Monday, January 23, 2012

Penghuni Lama Rumah Jalan Anggrek Nomor 31


Aku berdiri didepan sebuah rumah bernomor 31 di Jalan Anggrek. Rumah yang tidak pernah lagi kuinjak sejak dua bulan lalu, namun selalu kuawasi.

Ada seorang kakek pegawai pos yang sedang terbingung-bingung setelah keluar dari pagar rumah itu. Ia menggaruk-garuk kepalanya sambil memandangi bangunan yang ada didepannya.

“Kakek,” sapaku seraya menghampirinya.

“Kau…” tanggap kakek itu, wajahnya sangat tampak terkejut melihatku.


“Ada apa, Kek?” tanyaku disertai senyum sopan. Meski penampilanku terlihat sedikit brutal, tapi aku adalah orang yang sangat menghormati orang tua, sungguh.

“Ini rumahmu, kan?” tanya sang kakek.

Aku mengangguk. “Tapi dulu,” jawabku. “Sekarang aku sudah tidak tinggal disini lagi,” kulanjutkan kemudian.

Kakek itu membulatkan mulutnya. “Kau baik-baik saja?” tanyanya.
“Kakek mengkhawatirkanku?” tanyaku.

“Tentu saja!” jawab sang kakek tegas dan serius. Suaranya terdengar sedikit bergetar, sebergetar hatiku saat mendengar jawabannya tadi. Aku bahkan merasa tidak pernah ada yang memerdulikanku.

“Benarkah…” tanggapku, bergumam.
 
“Kalau bukan karena aku tinggal menumpang dirumah menantuku yang sangat kejam, aku akan membawamu pulang dan merawatmu,” papar kakek itu.

Aku terharu. Benarkah ada orang sebaik itu terhadap orang yang tidak dikenal? Lebih jelasnya, orang –gila- yang tidak dikenal. Aku tersenyum lemah sambil menahan mataku agar tidak mengeluarkan air setitikpun. Aku benci menangis.

“Sekarang kau tinggal dimana?” tanya kakek itu kemudian.

Aku bangun dari keharuanku. Tegar, harus tegar. “Harus ada yang mengirimkan surat untukku terlebih dahulu, baru kakek akan tau rumahku,” jawabku, lalu tertawa renyah. Mencoba mencairkan suasana.

“Kau ini!” omel sang kakek. Omelan yang sangat kusuka. “Lalu dimana pria yang menyuruhku membersihkan rumahmu yang sangat kotor waktu itu?” tanyanya kemudian.

“Apa?” aku terkejut mendengar pertanyaan itu. Dan sebenarnya malas membahas tentang orang itu.

“Dia kakakmu, kan?” tambahnya memastikan.

“Emm, iya,” jawabku. “Tapi aku sudah sangat lama tidak bertemu dengannya,” kutambahkan kemudian.

“Kemana dia?” tanya kakek itu lagi.

“Entahlah,” jawabku, malas. Bagaimana menjelaskan ke kakek ini kalau aku benar-benar tidak ingin membahas pria itu? “Kakek, bagaimana kalau kita minum kopi? Aku yang bayar, sebagai ucapan terimakasih karena kakek sudah sempat menjengukku waktu itu,” tawarku, tak peduli kakek itu mau atau tidak, aku hanya ingin mengalihkan pembicaraan.

“Ah, Kakek hanya kebetulan sedang mengantar surat untukmu saat itu, tidak usah dipikirkan,” timpal kakek itu sambil tersenyum. Kumis putih-tipisnya seperti mengombak. “Kakek harus mengantar surat lagi,” lanjutnya.

“Oh, jadi tidak bisa?” tanyaku memastikan seraya memasang wajah –berpura-pura- sedikit kecewa.

“Lain kali saja ya,” jawab sang kakek, mencoba memberiku harapan.

Tenanglah, Kek, aku tak akan sekecewa itu hanya karena tidak bisa minum kopi bersamamu. Jadi, kau tenang saja. “Oke, lain kali ya,” ujarku.

“Semoga,” timpalnya sambil tertawa. “Kakek pamit ya, jaga dirimu baik-baik,” katanya sambil naik ke sepeda-motor-tuanya.

“Siap!” ucapku sambil berlagak memberi hormat seperti tentara yang sedang siap bertempur.

Dan kakek itupun pergi.

Aku menghela nafas panjang. “Ternyata sangat banyak orang baik di bumi ini,” ucapku seorang diri, sambil mengambil permen karet di saku jaketku dan membukanya lalu mengunyahnya.

Aku kembali ketempat semula, dibawah sebuah pohon yang ada diseberang rumah bernomor 31 itu. Lalu kulihat ada seorang kurir pizza yang berhenti, dan masuk kedalam pagar rumah itu.

“Permisi!” sapanya. Aku bangun, dan perlahan mulai mendekat rumah itu lagi.

