Monday, March 24, 2014

TAMU


Aku terkejut mendengar seseorang berteriak dengan lantang di depan rumahku. Padahal ini bukan kali pertama, tapi aku tetap saja terkejut. Suara abang penjual sayur keliling itu memang tidak bisa diremehkan. Kurasa ia lebih cocok menjadi orator dibanding mendorong gerobak sayur. Aku tiba-tiba tertawa sendiri dalam hati. Orator itu apa? Aku masih duduk di sekolah menengah pertama, jadi sebenarnya tidak tahu benar artinya. Hanya pernah mendengar kata itu beberapa kali di tivi. Lagipula, sepertinya kata itu tidak terlalu familiar bagi keluarga menengah ke bawah yang tinggal di desa seperti keluargaku. Tunggu, familiar itu apa?

“BERANGKAT, NENG?”

Aku mendongak. “Bang, nanya atau marah-marah?” timpalku pada pria berkumis yang di lehernya tersampir handuk putih yang warnanya tidak lagi putih. Aku lalu tertawa kecil.

Penjual sayur itu ikut tertawa. “SI ENENG BISA AJA!” Laki-laki itu lalu melanjutkan langkahnya sambil mendorong gerobaknya, membuat plastik-plastik berisi ikan teri yang tergantung di bagian atas gerobak bergoyang ke kanan dan ke kiri.

Aku kembali menundukkan kepala dan mengikat sebelah lagi tali sepatuku. Kuseka rambut panjangku yang mengganggu ke belakang telinga kiri. Satu ikatan lagi. Selesai. Aku berdiri dan tiba-tiba saja terkejut saat mendapati seorang perempuan dengan selendang menutupi kepalanya tengah berdiri dengan elegan di depan rumahku.

Jangan tanyakan padaku apa itu elegan.

Orang itu melangkah pelan mendekatiku. Perawakannya tinggi besar dan setelan baju berwarna krem yang digunakan terlihat sangat bersih dan rapi. Wajah cerahnya terlihat sangat berkharisma, meskipun ia mengenakan kaca mata hitam seperti para rocker. Garis mukanya tampak tegas dan bijaksana. Wanita itu lalu tersenyum ramah ke arahku.

“Apa ayahmu ada?”

Aku tak menjawab, masih terpaku pada penampilan menakjubkan orang di hadapanku. Masalahnya, untuk apa orang dengan penampilan seberkelas itu datang ke rumahku? Rumah seorang buruh serabutan yang kedua puterinya hanya bersekolah di sekolah desa dan –baiklah, akan kuakui dengan rendah hati- aku juga tidak terlalu berprestasi. Maksudku, tidak melebihi prestasi kakakku yang selalu menjadi peringkat pertama di sekolahnya.

Tunggu. Sepertinya aku pernah melihat wanita ini. Tapi di mana….

***

Awan menguning. Senja menyapa seorang gadis yang tengah berdiri seorang diri dalam hening. Mengutuk hidup yang terasa begitu tidak adil di dalam hatinya yang repas terkelupas dan nyaris hancur berkeping-keping. Sakit. Dilukai oleh takdir. Itu lah yang sejak entah berapa hari terakhir ini selalu mengganggu kepalaku. Kepala yang tidak pernah bisa berpikir jernih. Otak yang selalu buram. Pikiran yang selalu kelabu.

Dari beranda kamarku yang terletak di lantai 22 sebuah apartemen mewah di tengah Ibu Kota, aku memandangi matahari yang semakin lama semakin menyembunyikan diri di balik gedung yang menjulang tinggi. Bangunan megah hasil konsolidasi petinggi-petinggi bisnis yang kuyakin di salah satu sudut kamar mereka terdapat lemari besi berisi jutaan lembar uang dalam nominal terbesar.

