Tuesday, March 11, 2014

Pengintai

“Hasil pengintaian selama tiga minggu!” Stefan memulai presentasinya.

Pria berusia 23 tahun di sampingku memasang wajah serius dilengkapi rasa ingin tahu yang membengkak di setiap pori-pori hidungnya.

“Target bernama Audy Faranandya. Lahir pada tanggal 18 Oktober 1994. Usia 19 tahun. Tinggi 165 centimeter dan berat badan 45 kilogram. Golongan darah O. Agama Katholik. Anak pertama dari dua bersaudara. Ayahnya seorang dosen dan ibunya seorang pegawai negeri. Adiknya perempuan, duduk di kelas 3 SD. Target adalah seorang mahasiswi semester dua jurusan Jurnalistik, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Multi Dimensi. Tinggal di Komplek Lily Blok J Nomor 22.

Senin sampai Jumat, kecuali Rabu, target pergi menggunakan bus umum dan dilanjutkan dengan jasa ojek atau becak sampai ke kampusnya. Di dalam bus, target selalu memasang earphone di telinganya. Target selalu berangkat pukul 8 pagi dan kembali ke rumah paling lambat pukul 7 malam. Sepulang kuliah, target beberapa kali pergi dengan teman-temannya ke pusat perbelanjaan menggunakan bus umum. Destinasi target saat berpergian dengan teman-temannya adalah tempat karaoke, zona permainan, bioskop, toko buku, coffee shop, dan foodcourt,” ungkap Stefan sambil menunjukkan foto-foto yang ia ambil secara diam-diam di tempat-tempat yang disebutkan.

“Pada hari Rabu target tidak keluar rumah kecuali membuang sampah dan pergi ke Toserba dekat rumahnya untuk membeli keperluan sehari-hari. Hari Sabtu pagi target dan seluruh keluarga pergi ke Gereja di daerah komplek rumahnya. Sabtu siang target kursus bahasa asing bersama dua orang tetangganya. Sabtu malam target tidak keluar rumah sama sekali.”

“Anak ini pasti jomblo!” aku berkomentar kecil.

Stefan tertawa. “Lalu,” ia melanjutkan. “Minggu pagi target dan adiknya pergi ke taman komplek bersama anjing peliharaannya. Minggu siang tidak sama sekali keluar rumah. Minggu sore bersepeda di sekitar rumahnya bersama para tetangga dengan kisaran usia yang tidak jauh darinya. Minggu malam tidak sama sekali keluar rumah.”

Klienku, laki-laki berusia 23 tahun itu membenarkan posisi kacamatanya. Antara tidak puas, namun lega mendengar pemaparan hasil pengintaian yang aku dan beberapa rekanku lakukan.

“Dari hasil pengintaian selama tiga minggu ini, kami tidak menemukan ada kegiatan mencurigakan yang target lakukan. Tidak ada orang mencurigakan yang target temui. Tidak ada tempat mencurigakan yang target kunjungi. Dan yang paling penting, target tidak sama sekali datang ke tempat yang sama dengan yang klien datangi.” Stefan menutup presentasinya.

“Jadi, menurut kami, kemungkinan tentang kebenaran atas kecurigaan Anda terhadap target adalah 0%. Tidak ada bukti sama sekali,” ucapku menambahkan.

Klien kami mengangguk pelan.

“Ngomong-ngomong,” kali ini Arian yang bersuara. “Kenapa Anda merasa gadis ini mengikuti Anda?” tanyanya. “Maksud saya, kenapa Anda harus merasa ada seseorang yang mungkin saja mengikuti seseorang?”

Pria berkacamata itu diam, sesaat, sebelum akhirnya menggetarkan pita suaranya. “Mungkin saya berlebihan,” jawabnya. Ia tersenyum kaku. “Saya rasa hanya kebetulan melihat orang itu lebih dari satu kali.”

“Mungkin,” tanggap Arian. “Saya bahkan pernah naik bus kota dan duduk di sebelah wanita yang sama selama satu minggu penuh,” lanjutnya. Ia lalu tertawa, entah menertawakan apa. Padahal tidak ada yang lucu.

