Aku terkejut mendengar seseorang berteriak dengan lantang di depan rumahku. Padahal ini bukan kali pertama, tapi aku tetap saja terkejut. Suara abang penjual sayur keliling itu memang tidak bisa diremehkan. Kurasa ia lebih cocok menjadi orator dibanding mendorong gerobak sayur. Aku tiba-tiba tertawa sendiri dalam hati. Orator itu apa? Aku masih duduk di sekolah menengah pertama, jadi sebenarnya tidak tahu benar artinya. Hanya pernah mendengar kata itu beberapa kali di tivi. Lagipula, sepertinya kata itu tidak terlalu familiar bagi keluarga menengah ke bawah yang tinggal di desa seperti keluargaku. Tunggu, familiar itu apa?
“BERANGKAT, NENG?”
Aku mendongak. “Bang, nanya atau
marah-marah?” timpalku pada pria berkumis yang di lehernya tersampir handuk
putih yang warnanya tidak lagi putih. Aku lalu tertawa kecil.
Penjual sayur itu ikut tertawa.
“SI ENENG BISA AJA!” Laki-laki itu lalu melanjutkan langkahnya sambil mendorong
gerobaknya, membuat plastik-plastik berisi ikan teri yang tergantung di bagian
atas gerobak bergoyang ke kanan dan ke kiri.
Aku kembali menundukkan kepala
dan mengikat sebelah lagi tali sepatuku. Kuseka rambut panjangku yang
mengganggu ke belakang telinga kiri. Satu ikatan lagi. Selesai. Aku berdiri dan
tiba-tiba saja terkejut saat mendapati seorang perempuan dengan selendang menutupi kepalanya tengah berdiri dengan elegan
di depan rumahku.
Jangan tanyakan padaku apa itu elegan.
Orang itu melangkah pelan mendekatiku. Perawakannya tinggi besar dan setelan baju berwarna krem yang digunakan terlihat sangat bersih dan rapi. Wajah cerahnya terlihat sangat berkharisma, meskipun ia mengenakan kaca mata hitam seperti para rocker. Garis mukanya tampak tegas dan bijaksana. Wanita itu lalu tersenyum ramah ke arahku.
“Apa ayahmu ada?”
Aku tak menjawab, masih terpaku
pada penampilan menakjubkan orang di hadapanku. Masalahnya, untuk apa orang
dengan penampilan seberkelas itu datang ke rumahku? Rumah seorang buruh
serabutan yang kedua puterinya hanya bersekolah di sekolah desa dan –baiklah,
akan kuakui dengan rendah hati- aku juga tidak terlalu berprestasi. Maksudku,
tidak melebihi prestasi kakakku yang selalu menjadi peringkat pertama di
sekolahnya.
Tunggu. Sepertinya aku pernah
melihat wanita ini. Tapi di mana….
***
Awan menguning. Senja menyapa
seorang gadis yang tengah berdiri seorang diri dalam hening. Mengutuk hidup
yang terasa begitu tidak adil di dalam hatinya yang repas terkelupas dan nyaris
hancur berkeping-keping. Sakit. Dilukai oleh takdir. Itu lah yang sejak entah
berapa hari terakhir ini selalu mengganggu kepalaku. Kepala yang tidak pernah
bisa berpikir jernih. Otak yang selalu buram. Pikiran yang selalu kelabu.
Dari beranda kamarku yang
terletak di lantai 22 sebuah apartemen mewah di tengah Ibu Kota, aku memandangi
matahari yang semakin lama semakin menyembunyikan diri di balik gedung yang
menjulang tinggi. Bangunan megah hasil konsolidasi petinggi-petinggi bisnis
yang kuyakin di salah satu sudut kamar mereka terdapat lemari besi berisi
jutaan lembar uang dalam nominal terbesar.
