Thursday, March 20, 2014

Badut

Aku masuk ke dalam sebuah outlet burger yang berdiri di salah satu taman hiburan tertua di kotaku. Kulepaskan tas ransel dari punggungku dan kusampirkan di tempat biasa aku meletakannya. Aku lalu melangkah menuju dapur. Tidak, jangan bayangkan aku melewati banyak pintu untuk sampai ke dapur. Tempat pemesanan, tempat pembuatan, dan tempat pembayaran, posisi ketiganya saling berdekatan. Meskipun sudah puluhan tahun berdiri, outlet milik keluargaku ini tetap pada ukuran asalnya. Tidak berubah.
“Selamat sore!” aku menyapa dan mencium pipi seorang wanita yang seluruh helai rambutnya sudah memutih.
“Kurasa kau satu-satunya anak sekolah menengah atas yang masih mencium pipi neneknya sepulang sekolah,” ucap salah seorang pegawai.
Aku tertawa. “Semua orang harus tahu, aku selalu senang menjadi satu-satunya salam segala hal,” aku menanggapi. “Apa tidak ada yang bisa kumakan?” tanyaku kemudian.
Seorang wanita berumur yang tengah merapikan piring menoleh ke arahku. “Kalau kau mau datang untuk makan, datanglah lebih awal. Sekarang kita sudah mau tutup,” ujarnya.
Aku cemberut. “Aku kurang beruntung!” aku lalu mengumpat pelan.
“Tapi untuk cucuk Nenek yang paling cantik di negeri ini, akan Nenek siapkan menu paling istimewa dari outlet kita. Kau mau?”
Aku melihat sebuah, ah atau seorang, entahlah, badut lewat di depan tokoku. Wajahnya sejenak menoleh ke arahku. Seperti yang kubilang, outletku tidak besar, jadi dari tempat memasak pun aku bisa melihat orang-orang yang berada di luar. Termasuk badut itu.
“Siapa yang sedang kau lihat? Badut?” tebak nenekku.
Aku tersenyum lebar bak bintang iklan pasta gigi. “Nenek, tolong buatkan aku tiga menu paling spesial!”