Aku melihat si pemilik rumah, seorang bapak-bapak gemuk, membuka pintu dan keluar. “Maaf, tidak ada yang memesan pizza,” ucap laki-laki itu.

Aih, ternyata hanya kurir salah alamat. Aku menyeringai.

“Emm, ini rumah Anda?” tanya kurir itu. Sudah tau salah alamat, alih-alih langsung berpamitan, malah menanyakan hal yang bisa membuat si pemilik rumah itu kesal. Apalagi pemilik rumah itu cukup galak.

“Tentu saja!” jawab si pemilik rumah dengan nada bicara yang cukup tinggi.
Aku menyeringai. Sialnya aku hanya melihat punggung pria itu, kuyakin wajahnya pasti sangat bodoh dan menarik untuk ditertawakan.

“Maaf, kemana pemilik lama rumah ini?” tanya kurir pizza itu.

“Aku membeli rumah ini dalam keadaan kosong, tidak tau menau tentang pemilik lamanya,” jawab pria gendut itu, mulai menyeramkan.

“Benar-benar tidak tau apapun?” tanya kurir itu lagi. Ah, kenapa pria itu menyebalkan sekali? Dan… kenapa aku harus peduli?

“Tidak tau! Dan bukan urusanku!” jawab pria gendut pemilik rumah itu setengah berteriak sebelum setelahnya berbalik badan dan masuk kerumah setelah menutup pintu dengan kasar.

BRUG!

Aku tertawa. Menggelikan. Sampai ada sesuatu yang mengetuk kepalaku. Hei, tunggu, tadi ia menanyakan pemilik lama rumah itu? Pemilik lama?

Aku lantas berjalan mendekati pagar rumah bernomor 31 itu, berbarengan dengan kurir pizza itu menghampiri dari arah dalam. Pria itu berjalan sambil menunduk, sepertinya sangat sedih, atau entah apa semacamnya. Ia menutup pagar dari luar, dengan lemas.

“Kau mencariku?” tanyaku.

Pria tadi menoleh kearahku. Ia mengangkat wajahnya yang sejak tadi tertunduk dan tertutup topi. Dan… ASTAGA! Kenapa ada pegawai pengantar pizza setampan ini? Dia benar-benar tampan! Tenang, tenang! Kendalikan dirimu.

Wajah pria itu nampak sangat terkejut. Jauh lebih terkejut dari wajah sang kakek tadi. Ada apa? Apa ia tidak mengenali wajahku? Berani taruhan, kapanpun terakhir kali orang itu berkunjung ke rumah ini, sekarang aku pasti jauh lebih cantik dibanding saat itu. Kubuka topi yang menutupi rambutku, mungkin dengan begitu ia akan lebih mengenalku. “Kau mencariku?” tanyaku lagi.

“Kau…” laki-laki itu tampak tercekat. Seperti ingin bicara tapi tersumbat ditenggorokannya, atau malah tak menemui kata-kata untuk diutarakan.

Aku mendekatinya. Mendekati pria tampan itu. “Ada apa denganku?” tanyaku.

Pria itu mengangkat tangan kanannya dan seperti ingin menyentuh entah pipi atau rambutku, namun tertahan. Matanya terpaku pada mataku. Sial, aku tak terlalu suka suasana seperti ini. Aku tak bisa melakukan apapun selain mengendalikan volume suara detakan jantungku agar tidak terdengar oleh laki-laki ini.

Pengantar pizza itu lantas melempar tangannya asal, dan kudengar helaan nafasnya yang agak kasar. “Sepertinya kau baik-baik saja,” ucapnya, tampak betul berusaha tenang dan santai.

Aku tersenyum. “Bahkan lebih baik dari yang kau lihat,” jawabku.

Laki-laki itu tersenyum. Sangat manis. “Benarkah?” tanyanya kemudian.

“Kau bisa lihat dari seberapa semerbaknya senyumku,” ujarku lalu menunjukkan senyum paling menawan, versiku.

Laki-laki itu tertawa, terhibur kurasa.

“Beberapa bulan lalu aku hanya sedikit tertekan, dan aku sudah bisa mengatasinya,” jelasku, tak dipinta, sebenarnya, namun entah mengapa aku ingin bicara lebih banyak lagi pada orang ini.

Kurir pizza itu berjalan pelan mendekati sepeda motornya, membuka box yang ada dibagian belakang, dan mengambil sekotak kecil pizza. Ah, tiba-tiba ada pertunjukkan keroncong diperutku. 
Aku menelan air liur, tergiur. Pizza!

Ia kembali mendekatiku yang masih bergeming tak bergerak satu langkahpun.

“Ini untukmu,” ucap pria itu seraya mengulurkan tangan kanannya, memberikan kotak kecil pizza itu untukku.

“Apa?” aku terkejut.

“Kalau tidak mau, yasudah,” ia menarik lagi box pizzanya, meledek.

