Aku masuk ke dalam sebuah outlet burger yang berdiri di salah satu taman hiburan tertua di kotaku.
Kulepaskan tas ransel dari punggungku dan kusampirkan di tempat biasa aku meletakannya. Aku lalu
melangkah menuju dapur. Tidak, jangan bayangkan aku melewati banyak pintu untuk
sampai ke dapur. Tempat pemesanan, tempat pembuatan, dan tempat pembayaran,
posisi ketiganya saling berdekatan. Meskipun sudah puluhan tahun berdiri, outlet milik keluargaku ini tetap pada ukuran asalnya. Tidak berubah.
“Selamat sore!” aku menyapa dan mencium pipi seorang
wanita yang seluruh helai rambutnya sudah memutih.
“Kurasa kau satu-satunya anak sekolah menengah atas
yang masih mencium pipi neneknya sepulang sekolah,” ucap salah seorang pegawai.
Aku tertawa. “Semua orang harus tahu, aku selalu senang
menjadi satu-satunya salam segala hal,” aku menanggapi. “Apa tidak ada yang
bisa kumakan?” tanyaku kemudian.
Seorang wanita berumur yang tengah merapikan piring
menoleh ke arahku. “Kalau kau mau datang untuk makan, datanglah lebih awal.
Sekarang kita sudah mau tutup,” ujarnya.
Aku cemberut. “Aku kurang beruntung!” aku lalu
mengumpat pelan.
“Tapi untuk cucuk Nenek yang paling cantik di negeri
ini, akan Nenek siapkan menu paling istimewa dari outlet kita. Kau mau?”
Aku melihat sebuah, ah atau seorang, entahlah, badut
lewat di depan tokoku. Wajahnya sejenak menoleh ke arahku. Seperti yang
kubilang, outletku tidak besar, jadi dari tempat memasak pun aku bisa melihat
orang-orang yang berada di luar. Termasuk badut itu.
“Siapa yang sedang kau lihat? Badut?” tebak nenekku.
Aku tersenyum lebar bak bintang iklan pasta gigi.
“Nenek, tolong buatkan aku tiga menu paling spesial!”
Aku keluar dari outlet burgerku dan menyapu sekitar
dengan pandangan. Hanya ada beberapa pengunjung yang berlalu lalang dan pegawai
outletku yang tengah membereskan meja dan kursi. Kurasa badut itu sudah ke
kamar ganti khusus. Maka kuputuskan untuk pergi ke sana dengan membawa tiga
paket menu spesial outletku yang masing-masing berisi satu burger jumbo dengan semua isi, kentang
goreng, eskrim vanilla, dan satu kotak jus dalam kemasan. Aku tahu di mana
badut mengganti pakaian mereka. Tidak terlalu jauh dari outletku.
Kulihat badut Minie Mouse, yang tadi lewat di depan
outletku, tengah duduk di sebuah bangku panjang di bawah pohon palm dekat kamar
ganti khusus.
“Kemana badut yang lain?” tanyaku sambil berjalan
mendekati bangku itu.
Badut Minie Mouse itu sepertinya terkejut. Ia menoleh
ke arahku. Tak ada suara. Pertanyaanku tidak ia jawab.
“Ah, padahal aku sudah susah payah menggunakan kedua
tanganku untuk membawa tiga kotak paket ini,” ucapku sambil meletakkan
paket-paket menu itu di sebalah Minie Mouse. “Kalau begitu, kau saja yang bawa
semuanya,” aku melanjutkan.
Minie Mouse itu diam. Tak memberikan tanggapan dengan suara maupun
dengan gerakan badan. Sepertinya orang yang ada di dalam badut ini adalah orang
yang sama dengan yang kuberi segelas soda kemarin siang. Badut itu juga tidak
mengucapkan sepatah kata pun padaku.
Aku lalu duduk di bangku yang sama, di sebelah badut
itu, terpisahkan oleh tiga kotak burger. “Kau pasti heran karena aku
satu-satunya orang yang suka memberikan makanan secara cuma-cuma untuk badut?”
aku berujar ringan. “Aku senang menjadi satu-satunya dalam segala hal.”
Badut itu menatapku melalui mata Minie Mouse yang
dilapisi plastik kaca hitam. Aku membalas tatapannya, meski tidak bisa melihat siapa
yang ada di dalamnya.
“Apa terasa nyaman mengenakan pakaian badut saat
datang bulan?” tiba-tiba aku bertanya.
Bahu Minie Mouse bergetar.
“Kau tertawa?” tanyaku dengan kening yang mengerut.
“Ah, aku selalu terjebak sugesti bahwa orang yang ada di balik topeng sesuai
dengan topeng yang dikenakan,” ucapku, lalu tertawa kecil. “Jadi kau
laki-laki?” aku bertanya kemudian.
Minie Mouse mengangguk.
“Tampan?”
Minie Mouse mengangguk cepat, membuatku tertawa sambil
membayangkan bagaimana ekspresi wajah di dalamnya.
“Apa kau senang menjadi badut taman hiburan?” tanyaku
lagi.
Minie Mouse mengangguk.
“Apa yang membuatmu senang?”