Aku membelokkan pandanganku 45 derajat ke arah kiri. Kupandangi sebuah gedung perak setinggi 20 lantai yang bersinar terang karena pantulan sinar matahari. Salah satu alasan mengapa Ayah memintaku menempuh pendidikan di jurusan ekonomi dan bisnis. Agar aku bisa melanjutkan kepemimpinan Ayah di sana. Di antara banyak perusahaan yang Ayah tangani, gedung perak itu merupakan kesayangannya. Akan menjadi milikku kelak, katanya.

Aku menarik nafas dalam-dalam, menghirup udara Ibu Kota yang tidak terlalu bersih, meski dari ketinggian tempat aku berada sekarang. Hempasan nafasku terbang bersama angin yang bertiup sangat kencang, yang membuat rambutku kacau berantakan. Sekacau jiwaku. Seberantakan suasana hatiku.

Pipiku basah. Air mata menetes begitu saja setiap kali kulihat gedung perak itu. Sekeras apa pun usahaku untuk berpaling, mataku tetap mengarah ke arah bangunan itu. Masa depanku. 
Ah, konyol sekali. Bagaimana bisa aku memikirkan masa depan dalam keadaan seperti ini. Aku bahkan ingin sekali melompat dari lantai 22 ini agar semua masalah yang membebani pikiranku ikut lenyap seiring lenyapnya nyawaku.

Sudah satu minggu aku menyendiri di sini. Tanpa satu orang keluarga pun. Tanpa seorang teman pun. Tanpa benda apa pun yang bisa menghubungkan mereka denganku. Lagi pula, aku yakin mereka juga tidak ingin menghubungiku. Mereka pasti malu menjadi kerabatku. Mereka pasti sebisa mungkin ingin melupakan bahwa aku pernah hadir dalam hidup mereka. Tidak ada yang datang ke kamarku selain petugas bersih-bersih dan pengantar makanan yang sesekali berbasa-basi menanyakan kabarku.

Terakhir kali aku mengunjungi kampusku, aku disambut dengan sederetan spanduk yang berisi hujatan untuk ayahku. Terakhir kali aku masuk ke kelasku, tumpukan petisi untuk mengeluarkanku dari kelas itu menyapaku. Terakhir kali aku bertemu dengan orang-orang, mereka menatapku dengan tatapan menghakimi. Menusukku dengan pandangan sinis penuh kebencian. Mencaciku secara terang-terangan. Bahkan seorang anak pengusaha menjambak rambutku sambil menghujaniku dengan kata-kata makian.

Katanya, seseorang akan memasuki hidup yang baru setiap kali usianya menggenap dalam kelipatan sepuluh. Usiaku baru akan mencapai 20 bulan depan, dan kurasa aku tau ‘hidup baru’ seperti apa yang akan kumasuki. Menjadi puteri tunggal dari seorang pengusaha terkenal yang kini menjadi buronan. Ayahku, yang beberapa waktu lalu terbukti melakukan berbagai tindak kejahatan, aku bahkan tidak tahu di mana ia sekarang.

Menggusur pemukiman warga dengan paksa demi mendirikan perkantoran. Membeli tanah area pasar tradisional dan memungut pajak tidak terkira dari pada pedagang. Mempropaganda beberapa pejabat demi mendapat posisi yang diinginkan. Mendirikan perusahaan secara illegal. Menggaji pegawai dengan sangat tidak sesuai dengan pekerjaan. Menipu entah berapa perusahaan. Iya, pria yang selama ini kupanggil dengan sebutan ‘ayah’ itu melakukan semua kekejian yang hanya orang bodoh yang bisa memaafkan. Bahkan ibuku sendiri memilih melarikan diri ke luar negeri karena tak sanggup menahan caci maki.

Kukira Ayah adalah pria paling hebat yang pernah kutemui. Pekerja keras yang berdedikasi di atas landasan loyalitas. Orang yang memulai karirnya dari bawah dan tanpa kenal lelah terus berusaha hingga bisnisnya nyaris merajai dunia. Pria penuh kasih sayang yang sangat berkharisma, yang siapa pun tidak akan temui yang seperti ini lagi di belahan mana pun dunia.