Aku membelokkan pandanganku 45
derajat ke arah kiri. Kupandangi sebuah gedung perak setinggi 20 lantai yang bersinar
terang karena pantulan sinar matahari. Salah satu alasan mengapa Ayah memintaku
menempuh pendidikan di jurusan ekonomi dan bisnis. Agar aku bisa melanjutkan
kepemimpinan Ayah di sana. Di antara banyak perusahaan yang Ayah tangani,
gedung perak itu merupakan kesayangannya. Akan menjadi milikku kelak, katanya.
Aku menarik nafas dalam-dalam,
menghirup udara Ibu Kota yang tidak terlalu bersih, meski dari ketinggian
tempat aku berada sekarang. Hempasan nafasku terbang bersama angin yang bertiup
sangat kencang, yang membuat rambutku kacau berantakan. Sekacau jiwaku.
Seberantakan suasana hatiku.
Pipiku basah. Air mata menetes
begitu saja setiap kali kulihat gedung perak itu. Sekeras apa pun usahaku untuk
berpaling, mataku tetap mengarah ke arah bangunan itu. Masa depanku.
Ah, konyol
sekali. Bagaimana bisa aku memikirkan masa depan dalam keadaan seperti ini. Aku
bahkan ingin sekali melompat dari lantai 22 ini agar semua masalah yang
membebani pikiranku ikut lenyap seiring lenyapnya nyawaku.
Sudah satu minggu aku menyendiri
di sini. Tanpa satu orang keluarga pun. Tanpa seorang teman pun. Tanpa benda
apa pun yang bisa menghubungkan mereka denganku. Lagi pula, aku yakin mereka
juga tidak ingin menghubungiku. Mereka pasti malu menjadi kerabatku. Mereka
pasti sebisa mungkin ingin melupakan bahwa aku pernah hadir dalam hidup mereka.
Tidak ada yang datang ke kamarku selain petugas bersih-bersih dan pengantar
makanan yang sesekali berbasa-basi menanyakan kabarku.
Terakhir kali aku mengunjungi
kampusku, aku disambut dengan sederetan spanduk yang berisi hujatan untuk
ayahku. Terakhir kali aku masuk ke kelasku, tumpukan petisi untuk
mengeluarkanku dari kelas itu menyapaku. Terakhir kali aku bertemu dengan
orang-orang, mereka menatapku dengan tatapan menghakimi. Menusukku dengan
pandangan sinis penuh kebencian. Mencaciku secara terang-terangan. Bahkan
seorang anak pengusaha menjambak rambutku sambil menghujaniku dengan kata-kata makian.
Katanya, seseorang akan memasuki
hidup yang baru setiap kali usianya menggenap dalam kelipatan sepuluh. Usiaku
baru akan mencapai 20 bulan depan, dan kurasa aku tau ‘hidup baru’ seperti apa
yang akan kumasuki. Menjadi puteri tunggal dari seorang pengusaha terkenal yang
kini menjadi buronan. Ayahku, yang beberapa waktu lalu terbukti melakukan
berbagai tindak kejahatan, aku bahkan tidak tahu di mana ia sekarang.
Menggusur pemukiman warga dengan
paksa demi mendirikan perkantoran. Membeli tanah area pasar tradisional dan
memungut pajak tidak terkira dari pada pedagang. Mempropaganda beberapa pejabat
demi mendapat posisi yang diinginkan. Mendirikan perusahaan secara illegal.
Menggaji pegawai dengan sangat tidak sesuai dengan pekerjaan. Menipu entah
berapa perusahaan. Iya, pria yang selama ini kupanggil dengan sebutan ‘ayah’
itu melakukan semua kekejian yang hanya orang bodoh yang bisa memaafkan. Bahkan
ibuku sendiri memilih melarikan diri ke luar negeri karena tak sanggup menahan
caci maki.
Kukira Ayah adalah pria paling
hebat yang pernah kutemui. Pekerja keras yang berdedikasi di atas landasan
loyalitas. Orang yang memulai karirnya dari bawah dan tanpa kenal lelah terus
berusaha hingga bisnisnya nyaris merajai dunia. Pria penuh kasih sayang yang
sangat berkharisma, yang siapa pun tidak akan temui yang seperti ini lagi di
belahan mana pun dunia.
