Sekarang pukul 12 lewat 30 menit, bertanda
kereta api Argo Parahyangan yang menuju Stasiun Bandung akan segera berangkat
15 menit lagi. Aku berjalan cepat sambil mencari gerbong yang sesuai dengan
yang tertulis di tiket keretaku. Dan akhirnya aku menemukannya. Sekarang aku
sedang mencari tempat dudukku. Kutelusuri satu demi satu rentetan bangku
abu-abu di kelas bisnis kereta jurusan Jakarta-Bandung ini. Dan akhirnya aku
menemukannya. Tapi….
“Arion?” aku menyebutkan nama seseorang yang
sedang duduk di bangku yang sama dengan bangkuku.
Ia menoleh. “Mova?” alisnya terangkat.
Aku sekali lagi melihat tiketku, memastikan
sambil berharap bangku ini bukan bangku yang harus aku tempati. Tapi sialnya,
ini memang tempat dudukku.
“Kamu duduk di sini?” tanya Arion.
Aku tak menjawab. Perlahan, aku duduk di
sampingnya sambil membuang muka sekenanya. Memandangi apa saja, asal bukan
orang yang sekarang ada di sebelahku. Degup jantung dan denyut nadiku
berlomba-lomba, seakan siapa yang lebih cepat ia yang menang. Aku sampai lupa
mengeluh perihal mendapatkan tempat duduk di pinggir, bukan di dekat jendela.
“Va, kalo kamu gak comfort duduk di samping aku, aku bisa pindah,” ucapnya sambil bersiap-siap berdiri.
Aku menoleh kearahnya, akhirnya. “Gak usah,
Yon,” aku mencegahnya. “Santai aja,” tambahku kemudian tersenyum. Canggung, aku
tau itu.
Arion mengangguk. “Okay,” ucapnya. “Kalo gitu kita tukeran tempat aja.”
“Hah?” aku mengernyit. Untuk apa?
“Kamu masih suka duduk di deket jendela kan,
setiap naik kendaraan apapun?” tanya Arion, mungkin lebih tepatnya hanya
memastikan. Dan aku sedikit terkejut. Aku memang pernah mengatakan hal itu,
tapi sudah sangat lama, dua tahun yang lalu, saat kami baru pertama kali jalan
bersama.
“Va?” panggil Arion, membuyarkan lamunku
seketika.
“Oh, masih,” jawabku.
Arion lalu berdiri dan mempersilakan aku
bergeser ke pojok, dekat jendela. “Thank you,” ucapku, tanpa melihat
kearahnya.
Arion duduk di tempat dudukku semula.
“Sama-sama,” jawabnya, dan aku bisa merasakan seutas senyum keluar dari
bibirnya.
Aku diam, Arion diam, dan kereta mulai melaju.
Aku benci suasana seperti ini. Hidupku bukan sebuah film, kenapa harus bertemu
dengan kebetulan sekebetulan ini? Kuharap perjalanan ini tidak menyenangkan.
Maksudku, aku tidak ingin bersenang-senang dengan masa lalu.
“Kamu mau balik ke kosan?” tiba-tiba saja Arion
bersuara.
“Ya?” aku tidak terlalu mendengar jelas. Entah
karena suara kereta yang cukup bising atau karena pikiranku memang sedang
berputar-putar seperti gasing.
“Kamu mau balik ke kosan?” tanya Arion lagi.
“Iya,” jawabku singkat. “Lusa udah masuk
kuliah. Kamu?” aku bertanya balik.. “Kamu mau kemana?”
“Ke rumah saudara,” jawabnya.
Aku hanya membulatkan bibir. Peduli? Tidak sama
sekali. Hanya sebatas penasaran saja.
“Kamu masih hobi main voli?” tanya Arion,
terdengar sangat santai.
“Masih,” jawabku, seperlunya.
“Kapan tanding lagi?”
“Mungkin satu atau dua tahun lagi,” jawabku
datar.
“Lama juga ya, Va,” tanggapnya seraya tertawa
kecil.
Aku hanya membalas tawa itu dengan senyuman
tipis. Palsu.
Kami diam, lagi.
Aku mengeluarkan iPod dari tasku dan memasang headset di telingaku. Tidak memutar lagu
apapun, hanya agar terlihat sedang sibuk saja. Kata orang, menggunakan headset, dilengkapi musik atau tidak,
akan membuatmu terlihat seperti tidak peduli pada keadaan sekitar, sekaligus sedang
tidak bisa diganggu.
