Aku membawa makananku menuju meja di salah satu sudut kantin sekolah baruku. Sambil sesekali membalas senyum beberapa orang (yang untungnya perempuan), aku melangkah menghampiri seorang murid (yang juga perempuan) yang tengah duduk sendirian di meja pojok kantin.
Ia yang menyadari
kedatanganku, menoleh seperlunya. Hanya memastikan siapa pemilik sepatu sport keren seharga smartphone yang berdiri di sebelah mejanya, kurasa.
Meskipun kutahu orang
itu tidak akan membalas senyumku, aku tetap menyapanya dengan senyuman lebar
yang kuyakin jika aku menunjukannya ke para wanita selain dirinya, mereka akan
jatuh terkapar tanpa nafas karena pesonaku dapat menyumbat seluruh saluran
respirasinya.
Apa aku terdengar
sangat percaya diri? Haha. Aku bercanda.
Gadis di depanku melanjutkan kegiatannya tanpa memberikan respon apa pun atas kehadiranku. Ia memakan lagi pizza mini di hadapannya dengan tangan kanan, dan mengerjakan teka-teki silang dengan tangannya yang lain. Enak sekali menjadi orang kidal.
Aku meletakkan
makananku di meja, kemudian duduk di depannya. Tanpa permisi, tentu saja.
Pertama, aku sadar orang ini tidak akan peduli. Kedua, kantin ini kan, milik
semua murid yang ada di sini.
“Harusnya kau makan
makanan yang bisa menghasilkan lebih banyak energi,” ucapku sembari membuka
tutup minuman kemasan dengan susah payah. Keras sekali. “Bisa tolong bukakan
ini untukku?” Aku menyodorkan botol air mineral itu ke arahnya.
Perempuan di hadapanku
mengangkat kepalanya. Ia lalu meletakkan pensilnya dan meraih botol minuman
dari tanganku. Belum sampai satu detik, orang itu sudah meletakkan botolku
dalam keadaan terbuka.
Perempuan itu lalu melanjutkan aktivitasnya lagi.
“Terima kasih,”
ucapku. Aku lalu mengambil botol itu dan meminum seperempat isinya dalam satu
kali tenggak. “Aku tidak tahu kalau kau sedingin itu pada orang lain,” aku
berkomentar setelah sebelumnya mengusap sisa air di tepi mulut dengan punggung
tangan kananku.
“Tidak juga,” ia
menjawab pelan, namun terdengar amat tegas. Matanya terus mengarah pada barisan
kotak-kotak berhuruf di buku yang ada di depannya.
Aku membuka kemasan
roti cokelatku. “Jadi kau hanya melakukan itu padaku?” Aku menggigit bagian
atas rotiku.
“Aku tidak terlalu
suka berteman dengan orang yang menjadi pusat perhatian,” ia menjawab.
Aku menelan roti yang telah
kukunyah beberapa kali. “Aku tidak tahu kalau menjadi tampan adalah sebuah
kesalahan.”
Alih-alih menanggapi
lelucon kepercayaandiriku, gadis di depanku malah membalik halaman buku
teka-teki silangnya dengan santai dan kembali menjawab soal demi soal yang
tertulis di kertas buram itu.
“Apa menurutmu aku
benar-benar menjadi pusat perhatian?”
“Lihatlah ke samping
kananmu,” ia menjawab tanpa sedikit pun melirik ke arah yang ia tunjukkan.
Aku menoleh ke sebelah
kananku dan mendapati empat orang murid tengah buru-buru membelokkan pandangannya
agar tidak bertabrak pandang denganku. Mereka tiba-tiba seolah tengah
membicarakan hal yang sedari tadi mereka bicarakan.
“Lalu belakangmu,”
orang di depanku berucap lagi.
Aku menoleh ke
belakang dan melihat tiga perempuan yang mendadak salah tingkah karena orang
yang sedang mereka amati tiba-tiba menoleh ke arah mereka.
“Dan lihatlah ke
atas.”
Aku lalu setengah
menengadah, mengarahkan pandanganku ke lantai dua kantin sekolah. Dua orang
sedang berdiri dan saat aku melihat ke arahnya, mereka serentak melemparkan
senyum jarak jauh untukku. Aku reflek membalasnya.
“Dan….”
“Cukup!” aku
menghentikan kalimat orang yang duduk di hadapanku. “Tidak usah berusaha
terlalu keras untuk meyakinkanku tentang itu.” Aku lalu tertawa. “Tapi aku
datang ke sini bukan untuk mereka. Aku datang untukmu.” Lagi, aku menggigit
roti cokelatku.
Orang itu tidak
menggubrisku. Ia masih sibuk mengisi teka-teki silangnya sambil mengunyah
pizza.