Minie Mouse diam.
Tiba-tiba aku menyadari sesuatu. “Ah, aku tidak bisa
memberikan pertanyaan 5W1H kepadamu,” ucapku. “Apa kau menyukai anak kecil?”
Minie Mouse mengangguk.
“Aku juga sangat suka anak-anak.” Aku tersenyum lebar
ke arahnya. “Sayangnya aku anak bungsu, jadi tidak punya adik,” lanjutku. “Kau
punya adik?”
Minie Mouse menggeleng.
“Ah, kau juga anak bungsu rupanya. Pantas kau senang
datang ke taman bermain.”
Minie Mouse mengangguk.
Aku diam sejenak. Badut Minie Mouse di sebelahku,
sudah tentu, juga diam. Langit mulai menguning. Matahari sepertinya hendak
beranjak ke belahan dunia lain.
“Kau tahu, aku sangat ingin menjadi badut sepertimu,”
aku memulai lagi pembicaraan.
Minie Mouse menatapku. Aku membayangkan alis orang
yang ada di dalamnya terangkat, mengisyaratkan pertanyaan ‘kenapa’ atas
pernyataanku barusan.
“Aku bisa tersenyum, tertawa, bernyanyi dengan wajah
aneh, dan bahkan menangis di depan umum tanpa seorang pun tau,” ungkapku
diiringi tawa.
Minie Mouse mengangguk.
“Kau juga melakukan itu?”
Minie Mouse lagi-lagi mengangguk.
“Aku juga bisa memerhatikan sesuatu atau seseorang
dengan seksama tanpa diketahui siapa pun,” aku berucap lagi.
Badut tikus raksasa di sampingku mengangguk-angguk
lagi.
“Kau juga melakukannya? Memerhatikan seseorang dari balik
topengmu?” aku bertanya antusias.
Minie Mouse mengangguk.
“Ah,” tiba-tiba saja muncul rasa penasaran yang sedikit
nakal di otakku. “Apa kau menyukai seseorang dan selalu memandanginya secara
diam-diam?” tanyaku hati-hati.
Terlihat sedikit ragu, tapi badut itu akhirnya
mengangguk.
“Wow!” aku berteriak sambil sedikit memutar tubuhku,
menghadap ke arahnya. “Sungguh?” rasa penasaranku menebal tiga sampai empat
kali lipat. “Kau romantis sekali,” aku memuji badut itu dengan nada meledek.
Kurasa hidungnya kembang-kempis di balik topeng tikus itu.
“Siapa yang kausuka?” tanyaku. Lupa, aku tidak bisa
menanyakan pertanyaan seperti itu. “Maksudku, apa wanita yang kausukai sering
mengunjungi taman hiburan ini?” aku meralat pertanyaanku.
Badut di sebelahku mengangguk.
“Seorang pengunjung?”
Minie Mouse menggeleng.
Aku mengerutkan kening. Berpikir. Terlalu banyak
kemungkinan. Tidak ada klu, tidak ada kata bantu, dan tidak ada petunjuk apa
pun. Setiap badut berkeliling ke seluruh penjuru taman hiburan. Wanita itu bisa
ada di bagian mana saja tempat rekreasi keluarga ini.
Minie Mouse itu menatapkun dengan mata hitam yang terbuat
dari plastik tebal di kepala pakaian badutnya. Entah menunggu tebakanku
selanjutnya, atau justru menghakimiku karena aku terlalu ingin tahu tentang
hidupnya.
Aku sadar, aku memang belum mengenal orang di balik
pakaian badut itu. Aku bahkan tidak tahu seperti apa orang yang ada di
dalamnya. Tapi aku terlalu tertarik pada badut. Aku benar-benar ingin tahu
siapa yang ia suka. Mungkin saja aku bisa membantu mempertemukannya dengan
gadis itu. Sepertinya pria dibalik pakaian tikus wanita ini pria baik-baik.
Maksudku, kuharap begitu.
“Ah,” tiba-tiba aku terpikir sesuatu. “Mungkinkah
wanita yang kau suka adalah orang yang bekerja di taman hiburan ini?”
Minie Mouse mengangguk.
Aku menjentikkan jari. “Pasti kakak penjual balon di
pintu masuk!” ucapku yakin. “Kakak itu sangat cantik, ramah, selalu ceria, dan
sepertinya dia sangat menyukai anak-anak. Kau pasti menyukai kakak itu kan?”
tuturku penuh semangat.
Minie Mouse menggeleng.
“Bukan?” aku memastikan. “Ah, seleramu sepertinya
tinggi,” komentarku. Aku berpikir lagi, kali ini tidak terlalu lama untuk
mendapatkan kandidat berikutnya. “Atau mungkin kau menyukai wanita penjaga
tiket wahana kuda terbang? Dia belum menikah, tapi terlihat sangat dewasa dan
keibuan. Pasti wanita seperti itu yang kausuka. Benar kan?”
Minie Mouse menggeleng lagi.
