Sunday, October 28, 2012

Masih


Sekarang pukul 12 lewat 30 menit, bertanda kereta api Argo Parahyangan yang menuju Stasiun Bandung akan segera berangkat 15 menit lagi. Aku berjalan cepat sambil mencari gerbong yang sesuai dengan yang tertulis di tiket keretaku. Dan akhirnya aku menemukannya. Sekarang aku sedang mencari tempat dudukku. Kutelusuri satu demi satu rentetan bangku abu-abu di kelas bisnis kereta jurusan Jakarta-Bandung ini. Dan akhirnya aku menemukannya. Tapi….
“Arion?” aku menyebutkan nama seseorang yang sedang duduk di bangku yang sama dengan bangkuku.
Ia menoleh. “Mova?” alisnya terangkat.
Aku sekali lagi melihat tiketku, memastikan sambil berharap bangku ini bukan bangku yang harus aku tempati. Tapi sialnya, ini memang tempat dudukku.
“Kamu duduk di sini?” tanya Arion.
Aku tak menjawab. Perlahan, aku duduk di sampingnya sambil membuang muka sekenanya. Memandangi apa saja, asal bukan orang yang sekarang ada di sebelahku. Degup jantung dan denyut nadiku berlomba-lomba, seakan siapa yang lebih cepat ia yang menang. Aku sampai lupa mengeluh perihal mendapatkan tempat duduk di pinggir, bukan di dekat jendela.