“Apa Anda ingin kami melanjutkan pengintaian?” tanyaku kemudian.

“Ah, saya rasa itu semua sudah cukup,” jawab klien kami. “Saya akan mengurus sisa pembayaran.”

***

“Hasil pengintaian bulan kedua!”

Aku, Stefan, Arian, dan seorang wanita dengan rambut pirang sepunggung, dengan seksama menyaksikan pemaparan salah seorang rekan kerjaku.

“Minggu pertama, target pergi ke coffee shop yang sama dengan klien dan memesan kopi yang sama pula. Target juga mengunjungi sanggar tari tempat klien berlatih. Target tiba 10 menit setelah klien memulai latihan, dan pergi dari sanggar 5 menit setelah klien pulang.

Target beberapa kali terlihat melewati rumah klien dan selalu menoleh ke arah tiang di depan rumah klien. Ternyata ada kamera tersembunyi di sana. Kami bertanya pada pihak keamanan sekitar, tapi mereka bilang mereka tidak sama sekali memasang kamera tersembunyi di lingkungan rumah klien.

Minggu kedua, target selalu mengendarai bus yang sama dengan klien selama satu minggu penuh. Target tidak pernah duduk atau berdiri di dekat klien, sepertinya ia selalu berusaha menjaga jarak. Setiap hari target selalu menggunakan ponselnya untuk menghubungi seseorang. Nomor yang paling sering dihubungi adalah nomor yang ternyata milik seseorang bernama Harry, yang merupakan ayah kandung dari klien yang sekarang tinggal di luar kota.”

“Apa?” klien kami, wanita dengan rambut pirang itu, terkejut setengah mati. “Ayah?”

“Target pernah bertemu seseorang di sebuah kafe dan memberikan beberapa lembar foto yang sudah kami pastikan bahwa foto-foto itu adalah foto-foto klien.”

“Itu salah satu orang kepercayaan Ayah,” komentarnya terhadap sebuah foto yang diambil secara diam-diam di kafe yang baru saja diceritakan. Klien kami mendengus kesal.

“Tiga minggu yang lalu, target datang pada tim kami dan meminta kami melakukan pengintaian atas seorang gadis bernama Audy karena target merasa gadis itu mengintainya selama satu bulan terakhir,” paparnya. “Dan saya sudah menerima hukuman atas hal ini,” lanjutnya dengan intonasi yang tiba-tiba melemah.

Stefan dan Arian tertawa.

“Apa yang lucu?!” omel gadis yang sedang ditertawakan itu.

“Seseorang akan lebih peka terhadap intaian atas dirinya ketika ia sedang melakukan hal yang sama terhadap orang lain,” aku menjelaskan. “Sejauh ini kami menyimpulkan bahwa target melakukan pengintaian terhadap Anda adalah 90% benar!”

Klien kami menghela nafas.

“Anda ingin kami melanjutkan pengintaian untuk mendapatkan 10% lagi keakuratan, atau cukup sampai di sini?”

Klien kami tersenyum. “Tidak. Saya rasa ini sudah cukup. Saya akan urus sisa pembayarannya.”

3 comments:

  1. this is good, actually! absurd. tapi bagus! sayang banget cuma jadi cerita pendek yang mana aku harus menduga-duga maunya si cowok apa. hahahahaha.

    verdict : it's good, nice, tapi terlalu sayang kalok jadi cerpen/satu cerita doang :p (baca : Trilogi?)

    ReplyDelete
  2. arrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrr ga yakin bisa bikin trilogi.

    thanks komentarnya :)

    ReplyDelete
  3. ga yakin -__- yaudah ganti kalimatnya jadi "Bikin lagi dong!"

    no probs, Aku selalu nunggu ceritamu biar bisa terpacu bikin cerita lain :D

    ReplyDelete

About Me

My photo
Tangerang, Banten, Indonesia
bukan penulis, bukan pengarang, hanya pecinta keduanya.