Seorang laki-laki berseragam biru muda
menghampiri bangkuku. “Mau pesan makanan atau minuman?” aku mendengar kalimat
itu.
Arion menoleh kearahku. “Mau pesen makanan?”
tanyanya padaku.
Aku mendengarnya, tapi tidak menoleh sama
sekali. Pura-pura tidak mendengar.
“Va,” kali ini Arion mengetuk pelan bahuku.
Aku akhirnya menoleh. Terpaksa. Lalu melepaskan
sumpalan di telingaku.
“Mau pesen makan?” tanya Arion.
“Aku gak laper,” jawabku.
“Oh, oke,” tanggap Arion. Ia lalu mengalihkan
pandangannya lagi ke laki-laki petugas kereta api. “Dua roti keju, sama dua
gelas susu putih pake es batu,” ucapnya.
Aku refleks melirik kearah Arion. Itu makanan
kesukaanku!
“Kamu masih suka kan, Va?” tanya Arion.
“Hah?” aku terkejut. Sedang tidak terlalu fokus.
“Masih suka roti keju?” tanya Arion lagi.
“Oh, masih kok.”
“Es susu putih?” tanyanya lagi.
Aku mengangguk pelan. “Ya, masih,” jawabku
lebih pelan dari anggukanku.
“Itu aja, Mas?” tanya laki-laki berkemeja di
samping Arion.
Arion mengangguk sambil memberikan senyuman
pada orang itu.
Kenapa ia memesan makanan untukku? Dan kenapa
roti keju? Ah, orang ini mengganggu sekali.
Aku baru akan memasang lagi headsetku saat tiba-tiba
kudengar helaan nafas keluar dari orang di sebelahku. “Udah lama banget ya, Va,
kita gak punya waktu berdua kayak gini?” ucap Arion.
Kuurungkan niat memakai penyumpal telinga. Percuma
saja sepertinya. Aku menghela nafas. “Gak juga, Yon,” timpalku. “Kita terakhir
ketemu lima bulan yang lalu kan?”
Arion tersenyum. “Iya,” jawabnya. “Berarti udah
lima bulan sejak kita putus,” lanjutnya santai.
“Lebih tepatnya udah lima bulan sejak pertama
kali aku semaleman ditemenin Arthur tanpa harus takut kamu marah,” paparku
menambahkan.
Arion menunduk, lalu tertawa kecil. “Kamu pulan
jam berapa malam itu?” tanya Arion.
Aku menyeringai. Bukan urusanmu, Yon.
“Arthur… aku yang minta dia buat jemput kamu
waktu itu,” tiba-tiba Arion seperti menjawab hal yang tidak kutanyakan sama
sekali.
“Oh,” tanggapku, nyaris tak terdengar.
“Maaf aku harus nyuruh temen aku buat nganter
kamu pulang, aku kacau banget saat itu, Va,” ungkap Arion, dan diikuti tawa. Menertawakan
dirinya sendiri, aku yakin.
“Arthur juga temenku saat itu, Yon,” ucapku. Maksudku,
dia mengantarku pulang bukan karenamu.
“Oh iya,” Arion menoleh kearahku. Memandangku. “Ngomong-ngomong,
gimana kabar Arthur sekarang?” tanyanya dengan intonasi yang jauh berbeda
dengan kalimat sebelumnya.
“Baik,” jawabku. “Nanti juga dia jemput aku di
stasiun,” tambahku. Gak ada yang nanya sih, cuma pengen ngasih tau aja.
Arion mengangguk-angguk lamban. “Bagus deh kalo
gitu.”
“Kabar kamu sekarang gimana?” akhirnya aku
memulai pertanyaan.
“Aku? Aku baik,” jawabnya sambil tersenyum.
“Punya pacar?” ah sial, keceplosan! Ngapain nanya
kayak gitu sih?
“Pacar?” Arion mengulangi. Alih-alih menjawab,
ia malah tertawa.
“Kenapa ketawa? Ada yang lucu?” tanyaku sinis.
“Kamu masih gak suka serangga, Va?” tanya
Arion, mengalihkan pembicaraan, sepertinya.
Aku tersenyum. “Masih.”
“Masih gak bisa belah bakso tanpa garfu?”
“Masih,” aku tetawa.
“Masih suka salah ngenalin suara Vidi sama
Petra?” tanyanya lagi.
Aku tertawa semakin renyah. “Kadang-kadang udah
bisa sih,” jawabku.
