Monday, March 24, 2014

Apa Salahnya Memiliki Wajah Rupawan?


Aku membawa makananku menuju meja di salah satu sudut kantin sekolah baruku. Sambil sesekali membalas senyum beberapa orang (yang untungnya perempuan), aku melangkah menghampiri seorang murid (yang juga perempuan) yang tengah duduk sendirian di meja pojok kantin.

Ia yang menyadari kedatanganku, menoleh seperlunya. Hanya memastikan siapa pemilik sepatu sport keren seharga smartphone yang berdiri di sebelah mejanya, kurasa.

Meskipun kutahu orang itu tidak akan membalas senyumku, aku tetap menyapanya dengan senyuman lebar yang kuyakin jika aku menunjukannya ke para wanita selain dirinya, mereka akan jatuh terkapar tanpa nafas karena pesonaku dapat menyumbat seluruh saluran respirasinya.

Apa aku terdengar sangat percaya diri? Haha. Aku bercanda.

Gadis di depanku melanjutkan kegiatannya tanpa memberikan respon apa pun atas kehadiranku. Ia memakan lagi pizza mini di hadapannya dengan tangan kanan, dan mengerjakan teka-teki silang dengan tangannya yang lain. Enak sekali menjadi orang kidal.

Aku meletakkan makananku di meja, kemudian duduk di depannya. Tanpa permisi, tentu saja. Pertama, aku sadar orang ini tidak akan peduli. Kedua, kantin ini kan, milik semua murid yang ada di sini.

“Harusnya kau makan makanan yang bisa menghasilkan lebih banyak energi,” ucapku sembari membuka tutup minuman kemasan dengan susah payah. Keras sekali. “Bisa tolong bukakan ini untukku?” Aku menyodorkan botol air mineral itu ke arahnya.

Perempuan di hadapanku mengangkat kepalanya. Ia lalu meletakkan pensilnya dan meraih botol minuman dari tanganku. Belum sampai satu detik, orang itu sudah meletakkan botolku dalam keadaan terbuka. 

Perempuan itu lalu melanjutkan aktivitasnya lagi.

“Terima kasih,” ucapku. Aku lalu mengambil botol itu dan meminum seperempat isinya dalam satu kali tenggak. “Aku tidak tahu kalau kau sedingin itu pada orang lain,” aku berkomentar setelah sebelumnya mengusap sisa air di tepi mulut dengan punggung tangan kananku.

“Tidak juga,” ia menjawab pelan, namun terdengar amat tegas. Matanya terus mengarah pada barisan kotak-kotak berhuruf di buku yang ada di depannya.

Aku membuka kemasan roti cokelatku. “Jadi kau hanya melakukan itu padaku?” Aku menggigit bagian atas rotiku.

“Aku tidak terlalu suka berteman dengan orang yang menjadi pusat perhatian,” ia menjawab.

Aku menelan roti yang telah kukunyah beberapa kali. “Aku tidak tahu kalau menjadi tampan adalah sebuah kesalahan.”

Alih-alih menanggapi lelucon kepercayaandiriku, gadis di depanku malah membalik halaman buku teka-teki silangnya dengan santai dan kembali menjawab soal demi soal yang tertulis di kertas buram itu.

“Apa menurutmu aku benar-benar menjadi pusat perhatian?”

“Lihatlah ke samping kananmu,” ia menjawab tanpa sedikit pun melirik ke arah yang ia tunjukkan.

Aku menoleh ke sebelah kananku dan mendapati empat orang murid tengah buru-buru membelokkan pandangannya agar tidak bertabrak pandang denganku. Mereka tiba-tiba seolah tengah membicarakan hal yang sedari tadi mereka bicarakan.

“Lalu belakangmu,” orang di depanku berucap lagi.

Aku menoleh ke belakang dan melihat tiga perempuan yang mendadak salah tingkah karena orang yang sedang mereka amati tiba-tiba menoleh ke arah mereka.

“Dan lihatlah ke atas.”

Aku lalu setengah menengadah, mengarahkan pandanganku ke lantai dua kantin sekolah. Dua orang sedang berdiri dan saat aku melihat ke arahnya, mereka serentak melemparkan senyum jarak jauh untukku. Aku reflek membalasnya.

“Dan….”

“Cukup!” aku menghentikan kalimat orang yang duduk di hadapanku. “Tidak usah berusaha terlalu keras untuk meyakinkanku tentang itu.” Aku lalu tertawa. “Tapi aku datang ke sini bukan untuk mereka. Aku datang untukmu.” Lagi, aku menggigit roti cokelatku.

