan suasana ini. Sahabat sejati memang tidak akan membiarkan sahabatnya menghabiskan hari ulangtahunnya sendirian.
Dan beginilah perayaan ulangtahunku yang ke-17. Aku meniup lilin diatas kue lezat itu, lalu kuambil tiga potong untuk -yang pertama sudah pasti- sahabatku Dion, yang kedua untuk Ryan, dan yang terakhir untukku. Dion membeli kue yang cukup besar. Aku bahkan masih bisa membagi sisa kue ini untuk semua pelayan yang ada di kafe ini, sebenarnya. Atau bahkan untukmu juga. Kita bisa makan kue bersama. Iya, kita. Karena Dion dan Ryan seperti memiliki dunianya sendiri. Terkadang aku curiga mereka berdua lupa bahwa mereka sedang berada di acara ulangtahunku, dan kue yang sedang mereka makan dengan cara suap-menyuap itu adalah kue ulangtahunku.
Kalau saja Dion bukan teman baikku sejak kecil, sudah kutinggalkan kafe ini dan sepertinya aku akan memilih menghabiskan hari ulangtahunku dengan menonton DVD penuh 24 jam. Tapi apa yang kulihat memang seperti film sih. Dua orang laki-laki tampan, saling bersuapan, dan salah satunya mengelap mulut salah satu yang lain dengan sapu tangan, mereka saling berpandangan, dan kemudian salah tingkah, dan…. Ah, kalau saja aku tidak terbiasa degan drama semacam ini, mungkin aku sudah muntah pelangi melihatnya. Aku sudah kebal. Aku maklum, sangat maklum.
***
Ada yang mengetuk pintu rumahku. Kubuka.
“Ryan?” aku cukup terkejut.
“Hai, Fir,” sapanya sambil tersenyum.
“Ada apaan nih?” tanyaku.
“Ehm,” kok kayaknya Ryan gugup ya? “Ini,” ucapnya seraya mengulurkan sebuah kotak berpita ungu dengan tangan kanannya. “Selamat ulang tahun,” ucapnya. “Maaf kadonya telat,” tambahnya.
Aku sangat terkejut kali ini. Ryan? Datang kerumah? Kado? Mati aku jika Dion mengetahui hal ini.
“Apaan nih?” tanyaku basa-basi setelah mengambil kotak dari tangan Ryan. Astaga, tangannya berkeringat.
Ryan tersenyum. “Kado ulang tahun,” jawabnya.
Oke. Nenek-nenek yang gak bisa bilang wow gara-gara bibirnya udah kelewat keriput juga tau ini kado ulang tahun, batinku.
“Ehm, lo kesini sendiri?” tanyaku seraya melongok ke arah pagar, mungkin ada seseorang yang datang bersama Ryan ke rumahku.
“Sendiri,” jawabnya.
“Oh,” tanggakpu sambil mengangguk. “Dion tau gak lo kesini?” tanyaku lagi, sama sekali bukan basa-basi. Jujur aku agak takut. Dion adalah tipe orang yang tak mengenal kata ‘teman’ untuk sebuah kasus bernama ‘cemburu’.
“Itu yang mau gue omongin, Fir,” tutur Ryan setelah sebelumnya seperti menghela nafas berat.
Keningku berkerut. “Ada apa?” tanyaku, serius.
“Jadi, selama ini…”
“Eh, gak mau masuk dulu?” tiba-tiba saja aku menyadari posisi kami sangat tidak mengenakkan. Berdiri di depan pintu.
“Gak usah, gue cuma sebentar kok,” jawab Ryan.
“Oh gitu,” timpalku. “Jadi gimana?” tanyaku meminta Ryan melanjutkan kalimatnya.
“Gue bukan gay, Fir,” ungkap Ryan.
Aku terdiam. Ini bercanda?
“Gue normal. Gue suka cewek.”
Aku masih terkejut.
Aku diam, Ryan juga diam. Hening. Cukup lama. Dan aku tiba-tiba saja tertawa.