Apa aku salah? Entahlah. Aku bahkan tidak tahu harus membenci ayahku atau tidak. Aku kesal, tapi juga merindukannya di waktu yang sama. Aku juga marah pada ibuku yang bukan duduk di sampingnya saat Ayah berada dalam keadaan sulit seperti ini, tapi juga tidak bisa menyalahkan keputusannya untuk pergi. Siapa yang tidak sakit hati dibohongi separah itu? Ibu juga pasti melewati masa-masa yang sangat sulit, kutahu.

Lagi, aku menarik nafas panjang dan menghembuskannya dengan kasar. Semakin diam, aku semakin memikirkan semua itu. Semakin dipikirkan, otakku semakin kalut seperti benang kusut. Aku benar-benar tidak bisa berpikir jernih. Aku benar-benar kacau.

Kakiku gemetar saat pikiran itu terbesit di kepalaku. Haruskah? Tapi apa yang bisa kulakukan selain hal itu? Sampai kapan aku harus bersembunyi di tempat ini? Apa yang akan kulakukan besok? Apa aku kuat menerima kebencian sepanjang hidupku? Apa telingaku cukup tangguh mendengar cacian yang dilontarkan dengan kejam di depan wajahku? Tanganku ikut gemetar. 
Seluruh tubuhku gemetar. Jantungku berdetak cepat bak ketukan sepatu kuda yang berpacu dalam sebuah perlombaan.

Aku-sungguh-tidak-sanggup-lagi.

Perlahan, aku mengangkat sebelah kakiku melewati pembatas beranda. Sekilas, aku melirik ke bawah. Bulu romaku berdiri sempurna. Ini lantai 22. Tidak mungkin aku tidak mati. Tidak mungkin. Aku memejamkan mata, menarik nafas dalam-dalam, dan….

“Apa yang sedang Anda lakukan, Nona?”

***

Aku meletakkan segelas teh hangat di depan tamu ayahku. Akhirnya aku mengingat jelas di mana aku pernah melihat wanita itu setelah ia melepas kaca mata hitamnya. Di dalam figura foto yang di tempel di atas papan tulis sekolahku. Sungguh! Wanita itu adalah presiden. Siapa pun pasti menganggapku bercanda. Tapi wanita itu benar-benar presidenku. Aku mungkin tidak pintar seperti kakakku, tapi aku tidak pernah berbohong. Untung saja ayahku cepat-cepat memintaku tenang, kalau tidak aku benar-benar akan berteriak lebih lantang dari penjual sayur tadi untuk memberi informasi ke seluruh tetanggaku bahwa Ibu Presiden bertamu ke rumahku.

Jadi sekarang aku tengah bersama Ayah dan Ibu Presiden di ruang tamuku. Kurasa tidak ada salahnya membolos satu hari demi duduk bersama orang nomor satu negeri ini.

“Kami hanya bisa menyugukan ini.” Ayahku terlihat sangat kaku. Ia masih sangat terkejut, kurasa.

Ibu presiden tersenyum hangat menyambut kalimat Ayah. Ia meraih gelas bening di depannya dan menyeruput minuman itu dengan, entah mengapa terlihat sangat keren.

IBU PRESIDEN MEMINUM TEH BUATANKU! Kurasa prestasi ini lebih membanggakan dibanding semua nilai 100 yang pernah kakakku dapatkan.

Ah, bicara tentang kakakku, ia sangat tidak beruntung karena berangkat sekolah terlalu pagi. Ternyata orang pintar bisa tidak beruntung juga.

Aku tertawa licik dalam hati.

“Apa yang membuat orang terhormat seperti Ibu Presiden bertamu ke gubuk kecil ini?”
Aku tidak tahu kalau kalimat itu ternyata digunakan dalam kehidupan nyata. Selama ini aku hanya mendengarnya dari guru Bahasa. Itu contoh majas litotes, kan? Ayahku pasti berusaha keras agar terlihat pintar di depan Ibu Presiden.