“Va, kalo kamu gak comfort duduk di samping aku, aku bisa pindah,” ucapnya sambil bersiap-siap berdiri.
Aku menoleh kearahnya, akhirnya. “Gak usah, Yon,” aku mencegahnya. “Santai aja,” tambahku kemudian tersenyum. Canggung, aku tau itu.
Arion mengangguk. “Okay,” ucapnya. “Kalo gitu kita tukeran tempat aja.”
“Hah?” aku mengernyit. Untuk apa?
“Kamu masih suka duduk di deket jendela kan, setiap naik kendaraan apapun?” tanya Arion, mungkin lebih tepatnya hanya memastikan. Dan aku sedikit terkejut. Aku memang pernah mengatakan hal itu, tapi sudah sangat lama, dua tahun yang lalu, saat kami baru pertama kali jalan bersama.
“Va?” panggil Arion, membuyarkan lamunku seketika.
“Oh, masih,” jawabku.
Arion lalu berdiri dan mempersilakan aku bergeser ke pojok, dekat jendela.  “Thank you,” ucapku, tanpa melihat kearahnya.
Arion duduk di tempat dudukku semula. “Sama-sama,” jawabnya, dan aku bisa merasakan seutas senyum keluar dari bibirnya.
Aku diam, Arion diam, dan kereta mulai melaju. Aku benci suasana seperti ini. Hidupku bukan sebuah film, kenapa harus bertemu dengan kebetulan sekebetulan ini? Kuharap perjalanan ini tidak menyenangkan. Maksudku, aku tidak ingin bersenang-senang dengan masa lalu.
“Kamu mau balik ke kosan?” tiba-tiba saja Arion bersuara.
“Ya?” aku tidak terlalu mendengar jelas. Entah karena suara kereta yang cukup bising atau karena pikiranku memang sedang berputar-putar seperti gasing.
“Kamu mau balik ke kosan?” tanya Arion lagi.
“Iya,” jawabku singkat. “Lusa udah masuk kuliah. Kamu?” aku bertanya balik.. “Kamu mau kemana?”
“Ke rumah saudara,” jawabnya.
Aku hanya membulatkan bibir. Peduli? Tidak sama sekali. Hanya sebatas penasaran saja.
“Kamu masih hobi main voli?” tanya Arion, terdengar sangat santai.
“Masih,” jawabku, seperlunya.
“Kapan tanding lagi?”
“Mungkin satu atau dua tahun lagi,” jawabku datar.
“Lama juga ya, Va,” tanggapnya seraya tertawa kecil.
Aku hanya membalas tawa itu dengan senyuman tipis. Palsu.
Kami diam, lagi.
Aku mengeluarkan iPod dari tasku dan memasang headset di telingaku. Tidak memutar lagu apapun, hanya agar terlihat sedang sibuk saja. Kata orang, menggunakan headset, dilengkapi musik atau tidak, akan membuatmu terlihat seperti tidak peduli pada keadaan sekitar, sekaligus sedang tidak bisa diganggu.
Seorang laki-laki berseragam biru muda menghampiri bangkuku. “Mau pesan makanan atau minuman?” aku mendengar kalimat itu.
Arion menoleh kearahku. “Mau pesen makanan?” tanyanya padaku.
Aku mendengarnya, tapi tidak menoleh sama sekali. Pura-pura tidak mendengar.
“Va,” kali ini Arion mengetuk pelan bahuku.
Aku akhirnya menoleh. Terpaksa. Lalu melepaskan sumpalan di telingaku.
“Mau pesen makan?” tanya Arion.
“Aku gak laper,” jawabku.
“Oh, oke,” tanggap Arion. Ia lalu mengalihkan pandangannya lagi ke laki-laki petugas kereta api. “Dua roti keju, sama dua gelas susu putih pake es batu,” ucapnya.
Aku refleks melirik kearah Arion. Itu makanan kesukaanku!
“Kamu masih suka kan, Va?” tanya Arion.
“Hah?” aku terkejut. Sedang tidak terlalu fokus.
“Masih suka roti keju?” tanya Arion lagi.
“Oh, masih kok.”
“Es susu putih?” tanyanya lagi.
Aku mengangguk pelan. “Ya, masih,” jawabku lebih pelan dari anggukanku.
“Itu aja, Mas?” tanya laki-laki berkemeja di samping Arion.
Arion mengangguk sambil memberikan senyuman pada orang itu.
Kenapa ia memesan makanan untukku? Dan kenapa roti keju? Ah, orang ini mengganggu sekali.
Aku baru akan memasang lagi headsetku saat tiba-tiba kudengar helaan nafas keluar dari orang di sebelahku. “Udah lama banget ya, Va, kita gak punya waktu berdua kayak gini?” ucap Arion.
Kuurungkan niat memakai penyumpal telinga. Percuma saja sepertinya. Aku menghela nafas. “Gak juga, Yon,” timpalku. “Kita terakhir ketemu lima bulan yang lalu kan?”
Arion tersenyum. “Iya,” jawabnya. “Berarti udah lima bulan sejak kita putus,” lanjutnya santai.
“Lebih tepatnya udah lima bulan sejak pertama kali aku semaleman ditemenin Arthur tanpa harus takut kamu marah,” paparku menambahkan.
Arion menunduk, lalu tertawa kecil. “Kamu pulan jam berapa malam itu?” tanya Arion.
Aku menyeringai. Bukan urusanmu, Yon.
“Arthur… aku yang minta dia buat jemput kamu waktu itu,” tiba-tiba Arion seperti menjawab hal yang tidak kutanyakan sama sekali.
“Oh,” tanggapku, nyaris tak terdengar.
“Maaf aku harus nyuruh temen aku buat nganter kamu pulang, aku kacau banget saat itu, Va,” ungkap Arion, dan diikuti tawa. Menertawakan dirinya sendiri, aku yakin.
“Arthur juga temenku saat itu, Yon,” ucapku. Maksudku, dia mengantarku pulang bukan karenamu.
“Oh iya,” Arion menoleh kearahku. Memandangku. “Ngomong-ngomong, gimana kabar Arthur sekarang?” tanyanya dengan intonasi yang jauh berbeda dengan kalimat sebelumnya.
“Baik,” jawabku. “Nanti juga dia jemput aku di stasiun,” tambahku. Gak ada yang nanya sih, cuma pengen ngasih tau aja.
Arion mengangguk-angguk lamban. “Bagus deh kalo gitu.”
“Kabar kamu sekarang gimana?” akhirnya aku memulai pertanyaan.
“Aku? Aku baik,” jawabnya sambil tersenyum.
“Punya pacar?” ah sial, keceplosan! Ngapain nanya kayak gitu sih?
“Pacar?” Arion mengulangi. Alih-alih menjawab, ia malah tertawa.
“Kenapa ketawa? Ada yang lucu?” tanyaku sinis.
“Kamu masih gak suka serangga, Va?” tanya Arion, mengalihkan pembicaraan, sepertinya.
Aku tersenyum. “Masih.”
“Masih gak bisa belah bakso tanpa garfu?”
“Masih,” aku tetawa.
“Masih suka salah ngenalin suara Vidi sama Petra?” tanyanya lagi.
Aku tertawa semakin renyah. “Kadang-kadang udah bisa sih,” jawabku.
“Masih punya kebiasaan matiin alarm setiap kali bunyi dan tidur lagi?”
Aku meliriknya. “Masih,” lalu tertawa.
Arion tertawa, sejenak, lalu berhenti. “Kamu masih takut gelap?” tanyanya, kali ini serius.
“Emm, ya, masih,” jawabku.
“Aku selalu inget kamu setiap gelap, Va,” tutur Arion. “Aku selalu inget kita.”
Aku tertawa lagi, kali ini tawa yang bertujuan merendahkan kalimatnya barusan.
“Aku gak akan nanya kamu masih cinta sama aku atau gak,” tutur Arion lagi. “Karena sialnya, cinta gak selalu bisa jadi alesan dua orang gak kepisah.”
Cih.