Aku keluar dari outlet burgerku dan menyapu sekitar dengan pandangan. Hanya ada beberapa pengunjung yang berlalu lalang dan pegawai outletku yang tengah membereskan meja dan kursi. Kurasa badut itu sudah ke kamar ganti khusus. Maka kuputuskan untuk pergi ke sana dengan membawa tiga paket menu spesial outletku yang masing-masing berisi satu burger jumbo dengan semua isi, kentang goreng, eskrim vanilla, dan satu kotak jus dalam kemasan. Aku tahu di mana badut mengganti pakaian mereka. Tidak terlalu jauh dari outletku.
Kulihat badut Minie Mouse, yang tadi lewat di depan outletku, tengah duduk di sebuah bangku panjang di bawah pohon palm dekat kamar ganti khusus.
“Kemana badut yang lain?” tanyaku sambil berjalan mendekati bangku itu.
Badut Minie Mouse itu sepertinya terkejut. Ia menoleh ke arahku. Tak ada suara. Pertanyaanku tidak ia jawab.
“Ah, padahal aku sudah susah payah menggunakan kedua tanganku untuk membawa tiga kotak paket ini,” ucapku sambil meletakkan paket-paket menu itu di sebalah Minie Mouse. “Kalau begitu, kau saja yang bawa semuanya,” aku melanjutkan.
Minie Mouse itu diam. Tak memberikan tanggapan dengan suara maupun dengan gerakan badan. Sepertinya orang yang ada di dalam badut ini adalah orang yang sama dengan yang kuberi segelas soda kemarin siang. Badut itu juga tidak mengucapkan sepatah kata pun padaku.
Aku lalu duduk di bangku yang sama, di sebelah badut itu, terpisahkan oleh tiga kotak burger. “Kau pasti heran karena aku satu-satunya orang yang suka memberikan makanan secara cuma-cuma untuk badut?” aku berujar ringan. “Aku senang menjadi satu-satunya dalam segala hal.”
Badut itu menatapku melalui mata Minie Mouse yang dilapisi plastik kaca hitam. Aku membalas tatapannya, meski tidak bisa melihat siapa yang ada di dalamnya.
“Apa terasa nyaman mengenakan pakaian badut saat datang bulan?” tiba-tiba aku bertanya.
Bahu Minie Mouse bergetar.
“Kau tertawa?” tanyaku dengan kening yang mengerut. “Ah, aku selalu terjebak sugesti bahwa orang yang ada di balik topeng sesuai dengan topeng yang dikenakan,” ucapku, lalu tertawa kecil. “Jadi kau laki-laki?” aku bertanya kemudian.
Minie Mouse mengangguk.
“Tampan?”
Minie Mouse mengangguk cepat, membuatku tertawa sambil membayangkan bagaimana ekspresi wajah di dalamnya.
“Apa kau senang menjadi badut taman hiburan?” tanyaku lagi.
Minie Mouse mengangguk.
“Apa yang membuatmu senang?”
Minie Mouse diam.
Tiba-tiba aku menyadari sesuatu. “Ah, aku tidak bisa memberikan pertanyaan 5W1H kepadamu,” ucapku. “Apa kau menyukai anak kecil?”
Minie Mouse mengangguk.
“Aku juga sangat suka anak-anak.” Aku tersenyum lebar ke arahnya. “Sayangnya aku anak bungsu, jadi tidak punya adik,” lanjutku. “Kau punya adik?”
Minie Mouse menggeleng.
“Ah, kau juga anak bungsu rupanya. Pantas kau senang datang ke taman bermain.”
Minie Mouse mengangguk.
Aku diam sejenak. Badut Minie Mouse di sebelahku, sudah tentu, juga diam. Langit mulai menguning. Matahari sepertinya hendak beranjak ke belahan dunia lain.
“Kau tahu, aku sangat ingin menjadi badut sepertimu,” aku memulai lagi pembicaraan.
Minie Mouse menatapku. Aku membayangkan alis orang yang ada di dalamnya terangkat, mengisyaratkan pertanyaan ‘kenapa’ atas pernyataanku barusan.
“Aku bisa tersenyum, tertawa, bernyanyi dengan wajah aneh, dan bahkan menangis di depan umum tanpa seorang pun tau,” ungkapku diiringi tawa.
Minie Mouse mengangguk.
“Kau juga melakukan itu?”
Minie Mouse lagi-lagi mengangguk.
“Aku juga bisa memerhatikan sesuatu atau seseorang dengan seksama tanpa diketahui siapa pun,” aku berucap lagi.
Badut tikus raksasa di sampingku mengangguk-angguk lagi.
“Kau juga melakukannya? Memerhatikan seseorang dari balik topengmu?” aku bertanya antusias.
Minie Mouse mengangguk.
“Ah,” tiba-tiba saja muncul rasa penasaran yang sedikit nakal di otakku. “Apa kau menyukai seseorang dan selalu memandanginya secara diam-diam?” tanyaku hati-hati.
Terlihat sedikit ragu, tapi badut itu akhirnya mengangguk.
“Wow!” aku berteriak sambil sedikit memutar tubuhku, menghadap ke arahnya. “Sungguh?” rasa penasaranku menebal tiga sampai empat kali lipat. “Kau romantis sekali,” aku memuji badut itu dengan nada meledek. Kurasa hidungnya kembang-kempis di balik topeng tikus itu.
“Siapa yang kausuka?” tanyaku. Lupa, aku tidak bisa menanyakan pertanyaan seperti itu. “Maksudku, apa wanita yang kausukai sering mengunjungi taman hiburan ini?” aku meralat pertanyaanku.
Badut di sebelahku mengangguk.
“Seorang pengunjung?”
Minie Mouse menggeleng.
Aku mengerutkan kening. Berpikir. Terlalu banyak kemungkinan. Tidak ada klu, tidak ada kata bantu, dan tidak ada petunjuk apa pun. Setiap badut berkeliling ke seluruh penjuru taman hiburan. Wanita itu bisa ada di bagian mana saja tempat rekreasi keluarga ini.
Minie Mouse itu menatapkun dengan mata hitam yang terbuat dari plastik tebal di kepala pakaian badutnya. Entah menunggu tebakanku selanjutnya, atau justru menghakimiku karena aku terlalu ingin tahu tentang hidupnya.
Aku sadar, aku memang belum mengenal orang di balik pakaian badut itu. Aku bahkan tidak tahu seperti apa orang yang ada di dalamnya. Tapi aku terlalu tertarik pada badut. Aku benar-benar ingin tahu siapa yang ia suka. Mungkin saja aku bisa membantu mempertemukannya dengan gadis itu. Sepertinya pria dibalik pakaian tikus wanita ini pria baik-baik. Maksudku, kuharap begitu.