“Kebetulan saya sudah lama mencari Anda, Pak Tirta.”

Wah, Ibu Presiden tahu nama ayahku! Wali kelasku saja tidak tahu.

Ayah tertawa gugup. “Saya rasa ini seperti mimpi,” ucap Ayah. “Seorang petinggi Negara datang bertamu, dan beliau bahkan menyebutkan nama saya dengan mulutnya sendiri.” Wajah ayahku kocak sekali. Harusnya seseorang mengabadikan dan membingkainya dalam figura.

Ibu Presiden tertawa ringan. Cantik sekali. “Anda berlebihan,” ucapnya. “Saya datang ke sini sebagai tamu biasa, bukan sebagai seorang presiden.”

Ayahku ikut tertawa, tapi jelas beda dengan tawa Ibu Presiden. Ayahku lebih terlihat seperti sedang menahan buang angin.

“Anda tinggal dengan siapa di rumah ini?” Ibu Presiden bertanya. Nada bicaranya benar-benar nyaman di telinga.

“Oh, dengan dua orang puteri saya. Ini yang bungsu,” ucap ayah sambil menyentuh pundakku. “Satu lagi kelas dua SMA, sudah berangkat sekolah.”

“Wah, manis sekali,” ucap Ibu Presiden sambil tersenyum ke arahku. Kuulangi, IBU PRESIDEN MENGATAKAN BAHWA AKU MANIS.

Aku tersenyum lebar ke arah Ibu Presiden.

“Istri Bapak….” Ibu Presiden menahan kalimatnya.

“Ibu meninggal saat saya masih kelas empat SD.” Aku juga ingin bicara pada Ibu Presiden.

Ibu Presiden membulatkan bibirnya. Wajahnya mandadak sendu. “Kalau begitu Anda membesarkan puteri-puteri Anda seorang diri?”

Ayah mengangguk. “Saya memang hanya bekerja sebagai buruh serabutan, tapi alhamdulillah bisa menyekolahkan anak-anak saya dengan baik.”

HEI, SIAPA YANG BERTANYA, WAHAI AYAHKU YANG TAMPAN? Sungguh membanggakan diri sendiri di depan orang besar. Rasanya aku ingin memelototi ayahku, kalau saja di depan kami tidak duduk seorang tamu kehormatan.

“Kelihatannya ayahmu ini ayah yang sangat baik,” ucap Ibu Presiden padaku. Kuulangi lagi, IBU PRESIDEN BICARA PADAKU.

Aku nyengir. “Ayah saya adalah ayah terbaik yang pernah saya punya,” aku menaggapi kalimat Ibu Presiden. Tentu saja, aku hanya pernah punya satu ayah seumur hidupku. “Dan Ayah sangat lucu, bahkan tanpa berusaha melucu ,” aku menambahkan.

Wajah tersipu Ayah mendadak berubah menjadi ekspresi semacam ‘Apa-apaan?!’

Aku tertawa kecil (padahal biasanya tawaku meledak di depan wajahnya). Benar kan, ayahku lucu.

“Kalau boleh tau, kenapa seorang presiden datang tanpa pengawal?” Tentu saja itu pertanyaan yang keluar dari mulut ayahku. Aku mana tahu kalau presiden memiliki pengawal seperti artis-artis terkenal.

Ibu Presiden tersenyum. “Saya tetap dikawal, hanya saja dari jarak jauh. Saya tidak ingin kedatangan saya ke sini tercium oleh media.”

Wah, kalimat Ibu Presiden bisa digunakan untuk contoh majas personifikasi. Aku akan menggunakan kalimat itu saat ujian nanti. Pasti sangat keren.

Ayahku mengangguk. “Lalu, kenapa Ibu Presiden mencari saya?”

“Ah,” Ibu Presiden seperti baru saja mengingat sesuatu. “Apa Anda percaya bahwa Tuhan bisa saja mengirimkan seseorang untuk mengubah hidup orang lain?”