“Masih punya kebiasaan matiin alarm setiap kali
bunyi dan tidur lagi?”
Aku meliriknya. “Masih,” lalu tertawa.
Arion tertawa, sejenak, lalu berhenti. “Kamu
masih takut gelap?” tanyanya, kali ini serius.
“Emm, ya, masih,” jawabku.
“Aku selalu inget kamu setiap gelap, Va,” tutur
Arion. “Aku selalu inget kita.”
Aku tertawa lagi, kali ini tawa yang bertujuan
merendahkan kalimatnya barusan.
“Aku gak akan nanya kamu masih cinta sama aku
atau gak,” tutur Arion lagi. “Karena sialnya, cinta gak selalu bisa jadi alesan
dua orang gak kepisah.”
Cih.
***
“Va, bangun, Va,” pundakku ditepuk-tepuk pelan.
Perlahan, aku membuka mataku. Arion, dia yang
membangunkanku.
“Udah sampe, Va,” ucapnya.
Aku refleks memegang keningku. Kepalaku agak
pusing.
“Kamu pusing?” tanya Arion (sok) khawatir.
“Udah sampe, kenapa kamu gak turun?” tanyaku.
“Aku temenin kamu sampe Arthur dateng,”
jawabnya.
“Gak usah,” jawabku seraya berdiri dan pergi
begitu saja tanpa berpamitan dengan orang yang baru saja terdengar berniat baik
padaku.
Aku bisa merasakan langkahnya membuntutiku.
Tak jauh dari pintu keluar peron, Arthur
menungguku. Aku berjalan cepat ke arahnya, ke arah laki-laki yang sejak lima
bulan lalu selalu ada untukku. Ia menyambutku dengan senyuman, sesaat, lalu
mengernyit saat melihat Arion ada di belakangku.
“Arion?” tanyanya. “Kalian….”
“Aku gak sengaja ketemu dia,” ucapku, menjawab
kecurigaannya.
“Hai, Thur!” sapa Arion. “Gue sama Mova cuma
kebetulan ada di gerbong yang sama kok,” ujar Arion. “Gimana kabar lo?”
tanyanya kemudian.
“Baik,” jawab Arthur dingin.
Arion tersenyum. “Gue nitip ya,” ucap Arion,
seraya melirik kearahku.
Arthur hanya menanggapinya dengan seringaian
sinis dan membiarkan Arion begitu saja melangkah pergi meninggalkan kami, aku
dan Arthur.
Hening, di antara keramaian stasiun. Aku benar-benar
takut Arthur menanyakan obrolan apa saja yang aku dan Arion lakukan selama di
kereta. Aku malas membahas orang itu. Sungguh.
“Kamu…” dan Arthur memulai. “Kamu masih…” Arthur
tidak melanjutkan kalimatnya, mungkin ragu apakah jawabanku akan sesuai
ekspektasinya atau tidak.
Seketika, bayangan itu muncul. Bayangan tentang
lima bulan lalu. Bayangan yang tertahan selama tiga jam perjalanan di kereta
tadi, dan sekarang muncul begitu saja dengan liar. Bayangan saat Arion
mengusirku, meninggalkanku, menutup pintu untukku, setelah mengatakan bahwa ia
tidak bisa menikahiku, dan kemudian menyerahkanku begitu saja pada orang yang
sekarang ada di depanku.
Aku menunduk, dan tanpa sadar mengelus pelan
perutku. Tempat di mana calon anak kami sedang tertidur nyenyak. Anakku dan
Arion.
“Masih,” jawabku.
oke. ini nggak mind fuck, udah keduga dari kata 'gelap'.
ReplyDeletesial banget si arion. simply sweet kalo kata aku mah. haha.
aish pembacanya terlalu pinterrrrrrrrr
ReplyDeleteaku bisa nyium bau-bau nol dicerita kamu ini tau. ntah deh. hahaha.
DeleteAh iya kah? Padahal kasusnya (kasus yg utuh di kepalaku) beda banget loh ini. haha.
Deleteah ga tau juga sih. tapi aku bisa menemukan nafas nol dari dalam sini.
Deletecerita kamu yang sebelumnya jauh lebih bagus.
biasanya : your story >>>>>>>>>>>>>>>> mine.
yang ini : your story = mine.
haahaahha.
kamu lebay -___- tapi aku ngerti ini maksudnya penurunan ya hahahaha payah.
Deleteoke thanks.
iya turunnya jauh lagi-_-
Deletetapi tetep bagus sih.