***

“Va, bangun, Va,” pundakku ditepuk-tepuk pelan.
Perlahan, aku membuka mataku. Arion, dia yang membangunkanku.
“Udah sampe, Va,” ucapnya.
Aku refleks memegang keningku. Kepalaku agak pusing.
“Kamu pusing?” tanya Arion (sok) khawatir.
“Udah sampe, kenapa kamu gak turun?” tanyaku.
“Aku temenin kamu sampe Arthur dateng,” jawabnya.
“Gak usah,” jawabku seraya berdiri dan pergi begitu saja tanpa berpamitan dengan orang yang baru saja terdengar berniat baik padaku.
Aku bisa merasakan langkahnya membuntutiku.
Tak jauh dari pintu keluar peron, Arthur menungguku. Aku berjalan cepat ke arahnya, ke arah laki-laki yang sejak lima bulan lalu selalu ada untukku. Ia menyambutku dengan senyuman, sesaat, lalu mengernyit saat melihat Arion ada di belakangku.
“Arion?” tanyanya. “Kalian….”
“Aku gak sengaja ketemu dia,” ucapku, menjawab kecurigaannya.
“Hai, Thur!” sapa Arion. “Gue sama Mova cuma kebetulan ada di gerbong yang sama kok,” ujar Arion. “Gimana kabar lo?” tanyanya kemudian.
“Baik,” jawab Arthur dingin.
Arion tersenyum. “Gue nitip ya,” ucap Arion, seraya melirik kearahku.
Arthur hanya menanggapinya dengan seringaian sinis dan membiarkan Arion begitu saja melangkah pergi meninggalkan kami, aku dan Arthur.
Hening, di antara keramaian stasiun. Aku benar-benar takut Arthur menanyakan obrolan apa saja yang aku dan Arion lakukan selama di kereta. Aku malas membahas orang itu. Sungguh.
“Kamu…” dan Arthur memulai. “Kamu masih…” Arthur tidak melanjutkan kalimatnya, mungkin ragu apakah jawabanku akan sesuai ekspektasinya atau tidak.
Seketika, bayangan itu muncul. Bayangan tentang lima bulan lalu. Bayangan yang tertahan selama tiga jam perjalanan di kereta tadi, dan sekarang muncul begitu saja dengan liar. Bayangan saat Arion mengusirku, meninggalkanku, menutup pintu untukku, setelah mengatakan bahwa ia tidak bisa menikahiku, dan kemudian menyerahkanku begitu saja pada orang yang sekarang ada di depanku.
Aku menunduk, dan tanpa sadar mengelus pelan perutku. Tempat di mana calon anak kami sedang tertidur nyenyak. Anakku dan Arion.
“Masih,” jawabku.

7 comments:

  1. oke. ini nggak mind fuck, udah keduga dari kata 'gelap'.

    sial banget si arion. simply sweet kalo kata aku mah. haha.

    ReplyDelete
  2. aish pembacanya terlalu pinterrrrrrrrr

    ReplyDelete
    Replies
    1. aku bisa nyium bau-bau nol dicerita kamu ini tau. ntah deh. hahaha.

      Delete
    2. Ah iya kah? Padahal kasusnya (kasus yg utuh di kepalaku) beda banget loh ini. haha.

      Delete
    3. ah ga tau juga sih. tapi aku bisa menemukan nafas nol dari dalam sini.

      cerita kamu yang sebelumnya jauh lebih bagus.

      biasanya : your story >>>>>>>>>>>>>>>> mine.
      yang ini : your story = mine.
      haahaahha.

      Delete
    4. kamu lebay -___- tapi aku ngerti ini maksudnya penurunan ya hahahaha payah.

      oke thanks.

      Delete
    5. iya turunnya jauh lagi-_-

      tapi tetep bagus sih.

      Delete

About Me

My photo
Tangerang, Banten, Indonesia
bukan penulis, bukan pengarang, hanya pecinta keduanya.