Dengan cepat, aku meraih kotak pizza itu dengan tangan kananku. “Aku sangat suka pizza!” ungkapku.

Laki-laki itu tersenyum puas.

“Terimakasih,” lanjutku kemudian.

“Terimakasih juga karena sudah menepati janjimu,” tuturnya.

“Janji?” tanyaku seraya mengerutkan kening. “Orang yang bahkan tidak makan selama berhari-hari bisa mengucapkan sebuah janji?”

Pria didepanku tertawa,  begitu juga denganku, sekejap, lalu terdiam. Senyumnya perlahan memudar, dan begitu juga denganku.

“Kau kenapa?” tanyaku.

Pria itu mundur satu langkah dari tempatnya berdiri, lalu memandangiku dari ujung rambut hingga ujung kaki. Membuatku salah tingkah. Ia kemudain melipat kedua tangannya didada. Seperti sedang berpikir, ia mengerutkan dahinya. Begitu juga denganku. Bingung.

“Penampilanmu cukup keren,” komentarnya tiba-tiba.

“Apa?” aku tak menyangka laki-laki itu akan mengomentari penampilanku. Refleks, aku melihat kesekujur tubuh yang terjangkau oleh mataku. T-shirt hitam dibalut dengan kemeja kebesaran yang tak kukaitkan kancingnya, lalu jeans yang tingginya satu jengkal diatas lutut, dan sepatu skate lusuh tanpa lapisan kaus kaki. Keren? Ia bilang aku keren? Apa ia sedang meledekku? Lucu sekali.

“Lain kali, pakailah jeans panjang agar kaki mulusmu itu tidak terkena debu,” ucapnya sambil berbalik arah dan mendekati sepeda motornya.

“Kenapa dia harus sepeduli itu padaku?” aku bergumam seorang diri.

Ia lalu menoleh. “Ohya, dimana tempat tinggalmu sekarang?” tanyanya setelah menaiki sepeda motornya.

“Harus ada yang mengirimkan 100 kotak pizza untukku, baru akan kuberi tau dimana aku tinggal sekarang,” jawabku sekenanya sambil tersenyum.

Pria itu tertawa kecil, lalu tersenyum manis dan pergi setelah seperskian detik menatapku dengan tatapan yang nyaris membuatku meleleh ditempat. Untung saja kurir tampan itu sudah pergi. Aku menatap punggungnya yang perlahan menjauh sampai aku tersadar sedang senyum-senyum sendiri seperti orang gila. Ah, tidak semua orang gila tersenyum, seingatku.

***

“Beruntung sekali, hari ini ada yang memberikan pizza,” aku bersila dan menceritakan tentang siapa saja yang kutemui hari ini sambil menyantap pizzaku. “Kau mau?” tanyaku kemudian.

Orang didepanku hanya diam, memandangku dengan penuh keseriusan. “Lebih baik kau makan yang lain saja, aku sangat suka pizza,” lanjutku sambil mengisi penuh mulutku dengan potongan pizza lezat itu.

“Kau tau, pizza ini kudapat dari seorang kurir tampan,” aku terus bercerita. “Ah, dia seperti….”

Tiba-tiba, tangan kiri gadis didepanku dengan kasar merebut potongan pizza yang hendak kumasukan kedalam mulutku. Dan dengan lahap ia memakannya.

“Hei, apa kau tidak bisa tidak kasar padaku?!” ucapku setengah berteriak sampai beberapa pizza hancur tersembur dari mulutku. Kesal.

Aku berdiri dan pergi ke sudut kamar untuk minum. Tempat tinggalku memang hanya satu kamar dan satu kamar mandi. Kutatap lagi gadis yang sedang menyantap pizza dengan sangat menyeramkan itu. “Kapan dia akan belajar meminta makanan dengan sopan?” gerutuku.

Kuambil sebuah wadah plastik yang cukup besar, lalu kuisi dengan air dan ketaruh sapu tangan didalamnya. Kubawa ketempatku semula. Lalu aku kembali bersila didepan satu-satunya temanku itu.

Kupandang matanya. Selalu tak bisa kubaca tatapannya. Lalu kuperas sapu tangan di wadah plastik disampingku. “Aneh sekali, padahal kita sangat mirip, tapi kenapa begitu banyak orang yang perhatian padamu? Sedangkan aku tidak,” ucapku sambil mulai mengelap tangan kanannya yang tidak sedang memegang pizza. “Apa aku harus gila sepertimu untuk mendapat perhatian banyak orang?” tanyaku pada orang yang kutau tak akan memberikan jawaban.

Ia terus makan, dan aku membuka pakaiannya untuk membersihkan seluruh badannya.

No comments:

Post a Comment

About Me

My photo
Tangerang, Banten, Indonesia
bukan penulis, bukan pengarang, hanya pecinta keduanya.