Apa aku salah? Entahlah. Aku bahkan
tidak tahu harus membenci ayahku atau tidak. Aku kesal, tapi juga merindukannya
di waktu yang sama. Aku juga marah pada ibuku yang bukan duduk di sampingnya
saat Ayah berada dalam keadaan sulit seperti ini, tapi juga tidak bisa
menyalahkan keputusannya untuk pergi. Siapa yang tidak sakit hati dibohongi
separah itu? Ibu juga pasti melewati masa-masa yang sangat sulit, kutahu.
Lagi, aku menarik nafas panjang
dan menghembuskannya dengan kasar. Semakin diam, aku semakin memikirkan semua
itu. Semakin dipikirkan, otakku semakin kalut seperti benang kusut. Aku
benar-benar tidak bisa berpikir jernih. Aku benar-benar kacau.
Kakiku gemetar saat pikiran itu
terbesit di kepalaku. Haruskah? Tapi apa yang bisa kulakukan selain hal itu?
Sampai kapan aku harus bersembunyi di tempat ini? Apa yang akan kulakukan
besok? Apa aku kuat menerima kebencian sepanjang hidupku? Apa telingaku cukup
tangguh mendengar cacian yang dilontarkan dengan kejam di depan wajahku?
Tanganku ikut gemetar.
Seluruh tubuhku gemetar. Jantungku berdetak cepat bak
ketukan sepatu kuda yang berpacu dalam sebuah perlombaan.
Aku-sungguh-tidak-sanggup-lagi.
Perlahan, aku mengangkat sebelah
kakiku melewati pembatas beranda. Sekilas, aku melirik ke bawah. Bulu romaku
berdiri sempurna. Ini lantai 22. Tidak mungkin aku tidak mati. Tidak mungkin.
Aku memejamkan mata, menarik nafas dalam-dalam, dan….
“Apa yang sedang Anda lakukan,
Nona?”
***
Aku meletakkan segelas teh hangat
di depan tamu ayahku. Akhirnya aku mengingat jelas di mana aku pernah melihat
wanita itu setelah ia melepas kaca mata hitamnya. Di dalam figura foto yang di
tempel di atas papan tulis sekolahku. Sungguh! Wanita itu adalah presiden. Siapa
pun pasti menganggapku bercanda. Tapi wanita itu benar-benar presidenku. Aku
mungkin tidak pintar seperti kakakku, tapi aku tidak pernah berbohong. Untung saja ayahku cepat-cepat memintaku tenang, kalau tidak aku benar-benar akan berteriak lebih lantang dari penjual sayur tadi untuk memberi informasi ke seluruh tetanggaku bahwa Ibu Presiden bertamu ke rumahku.
Jadi sekarang aku tengah bersama Ayah dan Ibu Presiden di ruang tamuku. Kurasa tidak ada salahnya
membolos satu hari demi duduk bersama orang nomor satu negeri ini.
“Kami hanya bisa menyugukan ini.”
Ayahku terlihat sangat kaku. Ia masih sangat terkejut, kurasa.
Ibu presiden tersenyum hangat menyambut
kalimat Ayah. Ia meraih gelas bening di depannya dan menyeruput minuman itu
dengan, entah mengapa terlihat sangat keren.
IBU PRESIDEN MEMINUM TEH
BUATANKU! Kurasa prestasi ini lebih membanggakan dibanding semua nilai 100 yang
pernah kakakku dapatkan.
Ah, bicara tentang kakakku, ia
sangat tidak beruntung karena berangkat sekolah terlalu pagi. Ternyata orang
pintar bisa tidak beruntung juga.
Aku tertawa licik dalam hati.
“Apa yang membuat orang terhormat
seperti Ibu Presiden bertamu ke gubuk kecil ini?”
Aku tidak tahu kalau kalimat itu
ternyata digunakan dalam kehidupan nyata. Selama ini aku hanya mendengarnya
dari guru Bahasa. Itu contoh majas litotes, kan? Ayahku pasti
berusaha keras agar terlihat pintar di depan Ibu Presiden.