“Ah,” tiba-tiba aku terpikir sesuatu. “Mungkinkah wanita yang kau suka adalah orang yang bekerja di taman hiburan ini?”
Minie Mouse mengangguk.
Aku menjentikkan jari. “Pasti kakak penjual balon di pintu masuk!” ucapku yakin. “Kakak itu sangat cantik, ramah, selalu ceria, dan sepertinya dia sangat menyukai anak-anak. Kau pasti menyukai kakak itu kan?” tuturku penuh semangat.
Minie Mouse menggeleng.
“Bukan?” aku memastikan. “Ah, seleramu sepertinya tinggi,” komentarku. Aku berpikir lagi, kali ini tidak terlalu lama untuk mendapatkan kandidat berikutnya. “Atau mungkin kau menyukai wanita penjaga tiket wahana kuda terbang? Dia belum menikah, tapi terlihat sangat dewasa dan keibuan. Pasti wanita seperti itu yang kausuka. Benar kan?”
Minie Mouse menggeleng lagi.
Aku menghela nafas. Salah lagi. “Begitu banyak wanita yang bekerja di taman hiburan ini, bagaimana aku bisa menebaknya tanpa petunjuk sedikit pun?” aku bergumam seorang diri. “Tunggu,” tiba-tiba sesaatu menghentak otakku. “Jangan-jangan… kau… menyukaiku. Aku bukan pengunjung, tapi setiap hari datang ke sini. Jangan-jangan diam-diam kau menyukaiku….”
Bahu badut di sebelahku naik turun. Ia tertawa tanpa suara.
“Kenapa kau tertawa?” tanyaku dengan nada sedikit kesal. Apanya yang lucu? “Nenekku selalu bilang, aku ini cucuknya yang paling cantik. Oke, akan kuberitahu satu rahasia, sebenarnya cucuk perempuan nenekku saya aku seorang. Tapi tetap saja nenek bilang aku cantik. “
Minie Mouse tertawa lagi.
“Badut,” aku memanggilnya. “Lebih baik kau beri tahu aku siapa perempuan itu,” ucapku. “Siapa tahu aku bisa membantumu,” aku melanjutkan.
Minie Mouse menggeleng pelan.
“Huh, payah sekali!” Aku cemberut. “Ngomong-ngomong, aku sangat salut pada orang-orang yang bisa bertahan demi apa yang mereka cintai. Sepertimu. Juga seperti ayahku. Ayahku rela melakukan pelatihan keras dan meninggalkan keluarganya untuk Negara yang ia cintai. Nenekku juga, sampai usianya setua ini, nenekku masih saja membuat burger. Nenek melakukan itu sejak usianya masih semuda diriku. Iya, sejak keluarga kami hanya memiliki satu outlet burger di taman hiburan ini, sampai sekarang kami sudah memiliki 20 outlet burger yang tersebar di taman hiburan lain dan bahkan satu restoran. Padahal tanpa ikut bekerja sekali pun, nenekku sudah bisa menikmati hasil yang sangat cukup. Nenek bilang, ia melakukan itu karena cinta, bukan karena ingin uang,” aku bercerita panjang lebar. "Aku ingin menjadi orang dengan loyalitas tinggi seperti kalian."
Minie Mouse tidak mengangguk, tidak juga menggeleng.
“Ah, kenapa aku harus menceritakan tentang keluargaku? Kau bahkan tidak mau memberi tahu siapa orang yang kusuka,” aku berkata sambil tertawa.
“Sampai kapan kau mau memakai baju badut itu?” tiba-tiba seseorang dari belakang kami berkata dengan setengah berteriak.
Aku berhenti tertawa, dan bersama Minie Mouse yang duduk di sebelahku, kami serentak menoleh ke belakang. Seorang pria paruh baya berkumis dengan wajah yang sangat tak ramah tengah melangkah ke arah kami.
Minie Mouse cepat-cepat berdiri.
“Cepat ganti pakaianmu!” ucap laki-laki itu.
Minie Mouse mengangguk, sebelum setelah itu memutar badannya dan pergi menjauh ke arah kamar ganti yang letaknya tidak terlalu jauh dari bangku panjang di mana aku sedang duduk itu.
“Badut!” aku bangun dan memanggilnya.
Minie Mouse menoleh.
“Ini makananmu,” ucapku sambil menunjuk tiga paket burger yang tadi kubawa.
Badut itu kembali. Ia lalu mengambil tiga kotak paket burger itu. Satu diberikan untukku, satu lagi ia berikan pada bosnya, dan kemudian ia pergi membawa sisanya.
Pria berkumis di sampingku menatapku heran.
Aku tertawa. “Bawalah pulang untuk anakmu di rumah,” ucapku kemudian.
“Apa dia memesan burger?" tanya laki-laki itu.
Aku menggeleng. “Aku membawakan untuknya," jawabku. "Maaf karena aku mengajaknya bicara, ia jadi terlambat melepas pakaiannya,” kataku.
“Walaupun kau tidak mengajaknya bicara, orang itu tetap akan duduk di sini lama.”
“Hah?” aku mengangkat kedua alisku.
“Kau mungkin tidak tahu, ia tidak pernah pulang sebelum outlet burgermu tutup.”
“Maksudmu?”
“Aku juga tidak mengerti. Aku baru lima tahun menjadi koordinator badut di taman hiburan ini, tapi kata koordinator sebelumnya, ia sudah melakukan itu sejak bulan-bulan pertama bekerja.”
“Lima tahun? Sejak kapan orang itu menjadi badut?” aku bertanya dengan wajah yang dibengkaki tanda tanya.
“Menurut cerita, ia bekerja di sini sejak taman hiburan ini didirikan. Berarti sekitar lima puluh tahun yang lalu,” jawab pria itu. "Lihat saja orang itu, sudah kusuruh berhenti tapi tidak pernah mau," pria itu menunjuk ke arah belakangku dengan dagunya.
Aku menoleh dan mendapati seorang kakek tua beruban dengan wajah keriput yang baru saja keluar dari kamar ganti pakaian.

Tanpa sadar, aku menjatuhkan paket burger di tanganku. Jangan-jangan orang yang ia suka adalah....

No comments:

Post a Comment

About Me

My photo
Tangerang, Banten, Indonesia
bukan penulis, bukan pengarang, hanya pecinta keduanya.