“Santai aja kali, Yan,” ucapku sambil mendorong pelan tubuh Ryan. “Lo kan tau gue temenan baik sama Dion, jadi ya gue mah, gak bakal nganggap lo gimana-gimana kalo lo suka sama dia,” paparku.
Ryan membuang muka. Tak lama, ia lalu menatapku. “Gue bukan gay, Fir!” tegasnya. “Gue. Normal!” sekali lagi.
Aku diam, lagi. Kali ini aku melihat sinar kejujuran dari mata orang yang ada di depanku itu. Entah mengapa, aku merasa sepertinya Ryan tidak berbohong.
“Terus?” kedua alisku terangkat.
“Terserah lo mau percaya atau enggak, jadi selama satu bulan ini gue pacaran sama Dion cuma karena lo!” ungkap Ryan, dengan pengucapan yang sedikit terlalu cepat sebenarnya, tapi aku mendapatkan maksudnya.
“Gue?”
“Iya. Gue suka sama lo, Fir,” dan kalimat yang tak pernah sama sekali terbesit dibenakku itu keluar, dan dari laki-laki yang juga sama sekali tidak pernah kusangka-sangka. “Suka sama lo dari kita MOS,” tambahnya.
Oh, iya! Aku dan Ryan satu kelompok saat MOS. Sungguh, aku baru mengingatnya sekarang. Tapi… dia menyukaiku? Lalu Dion?
“Mungkin gue udah terlalu gila sama rasa suka itu. Udah hampir tiga tahun gue pendem rasa itu, Fir. Udah berkali-kali gue coba ngedeketin lo, tapi selalu gak bisa. Udah lebih dari sekedar berkali-kali gue berusaha buat ngelupain lo dan ngelepas lo dari otak gue, tapi gue malah semakin suka sama lo,” paparnya panjang lebar.
Aku tidak percaya kalimat itu keluar dari laki-laki yang selalu bermesraan dengan Dion di depan mataku. Aku menelan ludah, dan tetap tak bisa bicara apa-apa.
“Gue selalu suka sama lo setiap hari, tanpa tanggal merah,” ucapnya lagi. Ya Tuhan, ini romantis, menurutku. Mungkin ia mempelajarinya dari Dion. “Gue gak pernah berani ngedeketin lo lebih karena gue gak percaya lo sama Dion cuma temenan. Gue tau lo pasti sayang sama Dion entah sebagai apa, tapi dia pasti berharga banget buat lo. Gue minder, Fir.”
Aku masih diam.
“Tapi lama-lama gue sadar, kita udah mau UN, kita udah mau pisah, gue gak mungkin tiga tahun cuma suka secara diem-diem sama orang tanpa pernah sama sekali kenal sama orang itu. Akhirnya gue nekat sok-sok temenan sama Dion. Tujuannya cuma biar gue bisa temenan sama lo juga.
Ternyata jadi temennya Dion bener-bener pilihan yang tepat. Lo akhirnya kenal sama gue. Gue bisa SMS-an sama lo. Gue seneng banget. Tapi ternyata hati gue minta lebih dari itu. Gue pengen bisa ngabisin banyak waktu di luar sekolah bareng lo. Dan sampe akhirnya Dion bilang kalo dia suka sama gue….”
Tiba-tiba Ryan berhenti. Ia diam, dan menunduk. Dan aku? Aku benar-benar tak tau harus berkata apa sekarang. Sungguh. Aku seperti ingin cepat-cepat terbagun jika ini adalah sebuah mimpi.
“Gue sebenernya malu sama diri gue sendiri, Fir. Tapi mungkin gue udah buta. Gue kecanduan ngobrol sama lo, ketagihan bercanda sama lo. Gue terlalu addict sama lo, Fir. Dan otak gila gue saat itu bilang, cuma dengan jadi pacar dari sahabat lo gue bisa deket sama lo. Gue gak peduli harus ngelakuin semua kegiatan yang sejujurnya gue juga jijik ngelakuinnya, gue gak peduli asal gue bisa ada sama lo.”