“Kebetulan saya sudah lama
mencari Anda, Pak Tirta.”
Wah, Ibu Presiden tahu nama
ayahku! Wali kelasku saja tidak tahu.
Ayah tertawa gugup. “Saya rasa
ini seperti mimpi,” ucap Ayah. “Seorang petinggi Negara datang bertamu, dan
beliau bahkan menyebutkan nama saya dengan mulutnya sendiri.” Wajah ayahku
kocak sekali. Harusnya seseorang mengabadikan dan membingkainya dalam figura.
Ibu Presiden tertawa ringan.
Cantik sekali. “Anda berlebihan,” ucapnya. “Saya datang ke sini sebagai tamu
biasa, bukan sebagai seorang presiden.”
Ayahku ikut tertawa, tapi jelas
beda dengan tawa Ibu Presiden. Ayahku lebih terlihat seperti sedang menahan
buang angin.
“Anda tinggal dengan siapa di
rumah ini?” Ibu Presiden bertanya. Nada bicaranya benar-benar nyaman di
telinga.
“Oh, dengan dua orang puteri
saya. Ini yang bungsu,” ucap ayah sambil menyentuh pundakku. “Satu lagi kelas
dua SMA, sudah berangkat sekolah.”
“Wah, manis sekali,” ucap Ibu
Presiden sambil tersenyum ke arahku. Kuulangi, IBU PRESIDEN MENGATAKAN BAHWA
AKU MANIS.
Aku tersenyum lebar ke arah Ibu
Presiden.
“Istri Bapak….” Ibu Presiden
menahan kalimatnya.
“Ibu meninggal saat saya masih
kelas empat SD.” Aku juga ingin bicara pada Ibu Presiden.
Ibu Presiden membulatkan
bibirnya. Wajahnya mandadak sendu. “Kalau begitu Anda membesarkan puteri-puteri
Anda seorang diri?”
Ayah mengangguk. “Saya memang
hanya bekerja sebagai buruh serabutan, tapi alhamdulillah
bisa menyekolahkan anak-anak saya dengan baik.”
HEI, SIAPA YANG BERTANYA, WAHAI AYAHKU
YANG TAMPAN? Sungguh membanggakan diri sendiri di depan orang besar. Rasanya
aku ingin memelototi ayahku, kalau saja di depan kami tidak duduk seorang tamu
kehormatan.
“Kelihatannya ayahmu ini ayah
yang sangat baik,” ucap Ibu Presiden padaku. Kuulangi lagi, IBU PRESIDEN BICARA
PADAKU.
Aku nyengir. “Ayah saya adalah
ayah terbaik yang pernah saya punya,” aku menaggapi kalimat Ibu Presiden. Tentu
saja, aku hanya pernah punya satu ayah seumur hidupku. “Dan Ayah sangat lucu,
bahkan tanpa berusaha melucu ,” aku menambahkan.
Wajah tersipu Ayah mendadak berubah
menjadi ekspresi semacam ‘Apa-apaan?!’
Aku tertawa kecil (padahal
biasanya tawaku meledak di depan wajahnya). Benar kan, ayahku lucu.
“Kalau boleh tau, kenapa seorang
presiden datang tanpa pengawal?” Tentu saja itu pertanyaan yang keluar dari
mulut ayahku. Aku mana tahu kalau presiden memiliki pengawal seperti
artis-artis terkenal.
Ibu Presiden tersenyum. “Saya
tetap dikawal, hanya saja dari jarak jauh. Saya tidak ingin kedatangan saya ke
sini tercium oleh media.”
Wah, kalimat Ibu Presiden bisa
digunakan untuk contoh majas personifikasi. Aku akan menggunakan kalimat itu
saat ujian nanti. Pasti sangat keren.
Ayahku mengangguk. “Lalu, kenapa
Ibu Presiden mencari saya?”