Aku menghela nafas. Salah lagi. “Begitu banyak wanita
yang bekerja di taman hiburan ini, bagaimana aku bisa menebaknya tanpa petunjuk
sedikit pun?” aku bergumam seorang diri. “Tunggu,” tiba-tiba sesaatu menghentak
otakku. “Jangan-jangan… kau… menyukaiku. Aku bukan pengunjung, tapi setiap hari
datang ke sini. Jangan-jangan diam-diam kau menyukaiku….”
Bahu badut di sebelahku naik turun. Ia tertawa tanpa
suara.
“Kenapa kau tertawa?” tanyaku dengan nada sedikit
kesal. Apanya yang lucu? “Nenekku selalu bilang, aku ini cucuknya yang paling
cantik. Oke, akan kuberitahu satu rahasia, sebenarnya cucuk perempuan nenekku
saya aku seorang. Tapi tetap saja nenek bilang aku cantik. “
Minie Mouse tertawa lagi.
“Badut,” aku memanggilnya. “Lebih baik kau beri tahu
aku siapa perempuan itu,” ucapku. “Siapa tahu aku bisa membantumu,” aku
melanjutkan.
Minie Mouse menggeleng pelan.
“Huh, payah sekali!” Aku cemberut. “Ngomong-ngomong,
aku sangat salut pada orang-orang yang bisa bertahan demi apa yang mereka
cintai. Sepertimu. Juga seperti ayahku. Ayahku rela melakukan pelatihan keras
dan meninggalkan keluarganya untuk Negara yang ia cintai. Nenekku juga, sampai
usianya setua ini, nenekku masih saja membuat burger. Nenek melakukan itu sejak
usianya masih semuda diriku. Iya, sejak keluarga kami hanya memiliki satu
outlet burger di taman hiburan ini, sampai sekarang kami sudah memiliki 20
outlet burger yang tersebar di taman hiburan lain dan bahkan satu restoran. Padahal tanpa ikut
bekerja sekali pun, nenekku sudah bisa menikmati hasil yang sangat cukup. Nenek
bilang, ia melakukan itu karena cinta, bukan karena ingin uang,” aku bercerita
panjang lebar. "Aku ingin menjadi orang dengan loyalitas tinggi seperti kalian."
Minie Mouse tidak mengangguk, tidak juga menggeleng.
“Ah, kenapa aku harus menceritakan tentang keluargaku?
Kau bahkan tidak mau memberi tahu siapa orang yang kusuka,” aku berkata sambil
tertawa.
“Sampai kapan kau mau memakai baju badut itu?”
tiba-tiba seseorang dari belakang kami berkata dengan setengah berteriak.
Aku berhenti tertawa, dan bersama Minie Mouse yang
duduk di sebelahku, kami serentak menoleh ke belakang. Seorang pria paruh baya
berkumis dengan wajah yang sangat tak ramah tengah melangkah ke arah kami.
Minie Mouse cepat-cepat berdiri.
“Cepat ganti pakaianmu!” ucap laki-laki itu.
Minie Mouse mengangguk, sebelum setelah itu memutar
badannya dan pergi menjauh ke arah kamar ganti yang letaknya tidak terlalu jauh
dari bangku panjang di mana aku sedang duduk itu.
“Badut!” aku bangun dan memanggilnya.
Minie Mouse menoleh.
“Ini makananmu,” ucapku sambil menunjuk tiga paket
burger yang tadi kubawa.
Badut itu kembali. Ia lalu mengambil tiga kotak paket
burger itu. Satu diberikan untukku, satu lagi ia berikan pada bosnya, dan
kemudian ia pergi membawa sisanya.
Pria berkumis di sampingku menatapku heran.
Aku tertawa. “Bawalah pulang untuk anakmu di rumah,”
ucapku kemudian.
“Apa dia memesan burger?" tanya laki-laki itu.
Aku menggeleng. “Aku membawakan untuknya," jawabku. "Maaf karena aku mengajaknya bicara,
ia jadi terlambat melepas pakaiannya,” kataku.
“Walaupun kau tidak mengajaknya bicara, orang itu
tetap akan duduk di sini lama.”
“Hah?” aku mengangkat kedua alisku.
“Kau mungkin tidak tahu, ia tidak pernah pulang
sebelum outlet burgermu tutup.”
“Maksudmu?”
“Aku juga tidak mengerti. Aku baru lima tahun menjadi koordinator badut di taman hiburan ini, tapi kata koordinator sebelumnya, ia
sudah melakukan itu sejak bulan-bulan pertama bekerja.”
“Lima tahun? Sejak kapan orang itu menjadi badut?” aku
bertanya dengan wajah yang dibengkaki tanda tanya.
“Menurut cerita, ia bekerja di sini sejak taman hiburan ini didirikan. Berarti sekitar lima puluh tahun yang lalu,” jawab pria itu. "Lihat saja orang itu, sudah kusuruh berhenti tapi tidak pernah mau," pria itu menunjuk ke arah belakangku dengan dagunya.
Aku menoleh dan mendapati seorang kakek tua beruban dengan wajah keriput yang baru saja keluar dari kamar ganti pakaian.
Tanpa sadar, aku menjatuhkan paket burger di tanganku.
Jangan-jangan orang yang ia suka adalah....
No comments:
Post a Comment