Aku menggigit bibir. Apa-apaan ini? Ternyata ada orang yang hatinya sampai seperti ini untukku. Dan hampir tiga tahun….
“Lo gila, ya?” aku akhirnya bersuara.
“Gue emang gila, Fir. Gue gila gara-gara tergila-gila sama lo.”
Mati aku. Mati. Hari ini Ryan benar-benar tampak berbeda dari Ryan yang kukenal sejak sebulan lalu. Ini… Ryan yang sesungguhnyakah?
Laki-laki itu lalu mengeluarkan tangan kirinya yang sedari tadi disembunyikan di balik punggungnya. Setangkai bunga mawar. “Gak salah kan, gue sayang sama lo, Safira Faralisya?” tanyanya seraya menatapku dengan tatapan yang bisa kurasakan ketulusannya.
Nafasku, entah mengapa tiba-tiba saja memendek. Aku memang tidak pernah sama sekali memiliki perasaan apapun pada Ryan. Aku benar-benar menganggapnya sebagai pasangan Dion. Aku tak suka pada Ryan. Mana mungkin aku menyukainya? Aku tak suka Ryan. Tapi ada dalam suasana seperti ini, tetap saja jantungku tidak bisa berdetak secara normal.
Aku akhirnya meraih bunga mawar dari tangan Ryan. Bukan, bukan pertanda aku menerima cintanya. Maksudku, aku hanya menjawab pertanyaan terakhirnya. Tidak salah? Ya, tentu saja tidak salah. Cinta itu bukan manusia yang menciptakannya. Cinta tercipta dengan sendirinya. Tanpa bisa dikendalikan. Tidak ada perasaan yang salah. Tidak pernah ada.
Tiba-tiba aku merasa ada bayangan yang… oh bukan, itu bukan bayangan. Ternyata ada seseorang yang berdiri tidak jauh dari aku dan Ryan. Mungkin tadi aku terlalu kalut sampai aku tidak menyadarinya. Aku reflek menegaskan pandanganku ke arah….
Apa-apaan ini? Kenapa dia ada disitu? Sejak kapan? Bagaimana bisa? Lalu bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan? Aku panik. Panik tingkat paling tinggi dari semua panik yang pernah kualami.
Ryan ikut menoleh ke arah orang yang matanya sedang berapi-api itu. Tampak betul raut kecemburuan meluap dari wajahnya. Terlalu penuh. Bahkan sampai aku takut menatapnya.
Ia menusuk-nusuk mataku dengan tatapan kesakitannya, sebelum akhirnya membalikkan badan dan berjalan menuju keluar pagar rumahku.
Kekasihku. Aku refleks melepas bunga mawar pemberian Ryan dan meninggalkan Ryan untuk mengejarnya.
“Tunggu!” teriakku.
Alih-alih menoleh, ia justru berjalan semakin cepat.
“Tunggu, Al! Alyssa, dengerin penjelasan aku dulu!” aku terus mengejarnya. “AKU BILANG TUNGGU!!!”

4 comments:

  1. WHAT THE FCK?????????????????
    aku nggak nyangka kalo Safira itu siegnovhien ajsdh wsde

    risty, you make me die in stupidness!!!

    karakter gilamu, sangat2 keren.it's GREAAAT!!!! I LOVE IT!!!

    *ga mau bikin cerita happy ending????*

    ReplyDelete
  2. MAUUUUUUUUUU mau banget tapi niat awalnya selalu belok kalo mau bikin happy ending bbbzzztt

    keep reading ya bakal ada 2 cerita lagi ttg 2 makhluk ini kayaknya. haha.

    ReplyDelete

About Me

My photo
Tangerang, Banten, Indonesia
bukan penulis, bukan pengarang, hanya pecinta keduanya.