Ayahku mengerutkan keningnya. Taruhan tiga porsi cilok bumbu kacang, Ayah pasti tidak mengerti maksud kalimat Ibu Presiden. “Maksudnya?”

Apa kubilang.

“Maksud saya, saya mungkin saja diutus Tuhan untuk mengubah hidup Anda.” Ibu Presiden mengeluarkan selembar kertas dari tas bermereknya. Wanita itu lalu meletakkannya di depan Ayah.

Wajah ayahku semakin kebingungan. “Cek?”

CEK? KERTAS YANG APABILA KAU TULIS SEJUMLAH UANG MAKA KERTAS ITU BISA BERUBAH MENJADI UANG SEJUMLAH YANG KAU TULISKAN? Tapi… dari mana Ayah tahu kalau kertas kosong itu adalah cek? Wah, ayahku ternyata pintar juga.

"Anda boleh menuliskan berapa pun jumlah yang Anda mau.”

Kedua alis ayahku saling bertautan. “Semacam gratifikasi?” Ayah bertanya hati-hati. Kenapa harus sehati-hati itu? Apa itu gratifikasi? Atau mungkin maksud Ayah adalah gratisisasi tapi Ayah salah melafalkannya? Ah, memalukan sekali.

Ibu Presiden tertawa. Pasti menertawakan kesalahan Ayah. “Untunglah saya sedang dalam suasana hati yang baik, kalau tidak saya bisa tersinggung atas ucapan Anda.”

Tersinggung? Hanya karena ayahku salah mengucapkan kata gratisisasi? Ah, Ibu Presiden sedikit berlebihan kali ini.

Ayahku tertawa canggung. Merasa tidak enak, kurasa. “Maaf, Ibu Presiden,” ucap Ayah. “Tapi saya benar-benar merasa ini sangat aneh.” Wajah Ayah mendadak menjadi serius.

“Seperti yang saya katakan, Tuhan bisa saja mengirimkan seseorang untuk mengubah hidup orang lain. Saya dengan suka rela mengajukan diri sebagai kiriman Tuhan untuk mengubah hidup Anda dan anak-anak Anda.”

“Sekali lagi maaf, Ibu Presiden, tapi saya tidak merasa ada dalam keadaan di mana saya harus menerima bantuan tidak masuk akal seperti ini,” ucap ayahku. Ah, tipikal Ayah. Selalu mengucapkan kalimat seperti itu setiap ada yang menawarkan bantuan. Salah satu hal yang paling kubanggakan darinya.

Ibu Presiden tersenyum tenang. “Saya hanya merasa berhutang pada Tuhan karena saat itu Dia mengirimkan saya seseorang yang membuat hidup saya berubah, Pak Tirta.”

Wajah ayahku semakin kebingungan.

“Kalau tidak ada seorang petugas bersih-bersih apartemen yang mencegah saya melakukan hal memalukan itu, mungkin sekarang nama saya bukan tertulis di papan reklame di tepi jalan Ibu Kota, tapi di papan nisan.”

Ayahku seperti tengah mengingat sesuatu. Kurasa saraf-saraf otak di dalam kepalanya berputar lebih cepat dari gasing milik anak penjual donat di depan rumahku. “AH!” Kurasa Ayah mendapatkan apa yang ia cari. “Jadi gadis itu….”

Ibu Presiden tersenyum.

Oke, kurasa sekarang aku adalah satu-satunya orang yang tidak mengerti apa-apa di ruangan ini.

1 comment:

  1. suka. tapi Aku ga ngerti tujuan changing POV Di tengah cerita dan disambungin ke akhir. sumpah bikin lost. menurutku enakan dipindahin sih.

    Tapi suer ni keren pake banget! fave!

    ReplyDelete

About Me

My photo
Tangerang, Banten, Indonesia
bukan penulis, bukan pengarang, hanya pecinta keduanya.