Orang itu tidak menggubrisku. Ia masih sibuk mengisi teka-teki silangnya sambil mengunyah pizza.

“Kau boleh memanfaatkanku. Sungguh,” aku berkata sambil membuka tutup botol minumanku.

“Apa untungnya aku memanfaatkanmu?”

Aku menelan air yang kuminum, membiarkannya mengaliri tenggorokanku. “Sepertinya reputasimu kurang baik di sekolah ini. Kalau kau berteman denganku, mereka akan menganggapmu keren!”

“Urus saja reputasimu sendiri!”

Aku tertawa. Wanita ini benar-benar keras kepala. “Aku datang ke sekolah ini khusus untuk memintamu kembali,” ucapku, langsung saja pada intinya. Tidak banyak kesempatan bisa bicara dengannya seperti ini.

“Aku tahu.”

“Jadi kau mau kembali?”

“Tidak.”

Aku menghela nafas, lalu tersenyum kecil. Sabar, sabar, batinku.

“Wah, wah! Kalian saling mengenal rupanya?” Suara itu muncul dari seorang murid laki-laki yang entah kapan dan dari mana datangnya, tiba-tiba saja ada di samping meja.

Aku tersenyum ramah ke arahnya. Menyapa.

“Kau tidak pernah bercerita kalau kau kenal dengan junior baru yang fenomenal ini?” ucap pria itu sambil mendorong pelan bahu orang yang duduk di depanku.

“Fenomenal?” Aku mengangkat kedua alisku.

“Semua orang di sekolah ini membicarakanmu.”

Aku tertawa. “Sebagian memuja, sebagian lagi mencela,” ucapku. “Bukan begitu?” Aku tertawa lagi. “Kau masuk bagian yang mana?” aku lalu bertanya akrab.

“Sebagian lagi tidak terlalu peduli,” jawabnya. “Aku masuk dalam bagian yang terakhir.” Ia tersenyum.

“Nada bicaramu terdengar seperti orang cemburu. Apa kau kekasihnya?”

“Berhentilah mencampuri urusanku!” tiba-tiba wanita di depanku mengangkat wajahnya dan berkata dengan setengah berteriak.

“Jangan marah, aku hanya bercanda.” Aku tersenyum.

Pria yang masih berdiri itu mengerutkan keningnya. Bingung.

“Jangan berpura-pura manis di depanku,” ucap gadis itu lagi. “Simpanlah senyummu untuk gadis-gadis bodoh di belakangmu itu. Aku muak melihatnya!” Orang itu menutup bukunya dan sejurus kemudian berdiri lalu pergi meninggalkanku dan pria yang kurasa adalah teman dekatnya.

“Ada apa ini?” pria itu bertanya.

Aku hanya mengangkat bahuku, lalu menghempaskan nafas yang kutarik dalam-dalam sebelumnya.

***

“Kau sudah bicara pada kakakmu?”

Aku mengangguk.

“Lalu?”

Aku menghela nafas. “Jangankan menganggapku adik, menganggapku manusia pun tidak!” aku bercerita kesal.

Ibuku berdecak. “Anak itu!” Wanita yang sedang menyisiri rambutku itu ikut kesal. “Di mana ia tinggal sejak meninggalkan rumah?”

“Aku belum sempat bertanya tentang itu.”

“Lalu negosiasi apa yang sudah kaulakukan agar ia mau kembali?”

“Ibu, dia bahkan tidak menganggapku ada! Aku dianggap seperti angin! Ah, tidak, paling tidak angin menyejukkan. Pasti lebih tidak berarti dibanding angin.”

Tuk! Ibuku mengetuk kepalaku dengan sisir di tangannya. “Bodoh!”

Aku merintih pelan sambil mengelus-elus bagian kepalaku yang diketuk tadi.

“Memang, ada berapa orang yang menginginkannya?” aku bertanya.

“Sampai saat ini sudah ada sembilan orang. Dan mereka semua adalah pengusaha kaya yang rela membayar mahal bahkan hanya untuk semalam.”

“Ah, kalau begitu aku harus berusaha lebih keras untuk merayunya, atau aku tidak bisa membeli sepatu keluaran terbaru. Dasar bocah itu, diberi wajah cantik tapi tidak dimanfaatkan semaksimal mungkin. Padahal apa salahnya memiliki wajah rupawan? Dia harusnya mencontohku! Iya kan, Bu?”

Tidak ada suara. Ibuku sudah keluar rupanya. Mungkin ada pelanggan yang datang.

3 comments:

About Me

My photo
Tangerang, Banten, Indonesia
bukan penulis, bukan pengarang, hanya pecinta keduanya.