“Kau boleh memanfaatkanku.
Sungguh,” aku berkata sambil membuka tutup botol minumanku.
“Apa untungnya aku
memanfaatkanmu?”
Aku menelan air yang
kuminum, membiarkannya mengaliri tenggorokanku. “Sepertinya reputasimu kurang
baik di sekolah ini. Kalau kau berteman denganku, mereka akan menganggapmu keren!”
“Urus saja reputasimu
sendiri!”
Aku tertawa. Wanita
ini benar-benar keras kepala. “Aku datang ke sekolah ini khusus untuk memintamu
kembali,” ucapku, langsung saja pada intinya. Tidak banyak kesempatan bisa
bicara dengannya seperti ini.
“Aku tahu.”
“Jadi kau mau
kembali?”
“Tidak.”
Aku menghela nafas,
lalu tersenyum kecil. Sabar, sabar,
batinku.
“Wah, wah! Kalian
saling mengenal rupanya?” Suara itu muncul dari seorang murid laki-laki yang
entah kapan dan dari mana datangnya, tiba-tiba saja ada di samping meja.
Aku tersenyum ramah ke
arahnya. Menyapa.
“Kau tidak pernah
bercerita kalau kau kenal dengan junior baru yang fenomenal ini?” ucap pria itu
sambil mendorong pelan bahu orang yang duduk di depanku.
“Fenomenal?” Aku
mengangkat kedua alisku.
“Semua orang di
sekolah ini membicarakanmu.”
Aku tertawa. “Sebagian
memuja, sebagian lagi mencela,” ucapku. “Bukan begitu?” Aku tertawa lagi. “Kau
masuk bagian yang mana?” aku lalu bertanya akrab.
“Sebagian lagi tidak
terlalu peduli,” jawabnya. “Aku masuk dalam bagian yang terakhir.” Ia
tersenyum.
“Nada bicaramu
terdengar seperti orang cemburu. Apa kau kekasihnya?”
“Berhentilah
mencampuri urusanku!” tiba-tiba wanita di depanku mengangkat wajahnya dan
berkata dengan setengah berteriak.
“Jangan marah, aku
hanya bercanda.” Aku tersenyum.
Pria yang masih
berdiri itu mengerutkan keningnya. Bingung.
“Jangan berpura-pura
manis di depanku,” ucap gadis itu lagi. “Simpanlah senyummu untuk gadis-gadis
bodoh di belakangmu itu. Aku muak melihatnya!” Orang itu menutup bukunya dan
sejurus kemudian berdiri lalu pergi meninggalkanku dan pria yang kurasa adalah
teman dekatnya.
“Ada apa ini?” pria
itu bertanya.
Aku hanya mengangkat
bahuku, lalu menghempaskan nafas yang kutarik dalam-dalam sebelumnya.
***
“Kau sudah bicara pada
kakakmu?”
Aku mengangguk.
“Lalu?”
Aku menghela nafas.
“Jangankan menganggapku adik, menganggapku manusia pun tidak!” aku bercerita
kesal.
Ibuku berdecak. “Anak
itu!” Wanita yang sedang menyisiri rambutku itu ikut kesal. “Di mana ia tinggal
sejak meninggalkan rumah?”
“Aku belum sempat
bertanya tentang itu.”
“Lalu negosiasi apa
yang sudah kaulakukan agar ia mau kembali?”
“Ibu, dia bahkan tidak
menganggapku ada! Aku dianggap seperti angin! Ah, tidak, paling tidak angin
menyejukkan. Pasti lebih tidak berarti dibanding angin.”
Tuk! Ibuku mengetuk
kepalaku dengan sisir di tangannya. “Bodoh!”
Aku merintih pelan
sambil mengelus-elus bagian kepalaku yang diketuk tadi.
“Memang, ada berapa
orang yang menginginkannya?” aku bertanya.
“Sampai saat ini sudah
ada sembilan orang. Dan mereka semua adalah pengusaha kaya yang rela membayar
mahal bahkan hanya untuk semalam.”
“Ah, kalau begitu aku
harus berusaha lebih keras untuk merayunya, atau aku tidak bisa membeli sepatu
keluaran terbaru. Dasar bocah itu, diberi wajah cantik tapi tidak dimanfaatkan
semaksimal mungkin. Padahal apa salahnya memiliki wajah rupawan? Dia harusnya
mencontohku! Iya kan, Bu?”
Tidak ada suara. Ibuku
sudah keluar rupanya. Mungkin ada pelanggan yang datang.
Lebih suka ini. end of story
ReplyDeletesalah satu cerita ter-bangsad jugak.................
ReplyDeleteKampret
ReplyDelete