“Ah,” Ibu Presiden seperti baru
saja mengingat sesuatu. “Apa Anda percaya bahwa Tuhan bisa saja mengirimkan
seseorang untuk mengubah hidup orang lain?”
Ayahku mengerutkan keningnya.
Taruhan tiga porsi cilok bumbu kacang, Ayah pasti tidak mengerti maksud kalimat
Ibu Presiden. “Maksudnya?”
Apa kubilang.
“Maksud saya, saya mungkin saja
diutus Tuhan untuk mengubah hidup Anda.” Ibu Presiden mengeluarkan selembar
kertas dari tas bermereknya. Wanita itu lalu meletakkannya di depan Ayah.
Wajah ayahku semakin kebingungan.
“Cek?”
CEK? KERTAS YANG APABILA KAU
TULIS SEJUMLAH UANG MAKA KERTAS ITU BISA BERUBAH MENJADI UANG SEJUMLAH YANG KAU
TULISKAN? Tapi… dari mana Ayah tahu kalau kertas kosong itu adalah cek? Wah,
ayahku ternyata pintar juga.
"Anda boleh menuliskan berapa pun
jumlah yang Anda mau.”
Kedua alis ayahku saling
bertautan. “Semacam gratifikasi?” Ayah bertanya hati-hati. Kenapa harus sehati-hati
itu? Apa itu gratifikasi? Atau mungkin maksud Ayah adalah gratisisasi tapi Ayah
salah melafalkannya? Ah, memalukan sekali.
Ibu Presiden tertawa. Pasti
menertawakan kesalahan Ayah. “Untunglah saya sedang dalam suasana hati yang
baik, kalau tidak saya bisa tersinggung atas ucapan Anda.”
Tersinggung? Hanya karena ayahku
salah mengucapkan kata gratisisasi? Ah, Ibu Presiden sedikit berlebihan kali
ini.
Ayahku tertawa canggung. Merasa
tidak enak, kurasa. “Maaf, Ibu Presiden,” ucap Ayah. “Tapi saya benar-benar
merasa ini sangat aneh.” Wajah Ayah mendadak menjadi serius.
“Seperti yang saya katakan, Tuhan
bisa saja mengirimkan seseorang untuk mengubah hidup orang lain. Saya dengan
suka rela mengajukan diri sebagai kiriman Tuhan untuk mengubah hidup Anda dan
anak-anak Anda.”
“Sekali lagi maaf, Ibu Presiden,
tapi saya tidak merasa ada dalam keadaan di mana saya harus menerima bantuan
tidak masuk akal seperti ini,” ucap ayahku. Ah, tipikal Ayah. Selalu
mengucapkan kalimat seperti itu setiap ada yang menawarkan bantuan. Salah satu
hal yang paling kubanggakan darinya.
Ibu Presiden tersenyum tenang.
“Saya hanya merasa berhutang pada Tuhan karena saat itu Dia mengirimkan saya
seseorang yang membuat hidup saya berubah, Pak Tirta.”
Wajah ayahku semakin kebingungan.
“Kalau tidak ada seorang petugas
bersih-bersih apartemen yang mencegah saya melakukan hal memalukan itu, mungkin
sekarang nama saya bukan tertulis di papan reklame di tepi jalan Ibu Kota, tapi
di papan nisan.”
Ayahku seperti tengah mengingat
sesuatu. Kurasa saraf-saraf otak di dalam kepalanya berputar lebih cepat dari
gasing milik anak penjual donat di depan rumahku. “AH!” Kurasa Ayah mendapatkan
apa yang ia cari. “Jadi gadis itu….”
Ibu Presiden tersenyum.
Oke, kurasa sekarang aku
adalah satu-satunya orang yang tidak mengerti apa-apa di ruangan ini.
suka. tapi Aku ga ngerti tujuan changing POV Di tengah cerita dan disambungin ke akhir. sumpah bikin lost. menurutku enakan dipindahin sih.
ReplyDeleteTapi suer ni keren pake banget! fave!